"Delna?! Hei!"
Orang orang mulai memperhatikan Sintia, melihat kearah gadis itu dengan tatapan aneh.
"Delna!" teriak Sintia sekali lagi sembari menatap sekitar dengan gusar.
Sintia tak tau pasti sekarang pukul berapa, namun Sintia tau kalau ia telah mencari Delna hingga siang hari, hal itu ditandai dari pergerakan matahari yang sebentar lagi akan menuju titik tengah.
"Delna, kamu dimana sih, aku khawatir tau, udah hampir 4 hari kamu hilang," gumam Sintia menghapus keringat didahi serta pelipis, mengenakan jaket disaat matahari terik seperti ini benar benar membuat Sintia kepanasan.
"Gak! Aku gak boleh nyerah, siapa tau Delna butuh pertolongan," lirih Sintia tak jadi duduk dibangku, ia justru berlari kearah taman, biasanya Delna akan bersantai
Sintia sedari tadi tak berhenti tersenyum, memandang kearah dua orang didepannya dengan pandangan senang, kemungkinan Sintia untuk bertemu dengan Delna menjadi lebih besar, pikir Sintia tersenyum semakin lebar."Ukh .. Brian, ada apa dengan temanmu itu?" tanya ayah Brian sembari menunjuk kearah Sintia dengan jempol.Brian melirik kearah Sintia sekilas kemudian kembali menatap ayahnya."Entahlah ayah, mungkin Sintia sedang sangat senang? Akhir akhir ini perasaan Sintia sering mengalami berubah drastis," jelas Brian dengan suara pelan, takut jikalau Sintia mendengar perkataannya maka gadis itu akan merasa tersinggung.Sang ayah hanya mengangguk sembari melihat halaman rumah Delna yang terlihat rapih."Ini rumah temanmu yang hilang?" tanya sang ayah pada Brian.Brian mengangguk, menatap kearah Sintia yang saat ini sudah berada disamping Brian, menatap kearah rumah Delna dengan pandangan sendu, Sintia lalu berkata."Om bakal nemuin temen
Brian menghela nafas sesaat, berusaha menetralkan detak jantung agar kembali berdetak normal. didepan Brian kini terdapat Sintia dengan sang ayah, berdiri kaku seakan terbelenggu oleh sesuatu."Ada apa?" tanya Brian berjalan ke samping ayahnya, menatap raut wajah sang ayah yang terlihat sedikit ketakutan.Jauh disamping ayah Brian, Sintia juga berkondisi sama, hanya saja tubuh Sintia bergetar takut, sembari menutup mulut dengan kedua tangan."D-Delna .. ?" lirihnya sembari menggeleng pelan.Gadis itu kemudian berlari kencang kearah depan, kearah kegelapan. Brian lalu memincingkan mata, ingin memastikan apakah itu Delna atau bukan."Om! Tolong!" teriak Sintia dari dalam sembari menggeret Delna yang sekarang berlumuran darah, entah apa yang terjadi pada Delna hingga membuatnya berakhir seperti itu.Ayah Brian terkejut, tetapi setelahnya ia langsung mengambil ponsel, menekan nomor darurat dan berjalan menjauh dari Brian serta Sintia. Sedangkan
Koridor rumah sakit terlihat hening, hanya ada beberapa perawat saja yang lewat. Disalah satu bangku besi terdapat seorang anak yang tengah duduk sembari menatap lantai kosong. Lamunan anak laki laki itu buyar kala seorang pria dewasa memanggilnya."Brian .. dimana Sintia? Lalu apakah dokter sudah keluar dari ruangan Delna?" tanya ayah Brian secara beruntun, membuat sang anak menatap ayahnya kesal."Sudah .. " Namun karena tak memiliki tenaga lebih, Brian hanya bisa menjawab lemah, menghela nafas sebagai pelampias kekesalan.Ayah Brian menghela nafas sembari mengelus dada, tersenyum ke arah Brian kemudian ke arah ruangan Delna berada."Syukurlah, itu berarti Delna baik baik saja, kan?" tanya sang ayah lagi mendapat anggukan pelan dari Brian."Ayah .. " panggil Brian menatap ayahnya serius setelah beberapa menit terdiam.Ayah Brian spontan menatap anaknya balik ketika mendapat tatapan seperti itu dari Brian, ayahnya menatap sang anak dengan p
