"Mas Indra bangkrut? Sejak kapan, Bik?" tanyaku sambil menatap Bik Lastri.
"Sudah lama saya dengarnya, Non. Bibik kira Non Wawa tahu," ucap Bik Lastri lagi. "Makanya Bu Ratno berusaha biar Non Risma bisa nikah sama orang kaya. Mungkin ada maksud ya, Non?"
Aku terdiam seketika. Mas Indra bangkrut, tapi aku tak tahu apa-apa. Selama ini keluarga ini terlihat baik-baik saja. Bahkan sepertinya mereka bertambah sibuk saja. Mungkinkah mereka berencana memanfaatkan keluarga Davian? Ah, aku harus mencari tahu.
Tiba-tiba gawaiku berdering. Telpon dari pak Tomo. Aku segera mengangkatnya.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam, maaf Nak Najwa, menghubungi kamu selarut ini," ucap Pak Tomo dari seberang telpon.
"Tidak apa-apa, Pak. Ada yang bisa saya bantu?"
"Saya ada proyek baru, agak mendadak. Besok saya mau ajak kamu melihat tempatnya, biar kamu bisa memilih desain yang cocok dengan tempatnya," ucap Pak Tomo.
"Baik, Pak, saya akan usahakan," jawabku.
"Baiklah, akan saya kirimkan lokasinya. Besok kamu bisa langsung ke sana," ucap Pak Tomo lagi.
"Baik, Pak."
Telepon ditutup. Beberapa saat kemudian pesan dari Pak Tomo masuk ke dalam gawaiku. Tanpa menunggu aku langsung memeriksanya. Mataku membulat seketika, melihat lokasi yang dikirimkan Pak Tomo. Aku kenal betul di mana lokasi itu berada. Dan tanah itu ... Milik orang orang tuaku!
...Pagi itu aku langsung meluncur ke arah lokasi yang ditunjukkan Pak Tomo. Syukurlah Mas Indra dan Ibu mertuaku sibuk di luar seperti biasa, dan Risma sibuk shooting, jadi aku bisa leluasa pergi ke luar rumah. Tak lupa aku memoles wajahku dengan make up, hingga tak ada yang bisa mengenali. Aku juga berpesan pada Bik Lastri untuk menghubungiku jika sewaktu-waktu mereka pulang.Sepanjang perjalanan pikiranku tidak tenang. Dari semalam aku juga tak bisa memejamkan mata. Tanah lokasi tempat proyek baru Pak Tomo itu jelas-jelas milik orang tuaku, dan dari dulu mereka tidak pernah ingin menjualnya. Aku harus memastikan dengan mata kepalaku sendiri, jika yang kupikirkan keliru.
Sesampainya di lokasi, aku seketika terpaku. Ya Allah, ternyata benar itu tanah milik orang tuaku. Sejak kapan mereka menjualnya? Tanah warisan dari kakek itu letaknya memang sangat strategis, jadi banyak diincar oleh banyak pengusaha, tapi orang tuaku tak ingin menjualnya berapapun harganya.
Orang tuaku berkeinginan menghibahkannya untuk membangun masjid. Tapi kenapa tiba-tiba dijual? Aku harus pulang untuk mendapatkan jawaban, setelah pekerjaanku selesai.
Beberapa saat kemudian mobil Pak Tomo datang. Pak Tomo turun dari mobil dengan Davian. Aku berusaha tersenyum menyambut mereka.
"Sudah lama Nak Najwa?" tanya Pak Tomo.
"Baru saja kok, Pak," jawabku sambil tersenyum bimbang.
"Bagaimana? Bukankah tempat ini sangat bagus?" Pak Tomo tersenyum sambil menatap hamparan tanah luas yang ada di persimpangan jalan besar itu.
Aku terdiam sejenak.
"Maaf, Pak. Bukannya saya mencampuri urusan bisnis Bapak," ucapku ragu-ragu. "Tapi apa pemilik tanah ini benar-benar bersedia menjualnya?"
Pak Tomo menatapku.
"Bapak sudah lama mengincar tanah ini, tapi memang pemiliknya tidak mau menjualnya," jawabnya sambil tersenyum. "Padahal saya sudah menawarkan harga yang sangat tinggi."
Aku tersentak.
