Seorang anak laki-laki berusia 19 tahun berteriak-teriak memanggil bundanya. Di tangannya ada surat pengumuman.
“Bunda aku diterima kuliah di salah satu kampus di Singapura. Bukan hanya itu saja. Aku lulus tes untuk mendapatkan beasiswa.”
“Wah selamat ya Nak.” Bunda Tabita memeluk anak remaja yang berdiri di depannya. Anak laki-laki yang menawarkan jasa payung padanya kini sudah tumbuh tinggi dan sangat pintar. “Dari awal bunda yakin kalau kamu pasti lulus. Cepat ke ruangan ayah kamu. Pasti dia juga senang mendengarnya.”
Zefanya berubah total dari kehidupannya yang dulu. Sangat pintar dan tampan. Tidak ada lagi kesan gelandangan karena kulit dan tubuhnya terawat dengan baik. Zefanya mengetuk pintu dan dia masuk ke sebuah ruangan.
“Ayah aku lulus.” Anak remaja itu memberikan kertas di tangannya pada pria paruh baya yang duduk di kursinya.
“Selamat ya nak.” Charles bangkit dari kursi lalu memberi pelukan serta tepukan di punggung Zefanya. “Kapan kamu akan berangkat?”
“Bulan depan ayah.”
“Baiklah. Manfaatkan waktumu di sini. Ajari adik-adikmu supaya mereka bisa mengikuti jejakmu.”
“Baik ayah.”
***
Sopir menjemput Abira yang baru saja keluar dari gedung sekolah. Gadis itu selalu pulang tepat waktu karena harus makan siang di rumah. Sementara dari kejauhan adiknya melambaikan tangan karena harus mengisi acara radio sekolah siang ini.
“Zi, ada surat nih untukmu.” Salah satu temannya memberikan surat yang dibungkus dengan amplop biru yang lucu.
“Jaman sekarang masih pakai kirim surat. Memangnya ini jaman purba apa?” Ziona tertawa sambil membuka perekatnya.
MENATAPMU DALAM RINDU
Matahari pagi muncul dengan sinarnya
Kuteringat akan hatiku yang merindukanmu
Harapan ingin selalu melihat senyummu
Senyum yang memberi teduh di hatiKu
Menatapmu dalam rinduku
Namun tak kuasa menyentuhmu
Jauh darimu membuat hatiku tak menentu
Dekat denganmu membuatku ragu
Tersenyumlah selalu
Karena senyummu obat pelepas rinduku
Tersenyumlah selalu
Karena senyummu adalah jawaban doaku
Semuel
“Semuel?” Ziona berusaha mengingat siapa Semuel. Tak ada satu pun teman sekelasnya yang bernama Semuel. Sebuah pesan masuk ke ponselnya padahal dia belum menemukan jawaban tentang siapa pengirim surat itu.
“Maaf kalau aku lancang mengambil nomor ponselmu dari data peserta basket. Aku Semuel anak kelas 12. Aku juga yang mengirim puisi itu untukmu. Bisakah kita bertemu setelah pulang sekolah?”
“Boleh. Tetapi aku mau ngisi acara radio dulu. Kamu nggak keberatan kalau harus menunggu?”
“Aku tidak akan pulang karena aku selalu mendengar suaramu di radio sekolah. Aku tunggu kamu di lapangan basket ya.” Balasan terakhir dari laki-laki itu membuat Ziona tersenyum.
“Semuel.” Ziona menyebutkan nama itu dan berusaha mengingat. Namun dia masih gagal menerawang siapakah sosok pengirim puisi romantis itu.
***
Charles dan istrinya sedang duduk bersandar di ranjang. Mereka sedang mencari solusi untuk keberangkatan anak asuh mereka yakni Zefanya. Sudah 6 bulan terakhir panti asuhan mengalami kesulitan dana. Memang Indonesia sedang mengalami masa sulit. Banyak pengusaha yang bangkrut dan harus menjual saham dengan harga yang rendah.
“Zefanya butuh tempat tinggal dan biaya hidup di sana. Pemberi beasiswa hanya akan membiayai kebutuhan kuliahnya saja.” Jelas Charles ketika membaca email yang dia terima dari pihak pemberi beasiswa.