Sebuah petir imajiner seakan menyambar dibelakang Sintia, degup jantung perempuan itu terhenti sesaat sebelum kembali berpacu cepat."M-Maksud tante apa?" tanya Sintia panik, walau begitu ia berusaha agar pita suaranya tetap terdengar normal.Helaan nafas panjang trdengar dari sebrang telpon, Sintia dibuat semakin cemas karenanya."Sudah saya bilang, saya tidak peduli pada anak itu, dan kamu jangan menghubungi saya lagi," ucap ibu Delna kembali menghantam tubuh Sintia, entah karena apa hatinya terasa sakit mendengar hal itu."Tunggu tante!" cegah Sintia agar ibu Delna tak langsung mematikan telpon."Alasan tante apa sampai mengabaikan Delna? Tante tau? Delna masuk rumah sakit," ujar Sintia berharap rasa iba muncul dalam hati wanita itu.Bagaimana pun, seorang ibu tak dapat mengabaikan anaknya yang sedang sakit, setidaknya itu yang dipikirkan Sintia sebelum ibu Delna mengucap kalimat balasan."Saya tidak peduli, setelah anak itu bangun
Lorong rumah sakit terlihat gelap, lampu panjang terkadang hidup dan mati dengan cepat, membuat pandangan seorang gadis terganggu."Akh! Ini benar benar mengganggu sialan!" umpatnya sembari menggosok mata sebelah kiri, terasa perih.Ketika tengah asik bergulat dengan mata, gadis itu merasakan sesuatu berlari dibelakangnya, spontan ia menoleh, menatap takut ke arah lorong.Namun gadis pirang itu tak menemukan apapun, hanya ada keheningan dan suara konsleting listrik yang terdengar. Satu detik kemudian hal serupa kembali ia alami, gadis itu menoleh ke arah depan.Netra hitam si gadis menemukan sesosok bayangan diujung lorong. Takut, cemas dan khawatir bercampur menjadi satu, membuatnya tak bisa bergerak.Wajah sosok itu rusak, aliran darah memenuhi wajah sosok tersebut. Sebuah seringai lebar tercipta kala ia menemukan hawa takut milik si gadis.Gerakan langkah cepat diambil oleh sosok tersebut hingga membuat gadis itu bergidik dan berlari tanp
Langkah gontai menarik perhatian beberapa suster, mereka mengamati wajah si pemilik tubuh untuk memastikan apakah dia baik baik saja atau tidak.Sedangkan yang menjadi pusat perhatian hanya diam mengabaikan, berjalan pelan tanpa tujuan ke sisi lain lorong rumah sakit."Padahal bukan itu maksudku .. " lirih suara perempuan sembari menghela nafas lelah, menatap sekitar dengan tatapan kosong.'Delna tidak tau terimakasih!'Perkataan gadis lain mengalihkan pikiran Delna, perempuan itu kembali menghela nafas untuk kesekian kali.Setelah pertengkaran hebat antara Delna dan Sintia hari lalu, hubungan mereka menjadi kacau. Panggilan yang ia layangkan setiap saat pada Sintia tak pernah terjawab. Nomornya tidak aktif."Menyebalkan! Dasar otak dangkal!" umpat Delna menggeram kesal, tak sadar jika layar ponselnya retak karena digenggam terlalu kencang."Padahal aku berterimakasih dengan tulus," lanjut Delna menyimpan ponsel dalam saku, tak
