"Apa yang kamu katakan, Bik?" tanya Pak Tomo belum bisa menghilangkan keterkejutannya.Dia berjongkok, sambil memegang kedua pundak Mirna. Davian segera menyadari sesuatu, dan lekas memegang lengan Papanya."Kita minta penjelasannya nanti, Pa. Golongan darah Papa AB, kan? Najwa butuh donor darah agar nyawanya bisa selamat."Pak Tomo segera mengerti. Mereka bertiga bergegas meninggalkan kantor dan meluncur menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan mereka bertiga terdiam, larut dalam pikiran masing-masing.Sesampainya di rumah sakit Pak Tomo langsung menemui dokter untuk dilakukan pengecekan dan pengambilan darah. Davian dan orang tua Najwa hanya bisa menunggu dengan cemas."Jadi, Najwa itu anak kandung orang tuaku?" tanya Davian lirih, saat duduk di samping Mirna.
"Ibuk! Ibuk!" Indra menggoncang tubuh Ibunya yang masih tak sadarkan diri.Pak Tomo segera memanggil anak buahnya untuk membantu mengangkat tubuh Bu Ratno dan juga memanggil ambulan. Mereka membawa Bu Ratno keluar dari ruangan itu, melewati Najwa yang ada di depan pintu.Indra menghentikan langkah sebentar ketika sampai di samping Najwa."Maafkan aku, Najwa," ucapnya tanpa rasa malu sedikitpun.Najwa tak menjawab, hanya membuang muka. Indra meneruskan langkahnya meninggalkan ruangan itu.Pak Tomo berjalan mendekati Najwa."Kamu kenapa nekad keluar dari rumah sakit?" tanya Pak Tomo."Maafkan saya karena sudah lancang, Pak. Saya harus menghentikan Bapak untuk menotariskan tanah itu ke saham Bapak, " jawab Najwa. "Tanah itu mi
"Pergi? Pergi ke mana Davi?" tanya Pak Tomo sambil mendekati puteranya itu.Davian tersenyum seraya menatap Papanya."Davi ingin mewujudkan impian Davi yang dulu, Pa," ucapnya."Menjadi seorang chef?" tanya Pak Tomo dengan mata yang membulat.Davian tersenyum, seraya mengangguk."Tidak, Davi. Papa tidak mengijinkan," sahut Pak Tomo. "Tidak ada yang boleh pergi lagi. Mulai sekarang kita akan hidup bersama, sebagai keluarga. Tidak ada yang boleh pergi."Davi sesaat melirik ke arah Najwa, lalu menatap Papanya lagi."Davi tidak bisa menjadikan Najwa saudara Davi," ucap Davi lirih.Pak Tomo tersentak, lalu memegang kedua pundak Davian."Apa maksudmu, Davi?
Bulan berlalu, musim berganti. Najwa berdiri di depan tanah milik orang tuanya. Dia menatap sekeliling tempat itu. Secara tidak langsung tanah itu telah berperan besar dalam kehidupannya. Karena tanah itu, terjadi pernikahan tidak bahagia antara dia dan Indra. Karena tanah itu dia mengenal Pak Tomo dan Farah, orang tua kandungnya. Karena memperjuangkan tanah itu, dia bisa seperti sekarang ini. Hidup memang seperti roda, yang terus berputar.Kini di hadapannya berdiri sebuah masjid besar, dan sebuah panti asuhan yang dia bangun dengan hasil keringatnya sendiri. Najwa tersenyum bangga atas apa yang telah dia capai saat ini."Nduk," Ibunya menepuk pundaknya, menyadarkannya dari lamunan. "Ayo masuk. Semua warga sudah berkumpul di dalam. Kamu kan harus melakukan penyerahan tanah dan masjid ini untuk warga sekitar."Najwa menggenggam jari ibunya yang berada di pundakny
