"A-Ayah .. ?" panggil Delna tersenyum senang.
Air mata segera Delna hapus, bangkit berdiri lalu berjalan kearah pria tua yang Delna anggap sebagai ayah. Dengan susah payah berjalan, akhirnya Delna sampai dipangkuan sang ayah.
"Ayah .. Delna kangen .. " ujar Delna masih tersenyum, perasaan hangat seketika menyelimuti dirinya.
Kekacauan dikepala Delna mereda, walau masih terasa sedikit, setidaknya kekacauan yang Delna rasakan tidak sekuat sebelumnya.
Bruk
Namun kehangatan itu kembali terpatahkan, sang ayah mendorong tubuh Delna kuat hingga kepalanya terbentur bibir kasur.
"Dasar anak merepotkan!" seru ayah Delna menatap sang anak dingin.
Delna mendongak, mencoba untuk melihat mimik yang ayahnya sedang tunjukkan saat ini.
Dingin adalah satu kata yang sangat tepat untuk mendeskripsikan wajah sang ayah. Tatapan intimidasi, dingin serta marah tercampur menjadi satu pada mata ayah Delna.
"A-Ayah ..?" panggil Delna s
Pagi hari menghiasi cakrawala bumi, membangunkan beberapa makhluk hidup. Langit masih tampak enggan untuk menampilkan cahaya matahari. "Sayang .. ibu berangkat kerja dulu ya?" Anak yang dibangunkan oleh ibunya itu hanya mengangguk sembari tersenyum kecil, tidak sadar dengan apa yang ibunya katakan. Ikut tersenyum kecil, sang ibu mengusak rambut anaknya pelan lalu berjalan kearah pintu, menghela nafas pelan lalu menatap kearah liar dengan pandangan yakin. "Aku pasti bisa! Demi Delna," gumamnya menutup pintu perlahan agar Delna tak terbangun. Sekarang, waktu menunjukkan pukul delapan lewat sepuluh menit, matahari sejak tadi telah bersinar, namun Delna tak kunjung bangun. Tubuh Delna masih dalam masa pemulihan, luka memar masih membekas ditubuh anak itu, sedangkan luka akibat benda tajam tampak lebih baik dari sebelumnya, darah sudah tak mengalir dari sana. "Hei, bangun." Suara bisikan tersebut membuat Delna membuka mata,
"Bagaimana kondisi anak saya? Apa lukanya serius?" tanya ibu Delna dengan nada khawatir, ia takut anaknya akan mengalami luka serius jika tidak segera ditangani.Pria ber- jas putih dengan stetoskop menggantung dileher menggeleng lemah sembari tersenyum. Ibu Delna menghela nafas lega, jika ekspresi dokter terlihat senang, maka pasti akan ada kabar baik."Untungnya yang didapat pasien tidak begitu dalam," ujar dokter yang menangani Delna duduk dikursi kerjanya."Namun tetap saja, untuk luka luar bisa dibilang luka yang diterima anak ibu cukup parah." Tubuh ibu Delna kembali menegang mendengar kalimat selanjutnya dari sang dokter."Bahkan ada beberapa luka yang infeksi karna tidak segera ditangani lebih cepat," jelas dokter didepan ibu Delna sembari menuliskan resep berisi obat obatan, baik obat luar maupun obat dalam.Melihat raut wajah tegang dari keluarga pasiennya, dokter itu kembali berbicara lembut."Tapi tenang saja asal anak ibu rutin
Pagi hari tiba, Delna terbangun dengan kondisi tubuh yang sangat tak mengenakan. Seluruh tubuh Delna terasa sangat kaku, Delna gerakan sedikit maka seluruh tulang Delna akan berbunyi.Melihat sekeliling, keadaan dapur begitu kacau, seluruh barang rusak parah, hanya beberapa yang masih selamat. Delna lalu berusaha bangkit, mencari keberadaan seseorang di rumah ini selain dirinya."Ibu .. ?" panggil Delna dengan suara parau."Ukh!" Kepala Delna berdenyut sakit, rasa sakit dari hari sebelumnya belum sepenuhnya pulih, sekarang rasa sakit kembali menggerayangi tubuh Delna."Kenapa kejadian aneh tak henti hentinya menghampiriku?" gumam Delna merutuki Tuhan serta takdir."Yang menyebabkan hal ini adalah .. Dion," ujar Delna ketika memori mengambil gambaran saat PKL.Sebuah seringai tiba tiba muncul, rasa bersalah yang menghantui Delna tangkis dengan argumen yang ia ciptakan sendiri."Itu artinya .. itu bukan salahku sepenuhnya kan?" lirih De
