Ruangan gelap merupakan hal yang pertama kali Delna lihat, rasa sesak dan pengap membuat Delna ketakutan.
"Ian .. ? Dion .. ? T-tolong .. " tanpa sadar Delna memanggil kedua temannya itu.
Rasa sesak yang Delna rasakan semakin membesar dan itu menyakiti dirinya. Delna butuh pertolongan, namun tak ada siapa siapa disini, hanya ruangan gelap.
"Kumohon, siapapun .. "
Isakan kecil lolos dari mulut Delna, dirinya merasakan ketakutan yang amat mendalam sekarang. Wajah Ian dan Dion sempat terlintas dibenak gadis itu.
"Maaf .. maaf .. "
Kejadian beberapa hari lalu tiba tiba saja terputar seperti film. Rasa bersalah langsung menghantui Delna.
"Kenapa kamu gak nyelamatin kami?"
Tiba tiba saja Dion dan Ian muncul tepat dihadapan Delna, wajah mereka berdua rusak dan tampak sangat mengerikan. Delna bahkan merasakan jika isi perutnya terasa seperti diaduk aduk.
"Delna?" panggil Ian langsung mendapat bentakan dari sang empu nama.
Suara riuh anak anak terdengar oleh indra pendengaran Delna. Sudah dua Minggu berlalu sejak kejadian itu. Delna tak mengalami gangguan lagi setelah mengobrol dengan Sintia.Padahal Delna tak menceritakan apapun tentang kejadian saat dirinya PKL, namun Sintia seolah mengerti dan tidak bertanya lebih lanjut, terkecuali bertanya tentang materi yang disampaikan saat PKL."Hei, lihat, itu Delna!"Saat tiba di lorong, semua anak menatap Delna sinis. Anak yang terlanjur membenci Delna kini semakin membenci anak itu, anak yang dulunya ingin berteman dengan Delna jadi menjauhi Delna.Delna berjalan menunduk, padahal moodnya sempat membaik ketika memasuki sekolah, penjaga serta petugas kebersihan saja menyapa Delna tadi.Namun lihatlah anak anak yang ada disekolah ini. Beruntunglah bagi Delna karna kelas yang lebih junior dan kelas senior belum mendengar kabar tentang kejadian yang dialami Delna.Tetapi cepat atau lambat kasus ini pasti akan tersebar
Delna berjalan tertatih kearah kamar mandi perempuan yang terletak dibelakang sekolah. Walau ada kamar mandi didepan sekolah, yanng jaraknya cukup dekat dari kelas Delna, namun Delna tetap memilih kamar mandi yang berada dibelakang sekolah.Tentu saja hal itu Delna lakukan supaya tidak menarik perhatian orang, baik perhatian siswa maupun guru.Pintu besi yang sudah mulai reot akibat karat dalam waktu lama Delna buka lebar. Bau apek karna jamur menusuk indra penciuman Delna.Membuat sang empu dari nama Delna terbatuk, rasa mual juga turut serta menemani."Ukh, kenapa juga aku harus memilih kamar mandi ini?" gumam Delna menutup pintu, tidak terlalu rapat agar cahaya matahari dapat masuk kedalamnya.Setelah melihat keadaan kamar mandi, Delna jadi menyesali pilihannya. Namun apa daya, Delna sudah berjalan sejauh ini, tak mungkin jika dia harus kembali berjalan ke kamar mandi depan sekolah, apalagi dengan kondisi tubuh yang terluka seperti ini.