“Kamu punya teman kan di Singapore? Bagaimana kalau Zefa bekerja sambil kuliah saja?”
“Tidak semudah itu sayang. Singapore bukan Indonesia. Di sana pelajar tidak boleh bekerja.”
“Tanyakan saja dulu. Siapa tahu dia bisa bantu.”
“Baiklah. Tetapi dia harus punya uang pegangan setidaknya untuk bertahan selama beberapa bulan.”
Tabita turun dari ranjang dan membuka lemari. Di dalamnya ada kotak berisi beberapa perhiasannya.
“Kita jual saja berlian ini. Pendidikan Zefa jauh lebih penting.” Charles menghampiri istrinya.
“Jangan dijual sayang! Kita gadaikan saja. Aku akan cari uang supaya perhiasan kamu bisa ditebus kembali.” Charles tidak tega karena itu adalah berlian pemberian mertuanya. “Aku janji akan menebusnya.” Pria itu memeluk istrinya seraya mencium puncak kepala wanita yang sudah menjadi pendamping hidupnya selama puluhan tahun.
***
Setelah menyelesaikan siaran, Ziona keluar dan tidak sabar menemui laki-laki yang mengirimkan puisi untuknya. Sangat romantis. Itulah yang ada di benaknya. Dia sudah tiba di lapangan basket. Dag dig dug terdengar dari suara jantungnya yang bertalu-talu. Matanya menjelajah mencari sosok yang ingin dia temui. Tidak ada orang sama sekali.
“Mungkin aku kelamaan.” Gumam Ziona dengan bahasa tubuh yang tidak bersemangat.
“Hmmm! Suara deheman dari belakangnya. Ziona membalikkan dan melihat laki-laki tinggi di depannya. Bukan hanya tinggi tetapi laki-laki itu sangat tampan. Kulitnya putih bersih, rambutnya blonde, dan matanya berwarna perak. Sepertinya dia bukan asli Indonesia.
“Kamu nggak kelamaan. Aku tadi pergi beli minuman takut kamu kehausan habis siaran.” Di tangannya ada dua botol minuman.
“Kamu yang namanya Semuel?”
“Iya. Aku satu kelas dengan kakakmu. Nggak sengaja aku melihatmu ketika kakak kamu pingsan di taman sekolah. Dari situ aku mulai penasaran dan cari tahu tentang kamu. Bahkan aku mendekati Abi hanya untuk tahu tentang kamu.”
“Pingsan?” Abira yang terlalu sering pingsan membuat Ziona lupa kapan kakaknya itu pingsan di taman.
“Iya. 3 bulan lalu Abi pingsan di taman dan kamu langsung berlari dari perpustakaan. Bahkan kamu menarik tanganku supaya aku membantu membawa Abi ke UKS.”
“Ha?” Ziona bingung karena dia tidak mengingat apapun.
“Mungkin kamu panik jadi nggak ingat sama aku. Tapi sejak saat itu kamu selalu menemani hari-hariku. Tapi aku nggak berani karena kata Abi kamu nggak mau pacaran karena harus fokus sama sekolah.”
“Hehehe. Iya sih.” Ziona menggaruk kepalanya karena malu. Tetapi dia punya alasan untuk itu. Cinta monyet sangat wajar dialami anak remaja seperti dirinya. Tetapi mengingat larangan papinya, Ziona memilih taat saja daripada dia harus dibandingkan lagi dengan kakaknya atau menyalahkan dirinya yang menghabiskan waktu untuk pacaran.
“Justru itu yang membuat aku suka sama kamu. Tidak ada salahnya kan kalau kita berteman dekat. Aku janji akan memintamu jadi pacar setelah kita lulus sekolah.”
“Memangnya ada yang kayak gitu?” Dengan polosnya dia bertanya. Dia belum pernah berpacaran sementara kakaknya sudah berapa kali gonta ganti pacar.
“Semua itu tergantung kita. Anggab saja pertemanan kita sebagai langkah awal untuk kita saling mengenal. Gimana?” Semuel menatap bola mata Ziona dengan lensa matanya yang berwarna perak.
“Tapi papi melarangku pacaran.”