Mengetukkan jari pada meja, seorang gadis menghela nafas lelah, menatap kearah sebuah bangku kosong dengan pandangan sendu.Untuk yang kesekian kali, ia kembali menghela nafas. Rambut hitam sedikit putih gadis itu biarkan tergerai sehingga angin bisa bermain main dengan rambutnya."Sintia!"Sintia tersentak dari lamunan, membawa seluruh kesadaran kembali kedalam tubuh.Seorang remaja laki laki dengan rambut pirang berjalan mendekati Sintia dengan seulas senyum, tampak polos"Hai, Brian," sapa balik Sintia dengan lesu seperti tak sarapan, tapi kenyataannya memang begitu.Melihat Sintia lesu seperti itu membuat kebingungan hinggap diwajah Brian, remaja yang memiliki setengah darah Eropa itu duduk dihadapan Sintia."Ada apa? Kenapa tampak lesu sekali?" tanya Brian dengan sedikit aksen Inggris, anak itu masih belum terbiasa menggunakan aksen Indonesia walau sudah tiga tahun berada disini.Sintia tersenyum lemah dan lebih memilih un
"Astaga .. apa yang terjadi di sini?" tanya Brian menatap tak percaya rumah Delna.Didalam, semua benda benda jatuh ke lantai, berserakan bagai diterpa angin kencang. Semua laci serta lemari bahkan terbuka lebar seperti sehabis dirampok."Mungkinkah dirampok?" lirih Brian melirik kearah Sintia yang sama terkejutnya dengan Brian.Namun Sintia seakan tuli dan langsung berlari begitu saja kearah dalam, meneriakkan nama Delna berulang kali, bahkan Sintia tidak sadar jika dirinya menginjak pecahan kaca, beruntung Sintia masih mengenakan sepatu sekolah sehingga tusukan kaca tidak menembus hingga kulit."Hei! Hati hati!" seru Brian ikut berlari kearah dalam, namun remaja laki laki itu lebih memperhatikan sekitar ketimbang Sintia.Sementara itu Sintia masih sibuk mencari Delna, netra hitam terus menelisik sekitar dengan gelisah. Bertambah sudah kegelisahan Sintia saat melihat keadaan rumah Delna."Delna!" teriak Sintia menghiraukan darah yang mulai
"Nak? Ayo makan dulu!"Sintia tersentak kaget mendengar seruan ibunya dari arah bawah. Melihat diri kearah cermin, merapikan rambut kemudian menghela nafas."Iya bu!" sahut Sintia lantang kemudian segera berlari keluar kamar menemui keluarganya yang sedang makan malam.Hal pertama yang Sintia temui adalah bau makanan, mulai dari manis hingga asam."Sini makan," ujar sang ibu melambai kearah Sintia, sedangkan Sintia hanya tersenyum, berharap senyumannya ini dapat menutupi perasaan sebenarnya Sintia.Makan malam keluarga Sintia malam ini terasa sunyi, Sintia yang biasanya selalu bercerita banyak hal hanya diam sembari menyantap makanan yang tersaji, cara makan Sintia saja sudah berbeda dan hal itu membuat ayah dan ibu Sintia bertanya tanya."Sintia? Ada apa?" tanya ayah Sintia memegang pundak sang anak.Sintia terlihat kaget, namun gadis itu berusaha menutupinya dengan tersenyum tipis sembari menggeleng pelan."Tidak kok, ayah, S
