Astaghfirullah, aku harap yang kudengar ini salah. Menikahiku hanya untuk menjadikanku pembantu, tidak mengakui ku sebagai istri di depan orang lain, bahkan mendua di belakangku, itu semua masih bisa kuterima. Tapi menipu kedua orang tuaku untuk kepentingan pribadi mereka, ini sudah keterlaluan!
"Jadi, mereka tega menipu Bapak untuk menjual tanah itu?" tanyaku dengan suara parau.
"Bapak benar-benar tidak tahu mereka berbohong. Bapak pikir kamu benar-benar sakit," ucap Bapak.
"Ternyata begini kelakuan suamimu dan keluarganya, Wawa? Ibu gak ikhlas! Kamu harus minta pisah!" ucap Ibuk penuh emosi.
Aku mengelus pundak Ibuk, mencoba menenangkannya.
"Sabar, Buk," ucapku pelan.
Aku tak mampu mengatakan apa yang mereka lakukan padaku selama ini. Jika aku jujur, itu akan mematahkan hati mereka. Mereka pasti akan merasakan lebih sakit dari apa yang kurasakan.
"Kita laporkan saja mereka pada polisi!" sahut Bapak.
Aku membuang napas.
"Jangan dulu, Pak. Sabar dulu. Kita akan kalah di pengadilan kalau bertindak terburu-buru. Wawa saat ini sedang menyusun rencana sekaligus mengumpulkan bukti," ucapku.
"Tapi tanah itu seharusnya kita hibahkan untuk pembangunan masjid, Nduk. Cuma itu yang kami punya untuk bekal kalau kelak kami sudah meninggal," ucap Ibuk, mengusap air matanya yang tak kunjung berhenti.
Aku seketika merangkul wanita yang telah melahirkan ku itu. Hatiku perih. Uangku mungkin cukup untuk menebus tanah itu kembali, tapi pasti sulit sekali meyakinkan Pak Tomo untuk menjual kembali tanah yang sudah diincarnya sejak lama, dan akhirnya dia dapatkan. Aku harus mencari cara untuk mendapatkannya kembali!
"Wawa janji akan mendapatkan tanah itu kembali, Buk. Wawa janji," ucapku.
Ibuk melepaskan diri dari pelukanku. Dia meraba pundak dan tanganku.
"Kamu selama ini bahagia, kan, Nduk? Tubuh kamu makin kurus saja," ucap Ibuk sambil menatap cemas padaku.
Aku mencoba tersenyum dengan bibir bergetar menahan tangis. Ingin rasanya aku memeluk Ibuk dan mencurahkan semua yang kurasakan. Tapi untuk saat ini, aku tidak boleh lemah.
"Wawa baik-baik saja, Buk," jawabku dengan suara parau.
Tiba-tiba gawaiku berdering. Aku segera mengangkatnya.
"Assalamualaikum, Non Wawa," ucap Bik Lastri dari seberang telpon.
"Waalaikumussalam, ada apa, Bik?"
"Nyonya Ratno dan Tuan Indra sudah pulang, Non."
Aku tersentak. Tumben jam segini sudah pulang.
"Lalu, apa yang Bibik katakan?" tanyaku lagi.
"Bibik bilang Non Wawa pergi belanja, soalnya sayuran sudah habis. Maaf, ya Non, Bibik terpaksa buang sebagian sayuran yang ada di kulkas," jawabnya.
"Gak apa-apa, Bik. Terima kasih. Aku akan pulang sekarang," ucapku.
Aku segera berpamitan pada orang tuaku, dan langsung meluncur pulang. Aku sudah menghapus make up ku sebelum pergi ke rumah orang tuaku, jadi hanya tinggal mengganti pakaianku saja. Tak lupa aku membeli beberapa macam sayuran di pasar dekat rumah orang tuaku.