Suara jangkrik terdengar dari arah hutan, suara binatang itu seperti musik abstrak, enak didengar namun terkadang tak enak didengar. Diantara suara jangkrik tersebut, terdengar sebuah siulan yang mengalun cukup pelan."Dasar! Mereka berat!" Keluh seorang wanita sembari memperbaiki posisi barang bawaannya dan kembali berjalan menuju kegelapan hutan."Kenapa sekalian sama tubuhnya sih?! Padahal ruh saja cukup." Keluh wanita itu lagi sembari menyeret sesuatu tersebut lebih cepat."Berisik, Nissa! Cukup turuti saja perintah tuan!" Suara berat berteriak pada wanita itu, sesosok pria adalah apa yang membentaknya.Nissa berdecih pelan, wanita berambut hitam legam itu mengumpat dalam hati dan terus berjalan menuju suatu tempat, suara dari serangga juga mulai menghilang dari pendengarannya.Beberapa saat terdiam, Nissa dan sosok pria tersebut sampai disebuah rumah tua. Wanita itu melirik sekilas ke arah bawah dan menemukan jika kaki pria tersebut tak menapa
Pintu kayu terbuka lebar, menampilkan barang barang yang berserakan. Seorang gadis muda menghela nafas panjang, melihat kondisi rumah, ia berpikir ini merupakan tambahan pekerjaan baginya."Setelah kembali bersekolah, aku akan berterimakasih pada Brian," gumam gadis itu meletakkan tumpukan kertas di atas sofa, salah satu kertas menampilkan nama si gadis, Magdadelna.Suara benda kaca terdengar saling berbenturan, sebuah botol diletakkan di atas meja kayu disudut ruangan oleh Delna. Perempuan berambut pirang terus melakukan hal yang sama, mengambil barang kemudian meletakkannya secara asal."Aw!" rintih Delna ketika menginjak sesuatu.Bingkai kaca merupakan benda yang Delna injak, bagian kaca yang melapisi sebuah foto retak karena Delna. Gadis itu kemudian memungut foto tersebut.Disana terdapat seorang pria, seorang wanita dan juga seorang anak. Mereka bertiga adalah keluarga Delna, perempuan itu tersenyum."Dulu kami adalah keluarga bahagia,
"Aku tau saat membuka grup sekolah tadi, saat aku mengirim pesan duka, kau melihat pesanku. Jadi aku buru buru kemari untuk memastikan," jelas Sintia sembari melepas pelukannya dari Delna.Delna menghela napas lega kemudian kembali berjalan menuju kamar mandi, ia sangat ingin terkena air sekarang."Kau mau ke mana?" tanya Sintia saat melihat sahabatnya itu pergi."Mandi, setelah mandi kita bicarakan banyak hal, oke?"Singkat cerita Delna selesai beberes rumah dan membersihkan diri, kini di ruang tamu ia tengah asik mengobrol dengan Sintia."Besok hari pemakaman Dion dan Ian kan? Nanti saat acara berlangsung jangan ikuti aku ya?" ujar Delna berusaha membujuk Sintia untuk tidak mengikutinya selama proses pemakaman berlangsung nanti."Kenapa?" tanya Sintia bingung, secara tidak langsung ia membuat ekspresi sedih.Delna menggaruk rambut yang tidak gatal lalu membuat wajah sendu agar lebih meyakinkan."Karena aku ingin sendiri saat proses pemakaman juga ketika acaranya berakhir," jelas Del
Keheningan menyergap, cahaya matahari menyelimuti hutan tempat Henri tinggal, rasa hangat menjalar ke seluruh tubuh Delna."Bisa kau jelaskan perkara tadi?" tanya Delna berusaha mempertahankan kesadaran, kantuk sedang berusaha mengambil kesadarannya sekarang.Henri menoleh, menatap Delna sejenak sebelum tersenyum tipis, "aku hanya mau bilang kalau misi kita gagal total. Toh, yang rugi sebenarnya cuman kau Delna," jelas Henri kemudian bangkit berdiri."Kembalilah, tinggal jalan lurus dari sini, setelah itu langsung cari halte bus," lanjut Henri berjalan masuk ke dalam gubuk, menghiraukan teriakan Delna.Menghela napas panjang, Delna merebahkan dirinya di atas tanah, ia terlalu lelah untuk sekedar berjalan. Delna berniat istirahat sejenak sebelum menuruti perkataan Henri."Henri aneh," gumam Delna tersenyum tipis, "meski orangnya kaya gitu dia tetap baik," lanjut Delna memejamkan mata sesaat, menikmati ketenangan sebelum badai menghantam.Apalagi jika bukan badai mengenai respon orang t