"Lalu, bagaimana Bapak bisa mendapatkannya?" tanyaku dengan mata yang membulat.
Pak Tomo tersenyum lagi.
"Bapak tidak tahu bagaimana detailnya, tapi tiba-tiba saja Bu Ratno yang justru jadi pemilik tanah ini, dan menjualnya pada Bapak."
Jantungku berdegup kencang. Aku seakan tak percaya dengan apa yang kudengar. Ya Allah, ada apa sebenarnya ini? Kenapa tiba-tiba Bu Ratno bisa memiliki tanah milik orang tuaku.
Aku tersentak ketika Davian memegang pundak ku.
"Kamu kenapa, Najwa? Wajahmu kelihatan pucat, kamu sakit?" tanyanya.
Aku berusaha tersenyum.
"Tidak, cuma kurang enak badan saja," jawabku beralasan.
"Kenapa tidak bilang sama Bapak kalau kamu sakit? Kita bisa datang ke sini lain waktu," sahut Pak Tomo.
"Terima kasih atas perhatian Bapak. Saya tidak apa-apa, tapi saya tidak bisa berlama-lama," ucapku kemudian.
"Biar kami antar kamu pulang," kata Davian.
"Tidak usah, ada suatu tempat yang mau aku kunjungi dulu," sahutku cepat.
Davian menatapku.
"Benar tidak apa-apa?" tanyanya lagi.
Aku tersenyum seraya mengangguk. Perhatian mereka selalu membuatku tersentuh. Perhatian yang bahkan tidak pernah kudapatkan dari suamiku sendiri dan keluarganya.
Aku segera berpamitan, lalu menaiki taksi dan langsung meluncur ke kampung orang tuaku yang letaknya tak jauh dari tempat itu. Sudah beberapa bulan ini aku tidak mengunjungi mereka, karena Mas Indra jarang mengijinkanku pulang. Alasannya, jika pulang harus bersama dia. Padahal, dia bahkan tidak pernah punya waktu.
Taksi berhenti tepat di depan rumah sederhana milik orang tuaku. Aku segera turun dan bergegas masuk ke halaman rumah. Berbagai pertanyaan memenuhi kepalaku. Aku tidak sabar ingin mendapatkan jawaban dari Ibuk dan Bapak.
"Assalamualaikum," ucapku sambil mengetuk pintu.
"Waalaikumussalam," terdengar jawaban dari dalam, suara ibuku.
Beberapa saat kemudian, pintu terbuka.
"Ya Allah, Wawaaa!" Ibuku langsung berhambur memelukku sambil menangis histeris begitu melihatku. "Bapaaak, ini Wawa anak kita, Pak!"
Bapak berjalan berbondong dari belakang, dan membulatkan mata penuh keharuan.
"Masya Allah, Wawa," ucapnya.
Aku hanya melongo bingung melihat expresi orang tuaku saat bertemu denganku.
"Ada apa ini, Pak, Buk?" tanyaku, masih dalam kebingungan.
Ibu dan Bapak menuntunku masuk ke dalam rumah. Kami duduk di kursi kayu yang ada di ruang tamu.
Ibuk masih menangis, lalu menggenggam tanganku erat.
"Kamu kapan pulang, Nak? Kamu gak apa-apa, kan?" tanyanya sambil berulang kali mengusap air mata.
"Maksud Ibuk apa? Wawa gak pernah ke mana-mana, kok. Wawa juga baik-baik saja," jawabku bingung.
"Tapi Ibu mertua dan suamimu bilang kamu sakit parah," kata Ibuk masih belum bisa menghentikan tangisnya.
Aku tersentak kaget, lalu seketika menatap Bapak dengan gusar.
"Apa benar begitu, Pak?" tanyaku dengan suara gemetar.
Babak menatap bimbang ke arahku.
"Benar, W*. Mereka datang ke sini beberapa bulan yang lalu. Mereka bilang kamu sakit parah, dan harus berobat ke luar negeri untuk menyelamatkan nyawamu."
Tubuhku lemas seketika. Jadi inikah alasan orang tuaku menjual tanah mereka?