Di sepanjang perjalanan aku berusaha menguasai diriku, agar nanti bisa tetap tenang saat menghadapi suamiku dan keluarganya. Aku harus menahan diri, agar bisa menuntut pertanggung jawaban atas perbuatan mereka suatu hari nanti.
"Kamu kemana saja sih, Najwa?" omel ibu mertuaku begitu sampai di rumah. "Pergi belanja kok lama bener! Jangan-jangan kamu keluyuran, lagi!"
"Nggak, Buk. Supermarket dekat rumah kita sedang direnovasi, jadi Wawa terpaksa belanja ke pasar," jawabku. Untungnya supermarket itu benar-benar sedang direnovasi.
"Ya sudah, cepat masak sana yang banyak! Malam ini Pak Tomo akan ke sini untuk makan malam!"
Mataku membulat. Pak Tomo mau datang untuk makan malam? Ternyata keluarga ini benar-benar sudah berhasil mengambil hati keluarga itu. Semoga saja mereka tidak berencana menipu keluarga Pak Tomo seperti yang sudah mereka lakukan pada keluargaku.
"Kenapa malah ngelamun? Cepat pergi ke dapur!" bentak Ibu mertuaku lagi.
Aku hanya mengangguk lalu berjalan menuju dapur. Bik Lastri sudah di sana, wajahnya tampak cemas. Dia langsung berhambur ke arahku begitu melihatku.
"Gimana, Non? Gak ketahuan, kan?" tanyanya setengah berbisik.
Aku tersenyum lalu mengangkat jempolku.
"Pokoknya Bik Lastri is the best," ucapku.
Bik Lastri tersenyum bangga mendengar pujianku.
"Ya sudah ayo masak, Bik. Hari ini Pak Tomo mau datang untuk makan malam."
"Loh, bukannya Pak Tomo itu bosnya Non Wawa?" tanya Bik Lastri. "Nanti dia kenal Non Wawa dong."
"Gak akan lah, Bik. Kan penampilan Wawa kalau di rumah kayak gini," ucapku sambil menenteng dasterku.
Bik Lastri cekikikan.
"Iya juga ya, Non," ucapnya kemudian.
..."Kamu nanti di dapur saja, gak usah keluar. Kalau butuh apa-apa, biar Bik Lastri yang ke depan," ucap Ibu mertuaku saat mereka sudah bersiap menyambut Pak Tomo.Aku hanya mengangguk mendengar titah Ibu mertuaku. Aku melirik Mas Indra yang juga sudah berpenampilan rapi. Dia malah menghindar ketika sadar aku menatapnya. Aku membuang napas, sebelum dadaku semakin sesak.
Terdengar suara mobil datang di depan. Aku mengintip dari ruangan di samping ruang makan. Ibu mertuaku dengan ramah menyambut Pak Tomo dan Davian. Rupanya hanya mereka berdua yang datang, tanpa Ibu Davian.
Ibu mertuaku mempersilahkan Pak Tomo duduk, sedangkan Risma tampak bergelayut manja di lengan Davian. Entah kenapa aku kesal melihat sandiwara mereka.
"Terima kasih, berkat Bu Ratno proyek baru saya akhirnya bisa terlaksana juga," ucap Pak Tomo.
Proyek baru? Apa mereka membicarakan proyek di tanah orang tuaku?
"Sudah pasti dong, Pak. Saya tahu Bapak menginginkan tanah itu sudah lama. Makanya kami berusaha membantu Bapak," jawab Ibu mertuaku.
Seketika aku mengepalkan tangan. Jadi ini alasan dia mengijinkan Mas Indra menikahiku, padahal sebelumnya begitu menentangnya? Karena dia tahu orang tuaku pemilik tanah yang diinginkan oleh Pak Tomo, dan menggunakannya untuk mendekati keluarga itu.
Semua sudah mereka rencanakan sejak awal. Bahkan rasa cinta Mas Indra yang dulu pernah ada sekarang sudah ditelan oleh keserakahan. Sekarang aku sudah tidak punya alasan lagi untuk bertahan. Baiklah, Mas, aku akan ikuti permainan kalian.