“Kita bukan pacaran. Kita teman. Nanti pacarannya kalau sudah lulus.”
“Okei.” Ziona setuju. Tidak ada salahnya juga menikmati masa remaja. Itulah yang muncul di pikirannya.
“Sebagai perayaannya kamu minum dulu ini.” Membuka tutup botol lalu memberikan minuman itu pada Ziona. “Apa kamu masih punya waktu luang?” tanya Semuel setelah Ziona berhenti meneguk air dari botol kemasan itu.
Ziona melihat jam di layar ponselnya. “Harusnya ada ekskul. Tapi gurunya nggak datang.”
“Great!” Semuel bersorak kegirangan. “Lalu apa yang akan kita lakukan selanjutnya? Kamu nggak akan langsung pulang kan?”
“Ya nggaklah. Aku pasti memanfaatkan waktu kosong seperti ini. Kapan lagi aku bisa lepas dari setiap peraturan bokap.”
“Kalau gitu aku traktir kamu makan baso di kantin.” Semuel menarik pergelangan tangan Ziona dan itu menjadi perhatian kedua mata gadis itu untuk melihat pegangannya.
Bandara Soekarno Hatta menjadi salah satu tempat yang tidak akan pernah mati. Selama 24 jam lokasi itu selalu terisi dengan orang-orang yang berlalu Lalang. Baik itu kru pesawat, setiap staff yang bekerja atau pekerja restoran yang bertengger di sana. “Ayah sudah menghubugi teman di sana. Katanya kamu boleh tinggal di apartemennya dan membantunya di cafe miliknya. Dia akan memberimu uang tambahan tanpa mendaftarkan kamu sebagai pelayan di restorannya. Anggab saja kamu ngebantu sebagai saudara.” Charles menjelaskan sebelum anak asuhnya itu terbang ke nagara tetangga. “Makasih ayah. Aku pasti kembali dan membuat ayah bangga.” “Harus itu.” Charles memberikan amplop berisi uang dolar Singapore. “Bijak-bijaklah mengelola uangmu. Kalau ayah ada rejeki pasti akan ayah kirimkan untukmu.” Charles memeluknya erat. Zefanya tidak tahu harus bilang apa lagi selain ucapan terima kasih. Dia berjanji kelak akan me
“Dari mana kamu?” Suara Alana menggelegar hingga memekakkan telinga Ziona yang mendengar.“Mi, ngomongnya jangan terlalu kenceng. Sakit nih telinga Zio.”“Kamu dari mana Ziona? Nggak usah mengalihkan pertanyaan mami.”“Habis ketemu teman mi.”“Laki-laki atau perempuan.”“Mati aku!” dalam hati Ziona merutuki dirinya sendiri. Bisa bahaya kalau dia berkata jujur. Bukan fasilitas saja yang akan diambil darinya tetapi selama seminggu dia tidak akan bisa melakukan apapun selain sekolah. “Perempuan kok mi.” Terpaksa lidahnya berbohong. Sepertinya dia harus membiasakan lidah tak bertulangnya itu untuk berkata dusta.“Cepat masuk kamar. Kalau papi sampai tahu kamu pulang jam segini pasti kamu akan dimarahin.” Tangan Alana bersedekap memberi peringatan.“Jangan laporin ke papi ya mi. Zio janji akan melakukan
Mordekhai meminta salah satu bawahannya untuk menemani Ziona mendaftarkan diri di kampus barunya. Jangan harap Mordekhai akan meluangkan waktu untuk mendaftarkan putri bungsunya itu. Masih banyak hal yang harus dia urus. Padahal jika menyangkut Abira pasti dia rela meninggalkan urusannya sepenting apapun itu. Lagi-lagi alasannya usia Abira yang tidak tahu sampai kapan.“Non, isi formnya dulu.” Laki-laki bernama Mandala memberikan pulpen tinta hitam dan tiga lembar kertas yang dia terima dari pihak kampus.Meski berat hati Ziona tetap mengisinya. Satu tujuannya hanya untuk mendapatkan perhatian. Tetapi apa yang dia terima? Ayah biologisnya itu justru meminta Mandala untuk menemaninya. Sebenarnya salah satu teman SMPnya juga tinggal di negara itu dan memberi kabar jika dia akan mengunjunginya di sana. Kebetulan atau tidak, temannya itu juga kuliah di tempat yang sama dengannya.“Man, aku mau ke toilet dul