Astaghfirullah, aku harap yang kudengar ini salah. Menikahiku hanya untuk menjadikanku pembantu, tidak mengakui ku sebagai istri di depan orang lain, bahkan mendua di belakangku, itu semua masih bisa kuterima. Tapi menipu kedua orang tuaku untuk kepentingan pribadi mereka, ini sudah keterlaluan!"Jadi, mereka tega menipu Bapak untuk menjual tanah itu?" tanyaku dengan suara parau."Bapak benar-benar tidak tahu mereka berbohong. Bapak pikir kamu benar-benar sakit," ucap Bapak."Ternyata begini kelakuan suamimu dan keluarganya, Wawa? Ibu gak ikhlas! Kamu harus minta pisah!" ucap Ibuk penuh emosi.Aku mengelus pundak Ibuk, mencoba menenangkannya."Sabar, Buk," ucapku pelan.Aku tak mampu mengatakan apa yang mereka lakukan padaku selama ini. Jika aku jujur, itu akan mematahkan hati mereka. Mereka pasti akan merasakan lebih sakit dari apa yang kurasakan."Kita laporkan saja mereka pada polisi!" sahut Bapak.Aku membuang napas.
YANG MISKIN ITU KAMU, MAS!Part.8POV Indra"Apa? Apa Ibuk nggak salah dengar? Kamu mau menikahi perempuan itu?" tanya Ibuk ketika aku membawa Najwa pulang ke rumah untuk kuperkenalkan pada Ibu dan adikku.Aku cepat-cepat menjauhkan Ibuk dari Najwa yang sedang duduk di ruang tamu, agar dia tidak mendengar pembicaraan kami."Indra cinta sama dia, Buk," ucapku.Ibuk seketika menatap tajam padaku saat mendengarnya."Dengar ya, Indra. Bisnis keluarga kita sedang dalam masa-masa sulit. Ibu maunya kamu menikah sama Susan, anak teman Ibuk, biar mereka bisa membantu bisnis kita! Bukan malah menikah sama mahasiswi yang belum jelas masa depannya. Anak orang kere, lagi!" ucap Ibuku panjang lebar."Tapi, Buk....""Gak ada tapi-tapian! Pokoknya Ibuk gak setuju! Titik!"Aku membuang napas, lalu mengarahkan pandangan pada Najwa, gadis sederhana yang sudah setahun ini kukenal.Sesaat kemudian, Risma, adikku, pulang dari sh
Mama langsung berdiri mendengar tawaran Pak Tomo untukku."Tidak mungkin Mbak Wawa jadi model, Om! Lihat saja penampilannya! Dari sudut manapun dia gak cocok!" protesnya, terlihat amat kesal."Benar, Pak Tomo. Lagi pula dia cuma ART, sama sekali tidak cocok untuk model," ucap Ibu mertuaku, masih mencoba menghilangkan keterkejutannya. "Gadis secantik Risma saja Bapak tolak, kenapa memilih perempuan seperti ini untuk jadi model?"Pak Tomo tersenyum."Saya memilih dia bukannya tanpa alasan. Saya ingin meluncurkan produk yang sesuai untuk semua kalangan, termasuk menengah ke bawah, dan Mbak Wawa sangat cocok sebagai model saya.""Benar itu, Pa," sahut Davian. "Sejak pertama melihat mbak Wawa, aku sudah tahu dia sesuai untuk model Papa. Wajahnya yang natural masih terlihat bersinar meskipun hanya memakai daster dan tanpa polesan make up."Muka Risma semakin memerah karena menahan marah."Kok kamu jadi ikut muji dia setinggi langit sih, Yan
"Non Wawa beneran mau pergi?" tanya Bik Lastri saat aku memasukkan beberapa barang ke dalam tas slempangku. Wajahnya kelihatan sangat sedih. "Bibik mau ikut, Non."Aku tersenyum, lalu memegang pundak Bik Lastri."Setelah mendapatkan tempat tinggal, aku akan kesini lagi untuk mengambil barang-barangku, Bik. Juga untuk menjemput Bibik," ucapku.Mata Bik Lastri seketika berbinar."Benarkah itu, Non?" tanyanya.Aku tersenyum, seraya mengangguk."Bibik sabar dulu, ya?" ucapku lagi."Iya, Non. Bibik akan nunggu Non Wawa jemput Bibik," jawabnya penuh harap.Setelah memasukkan beberapa barang, khususnya gawai dan kartu ATMku ke dalam tas, aku bergegas pergi keluar kamar. Mas Indra langsung mendekatiku begitu melihatku."Kamu yakin mau pergi, Najwa? Kamu mau ke mana? Pulang ke rumah orang tuamu?" tanyanya sok perhatian.Aku hanya diam tak menjawab, bahkan menatapnya pun tidak."Sudah, biarkan saja dia pergi, Indra!"