Kepala Delna tertunduk lesu, dari sorot matanya seperti memperlihatkan kekosongan, tidak memiliki gairah untuk hidup. "Del .. aku tinggal ya?" ujar Sintia melepas pegangan tangan pada Delna. Delna hanya mengangguk sembari menggumamkan kata 'terima kasih' lalu membuka pintu dan berjalan masuk, meninggalkan Sintia yang sedang menatap Delna sendu. Menghela nafas lelah, Sintia berjalan pergi, "aku harap kamu bisa kembali normal, Del." * Pintu tertutup pelan, sang ibu yang sedang menyapu lantai terkejut ketika mendapati anaknya pulang lebih cepat. "Delna? Kamu gak pa pa sayang?" tanya sang ibu meletakkan sapu dilantai begitu saja lalu berjalan kearah Delna. Lagi lagi Delna hanya balas mengangguk, "aku mau ke kamar bu," ucap Delna berjalan lesu ke arah kamar. Menatap pintu sebentar sebelum menghela nafas pelan, ibu Delna hanya bisa berdoa demi kebaikan Delna. "Semoga Tuhan membantumu dalam setiap masalah, nak," gumam
"A-Ayah .. ?" panggil Delna tersenyum senang.Air mata segera Delna hapus, bangkit berdiri lalu berjalan kearah pria tua yang Delna anggap sebagai ayah. Dengan susah payah berjalan, akhirnya Delna sampai dipangkuan sang ayah."Ayah .. Delna kangen .. " ujar Delna masih tersenyum, perasaan hangat seketika menyelimuti dirinya.Kekacauan dikepala Delna mereda, walau masih terasa sedikit, setidaknya kekacauan yang Delna rasakan tidak sekuat sebelumnya.BrukNamun kehangatan itu kembali terpatahkan, sang ayah mendorong tubuh Delna kuat hingga kepalanya terbentur bibir kasur."Dasar anak merepotkan!" seru ayah Delna menatap sang anak dingin.Delna mendongak, mencoba untuk melihat mimik yang ayahnya sedang tunjukkan saat ini.Dingin adalah satu kata yang sangat tepat untuk mendeskripsikan wajah sang ayah. Tatapan intimidasi, dingin serta marah tercampur menjadi satu pada mata ayah Delna."A-Ayah ..?" panggil Delna s
Pagi hari menghiasi cakrawala bumi, membangunkan beberapa makhluk hidup. Langit masih tampak enggan untuk menampilkan cahaya matahari. "Sayang .. ibu berangkat kerja dulu ya?" Anak yang dibangunkan oleh ibunya itu hanya mengangguk sembari tersenyum kecil, tidak sadar dengan apa yang ibunya katakan. Ikut tersenyum kecil, sang ibu mengusak rambut anaknya pelan lalu berjalan kearah pintu, menghela nafas pelan lalu menatap kearah liar dengan pandangan yakin. "Aku pasti bisa! Demi Delna," gumamnya menutup pintu perlahan agar Delna tak terbangun. Sekarang, waktu menunjukkan pukul delapan lewat sepuluh menit, matahari sejak tadi telah bersinar, namun Delna tak kunjung bangun. Tubuh Delna masih dalam masa pemulihan, luka memar masih membekas ditubuh anak itu, sedangkan luka akibat benda tajam tampak lebih baik dari sebelumnya, darah sudah tak mengalir dari sana. "Hei, bangun." Suara bisikan tersebut membuat Delna membuka mata,
"Bagaimana kondisi anak saya? Apa lukanya serius?" tanya ibu Delna dengan nada khawatir, ia takut anaknya akan mengalami luka serius jika tidak segera ditangani.Pria ber- jas putih dengan stetoskop menggantung dileher menggeleng lemah sembari tersenyum. Ibu Delna menghela nafas lega, jika ekspresi dokter terlihat senang, maka pasti akan ada kabar baik."Untungnya yang didapat pasien tidak begitu dalam," ujar dokter yang menangani Delna duduk dikursi kerjanya."Namun tetap saja, untuk luka luar bisa dibilang luka yang diterima anak ibu cukup parah." Tubuh ibu Delna kembali menegang mendengar kalimat selanjutnya dari sang dokter."Bahkan ada beberapa luka yang infeksi karna tidak segera ditangani lebih cepat," jelas dokter didepan ibu Delna sembari menuliskan resep berisi obat obatan, baik obat luar maupun obat dalam.Melihat raut wajah tegang dari keluarga pasiennya, dokter itu kembali berbicara lembut."Tapi tenang saja asal anak ibu rutin