“Di mana?” Suara cempreng dari seorang perempuan terdengar melalui ponsel yang menempel di telinga Ziona. “Aku udah kirim alamatnya kan? Aku di 1000 tasty restaurant. Cepat ke sini! GPL. Gak pake lama! Buruan!” “Sabar dong! Memangnya aku bisa menerbangkan MRT nya? Tungu! 10 menit lagi aku nyampe.” Temannya itu mematikan panggilan tanpa minta izin terlebih dahulu. “Nggak pernah berubah dari dulu.” Gerutu Ziona. “Gimana hari pertama masuk kampus?” Zefa yang baru keluar dari dapur langsung duduk di depannya. “Kamu nggak kerja?” Ziona memperhatikan pakaian laki-laki itu. Seingat dia, kemarin Zefa memakai kaos kuning dengan tulisan 1000 tasty restaurant. Namun kali ini laki-laki itu memakai kaos putih dibalut jacket denim dan celana jeans. “Sebentar lagi aku ada kelas. Makanya aku berpakaian seperti ini. Lagipula aku di sini hanya bantu-bantu aja.” Riko memang
“Kenapa kamu menghindariku?” Ziona memdekat dan memukul dada laki-laki itu. Air mata pun mengalir di pipinya. “Kamu jahat! Kamu yang mengajakku berteman. Tapi kamu yang menghindar kayak gini.” Ziona seakan dipermainkan apalagi dia tidak punya siapa-siapa di Singapura.“Zi, jangan kayak gini! Kenapa kamu nangis?” Menahan tangan Ziona yang terus memukulnya.“Aku ke sini untuk minta maaf. Tapi kamu sengaja menyuruh orang lain yang melayaniku.” Isak tangis menemani setiap kata yang terucap dari mulut manis Ziona.“Iya-iya. Aku yang salah.” Zefanya langsung menarik tubuh perempuan itu ke dalam dekapannya. “Maafin aku. Nggak seharusnya aku tersinggung sama ucapan kamu.” Masih memeluk dan tangannya mengusap lembut rambut gadis itu.“Kalau aku salah bilang!” kesal Ziona namun tangannya mempererat pelukannya di tubuh Zefa.“Iya
Ziona benar -benar tertidur hingga Zefa tidak tega untuk membangunkannya. Makanan sudah ada di atas meja. Tadinya dia ingin pulang setelah makanan itu datang. Dia memperhatikan wajah yang terlelap itu.“Kamu benar-benar cantik.” Menyelipkan sulur rambut Ziona yang berantakan ke belakang telinga.Zefanya duduk di karpet berbulu sambil terus memandangi wajah perempuan itu. Hatinya senang dan damai melihat Ziona tertidur pulas. Tanpa sadar dia juga tertidur dengan kepala bertumpu di sofa sementara posisi tubuhnya duduk di depan sofa. Tenaganya terkuras habis ketika menggendong tubuh Ziona dari stasiun MRT Bugis sampai ke kondonium.“Rasanya capek banget.” Ziona menggeliat setelah kedua matanya terbuka. Baru sadar jika dirinya tidur di sofa dan dia tidak sendirian.“Zefa,” Dia mengoyang bahu Zefa dengan pelan. “Zef bangun! Ini sudah malam.” Sekali lagi
Ziona mengantuk lagi setelah mereka memutuskan untuk menonton film. Jelas dia mengantuk. Energinya terkuras habis hanya untuk bergadang dan menyelesaikan satu judul drama korea.“Aku tidur duluan ya. Kamu tidur di sofa. Awas kalau sampai masuk kamar!” Ziona mengancam dengan jari telunjuknya membuat laki-laki itu tertawa melihat kelucuannya.“Ya sudah tidur sana! Mata kamu udah merah.”Ziona masuk kamar dan langsung tidur terlentang. Tetapi dia ingat jika di luar belum ada selimut. Ziona menurunkan kakinya lagi dan beranjak ke lemari. Mengeluarkan selimut putih tebal dan mengambil satu bantal dari ranjang.“Kenapa kamu keluar lagi?” tanya Zefanya ketika perhatiannya teralihkan dari layar televisi.“Kamu nggak punya selimut. Cuaca lagi dingin. Pakai ini ya!” Sambil menguap Ziona meletakkan bantal dan selimut di sofa.“Makasih Zi. C