Mata Mas Indra membulat. Tangannya terlihat gemetar memegang surat gugatan yang kuberikan padanya. Dia mungkin tak menyangka aku berani menggugat cerai dia, karena sebelumnya aku tidak pernah berani membantah."Sombong, kamu, Najwa! Belum jadi apa-apa sudah belagu!" ucap Ibu mertuaku. "Sudahlah Indra, ceraikan saja dia!"Mas Indra menatap nanar padaku."Kamu benar-benar ingin pisah dari, Mas, Dek?" tanyanya.Aku tersenyum miris."Aku sudah tidak punya alasan untuk bertahan, Mas. Bukankah ini yang kamu inginkan? Sekarang kau bisa bebas mengaku single pada semua orang," ucapku dingin."Dek, kan Mas sudah memberitahumu alasannya," ucapnya sambil mencoba memegang tanganku.Aku menepis tangannya, lalu mundur selangkah menjauh darinya. Aku tak sudi lagi disentuh oleh seorang penipu sekaligus pengkhianat."Apapun alasannya, jika seorang suami secara sadar mengaku single di depan orang lain, artinya kau sudah menjatuhkan talak pa
Aku cepat-cepat melepaskan diri dari Davian ketika mendengar teriakan Risma. Akulangsung salah tingkah, sepertinya Davian juga."Maaf, ya?" ucap Davian lirih sambil merapikan jasnya."Aku yang harusnya minta maaf," jawabku, menyembunyikan mukaku yang memerah.Kenapa aku jadi deg degan begini? Seharusnya aku tidak boleh seperti ini, karena aku masih berstatus istri orang.Risma cepat-cepat menarik tangan Davian menjauh dariku, seraya menatapku tajam."Jangan ganjen sama pacar aku ya, Mbak? Mbak kan belum pisah dari Kak Indra!" ucapnya."Hah? Belum pisah?" sahut Davian. "Apa maksudnya?"Risma tersentak, seketika mukanya memucat karena tanpa sadar sudah keceplosan bicara. Aku hanya bisa tersenyum. Tentu saja kalau sampai
Davian lagi-lagi menepuk pundakku, membuyarkan lamunanku."Aku harus pergi, kamu bisa kan, menanganinya sendiri?" tanyanya lirih.Aku mengangguk. Davian tersenyum seraya mengangguk pada Susan, dan kemudian meninggalkan kami berdua saja di dalam galeri. Susan terlihat membelai lagi gaun yang dipilihnya."Aku boleh mencoba gaunnya?" tanyanya sambil tersenyum menatapku."Tentu saja," jawabku, sambil pelan-pelan melepas gaun itu dari patung, lalu memberikannya padanya.Aku mengantarnya ke depan ruang ganti, dan menunggunya untuk mencoba gaun itu. Setelah beberapa lama, Susan keluar dengan begitu anggunnya. Dalam hati aku mengakui kecantikannya. Wajahnya yang hampir seperti orang Korea sangat cocok dengan gaun merah yang saat ini dia kenakan.Susan berdiri di depan
"Apa-apaan ini, Buk?"Aku tak bisa menahan amarahku saat kulihat vas bunga yang tadinya ada di atas meja hancur berkeping-keping di lantai , tepat di depan orang tuaku. Dua orang berwajah sangar tampak sedang menyudutkan mereka. Muka Bu Ratno merah padam, terlihat sekali dia sedang marah."Ibu mertuamu sudah gila, Wawa! Datang maksa-maksa kami menandatangani surat. Kami menolak, dia malah kesetanan! Pakai acara mengancam, lagi!" ucap Ibuk begitu melihatku."Ibumu yang kurang ajar!" sahut Ibu mertuaku. "Berani sekali dia menuduhku menipu!"Aku membuang napas, lalu menatap Ibu mertuaku."Silahkan pulang, Buk. Kami tidak akan menandatangani apapun! Kami tidak takut pada ancaman kalian!" ucapku sambil menunjuk ke arah pintu.Ibu mertuaku menatap gusar padaku, lalu