"Oh, iya, sebenarnya selain datang untuk makan malam, saya sedang mencari seseorang," ucap Pak Tomo kemudian.
Ibu mertuaku tampak bingung, juga Mas Indra.
"Siapa, Om?" tanya Risma heran. "Selain kami sudah tidak ada lagi orang lain di sini."
"Saya ingin bertemu dengan ART kalian," kata Pak Tomo lagi.
"Bik Lastri?" tanya Ibu mertuaku heran. "Untuk apa, Pak?"
Pak Tomo tersenyum.
"Boleh saya minta dia dipanggil ke sini?" ucapnya.
Ibu mertuaku dengan wajah masih kebingungan akhirnya memanggil Bik Lastri.
"Bik, Bik Lastri!"
Bik Lastri langsung datang dari dapur.
"Iya, Nyonya?" ucapnya tak kalah kebingungan.
Pak Tomo memperhatikan Bik Lastri, lalu menatap Davian. Davian seketika tersenyum.
"Bukan dia, Buk. Yang satunya," ucap Davian pada Ibu mertuaku.
"Maksudmu Mbak Wawa?" tanya Risma pada Davian dengan mata membulat.
Aku yang sedari tadi mendengarkan juga terkejut bukan main. Pak Tomo mencariku? untuk apa?
"Iya, Yang," jawab Davian."Bisa tolong panggilkan dia ke sini?"
"Untuk apa sih, Yang?" protes Risma kesal.
"Tolong panggilkan dia ke sini," titah Pak Tomo.
Karena Pak Tomo yang minta, akhirnya mereka menurut.
"Wawaaa!" panggil ibu mertuaku.
Aku tersentak kaget dan bergegas berjalan ke ruang makan sambil menunduk. Aku mengangguk hormat pada Pak Tomo yang tersenyum padaku.
"Davian memperlihatkan foto Anda beberapa waktu yang lalu padaku, dan saya tertarik," ucap Pak Tomo padaku. "Karena itu saya menawarkan pada Anda untuk menjadi ikon model di perusahaan saya."
Aku tersentak kaget. Mas Indra tersedak makanannya, Ibu mertuaku shock. Dan yang lebih parah, wajah Risma berubah merah padam.
YANG MISKIN ITU KAMU, MAS!Part.8POV Indra"Apa? Apa Ibuk nggak salah dengar? Kamu mau menikahi perempuan itu?" tanya Ibuk ketika aku membawa Najwa pulang ke rumah untuk kuperkenalkan pada Ibu dan adikku.Aku cepat-cepat menjauhkan Ibuk dari Najwa yang sedang duduk di ruang tamu, agar dia tidak mendengar pembicaraan kami."Indra cinta sama dia, Buk," ucapku.Ibuk seketika menatap tajam padaku saat mendengarnya."Dengar ya, Indra. Bisnis keluarga kita sedang dalam masa-masa sulit. Ibu maunya kamu menikah sama Susan, anak teman Ibuk, biar mereka bisa membantu bisnis kita! Bukan malah menikah sama mahasiswi yang belum jelas masa depannya. Anak orang kere, lagi!" ucap Ibuku panjang lebar."Tapi, Buk....""Gak ada tapi-tapian! Pokoknya Ibuk gak setuju! Titik!"Aku membuang napas, lalu mengarahkan pandangan pada Najwa, gadis sederhana yang sudah setahun ini kukenal.Sesaat kemudian, Risma, adikku, pulang dari sh
Mama langsung berdiri mendengar tawaran Pak Tomo untukku."Tidak mungkin Mbak Wawa jadi model, Om! Lihat saja penampilannya! Dari sudut manapun dia gak cocok!" protesnya, terlihat amat kesal."Benar, Pak Tomo. Lagi pula dia cuma ART, sama sekali tidak cocok untuk model," ucap Ibu mertuaku, masih mencoba menghilangkan keterkejutannya. "Gadis secantik Risma saja Bapak tolak, kenapa memilih perempuan seperti ini untuk jadi model?"Pak Tomo tersenyum."Saya memilih dia bukannya tanpa alasan. Saya ingin meluncurkan produk yang sesuai untuk semua kalangan, termasuk menengah ke bawah, dan Mbak Wawa sangat cocok sebagai model saya.""Benar itu, Pa," sahut Davian. "Sejak pertama melihat mbak Wawa, aku sudah tahu dia sesuai untuk model Papa. Wajahnya yang natural masih terlihat bersinar meskipun hanya memakai daster dan tanpa polesan make up."Muka Risma semakin memerah karena menahan marah."Kok kamu jadi ikut muji dia setinggi langit sih, Yan