Ziona dan Zefanya masuk ke super market dan kaki langsung tertuju pada bahan-bahan makanan. Kedua orang itu sudah sepakat jika mereka akan masak sop buntut. Laki-laki itu juga mengambil beberapa jenis sayuran. Dia berencana akan mengajari Ziona cara memasak yang sederhana. Setidaknya wanita itu tak selalu mengandalkan makanan restoran.Seperti kesetanan mahluk rakus, tangan Ziona mengambil banyak sekali cemilan dan minuman kemasan. Jika di Indonesia minuman bersoda atau manis lebih mahal daripada air mineral, maka berbanding terbalik dengan Singapore. Air mineral lebih mahal daripada minuman tak sehat itu.“Ngapain kamu beli cemilan sebanyak itu?” Zefanya mengening karena bingung dengan apa yang dilakukan wanita itu. Trolley hampir penuh dengan belanjaannya.“Sekali ini saja. Aku ingin menikmati hidup tanpa merasa terkekang.” Seperti narapida yang baru keluar dari penjara, Ziona membeli apap
Duka yang begitu dalam membuat Ziona dan Zefanya menunda bulan madu mereka. Mungkin mereka akan melakukannya setelah Ziona benar-benar siap secara mental. “Hidup adalah kesempatan dan mati adalah keuntungan bagi setiap orang yang percaya kepada Tuhan.” Pendeta mengucapkan kalimat terakhir sebelum menurunkan peti Abira ke liang lahat.Ziona tak berhenti menangis, demikian juga dengan orangtuanya. Zefanya memeluk Ziona, tidak melarang ketika istrinya menangis di pelukannya. “Kamu nggak sendirian, sayang. Kamu memilikiku dan orangtuamu. Kami akan selalu menjagamu.” Zefanya menenangkan Ziona sambil mengusap punggungnya.***Tiga bulan telah berlalu,Zefanya sedang mengancing kemejanya ketika Ziona mendekatinya sambil membawa blazer. Mereka akan berangkat ke kantor di pagi hari dan saat sore Zefanya akan mengontrol kedainya. Dia sudah memiliki beberapa cabang dan dia harus membagi pikirannya antara perusahaan dan kedai.Mereka turun ke lantai satu, Alana dan Mordekhai telah menungg
Dua hari sebelum pernikahan, penjahit handal kepercayaan keluarga Ziona menunjukkan hasil jahitannya. Gambar Ziona telah berubah wujud menjadi sesuatu yang nyata.“Mau mencobanya sekarang?” tanya penjahit dan anggukan Ziona menunjukkan antusiasnya. “Karyawanku akan membantu kalian untuk memakainya.”Zefanya dan Ziona masuk ke ruangan terpisah. Setelah mengenakan tuxedo, Zefanya keluar dari ruangan dan dia harus menunggu karena Ziona masih sibuk di ruang gantinya.Beberapa menit menunggu, akhirnya Ziona keluar dengan gaun pengantin hasil rancangannya. Zefanya bergeming, pandangannya tidak berpindah ke tempat lain, seakan-akan tidak ada pemandangan yang lebih indah daripada calon istrinya. Padahal wajah dan rambut Ziona belum dirias layaknya seorang pengantin.“Kenapa?” tanya Ziona ketika Zefanya hanya bergeming saja. Zefanya tersadarkan karena pertanyaan Ziona dan dia geleng-geleng untuk mengembalikan pikirannya. “Kamu sangat cantik, sayang. Kamu sangat cantik mengenakan gaun h
Zefanya dan Ziona segera masuk ke dalam mobil. Sebelum Zefanya menyalakan mesin mobil, dia melihat ke samping dan memegang tangan Ziona. “Sayang, kita harus siap dengan apa pun yang akan terjadi. Aku tahu ini nggak mudah, tapi kuatkan hatimu. Aku akan selalu ada untuk kamu.”Ziona menggenggam tangan Ziona. Mendadak ketakutan membuat tanganya dingin dan berkeringat. “Bagaimana kalau Abira nggak bisa bertahan, Zef. Aku sangat takut.”Zefanya mendekat dan dia memeluk Ziona lagi. “Kita berdoa saja, sayang. Tuhan pasti akan melakukan yang terbaik untuk Abira.”Sesampainya di rumah sakit, Ziona dan Zefanya berlari ke ruangan Abira. Ketika masuk, mereka melihat Alana menangis sambil menciumi tangan Abira.“Mami, bagaimana keadaan Abira? Dia baik-baik saja, kan?” Ziona mendekati Alana dan ibunya segera berdiri. “Apa yang terjadi, Mi?”Alana tidak menjawab dengan kata-kata, tetapi dia memeluk Ziona. Alana menangis dan Ziona mengusap punggungnya untuk menenangkannya. “Abira pasti a