"Delna?! Hei!"Orang orang mulai memperhatikan Sintia, melihat kearah gadis itu dengan tatapan aneh."Delna!" teriak Sintia sekali lagi sembari menatap sekitar dengan gusar.Sintia tak tau pasti sekarang pukul berapa, namun Sintia tau kalau ia telah mencari Delna hingga siang hari, hal itu ditandai dari pergerakan matahari yang sebentar lagi akan menuju titik tengah."Delna, kamu dimana sih, aku khawatir tau, udah hampir 4 hari kamu hilang," gumam Sintia menghapus keringat didahi serta pelipis, mengenakan jaket disaat matahari terik seperti ini benar benar membuat Sintia kepanasan."Gak! Aku gak boleh nyerah, siapa tau Delna butuh pertolongan," lirih Sintia tak jadi duduk dibangku, ia justru berlari kearah taman, biasanya Delna akan bersantai
Sintia sedari tadi tak berhenti tersenyum, memandang kearah dua orang didepannya dengan pandangan senang, kemungkinan Sintia untuk bertemu dengan Delna menjadi lebih besar, pikir Sintia tersenyum semakin lebar."Ukh .. Brian, ada apa dengan temanmu itu?" tanya ayah Brian sembari menunjuk kearah Sintia dengan jempol.Brian melirik kearah Sintia sekilas kemudian kembali menatap ayahnya."Entahlah ayah, mungkin Sintia sedang sangat senang? Akhir akhir ini perasaan Sintia sering mengalami berubah drastis," jelas Brian dengan suara pelan, takut jikalau Sintia mendengar perkataannya maka gadis itu akan merasa tersinggung.Sang ayah hanya mengangguk sembari melihat halaman rumah Delna yang terlihat rapih."Ini rumah temanmu yang hilang?" tanya sang ayah pada Brian.Brian mengangguk, menatap kearah Sintia yang saat ini sudah berada disamping Brian, menatap kearah rumah Delna dengan pandangan sendu, Sintia lalu berkata."Om bakal nemuin temen
"Aku tau saat membuka grup sekolah tadi, saat aku mengirim pesan duka, kau melihat pesanku. Jadi aku buru buru kemari untuk memastikan," jelas Sintia sembari melepas pelukannya dari Delna.Delna menghela napas lega kemudian kembali berjalan menuju kamar mandi, ia sangat ingin terkena air sekarang."Kau mau ke mana?" tanya Sintia saat melihat sahabatnya itu pergi."Mandi, setelah mandi kita bicarakan banyak hal, oke?"Singkat cerita Delna selesai beberes rumah dan membersihkan diri, kini di ruang tamu ia tengah asik mengobrol dengan Sintia."Besok hari pemakaman Dion dan Ian kan? Nanti saat acara berlangsung jangan ikuti aku ya?" ujar Delna berusaha membujuk Sintia untuk tidak mengikutinya selama proses pemakaman berlangsung nanti."Kenapa?" tanya Sintia bingung, secara tidak langsung ia membuat ekspresi sedih.Delna menggaruk rambut yang tidak gatal lalu membuat wajah sendu agar lebih meyakinkan."Karena aku ingin sendiri saat proses pemakaman juga ketika acaranya berakhir," jelas Del
Keheningan menyergap, cahaya matahari menyelimuti hutan tempat Henri tinggal, rasa hangat menjalar ke seluruh tubuh Delna."Bisa kau jelaskan perkara tadi?" tanya Delna berusaha mempertahankan kesadaran, kantuk sedang berusaha mengambil kesadarannya sekarang.Henri menoleh, menatap Delna sejenak sebelum tersenyum tipis, "aku hanya mau bilang kalau misi kita gagal total. Toh, yang rugi sebenarnya cuman kau Delna," jelas Henri kemudian bangkit berdiri."Kembalilah, tinggal jalan lurus dari sini, setelah itu langsung cari halte bus," lanjut Henri berjalan masuk ke dalam gubuk, menghiraukan teriakan Delna.Menghela napas panjang, Delna merebahkan dirinya di atas tanah, ia terlalu lelah untuk sekedar berjalan. Delna berniat istirahat sejenak sebelum menuruti perkataan Henri."Henri aneh," gumam Delna tersenyum tipis, "meski orangnya kaya gitu dia tetap baik," lanjut Delna memejamkan mata sesaat, menikmati ketenangan sebelum badai menghantam.Apalagi jika bukan badai mengenai respon orang t