Najwa masih belum bisa menghilangkan keterkejutannya melihat Indra menampar Risma di depannya. Risma memegang pipinya yang memerah dan perih."Apa yang kamu lakukan, Indra?" tanya Najwa.Indra tak langsung menjawab. Dia membuang napas, lalu menatap Najwa."Bisakah kamu meninggalkan kami berdua sebentar?" tanyanya.Najwa sesaat menatap Risma yang terlihat shock, lalu berjalan perlahan meninggalkan ruangan itu.Indra mendekati Risma, lalu duduk di depannya."Ini pertama kalinya Kakak memukulku," ucap Risma lirih, dengan suara gemetar karena tangis."Seharusnya Kakak melakukannya dari dulu," ucap Indra kemudian. "Kakak sudah gagal menjadi seorang kakak, suami, dan anak yang baik."Risma men
"Najwa," Davian masih berusaha. melepaskan pelukan Risma, tapi dia tak kunjung mau melepasnya. "Aku bisa jelaskan."Najwa mengatupkan bibir, lalu pergi meninggalkan tempat itu dengan hati kalut, tanpa menunggu penjelasan Davian. Ah, cemburukah dia? Padahal dia dan Davian belum mempunyai ikatan apapun. Tapi tak bisa dipungkiri hatinya kesal. Kenapa Davian tak memberinya kabar jika dia sudah pulang, dan malah bersama dengan Risma?Najwa bergegas kembali ke tempat Mamanya dan duduk di sampingnya."Kamu dari mana?" tanya Farah pada puterinya itu.Najwa membuang napas, lalu mencoba tersenyum pada Mamanya."Dari toilet, Ma," jawabnya berbohong.Tiba-tiba televisi dinding yang ada di ruangan itu menampilkan sebuah berita. Awalnya Najwa tak tertarik. Tapi ketika nama
Najwa membawa Indra masuk ke dalam panti dan merawat luka-lukanya. Indra duduk sambil memangku Bintang, sambil menceritakan apa yang sebenarnya terjadi."Jadi anak ini ... ," Najwa membulatkan mata mendengar perkataan Indra."Dia bukan anakku," jawab Indra. "Aku menikah dengan Susan untuk menutupi hutang Ibuk pada mereka. Susan membutuhkanku untuk menutupi kehamilannya. Kami sudah membuat kesepakatan dari awal."Najwa terdiam, tak tahu apa yang harus dia katakan. Indra menatap Najwa penuh arti."Sekarang kamu tahu, aku tidak pernah mengkhianatimu. Aku bahkan tidak pernah menyentuh Susan sedikitpun," ucapnya.Najwa memalingkan muka. Dia takut hatinya goyah karena hal itu. Dia menelan saliva, lalu membuang napas berat."Lalu apa rencanamu sekarang, Mas?" tanyany
Bulan berlalu, musim berganti. Najwa berdiri di depan tanah milik orang tuanya. Dia menatap sekeliling tempat itu. Secara tidak langsung tanah itu telah berperan besar dalam kehidupannya. Karena tanah itu, terjadi pernikahan tidak bahagia antara dia dan Indra. Karena tanah itu dia mengenal Pak Tomo dan Farah, orang tua kandungnya. Karena memperjuangkan tanah itu, dia bisa seperti sekarang ini. Hidup memang seperti roda, yang terus berputar.Kini di hadapannya berdiri sebuah masjid besar, dan sebuah panti asuhan yang dia bangun dengan hasil keringatnya sendiri. Najwa tersenyum bangga atas apa yang telah dia capai saat ini."Nduk," Ibunya menepuk pundaknya, menyadarkannya dari lamunan. "Ayo masuk. Semua warga sudah berkumpul di dalam. Kamu kan harus melakukan penyerahan tanah dan masjid ini untuk warga sekitar."Najwa menggenggam jari ibunya yang berada di pundakny
"Pergi? Pergi ke mana Davi?" tanya Pak Tomo sambil mendekati puteranya itu.Davian tersenyum seraya menatap Papanya."Davi ingin mewujudkan impian Davi yang dulu, Pa," ucapnya."Menjadi seorang chef?" tanya Pak Tomo dengan mata yang membulat.Davian tersenyum, seraya mengangguk."Tidak, Davi. Papa tidak mengijinkan," sahut Pak Tomo. "Tidak ada yang boleh pergi lagi. Mulai sekarang kita akan hidup bersama, sebagai keluarga. Tidak ada yang boleh pergi."Davi sesaat melirik ke arah Najwa, lalu menatap Papanya lagi."Davi tidak bisa menjadikan Najwa saudara Davi," ucap Davi lirih.Pak Tomo tersentak, lalu memegang kedua pundak Davian."Apa maksudmu, Davi?