Najwa membawa Indra masuk ke dalam panti dan merawat luka-lukanya. Indra duduk sambil memangku Bintang, sambil menceritakan apa yang sebenarnya terjadi."Jadi anak ini ... ," Najwa membulatkan mata mendengar perkataan Indra."Dia bukan anakku," jawab Indra. "Aku menikah dengan Susan untuk menutupi hutang Ibuk pada mereka. Susan membutuhkanku untuk menutupi kehamilannya. Kami sudah membuat kesepakatan dari awal."Najwa terdiam, tak tahu apa yang harus dia katakan. Indra menatap Najwa penuh arti."Sekarang kamu tahu, aku tidak pernah mengkhianatimu. Aku bahkan tidak pernah menyentuh Susan sedikitpun," ucapnya.Najwa memalingkan muka. Dia takut hatinya goyah karena hal itu. Dia menelan saliva, lalu membuang napas berat."Lalu apa rencanamu sekarang, Mas?" tanyany
"Najwa," Davian masih berusaha. melepaskan pelukan Risma, tapi dia tak kunjung mau melepasnya. "Aku bisa jelaskan."Najwa mengatupkan bibir, lalu pergi meninggalkan tempat itu dengan hati kalut, tanpa menunggu penjelasan Davian. Ah, cemburukah dia? Padahal dia dan Davian belum mempunyai ikatan apapun. Tapi tak bisa dipungkiri hatinya kesal. Kenapa Davian tak memberinya kabar jika dia sudah pulang, dan malah bersama dengan Risma?Najwa bergegas kembali ke tempat Mamanya dan duduk di sampingnya."Kamu dari mana?" tanya Farah pada puterinya itu.Najwa membuang napas, lalu mencoba tersenyum pada Mamanya."Dari toilet, Ma," jawabnya berbohong.Tiba-tiba televisi dinding yang ada di ruangan itu menampilkan sebuah berita. Awalnya Najwa tak tertarik. Tapi ketika nama
Najwa masih belum bisa menghilangkan keterkejutannya melihat Indra menampar Risma di depannya. Risma memegang pipinya yang memerah dan perih."Apa yang kamu lakukan, Indra?" tanya Najwa.Indra tak langsung menjawab. Dia membuang napas, lalu menatap Najwa."Bisakah kamu meninggalkan kami berdua sebentar?" tanyanya.Najwa sesaat menatap Risma yang terlihat shock, lalu berjalan perlahan meninggalkan ruangan itu.Indra mendekati Risma, lalu duduk di depannya."Ini pertama kalinya Kakak memukulku," ucap Risma lirih, dengan suara gemetar karena tangis."Seharusnya Kakak melakukannya dari dulu," ucap Indra kemudian. "Kakak sudah gagal menjadi seorang kakak, suami, dan anak yang baik."Risma men
"Wa, cepet bawa minumannya ke sini! Para tamu sebentar lagi datang!" titah Bu Ratno, ibu mertuaku."Iya, Buk," jawabku yang dari tadi sibuk mengangkat tumpukan piring untuk hidangan para tamu.Hari ini adalah hari pertunangan Risma, adik iparku. Istilah orang Jawa "sisetan". Katanya dia akan menikah dengan pengusaha properti kaya raya. Aku sedari subuh sibuk membantu Bik Lastri, ART kami, menyiapkan berbagai hidangan untuk menyambut kedatangan mereka.Aku bergegas mengambil sewadah besar penuh sop buah yang sudah kusiapkan, lalu membawanya ke depan. Berulang kali aku menyeka keringat, karena belum beristirahat sedetikpun dari subuh."Jangan lupa, gelasnya juga kamu taruh sini, ya?" perintah ibu mertuaku lagi.Aku mengangguk, lalu bergegas ke belakang untuk mengambil yang dia minta. Dalam perjalanan ke dapur, kulihat Mas Indra, suamiku, sudah berpakaian rapi bersiap menyambut tamu yang datang."Dek, Risma manggil kamu, tuh. Butuh bantuan dand
Najwa masih belum bisa menghilangkan keterkejutannya melihat Indra menampar Risma di depannya. Risma memegang pipinya yang memerah dan perih."Apa yang kamu lakukan, Indra?" tanya Najwa.Indra tak langsung menjawab. Dia membuang napas, lalu menatap Najwa."Bisakah kamu meninggalkan kami berdua sebentar?" tanyanya.Najwa sesaat menatap Risma yang terlihat shock, lalu berjalan perlahan meninggalkan ruangan itu.Indra mendekati Risma, lalu duduk di depannya."Ini pertama kalinya Kakak memukulku," ucap Risma lirih, dengan suara gemetar karena tangis."Seharusnya Kakak melakukannya dari dulu," ucap Indra kemudian. "Kakak sudah gagal menjadi seorang kakak, suami, dan anak yang baik."Risma men