"Non Wawa beneran mau pergi?" tanya Bik Lastri saat aku memasukkan beberapa barang ke dalam tas slempangku. Wajahnya kelihatan sangat sedih. "Bibik mau ikut, Non."Aku tersenyum, lalu memegang pundak Bik Lastri."Setelah mendapatkan tempat tinggal, aku akan kesini lagi untuk mengambil barang-barangku, Bik. Juga untuk menjemput Bibik," ucapku.Mata Bik Lastri seketika berbinar."Benarkah itu, Non?" tanyanya.Aku tersenyum, seraya mengangguk."Bibik sabar dulu, ya?" ucapku lagi."Iya, Non. Bibik akan nunggu Non Wawa jemput Bibik," jawabnya penuh harap.Setelah memasukkan beberapa barang, khususnya gawai dan kartu ATMku ke dalam tas, aku bergegas pergi keluar kamar. Mas Indra langsung mendekatiku begitu melihatku."Kamu yakin mau pergi, Najwa? Kamu mau ke mana? Pulang ke rumah orang tuamu?" tanyanya sok perhatian.Aku hanya diam tak menjawab, bahkan menatapnya pun tidak."Sudah, biarkan saja dia pergi, Indra!"
Mata Mas Indra membulat. Tangannya terlihat gemetar memegang surat gugatan yang kuberikan padanya. Dia mungkin tak menyangka aku berani menggugat cerai dia, karena sebelumnya aku tidak pernah berani membantah."Sombong, kamu, Najwa! Belum jadi apa-apa sudah belagu!" ucap Ibu mertuaku. "Sudahlah Indra, ceraikan saja dia!"Mas Indra menatap nanar padaku."Kamu benar-benar ingin pisah dari, Mas, Dek?" tanyanya.Aku tersenyum miris."Aku sudah tidak punya alasan untuk bertahan, Mas. Bukankah ini yang kamu inginkan? Sekarang kau bisa bebas mengaku single pada semua orang," ucapku dingin."Dek, kan Mas sudah memberitahumu alasannya," ucapnya sambil mencoba memegang tanganku.Aku menepis tangannya, lalu mundur selangkah menjauh darinya. Aku tak sudi lagi disentuh oleh seorang penipu sekaligus pengkhianat."Apapun alasannya, jika seorang suami secara sadar mengaku single di depan orang lain, artinya kau sudah menjatuhkan talak pa
Aku cepat-cepat melepaskan diri dari Davian ketika mendengar teriakan Risma. Akulangsung salah tingkah, sepertinya Davian juga."Maaf, ya?" ucap Davian lirih sambil merapikan jasnya."Aku yang harusnya minta maaf," jawabku, menyembunyikan mukaku yang memerah.Kenapa aku jadi deg degan begini? Seharusnya aku tidak boleh seperti ini, karena aku masih berstatus istri orang.Risma cepat-cepat menarik tangan Davian menjauh dariku, seraya menatapku tajam."Jangan ganjen sama pacar aku ya, Mbak? Mbak kan belum pisah dari Kak Indra!" ucapnya."Hah? Belum pisah?" sahut Davian. "Apa maksudnya?"Risma tersentak, seketika mukanya memucat karena tanpa sadar sudah keceplosan bicara. Aku hanya bisa tersenyum. Tentu saja kalau sampai