Delna tak menghiraukan ucapan Hendra sama sekali, ia fokus mencari jalan di tempat gelap ini.Sampai ketika gadis itu melihat sebuah gerbang besar di ujung jalan yang Delna tapaki."Semoga jalan keluar," batin Delna terus merapal kata kata itu dalam kepalanya, berharap ia bisa keluar dari sini hidup hidup.Namun tiba tiba langkah Delna terhenti, isi hati gadis itu mencegahnya berjalan menuju gerbang.Mengapa kau lari? Apa kau pantas hidup setelah melihat kedua temanmu dicincang begitu? Bukan kah tujuanmu kemari untuk menyelamatkan Dion dan Ian? Jika mereka berdua mati seharusnya kau juga mati Delna.Air mata tertumpuk dalam pelupuk dan perlahan membasahi kedua pipi Delna. Sehina ini kah dirinya sampai akhir pun tetap memilih egois? Pikir Delna jatuh ke tanah, tak menghiraukan Hendra yang semakin mendekat ke arahnya.Perasaan bersalah sekali lagi menyelimuti hati Delna dan ia seharusnya tidak memilih keluar dari tempat ini. Delna berpikir akan lebih baik jika dirinya mati di sini sebag
Delna terbangun dengan rasa sakit diseluruh tubuhnya. Rasa lelah yang ia rasakan sedari tadi tak kunjung hilang, entah apa yang terjadi pada tubuhnya."CK, sial, kalian tidak mati kan?" gumam Delna merasa perjuangannya kali ini akan berakhir sia-sia." .. aku ingin pulang," lirih Delna menenggelamkan kepalanya diantara kaki, perasaannya mulai membaur menjadi satu dan membentuk perasaan putus asa."Jangan menyerah dulu, kurasa mereka masih hidup walau ruhnya sempat dihancurkan tua bangka itu," ujar Henri tiba tiba mengagetkan Delna yang hampir tertidur kembali." .. Benarkah? Ayo temukan Ian dan Dion sebelum terlambat," ajak Delna langsung berdiri, mengabaikan rasa lelah dan sakit yang sebelumnya ia rasakan."Baiklah, semoga saja mereka berdua bisa bertahan," ujar Henri membersihkan debu yang ada dicelananya lalu menyusul langkah Delna.Suara daun daun kering terdengar nyaring, baik Henri maupun Delna tak ada yang mau berbicara, keduanya sama sama hening."Hei, kenapa arwah Dion dan Ia
Delna membuka mata cepat, nafasnya terengah engah, keringat membasahi hampir seluruh tubuhnya. Netra hitam dengan buru buru memeriksa sekitar, memastikan keberadaannya saat ini."Untuk sekarang kita aman," ujar Henri dari arah samping, kondisi pria itu juga tak jauh berbeda dari Delna.Keadaan hening, Delna masih berusaha menenangkan diri, begitu juga dengan Henri. Pria berambut hitam legam itu juga syok, ia tak pernah mengalami kejadian supernatural seperti ini."Ini kali pertama untukku," lirih Henri menutup sebagian wajahnya menggunakan tangan.Delna tak menyahut, tatapan matanya kosong, gadis itu merasa sedikit de'javu dengan keadaan ini. Seperti saat PKL dulu, pikirnya mulai meneteskan air mata. Dadanya terasa sesak sekarang, suara isakan kecil menyelimuti ruangan, membuat Henri menatap Delna bingung."Ada apa? Kenapa kau menangis?" tanya Henri mengelus kepala Delna, berniat menenangkan gadis itu."Aku gagal," lirih Delna memukul lantai dengan tangan kanan. "Aku gagal!" lanjut De