Tiga bulan berlalu setelah Zefanya menerima investasi dana dari Mordekhai. Akhirnya Zefanya memiliki dua cabang di Jakarta. Dia tidak hanya memiliki satu karyawan, tetapi sekarang dia telah mempekerjakan beberapa pelayan, satu manager, dan tiga supervisor yang ditempatkan di setiap kedai.Hari ini Zefanya tidak ke perusahaan dan Ziona ingin menemuinya di kedai. “Lex, tolong antar aku ke kedai. Aku nggak bawa mobil karena tadi pagi Zefanya yang menjemputku,” pinta Ziona pada sekretarisnya.“Baik, Nona.”Alex mengambil kunci mobilnya, dan dia mengantar Ziona ke kedai. Sesampainya di sana, seorang pelayan memberi tahu mereka jika Zefanya masih rapat dengan manajer dan supervisor. “Nggak apa-apa. Kami akan menunggu di sini. Tolong siapkan dua potong martabak dan milk shake saja untuk kami,” ucap Ziona pada pelayan.Setengah jam menunggu, akhirnya Zefanya menemui mereka. “Kamu pasti menunggu lama,” ucap Zefanya sambil mengusap kepala Ziona. “Aku memperbaharui kontrak kerja dengan
Zefanya duduk di sofa, tepat di depan Mordekhai dan Alana. Saat ini mereka sedang duduk di ruang kerja Mordekhai. Zefanya masih diam, takut salah bicara saat bersama mereka. Dia hanya menunggu apa yang ingin mereka katakan padanya.Zefanya meremas celananya ketika Mordekhai berdeham. Calon ayah mertuanya lebih menakutkan dibandingkan puluhan preman di luar sana. Zefanya masih takut mereka akan menghalangi cintanya dengan Ziona meskipun mereka telah makan malam bersama.“Kapan kau akan menikahi Ziona?” tanya Mordekhai. Suaranya serius dan dia melihat ketegangan Zefanya. “Saya harus mengumpulkan uang sebelum menikah dengannya. Meskipun saya nggak bisa memberikan pernikahan mewah kepada Ziona tapi saya aku harus bertanggung jawab untuk membiayainya.”Alana tersenyum ketika melihat kesungguhan Zefanya tetapi dia belum mengatakan apa-apa. Sementara Mordekhai masih mempertahankan wibawanya di depan calon menantunya. Sebenarnya dia menginginkan menantu yang derajat kekayaannya bisa
“Aku sudah mendengar semuanya dari Alex,” ucap Abira ketika adiknya masih saja diam sejak tadi. “Kenapa kamu nggak menceritakannya padaku, Zi? Apa kamu nggak menganggap aku sebagai kakakmu lagi?”Ziona tidak langsung menjawab. Dia memerlukan waktu untuk mengatur kata-katanya. Meskipun dia tidak tega ketika melihat wajah pucat Abira, namun dia harus kuat demi dirinya sendiri. Merasa sudah siap untuk menyampaikan isi hatinya, Ziona menarik napas dan melihat Abira. “Apa situasinya akan berubah kalau aku menceritakan semuanya sama kamu?”Abira terdiam karena pertanyaan Ziona. Dia kehilangan kehangatan yang selama ini dia dapatkan dari Ziona. Beberapa detik kemudian Abira menemukan jawabannya. “Situasinya pasti akan berbeda kalau kamu menceritakannya sama aku. Aku pasti akan membelamu di depan papi dan mami.”“Benarkah kakak akan membelaku? Bukankah selama ini kakak selalu protes kepada papi dan mami? Kakak selalu merasa kalau aku lebih beruntung karena bisa melakukan banyak hal.