Davian lagi-lagi menepuk pundakku, membuyarkan lamunanku."Aku harus pergi, kamu bisa kan, menanganinya sendiri?" tanyanya lirih.Aku mengangguk. Davian tersenyum seraya mengangguk pada Susan, dan kemudian meninggalkan kami berdua saja di dalam galeri. Susan terlihat membelai lagi gaun yang dipilihnya."Aku boleh mencoba gaunnya?" tanyanya sambil tersenyum menatapku."Tentu saja," jawabku, sambil pelan-pelan melepas gaun itu dari patung, lalu memberikannya padanya.Aku mengantarnya ke depan ruang ganti, dan menunggunya untuk mencoba gaun itu. Setelah beberapa lama, Susan keluar dengan begitu anggunnya. Dalam hati aku mengakui kecantikannya. Wajahnya yang hampir seperti orang Korea sangat cocok dengan gaun merah yang saat ini dia kenakan.Susan berdiri di depan
"Apa-apaan ini, Buk?"Aku tak bisa menahan amarahku saat kulihat vas bunga yang tadinya ada di atas meja hancur berkeping-keping di lantai , tepat di depan orang tuaku. Dua orang berwajah sangar tampak sedang menyudutkan mereka. Muka Bu Ratno merah padam, terlihat sekali dia sedang marah."Ibu mertuamu sudah gila, Wawa! Datang maksa-maksa kami menandatangani surat. Kami menolak, dia malah kesetanan! Pakai acara mengancam, lagi!" ucap Ibuk begitu melihatku."Ibumu yang kurang ajar!" sahut Ibu mertuaku. "Berani sekali dia menuduhku menipu!"Aku membuang napas, lalu menatap Ibu mertuaku."Silahkan pulang, Buk. Kami tidak akan menandatangani apapun! Kami tidak takut pada ancaman kalian!" ucapku sambil menunjuk ke arah pintu.Ibu mertuaku menatap gusar padaku, lalu
Aku menatap Mas Indra dan Ibunya seraya menyunggingkan senyum miris."Kenapa, Mas? Mas tidak mengenaliku?" tanyaku dingin. "Mas kaget karena yang Pak Tomo kenalkan pada kalian waktu itu sebenarnya adalah aku?"Mas Indra tidak bisa berkata apa-apa. Bibirnya terlihat bergetar, seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi tak bisa dia ucapkan. Begitupun Bu Ratno, hinaan yang biasanya begitu ringan keluar dari mulutnya kini bersembunyi entah kemana. Dia masih melongo sambil menatapku.Aku mengalihkan pandangan pada Bapak dan Ibuk."Ayo Pak, Buk, kita masuk," ucapku pada mereka. "Pak Tomo sudah menunggu kita sebagai tamu VIP."Aku mengajak Bik Lastri dan kedua orang tuaku masuk, meninggalkan Mas Indra dan Ibunya yang masih berdiri mematung di tempatnya."Makanya, Nyah, j
Najwa masih belum bisa menghilangkan keterkejutannya melihat Indra menampar Risma di depannya. Risma memegang pipinya yang memerah dan perih."Apa yang kamu lakukan, Indra?" tanya Najwa.Indra tak langsung menjawab. Dia membuang napas, lalu menatap Najwa."Bisakah kamu meninggalkan kami berdua sebentar?" tanyanya.Najwa sesaat menatap Risma yang terlihat shock, lalu berjalan perlahan meninggalkan ruangan itu.Indra mendekati Risma, lalu duduk di depannya."Ini pertama kalinya Kakak memukulku," ucap Risma lirih, dengan suara gemetar karena tangis."Seharusnya Kakak melakukannya dari dulu," ucap Indra kemudian. "Kakak sudah gagal menjadi seorang kakak, suami, dan anak yang baik."Risma men