"Ibuk! Ibuk!" Indra menggoncang tubuh Ibunya yang masih tak sadarkan diri.Pak Tomo segera memanggil anak buahnya untuk membantu mengangkat tubuh Bu Ratno dan juga memanggil ambulan. Mereka membawa Bu Ratno keluar dari ruangan itu, melewati Najwa yang ada di depan pintu.Indra menghentikan langkah sebentar ketika sampai di samping Najwa."Maafkan aku, Najwa," ucapnya tanpa rasa malu sedikitpun.Najwa tak menjawab, hanya membuang muka. Indra meneruskan langkahnya meninggalkan ruangan itu.Pak Tomo berjalan mendekati Najwa."Kamu kenapa nekad keluar dari rumah sakit?" tanya Pak Tomo."Maafkan saya karena sudah lancang, Pak. Saya harus menghentikan Bapak untuk menotariskan tanah itu ke saham Bapak, " jawab Najwa. "Tanah itu mi
"Apa yang kamu katakan, Bik?" tanya Pak Tomo belum bisa menghilangkan keterkejutannya.Dia berjongkok, sambil memegang kedua pundak Mirna. Davian segera menyadari sesuatu, dan lekas memegang lengan Papanya."Kita minta penjelasannya nanti, Pa. Golongan darah Papa AB, kan? Najwa butuh donor darah agar nyawanya bisa selamat."Pak Tomo segera mengerti. Mereka bertiga bergegas meninggalkan kantor dan meluncur menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan mereka bertiga terdiam, larut dalam pikiran masing-masing.Sesampainya di rumah sakit Pak Tomo langsung menemui dokter untuk dilakukan pengecekan dan pengambilan darah. Davian dan orang tua Najwa hanya bisa menunggu dengan cemas."Jadi, Najwa itu anak kandung orang tuaku?" tanya Davian lirih, saat duduk di samping Mirna.
Davian menghentikan mobilnya di area parkir rumah sakit. Pikirannya kalut, satu-satunya yang dia ajak bercerita adalah Mamanya. Sebenarnya dia tidak ingin membebani Mamanya lagi dengan pikirannya, tapi saat ini dia benar-benar bingung tentang apa yang harus dia lakukan.Dia berjalan memasuki gedung rumah sakit dan langsung menuju kamar rawat Mamanya. Rupanya Bu Ratno dan Davian ada di sana, duduk di samping Mamanya yang duduk bersandar di atas kasur serba putih itu."Eh, Nak Davian," sapa Bu Ratno saat menyadari kedatangan Davian.Davian menyalami calon ibu mertuanya itu, lalu melirik sekilas ke arah Indra yang duduk di sofa dalam ruangan.Bu Ratno menenteng beberapa lembar contoh amplop undangan di tangannya."Tante mau minta pendapat Mamamu tentang kartu undangan mana yang lebih bagus, ternyata
Najwa menunduk, tak tahu harus berkata apa pada Davian. Apa dia memang harus mengatakan hal yang sebenarnya pada Davian? Jika iya, mungkinkah Davian akan kehilangan semua yang dia miliki saat ini?"Davi," ucap Najwa lirih. "Sebenarnya ... aku ini ..."BRAKMereka berdua terkejut karena tiba-tiba pintu terbuka dengan kasar. Risma masuk ke dalam dan langsung menarik tangan Davian."Apa-apaan kalian, berdua-duaan di sini?" tanya Risma sambil menatap tajam ke arah Najwa."Mbak Wawa kenapa ke sini lagi, sih? Bukannya Mbak Wawa sudah mengundurkan diri?" tanyanya.Najwa tidak menjawab. Dia membuang muka, menyembunyikan matanya yang berembun. Risma mengalihkan pandangan pada Davian."Papamu menyuruh kita pulang. Kita akan membicara