Ziona dan Mordekhai duduk di mobil. Sebelum mereka berbicara, Mor meminta sopirnya keluar dari mobil.“Baik, Tuan.” Sopir itu keluar dan Mordekhai melihat ke samping.“Bagaimana keadaanmu, Nak? Apakah kamu makan dengan baik?”“Bagaimana keadaan Abira?” Ziona menolak untuk menjawab pertanyaan Mordekhai. Dia tidak mau termakan oleh bujukan sang ayah. Dia sering mengalaminya saat kecil. Ketika dia merajuk, Mordekhai atau Alana akan memberikan sesuatu padanya agar dia tidak merajuk lagi. Perlahan Ziona berubah karena apa pun yang dilakukan orangtuanya pasti karena Abira.“Abira di rumah, Nak. Bagaimana denganmu? Papi ingin tahu tentang keadaanmu.”Ziona mengembuskan napas panjang karena Mordekhai tidak menyerah dengan pertanyaannya. “Apakah seorang anak akan baik-baik saja saat keluar dari rumahnya? Aku rasa papi sudah tahu jawabannya.”“Kalau kamu nggak baik-baik saja, seharusnya kamu pulang ke rumah, Nak. Mami dan Abira sangat menginginkanmu di rumah.”“Menginginkanku?” Nada sua
Ziona melihat Zefanya sedang menghitung hasil penjualan hari ini. Zefanya hanya memiliki satu karyawan yang membantunya karena dia belum bisa membayar lebih banyak orang. Ziona menarik kursi dan duduk di sampingnya.“Aku memiliki tabungan, Zef. Kalau kamu mau memakai uangku untuk mengembangkan bisnismu, aku nggak keberatan untuk memberikannya,” ucap Ziona.Zefanya tersenyum sambil memasukkan uang ke dalam tas penyimpanan. Dia telah memisahkan sebagian uang untuk belanja dan kebutuhan harian, sisanya dia akan setor ke bank untuk disimpan. Jika dulu Zefanya akan tersinggung setiap kali Ziona menawarkan bantuan, sekarang dia mulai percaya diri dengan kehidupannya. Zefanya juga mempercayai calon istrinya.Zefanya menarik kursi lain dan dia duduk di depan sang kekasih. Dia menarik tangan Ziona, menggenggamnya dengan lembut, dan dia menatap wanita itu sambil tersenyum. “Kamu harus menyimpan uangmu, sayang. Lagipula usaha ini masih baru dan aku nggak mau gegabah dengan mengeluarkan
Tanpa sepengetahuan Ziona, Zefanya pergi ke rumah mewah milik Mordekhai. Kendaraan roda duanya hampir tidak bisa masuk karena satpam tidak memberikan izin kepada Zefanya.“Apakah Anda benar-benar sudah membuat janji dengan Tuan Mor?” satpam bertanya sebelum membuka gerbang karena dia tidak mau memasukkan sembarangan orang ke dalam rumah. Beberapa tahun lalu dia pernah melakukannya, ternyata orang itu adalah penguntit yang sangat terobsesi kepada Ziona. Sejak saat itu orangtua Ziona memberikan peraturan tegas kepada setiap tamu yang hendak masuk ke rumah mereka.“Saya sudah membuat janji dengan orangtua Ziona,” jawab Zefanya.Satpam masih belum percaya, akhirnya Zefanya menghubungi Alex. “Satpam tidak mengizinkanku masuk,” ucap Zefanya saat ponsel menempel di telinganya.“Biarkan aku berbicara dengannya,” balas Alex.Zefanya memberikan ponselnya kepada satpam, dan dia melihat satpam itu manggut-manggut ketika berbicara dengan Alex.Satpam mengembalikan ponsel Zefanya, lalu dia mene