Pagi hari tiba, Delna terbangun dengan kondisi tubuh yang sangat tak mengenakan. Seluruh tubuh Delna terasa sangat kaku, Delna gerakan sedikit maka seluruh tulang Delna akan berbunyi.Melihat sekeliling, keadaan dapur begitu kacau, seluruh barang rusak parah, hanya beberapa yang masih selamat. Delna lalu berusaha bangkit, mencari keberadaan seseorang di rumah ini selain dirinya."Ibu .. ?" panggil Delna dengan suara parau."Ukh!" Kepala Delna berdenyut sakit, rasa sakit dari hari sebelumnya belum sepenuhnya pulih, sekarang rasa sakit kembali menggerayangi tubuh Delna."Kenapa kejadian aneh tak henti hentinya menghampiriku?" gumam Delna merutuki Tuhan serta takdir."Yang menyebabkan hal ini adalah .. Dion," ujar Delna ketika memori mengambil gambaran saat PKL.Sebuah seringai tiba tiba muncul, rasa bersalah yang menghantui Delna tangkis dengan argumen yang ia ciptakan sendiri."Itu artinya .. itu bukan salahku sepenuhnya kan?" lirih De
Mengetukkan jari pada meja, seorang gadis menghela nafas lelah, menatap kearah sebuah bangku kosong dengan pandangan sendu.Untuk yang kesekian kali, ia kembali menghela nafas. Rambut hitam sedikit putih gadis itu biarkan tergerai sehingga angin bisa bermain main dengan rambutnya."Sintia!"Sintia tersentak dari lamunan, membawa seluruh kesadaran kembali kedalam tubuh.Seorang remaja laki laki dengan rambut pirang berjalan mendekati Sintia dengan seulas senyum, tampak polos"Hai, Brian," sapa balik Sintia dengan lesu seperti tak sarapan, tapi kenyataannya memang begitu.Melihat Sintia lesu seperti itu membuat kebingungan hinggap diwajah Brian, remaja yang memiliki setengah darah Eropa itu duduk dihadapan Sintia."Ada apa? Kenapa tampak lesu sekali?" tanya Brian dengan sedikit aksen Inggris, anak itu masih belum terbiasa menggunakan aksen Indonesia walau sudah tiga tahun berada disini.Sintia tersenyum lemah dan lebih memilih un
"Aku tau saat membuka grup sekolah tadi, saat aku mengirim pesan duka, kau melihat pesanku. Jadi aku buru buru kemari untuk memastikan," jelas Sintia sembari melepas pelukannya dari Delna.Delna menghela napas lega kemudian kembali berjalan menuju kamar mandi, ia sangat ingin terkena air sekarang."Kau mau ke mana?" tanya Sintia saat melihat sahabatnya itu pergi."Mandi, setelah mandi kita bicarakan banyak hal, oke?"Singkat cerita Delna selesai beberes rumah dan membersihkan diri, kini di ruang tamu ia tengah asik mengobrol dengan Sintia."Besok hari pemakaman Dion dan Ian kan? Nanti saat acara berlangsung jangan ikuti aku ya?" ujar Delna berusaha membujuk Sintia untuk tidak mengikutinya selama proses pemakaman berlangsung nanti."Kenapa?" tanya Sintia bingung, secara tidak langsung ia membuat ekspresi sedih.Delna menggaruk rambut yang tidak gatal lalu membuat wajah sendu agar lebih meyakinkan."Karena aku ingin sendiri saat proses pemakaman juga ketika acaranya berakhir," jelas Del
Keheningan menyergap, cahaya matahari menyelimuti hutan tempat Henri tinggal, rasa hangat menjalar ke seluruh tubuh Delna."Bisa kau jelaskan perkara tadi?" tanya Delna berusaha mempertahankan kesadaran, kantuk sedang berusaha mengambil kesadarannya sekarang.Henri menoleh, menatap Delna sejenak sebelum tersenyum tipis, "aku hanya mau bilang kalau misi kita gagal total. Toh, yang rugi sebenarnya cuman kau Delna," jelas Henri kemudian bangkit berdiri."Kembalilah, tinggal jalan lurus dari sini, setelah itu langsung cari halte bus," lanjut Henri berjalan masuk ke dalam gubuk, menghiraukan teriakan Delna.Menghela napas panjang, Delna merebahkan dirinya di atas tanah, ia terlalu lelah untuk sekedar berjalan. Delna berniat istirahat sejenak sebelum menuruti perkataan Henri."Henri aneh," gumam Delna tersenyum tipis, "meski orangnya kaya gitu dia tetap baik," lanjut Delna memejamkan mata sesaat, menikmati ketenangan sebelum badai menghantam.Apalagi jika bukan badai mengenai respon orang t