Delna tak menghiraukan ucapan Hendra sama sekali, ia fokus mencari jalan di tempat gelap ini.Sampai ketika gadis itu melihat sebuah gerbang besar di ujung jalan yang Delna tapaki."Semoga jalan keluar," batin Delna terus merapal kata kata itu dalam kepalanya, berharap ia bisa keluar dari sini hidup hidup.Namun tiba tiba langkah Delna terhenti, isi hati gadis itu mencegahnya berjalan menuju gerbang.Mengapa kau lari? Apa kau pantas hidup setelah melihat kedua temanmu dicincang begitu? Bukan kah tujuanmu kemari untuk menyelamatkan Dion dan Ian? Jika mereka berdua mati seharusnya kau juga mati Delna.Air mata tertumpuk dalam pelupuk dan perlahan membasahi kedua pipi Delna. Sehina ini kah dirinya sampai akhir pun tetap memilih egois? Pikir Delna jatuh ke tanah, tak menghiraukan Hendra yang semakin mendekat ke arahnya.Perasaan bersalah sekali lagi menyelimuti hati Delna dan ia seharusnya tidak memilih keluar dari tempat ini. Delna berpikir akan lebih baik jika dirinya mati di sini sebag
Delna terbangun dengan rasa sakit diseluruh tubuhnya. Rasa lelah yang ia rasakan sedari tadi tak kunjung hilang, entah apa yang terjadi pada tubuhnya."CK, sial, kalian tidak mati kan?" gumam Delna merasa perjuangannya kali ini akan berakhir sia-sia." .. aku ingin pulang," lirih Delna menenggelamkan kepalanya diantara kaki, perasaannya mulai membaur menjadi satu dan membentuk perasaan putus asa."Jangan menyerah dulu, kurasa mereka masih hidup walau ruhnya sempat dihancurkan tua bangka itu," ujar Henri tiba tiba mengagetkan Delna yang hampir tertidur kembali." .. Benarkah? Ayo temukan Ian dan Dion sebelum terlambat," ajak Delna langsung berdiri, mengabaikan rasa lelah dan sakit yang sebelumnya ia rasakan."Baiklah, semoga saja mereka berdua bisa bertahan," ujar Henri membersihkan debu yang ada dicelananya lalu menyusul langkah Delna.Suara daun daun kering terdengar nyaring, baik Henri maupun Delna tak ada yang mau berbicara, keduanya sama sama hening."Hei, kenapa arwah Dion dan Ia
Delna membuka mata cepat, nafasnya terengah engah, keringat membasahi hampir seluruh tubuhnya. Netra hitam dengan buru buru memeriksa sekitar, memastikan keberadaannya saat ini."Untuk sekarang kita aman," ujar Henri dari arah samping, kondisi pria itu juga tak jauh berbeda dari Delna.Keadaan hening, Delna masih berusaha menenangkan diri, begitu juga dengan Henri. Pria berambut hitam legam itu juga syok, ia tak pernah mengalami kejadian supernatural seperti ini."Ini kali pertama untukku," lirih Henri menutup sebagian wajahnya menggunakan tangan.Delna tak menyahut, tatapan matanya kosong, gadis itu merasa sedikit de'javu dengan keadaan ini. Seperti saat PKL dulu, pikirnya mulai meneteskan air mata. Dadanya terasa sesak sekarang, suara isakan kecil menyelimuti ruangan, membuat Henri menatap Delna bingung."Ada apa? Kenapa kau menangis?" tanya Henri mengelus kepala Delna, berniat menenangkan gadis itu."Aku gagal," lirih Delna memukul lantai dengan tangan kanan. "Aku gagal!" lanjut De