"Najwa," Davian masih berusaha. melepaskan pelukan Risma, tapi dia tak kunjung mau melepasnya. "Aku bisa jelaskan."Najwa mengatupkan bibir, lalu pergi meninggalkan tempat itu dengan hati kalut, tanpa menunggu penjelasan Davian. Ah, cemburukah dia? Padahal dia dan Davian belum mempunyai ikatan apapun. Tapi tak bisa dipungkiri hatinya kesal. Kenapa Davian tak memberinya kabar jika dia sudah pulang, dan malah bersama dengan Risma?Najwa bergegas kembali ke tempat Mamanya dan duduk di sampingnya."Kamu dari mana?" tanya Farah pada puterinya itu.Najwa membuang napas, lalu mencoba tersenyum pada Mamanya."Dari toilet, Ma," jawabnya berbohong.Tiba-tiba televisi dinding yang ada di ruangan itu menampilkan sebuah berita. Awalnya Najwa tak tertarik. Tapi ketika nama
Najwa membawa Indra masuk ke dalam panti dan merawat luka-lukanya. Indra duduk sambil memangku Bintang, sambil menceritakan apa yang sebenarnya terjadi."Jadi anak ini ... ," Najwa membulatkan mata mendengar perkataan Indra."Dia bukan anakku," jawab Indra. "Aku menikah dengan Susan untuk menutupi hutang Ibuk pada mereka. Susan membutuhkanku untuk menutupi kehamilannya. Kami sudah membuat kesepakatan dari awal."Najwa terdiam, tak tahu apa yang harus dia katakan. Indra menatap Najwa penuh arti."Sekarang kamu tahu, aku tidak pernah mengkhianatimu. Aku bahkan tidak pernah menyentuh Susan sedikitpun," ucapnya.Najwa memalingkan muka. Dia takut hatinya goyah karena hal itu. Dia menelan saliva, lalu membuang napas berat."Lalu apa rencanamu sekarang, Mas?" tanyany
Bulan berlalu, musim berganti. Najwa berdiri di depan tanah milik orang tuanya. Dia menatap sekeliling tempat itu. Secara tidak langsung tanah itu telah berperan besar dalam kehidupannya. Karena tanah itu, terjadi pernikahan tidak bahagia antara dia dan Indra. Karena tanah itu dia mengenal Pak Tomo dan Farah, orang tua kandungnya. Karena memperjuangkan tanah itu, dia bisa seperti sekarang ini. Hidup memang seperti roda, yang terus berputar.Kini di hadapannya berdiri sebuah masjid besar, dan sebuah panti asuhan yang dia bangun dengan hasil keringatnya sendiri. Najwa tersenyum bangga atas apa yang telah dia capai saat ini."Nduk," Ibunya menepuk pundaknya, menyadarkannya dari lamunan. "Ayo masuk. Semua warga sudah berkumpul di dalam. Kamu kan harus melakukan penyerahan tanah dan masjid ini untuk warga sekitar."Najwa menggenggam jari ibunya yang berada di pundakny
"Pergi? Pergi ke mana Davi?" tanya Pak Tomo sambil mendekati puteranya itu.Davian tersenyum seraya menatap Papanya."Davi ingin mewujudkan impian Davi yang dulu, Pa," ucapnya."Menjadi seorang chef?" tanya Pak Tomo dengan mata yang membulat.Davian tersenyum, seraya mengangguk."Tidak, Davi. Papa tidak mengijinkan," sahut Pak Tomo. "Tidak ada yang boleh pergi lagi. Mulai sekarang kita akan hidup bersama, sebagai keluarga. Tidak ada yang boleh pergi."Davi sesaat melirik ke arah Najwa, lalu menatap Papanya lagi."Davi tidak bisa menjadikan Najwa saudara Davi," ucap Davi lirih.Pak Tomo tersentak, lalu memegang kedua pundak Davian."Apa maksudmu, Davi?