Delna tak menghiraukan ucapan Hendra sama sekali, ia fokus mencari jalan di tempat gelap ini.Sampai ketika gadis itu melihat sebuah gerbang besar di ujung jalan yang Delna tapaki."Semoga jalan keluar," batin Delna terus merapal kata kata itu dalam kepalanya, berharap ia bisa keluar dari sini hidup hidup.Namun tiba tiba langkah Delna terhenti, isi hati gadis itu mencegahnya berjalan menuju gerbang.Mengapa kau lari? Apa kau pantas hidup setelah melihat kedua temanmu dicincang begitu? Bukan kah tujuanmu kemari untuk menyelamatkan Dion dan Ian? Jika mereka berdua mati seharusnya kau juga mati Delna.Air mata tertumpuk dalam pelupuk dan perlahan membasahi kedua pipi Delna. Sehina ini kah dirinya sampai akhir pun tetap memilih egois? Pikir Delna jatuh ke tanah, tak menghiraukan Hendra yang semakin mendekat ke arahnya.Perasaan bersalah sekali lagi menyelimuti hati Delna dan ia seharusnya tidak memilih keluar dari tempat ini. Delna berpikir akan lebih baik jika dirinya mati di sini sebag
Delna terbangun dengan rasa sakit diseluruh tubuhnya. Rasa lelah yang ia rasakan sedari tadi tak kunjung hilang, entah apa yang terjadi pada tubuhnya."CK, sial, kalian tidak mati kan?" gumam Delna merasa perjuangannya kali ini akan berakhir sia-sia." .. aku ingin pulang," lirih Delna menenggelamkan kepalanya diantara kaki, perasaannya mulai membaur menjadi satu dan membentuk perasaan putus asa."Jangan menyerah dulu, kurasa mereka masih hidup walau ruhnya sempat dihancurkan tua bangka itu," ujar Henri tiba tiba mengagetkan Delna yang hampir tertidur kembali." .. Benarkah? Ayo temukan Ian dan Dion sebelum terlambat," ajak Delna langsung berdiri, mengabaikan rasa lelah dan sakit yang sebelumnya ia rasakan."Baiklah, semoga saja mereka berdua bisa bertahan," ujar Henri membersihkan debu yang ada dicelananya lalu menyusul langkah Delna.Suara daun daun kering terdengar nyaring, baik Henri maupun Delna tak ada yang mau berbicara, keduanya sama sama hening."Hei, kenapa arwah Dion dan Ia
Delna membuka mata cepat, nafasnya terengah engah, keringat membasahi hampir seluruh tubuhnya. Netra hitam dengan buru buru memeriksa sekitar, memastikan keberadaannya saat ini."Untuk sekarang kita aman," ujar Henri dari arah samping, kondisi pria itu juga tak jauh berbeda dari Delna.Keadaan hening, Delna masih berusaha menenangkan diri, begitu juga dengan Henri. Pria berambut hitam legam itu juga syok, ia tak pernah mengalami kejadian supernatural seperti ini."Ini kali pertama untukku," lirih Henri menutup sebagian wajahnya menggunakan tangan.Delna tak menyahut, tatapan matanya kosong, gadis itu merasa sedikit de'javu dengan keadaan ini. Seperti saat PKL dulu, pikirnya mulai meneteskan air mata. Dadanya terasa sesak sekarang, suara isakan kecil menyelimuti ruangan, membuat Henri menatap Delna bingung."Ada apa? Kenapa kau menangis?" tanya Henri mengelus kepala Delna, berniat menenangkan gadis itu."Aku gagal," lirih Delna memukul lantai dengan tangan kanan. "Aku gagal!" lanjut De