Potongan tangan manusia tergeletak begitu saja dilantai, walau mengetahui itu bukan tubuh asli, Delna tetap saja merasa ketakutan saat melihatnya. Air mata memenuhi penglihatan si gadis hingga pandangannya memburam. Rasa mual terasa satu detik kemudian, membuat Delna tak nyaman."Hm .. ?"Sautan pelan dengan suara serak membuat Delna tersentak, buru buru ia melihat ke atas, tepat ke arah wajah yang menyahutinya.Sosok hitam besar itu menyeringai ketika melihat Delna ketakutan, tubuh manusia ditangannya ia jatuhkan, bagai mainan yang sudah tak berguna lagi. Sosok itu lalu berjalan mendekat ke arah Delna, menatap si gadis dengan pandangan mengejek."Kau terlambat, gadis kecil!"Si sosok tertawa keras, semakin menakuti Delna. Perlahan, Delna memundurkan tubuhnya, berusaha menjauhi sosok menyeramkan itu. Namun usahanya terhenti kala sosok hitam kembali berbicara."Sia sia saja kau kemari, tetapi apakah kau tidak ingin melihat temanmu untuk terak
"Tak bisa memantuku? Kenapa?" tanya Delna mulai merasa panik, jantungnya berdebar secara perlahan.Henri menghela nafas pelan, melipat kaki sebelum berbicara."Maksudku adalah, aku tak bisa membantu secara keseluruhan, aku hanya bisa membantumu sebisaku," jelas Henri langsung mendapat jitakan agak kuat dari Delna.Henri mengerang sedangkan Delna mendengus kesal, "ck! Harusnya kau bilang dari awal!""Maaf, maaf, kuakui kata kataku sulit dipahami," ujar Henri menggaruk tengkuk yang tidak gatal sembari tertawa canggung."Baiklah, sekarang langkah apa yang harus kuambil agar bisa menyelamatkan mereka?" Delna kembali membawa topik serius, ia tidak mau basa basi.Henri juga memasang tampang serius. Berbekal ilmu yang selama ini ia pelajari secara otodidak, pria itu mulai berfikir.Beberapa detik kemudian suara jentikan jari terdengar, wajah Delna langsung sumringah mendengar suara itu. Artinya Henri telah menemukan jalan yang akan mem
Ian menghembuskan nafas lelah, baru pertama kali ia meragasukma seperti ini, wajar jika lelaki itu merasa kelelahan.Adengan ini adalah saat dimana Ian menghilang tanpa kabar di desa, sudah pasti temannya khawatir, pikir Ian sembari menatap sekeliling."Jadi seperti ini tempat para arwah?" gumam Ian mengangguk kecil, menatap posisi kacamata kemudian mulai berjalan ke arah depan.Baru beberapa langkah, Ian terhenti. Manik hitam bergulir ke bawah, melihat tangan. Bercahaya merupakan kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi tangan remaja itu."Kenapa bercahaya? Aku sungguh tak mengerti," gumam Ian lagi tak menatap tangannya, ia lanjut berjalan.Berjalan setapak demi setapak, Ian mulai melihat cahaya kebiruan dari lebatnya daun pohon. Remaja itu langsung bernafas lega, setidaknya ia tak akan menatap kegelapan lagi.Tangan kanan Ian gunakan untuk menyingkirkan ranting serta daun pohon, penglihatan sang remaja langsung terasa jelas.
Sintia melepaskan kedua tangannya dari pundak Delna, menatap sahabatnya kosong kemudian berjalan pergi meninggalkan gadis itu."Sintia?" panggil Delna memiringkan kepala, pikirannya sedikit tenang setelah Sintia meninggalkannya."Tunggu!" seru Delna langsung mengejar Sintia sebelum perempuan itu berjalan lebih jauh.Sintia menoleh kebelakang, dimana Delna tengah mengejarnya sambil terengah. Keringat dingin terlihat mengucur dari dahi gadis itu, namun hal tersebut tak cukup untuk membuat Sintia simpatik."Sudah tenang?" tanya Sintia setelah melihat nafas Delna mulai terlihat tenang.Delna mengangguk, "kau mau pergi?" tanya Delna menegakkan tubuh setelah beberapa menit membungkukan badan."Menurutmu?" tanya Sintia dingin, ia benar benar sudah tak peduli pada Delna.Menurut Sintia, Delna terlalu berlebihan menanggapi suatu hal, dan itu membuat Sintia terganggu."Pantas saja kau dijauhi," batin Sintia masih menatap Delna, melihhat