"Najwa," Davian masih berusaha. melepaskan pelukan Risma, tapi dia tak kunjung mau melepasnya. "Aku bisa jelaskan."Najwa mengatupkan bibir, lalu pergi meninggalkan tempat itu dengan hati kalut, tanpa menunggu penjelasan Davian. Ah, cemburukah dia? Padahal dia dan Davian belum mempunyai ikatan apapun. Tapi tak bisa dipungkiri hatinya kesal. Kenapa Davian tak memberinya kabar jika dia sudah pulang, dan malah bersama dengan Risma?Najwa bergegas kembali ke tempat Mamanya dan duduk di sampingnya."Kamu dari mana?" tanya Farah pada puterinya itu.Najwa membuang napas, lalu mencoba tersenyum pada Mamanya."Dari toilet, Ma," jawabnya berbohong.Tiba-tiba televisi dinding yang ada di ruangan itu menampilkan sebuah berita. Awalnya Najwa tak tertarik. Tapi ketika nama
Najwa membawa Indra masuk ke dalam panti dan merawat luka-lukanya. Indra duduk sambil memangku Bintang, sambil menceritakan apa yang sebenarnya terjadi."Jadi anak ini ... ," Najwa membulatkan mata mendengar perkataan Indra."Dia bukan anakku," jawab Indra. "Aku menikah dengan Susan untuk menutupi hutang Ibuk pada mereka. Susan membutuhkanku untuk menutupi kehamilannya. Kami sudah membuat kesepakatan dari awal."Najwa terdiam, tak tahu apa yang harus dia katakan. Indra menatap Najwa penuh arti."Sekarang kamu tahu, aku tidak pernah mengkhianatimu. Aku bahkan tidak pernah menyentuh Susan sedikitpun," ucapnya.Najwa memalingkan muka. Dia takut hatinya goyah karena hal itu. Dia menelan saliva, lalu membuang napas berat."Lalu apa rencanamu sekarang, Mas?" tanyany
Bulan berlalu, musim berganti. Najwa berdiri di depan tanah milik orang tuanya. Dia menatap sekeliling tempat itu. Secara tidak langsung tanah itu telah berperan besar dalam kehidupannya. Karena tanah itu, terjadi pernikahan tidak bahagia antara dia dan Indra. Karena tanah itu dia mengenal Pak Tomo dan Farah, orang tua kandungnya. Karena memperjuangkan tanah itu, dia bisa seperti sekarang ini. Hidup memang seperti roda, yang terus berputar.Kini di hadapannya berdiri sebuah masjid besar, dan sebuah panti asuhan yang dia bangun dengan hasil keringatnya sendiri. Najwa tersenyum bangga atas apa yang telah dia capai saat ini."Nduk," Ibunya menepuk pundaknya, menyadarkannya dari lamunan. "Ayo masuk. Semua warga sudah berkumpul di dalam. Kamu kan harus melakukan penyerahan tanah dan masjid ini untuk warga sekitar."Najwa menggenggam jari ibunya yang berada di pundakny
"Pergi? Pergi ke mana Davi?" tanya Pak Tomo sambil mendekati puteranya itu.Davian tersenyum seraya menatap Papanya."Davi ingin mewujudkan impian Davi yang dulu, Pa," ucapnya."Menjadi seorang chef?" tanya Pak Tomo dengan mata yang membulat.Davian tersenyum, seraya mengangguk."Tidak, Davi. Papa tidak mengijinkan," sahut Pak Tomo. "Tidak ada yang boleh pergi lagi. Mulai sekarang kita akan hidup bersama, sebagai keluarga. Tidak ada yang boleh pergi."Davi sesaat melirik ke arah Najwa, lalu menatap Papanya lagi."Davi tidak bisa menjadikan Najwa saudara Davi," ucap Davi lirih.Pak Tomo tersentak, lalu memegang kedua pundak Davian."Apa maksudmu, Davi?