"Ibuk! Ibuk!" Indra menggoncang tubuh Ibunya yang masih tak sadarkan diri.Pak Tomo segera memanggil anak buahnya untuk membantu mengangkat tubuh Bu Ratno dan juga memanggil ambulan. Mereka membawa Bu Ratno keluar dari ruangan itu, melewati Najwa yang ada di depan pintu.Indra menghentikan langkah sebentar ketika sampai di samping Najwa."Maafkan aku, Najwa," ucapnya tanpa rasa malu sedikitpun.Najwa tak menjawab, hanya membuang muka. Indra meneruskan langkahnya meninggalkan ruangan itu.Pak Tomo berjalan mendekati Najwa."Kamu kenapa nekad keluar dari rumah sakit?" tanya Pak Tomo."Maafkan saya karena sudah lancang, Pak. Saya harus menghentikan Bapak untuk menotariskan tanah itu ke saham Bapak, " jawab Najwa. "Tanah itu mi
"Apa yang kamu katakan, Bik?" tanya Pak Tomo belum bisa menghilangkan keterkejutannya.Dia berjongkok, sambil memegang kedua pundak Mirna. Davian segera menyadari sesuatu, dan lekas memegang lengan Papanya."Kita minta penjelasannya nanti, Pa. Golongan darah Papa AB, kan? Najwa butuh donor darah agar nyawanya bisa selamat."Pak Tomo segera mengerti. Mereka bertiga bergegas meninggalkan kantor dan meluncur menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan mereka bertiga terdiam, larut dalam pikiran masing-masing.Sesampainya di rumah sakit Pak Tomo langsung menemui dokter untuk dilakukan pengecekan dan pengambilan darah. Davian dan orang tua Najwa hanya bisa menunggu dengan cemas."Jadi, Najwa itu anak kandung orang tuaku?" tanya Davian lirih, saat duduk di samping Mirna.
Davian menghentikan mobilnya di area parkir rumah sakit. Pikirannya kalut, satu-satunya yang dia ajak bercerita adalah Mamanya. Sebenarnya dia tidak ingin membebani Mamanya lagi dengan pikirannya, tapi saat ini dia benar-benar bingung tentang apa yang harus dia lakukan.Dia berjalan memasuki gedung rumah sakit dan langsung menuju kamar rawat Mamanya. Rupanya Bu Ratno dan Davian ada di sana, duduk di samping Mamanya yang duduk bersandar di atas kasur serba putih itu."Eh, Nak Davian," sapa Bu Ratno saat menyadari kedatangan Davian.Davian menyalami calon ibu mertuanya itu, lalu melirik sekilas ke arah Indra yang duduk di sofa dalam ruangan.Bu Ratno menenteng beberapa lembar contoh amplop undangan di tangannya."Tante mau minta pendapat Mamamu tentang kartu undangan mana yang lebih bagus, ternyata
Najwa menunduk, tak tahu harus berkata apa pada Davian. Apa dia memang harus mengatakan hal yang sebenarnya pada Davian? Jika iya, mungkinkah Davian akan kehilangan semua yang dia miliki saat ini?"Davi," ucap Najwa lirih. "Sebenarnya ... aku ini ..."BRAKMereka berdua terkejut karena tiba-tiba pintu terbuka dengan kasar. Risma masuk ke dalam dan langsung menarik tangan Davian."Apa-apaan kalian, berdua-duaan di sini?" tanya Risma sambil menatap tajam ke arah Najwa."Mbak Wawa kenapa ke sini lagi, sih? Bukannya Mbak Wawa sudah mengundurkan diri?" tanyanya.Najwa tidak menjawab. Dia membuang muka, menyembunyikan matanya yang berembun. Risma mengalihkan pandangan pada Davian."Papamu menyuruh kita pulang. Kita akan membicara