Potongan tangan manusia tergeletak begitu saja dilantai, walau mengetahui itu bukan tubuh asli, Delna tetap saja merasa ketakutan saat melihatnya. Air mata memenuhi penglihatan si gadis hingga pandangannya memburam. Rasa mual terasa satu detik kemudian, membuat Delna tak nyaman."Hm .. ?"Sautan pelan dengan suara serak membuat Delna tersentak, buru buru ia melihat ke atas, tepat ke arah wajah yang menyahutinya.Sosok hitam besar itu menyeringai ketika melihat Delna ketakutan, tubuh manusia ditangannya ia jatuhkan, bagai mainan yang sudah tak berguna lagi. Sosok itu lalu berjalan mendekat ke arah Delna, menatap si gadis dengan pandangan mengejek."Kau terlambat, gadis kecil!"Si sosok tertawa keras, semakin menakuti Delna. Perlahan, Delna memundurkan tubuhnya, berusaha menjauhi sosok menyeramkan itu. Namun usahanya terhenti kala sosok hitam kembali berbicara."Sia sia saja kau kemari, tetapi apakah kau tidak ingin melihat temanmu untuk terak
"Tak bisa memantuku? Kenapa?" tanya Delna mulai merasa panik, jantungnya berdebar secara perlahan.Henri menghela nafas pelan, melipat kaki sebelum berbicara."Maksudku adalah, aku tak bisa membantu secara keseluruhan, aku hanya bisa membantumu sebisaku," jelas Henri langsung mendapat jitakan agak kuat dari Delna.Henri mengerang sedangkan Delna mendengus kesal, "ck! Harusnya kau bilang dari awal!""Maaf, maaf, kuakui kata kataku sulit dipahami," ujar Henri menggaruk tengkuk yang tidak gatal sembari tertawa canggung."Baiklah, sekarang langkah apa yang harus kuambil agar bisa menyelamatkan mereka?" Delna kembali membawa topik serius, ia tidak mau basa basi.Henri juga memasang tampang serius. Berbekal ilmu yang selama ini ia pelajari secara otodidak, pria itu mulai berfikir.Beberapa detik kemudian suara jentikan jari terdengar, wajah Delna langsung sumringah mendengar suara itu. Artinya Henri telah menemukan jalan yang akan mem
Ian menghembuskan nafas lelah, baru pertama kali ia meragasukma seperti ini, wajar jika lelaki itu merasa kelelahan.Adengan ini adalah saat dimana Ian menghilang tanpa kabar di desa, sudah pasti temannya khawatir, pikir Ian sembari menatap sekeliling."Jadi seperti ini tempat para arwah?" gumam Ian mengangguk kecil, menatap posisi kacamata kemudian mulai berjalan ke arah depan.Baru beberapa langkah, Ian terhenti. Manik hitam bergulir ke bawah, melihat tangan. Bercahaya merupakan kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi tangan remaja itu."Kenapa bercahaya? Aku sungguh tak mengerti," gumam Ian lagi tak menatap tangannya, ia lanjut berjalan.Berjalan setapak demi setapak, Ian mulai melihat cahaya kebiruan dari lebatnya daun pohon. Remaja itu langsung bernafas lega, setidaknya ia tak akan menatap kegelapan lagi.Tangan kanan Ian gunakan untuk menyingkirkan ranting serta daun pohon, penglihatan sang remaja langsung terasa jelas.
Sintia melepaskan kedua tangannya dari pundak Delna, menatap sahabatnya kosong kemudian berjalan pergi meninggalkan gadis itu."Sintia?" panggil Delna memiringkan kepala, pikirannya sedikit tenang setelah Sintia meninggalkannya."Tunggu!" seru Delna langsung mengejar Sintia sebelum perempuan itu berjalan lebih jauh.Sintia menoleh kebelakang, dimana Delna tengah mengejarnya sambil terengah. Keringat dingin terlihat mengucur dari dahi gadis itu, namun hal tersebut tak cukup untuk membuat Sintia simpatik."Sudah tenang?" tanya Sintia setelah melihat nafas Delna mulai terlihat tenang.Delna mengangguk, "kau mau pergi?" tanya Delna menegakkan tubuh setelah beberapa menit membungkukan badan."Menurutmu?" tanya Sintia dingin, ia benar benar sudah tak peduli pada Delna.Menurut Sintia, Delna terlalu berlebihan menanggapi suatu hal, dan itu membuat Sintia terganggu."Pantas saja kau dijauhi," batin Sintia masih menatap Delna, melihhat