"Ibuk! Ibuk!" Indra menggoncang tubuh Ibunya yang masih tak sadarkan diri.Pak Tomo segera memanggil anak buahnya untuk membantu mengangkat tubuh Bu Ratno dan juga memanggil ambulan. Mereka membawa Bu Ratno keluar dari ruangan itu, melewati Najwa yang ada di depan pintu.Indra menghentikan langkah sebentar ketika sampai di samping Najwa."Maafkan aku, Najwa," ucapnya tanpa rasa malu sedikitpun.Najwa tak menjawab, hanya membuang muka. Indra meneruskan langkahnya meninggalkan ruangan itu.Pak Tomo berjalan mendekati Najwa."Kamu kenapa nekad keluar dari rumah sakit?" tanya Pak Tomo."Maafkan saya karena sudah lancang, Pak. Saya harus menghentikan Bapak untuk menotariskan tanah itu ke saham Bapak, " jawab Najwa. "Tanah itu mi
"Apa yang kamu katakan, Bik?" tanya Pak Tomo belum bisa menghilangkan keterkejutannya.Dia berjongkok, sambil memegang kedua pundak Mirna. Davian segera menyadari sesuatu, dan lekas memegang lengan Papanya."Kita minta penjelasannya nanti, Pa. Golongan darah Papa AB, kan? Najwa butuh donor darah agar nyawanya bisa selamat."Pak Tomo segera mengerti. Mereka bertiga bergegas meninggalkan kantor dan meluncur menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan mereka bertiga terdiam, larut dalam pikiran masing-masing.Sesampainya di rumah sakit Pak Tomo langsung menemui dokter untuk dilakukan pengecekan dan pengambilan darah. Davian dan orang tua Najwa hanya bisa menunggu dengan cemas."Jadi, Najwa itu anak kandung orang tuaku?" tanya Davian lirih, saat duduk di samping Mirna.
Davian menghentikan mobilnya di area parkir rumah sakit. Pikirannya kalut, satu-satunya yang dia ajak bercerita adalah Mamanya. Sebenarnya dia tidak ingin membebani Mamanya lagi dengan pikirannya, tapi saat ini dia benar-benar bingung tentang apa yang harus dia lakukan.Dia berjalan memasuki gedung rumah sakit dan langsung menuju kamar rawat Mamanya. Rupanya Bu Ratno dan Davian ada di sana, duduk di samping Mamanya yang duduk bersandar di atas kasur serba putih itu."Eh, Nak Davian," sapa Bu Ratno saat menyadari kedatangan Davian.Davian menyalami calon ibu mertuanya itu, lalu melirik sekilas ke arah Indra yang duduk di sofa dalam ruangan.Bu Ratno menenteng beberapa lembar contoh amplop undangan di tangannya."Tante mau minta pendapat Mamamu tentang kartu undangan mana yang lebih bagus, ternyata
Najwa menunduk, tak tahu harus berkata apa pada Davian. Apa dia memang harus mengatakan hal yang sebenarnya pada Davian? Jika iya, mungkinkah Davian akan kehilangan semua yang dia miliki saat ini?"Davi," ucap Najwa lirih. "Sebenarnya ... aku ini ..."BRAKMereka berdua terkejut karena tiba-tiba pintu terbuka dengan kasar. Risma masuk ke dalam dan langsung menarik tangan Davian."Apa-apaan kalian, berdua-duaan di sini?" tanya Risma sambil menatap tajam ke arah Najwa."Mbak Wawa kenapa ke sini lagi, sih? Bukannya Mbak Wawa sudah mengundurkan diri?" tanyanya.Najwa tidak menjawab. Dia membuang muka, menyembunyikan matanya yang berembun. Risma mengalihkan pandangan pada Davian."Papamu menyuruh kita pulang. Kita akan membicara