Potongan tangan manusia tergeletak begitu saja dilantai, walau mengetahui itu bukan tubuh asli, Delna tetap saja merasa ketakutan saat melihatnya. Air mata memenuhi penglihatan si gadis hingga pandangannya memburam. Rasa mual terasa satu detik kemudian, membuat Delna tak nyaman."Hm .. ?"Sautan pelan dengan suara serak membuat Delna tersentak, buru buru ia melihat ke atas, tepat ke arah wajah yang menyahutinya.Sosok hitam besar itu menyeringai ketika melihat Delna ketakutan, tubuh manusia ditangannya ia jatuhkan, bagai mainan yang sudah tak berguna lagi. Sosok itu lalu berjalan mendekat ke arah Delna, menatap si gadis dengan pandangan mengejek."Kau terlambat, gadis kecil!"Si sosok tertawa keras, semakin menakuti Delna. Perlahan, Delna memundurkan tubuhnya, berusaha menjauhi sosok menyeramkan itu. Namun usahanya terhenti kala sosok hitam kembali berbicara."Sia sia saja kau kemari, tetapi apakah kau tidak ingin melihat temanmu untuk terak
"Tak bisa memantuku? Kenapa?" tanya Delna mulai merasa panik, jantungnya berdebar secara perlahan.Henri menghela nafas pelan, melipat kaki sebelum berbicara."Maksudku adalah, aku tak bisa membantu secara keseluruhan, aku hanya bisa membantumu sebisaku," jelas Henri langsung mendapat jitakan agak kuat dari Delna.Henri mengerang sedangkan Delna mendengus kesal, "ck! Harusnya kau bilang dari awal!""Maaf, maaf, kuakui kata kataku sulit dipahami," ujar Henri menggaruk tengkuk yang tidak gatal sembari tertawa canggung."Baiklah, sekarang langkah apa yang harus kuambil agar bisa menyelamatkan mereka?" Delna kembali membawa topik serius, ia tidak mau basa basi.Henri juga memasang tampang serius. Berbekal ilmu yang selama ini ia pelajari secara otodidak, pria itu mulai berfikir.Beberapa detik kemudian suara jentikan jari terdengar, wajah Delna langsung sumringah mendengar suara itu. Artinya Henri telah menemukan jalan yang akan mem
Ian menghembuskan nafas lelah, baru pertama kali ia meragasukma seperti ini, wajar jika lelaki itu merasa kelelahan.Adengan ini adalah saat dimana Ian menghilang tanpa kabar di desa, sudah pasti temannya khawatir, pikir Ian sembari menatap sekeliling."Jadi seperti ini tempat para arwah?" gumam Ian mengangguk kecil, menatap posisi kacamata kemudian mulai berjalan ke arah depan.Baru beberapa langkah, Ian terhenti. Manik hitam bergulir ke bawah, melihat tangan. Bercahaya merupakan kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi tangan remaja itu."Kenapa bercahaya? Aku sungguh tak mengerti," gumam Ian lagi tak menatap tangannya, ia lanjut berjalan.Berjalan setapak demi setapak, Ian mulai melihat cahaya kebiruan dari lebatnya daun pohon. Remaja itu langsung bernafas lega, setidaknya ia tak akan menatap kegelapan lagi.Tangan kanan Ian gunakan untuk menyingkirkan ranting serta daun pohon, penglihatan sang remaja langsung terasa jelas.
Sintia melepaskan kedua tangannya dari pundak Delna, menatap sahabatnya kosong kemudian berjalan pergi meninggalkan gadis itu."Sintia?" panggil Delna memiringkan kepala, pikirannya sedikit tenang setelah Sintia meninggalkannya."Tunggu!" seru Delna langsung mengejar Sintia sebelum perempuan itu berjalan lebih jauh.Sintia menoleh kebelakang, dimana Delna tengah mengejarnya sambil terengah. Keringat dingin terlihat mengucur dari dahi gadis itu, namun hal tersebut tak cukup untuk membuat Sintia simpatik."Sudah tenang?" tanya Sintia setelah melihat nafas Delna mulai terlihat tenang.Delna mengangguk, "kau mau pergi?" tanya Delna menegakkan tubuh setelah beberapa menit membungkukan badan."Menurutmu?" tanya Sintia dingin, ia benar benar sudah tak peduli pada Delna.Menurut Sintia, Delna terlalu berlebihan menanggapi suatu hal, dan itu membuat Sintia terganggu."Pantas saja kau dijauhi," batin Sintia masih menatap Delna, melihhat