Sebelum pernikahan, Wina meminta bicara secara pribadi dengan XL. Dia ingin mencurahkan isi hatinya pada gadis itu. Berani sekali XL menghancurkan semua harapannya untuk memiliki menantu idaman yang langsing dan pintar.Ardhia alias XL datang memenuhi undangan calon mertuanya itu. Mereka sekarang duduk di ruang tamu milik keluarga Seno.Mata gadis itu tidak berkedip melihat segala kemewahan di depan matanya. Tidak menyangka jika mereka, keluarga calon suaminya sekaya itu.“Silahkan, Nona! Diminum tehnya!” suruh pelayan sambil meletakkan secangkir teh di hadapan Ardhia.“Makasih, Bi.” Ardhia tersenyum kepada pelayan tersebut. Pelayan itu senang karena Ardhia ramah padanya.“Eeeh … tunggu … tunggu!” Tiba-tiba Wina datang dan menahan pelayan tersebut. Ardhia kaget, gadis itu memandang calon mertuanya lalu menunduk. Keringat yang selalu saja muncul di area dahinya hampir meluncur jatuh ke lantai keramik yang sangat bersih. Buru-buru gadis itu menyeka dengan tisu yang sudah lusuh. “Ya, N
Pesta berakhir tepat tengah malam. Yudha membawa Ardhia pulang ke rumah orangtuanya. Sebelum besoknya berangkat bulan madu ke Bali.“Ah … lega. Korset ini hampir membunuhku. Sesak sekali napasku.” Ardhia mengeluh sambil melucuti semua pakaian pengantinnya.“Hei … mengapa di depanku?” tanya Yudha tidak suka. Rupanya tubuh gendut Ardhia tidak memancing gairahnya. “Lho, kan sudah halal, kita suami istri, kan?” tanya Ardhia heran. Mendengar perkataan Yudha musnah sudah cerita indah tentang malam pertama.“Iya, kita … kita suami istri, tapi kan belum saatnya mesra-mesraan. Besok saja saat bulan madu.” Dengan agak gugup Yudha menjawab.“Ya sudah.” Ardhia menyetujuinya, lagian dia juga merasa malu jika harus keramas pagi-pagi di rumah mertua. “Tapi rambutku juga rasanya lengket jika tidak keramas,” pikirnya Ardhia masih berkutat dengan baju pengantinnya. Yudha tidak menolongnya, dia malah asyik memainkan HP. “Nissa sedang apa, ya?” pikir Yudha. Dia ingin sekali menelpon kekasih yang sudah
“Buketnya yang spesial, ya!” kata Yudha di telpon. Wina tertegun sejenak, dia mengintip Yudha yang sedang berbicara dari balik tembok. Setelah tahu rencana Yudha timbul ide cemerlang di benaknya. Cepat-cepat dia menghubungi Nissa, calon menantu idamannya.“Baik Tante.” Lega sekali rasanya setelah mendengar Nissa setuju dengan rencananya.Wina dan Nissa membicarakan rencana mereka di telpon. Wina menjelaskan rencananya kepada Nissa, bahwa dia ingin memberikan sebuah buket bunga yang spesial kepada Yudha. Buket itu akan dibuat dalam bentuk yang unik dan menarik, tentu saja sebagai suprise. Walau itu adalah pesanan Yudha sendiri.“Besok pagi-pagi pergilah ke salon, semuanya sudah disiapkan, Ok,Sayang?” Wina menutup teleponnya setelah memberitahukan rencananya dengan detail kepada Nissa.Di kamarnya, Nissa senyum-senyum sendiri. Hatinya yang patah perlahan-lahan mulai ada lagi harapan untuk kembali lagi kepada Yudha. Besok akan dibisikkan kata-kata yang akan membuat gadis gendut itu mund
Ardhia tersenyum sendiri melihat muka kecut Nissa. Walau hatinya panas otaknya harus tetap dingin. Tidak boleh kalah dengan siasat mereka. Tampak olehnya Nissa meninggalkan tempat pesta setelah bisik-bisik dengan mertuanya. Ardhia yakin tentu ada lagi ulah mereka yang akan membuatnya jengkel. Baru sehari menjadi istri Yudha hidupnya sudah berbalik 180 derajat.“Apa lagi yang mereka rencanakan.” Ardhia memandang mereka dengan curiga. Ekspresi wajah Nissa yang tiba-tiba cerah membuatnya harus selalu waspada.Beberapa sesi pemotretan sudah dilakukan. Tamu-tamu khusus sudah pulang satu persatu. Tampak mereka puas dengan jamuan dan keramahan pengantin. Rupanya Ardhia mendapatkan point plus di depan sahabat-sahabat Wina.Tentu saja Wina semakin uring-uringan. Hatinya masih dongkol dengan kekalahannya harus bermenantukan Ardhia. Namun, demi keuangannya tetap aman dia harus menahan kedongkolanya itu.Wanita itu tersenyum mengingat kembali rencananya bersama Nissa. Dia yakin jika menantunya ka
Ardhia masuk ke dalam kamar, dilihatnya Yudha tidak ada. Terdengar bunyi air gemericik di kamar mandi. Gadis itu tersenyum sendiri, membayangkan wajah tampan suaminya.“Rupanya dia sedang mandi,” gumam Ardhia. Gadis itu duduk di kursi dan menyalakan televisi. Film kartun jadi pilihannya, gaya kocak animasinya membuatnya sedikit terhibur. Kembali pikirannya tertuju kepada orang yang tadi dilihatnya. Secara postur tubuh wanita tersebut mirip dengan Nissa. Mumet dengan pikirannya, membuatnya memejamkan mata. Raganya lelah dengan pikirannya sendiri.Ardhia hampir terlelap saat Yudha keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk kecil di pinggang. Menutup hanya bagian aurat vitalnya. Gadis itu memalingkan wajahnya karena malu. Dia belum terbiasa melihat tubuh laki-laki yang sudah menjadi suaminya itu.“Me … mengapa kamu tidak memakai baju?” tanya Ardhia gugup. Mukanya merah menahan malu. Gadis itu memalingkan wajahnya dari pemandangan di hadapannya. Sumpah, itu membuat hatinya be
Sesampainya di kamar hotel, Ardhia duduk di sofa. Pemandangan menghadap ke laut membuat suasana hatinya sedikit rileks. Tidak terlalu kacau seperti balon hijau meletus. “Apa yang harus kulakukan? Rupanya Yudha membawa serta pacarnya ke sini.” Wanita itu sakit hatinya. Dia merasa berat badannya susut beberapa ons. Benar kata orang, sakit hati adalah diet terhebat dan tersukses di jagat raya ini.“Baru beberapa hari menikah, berat badanku seperti sudah 45 kg saja.” Ardhia penasaran, dia berdiri dan berdiri di depan cermin. “Mana ada aku kurus, tetap saja seperti kuda nil tersesat.” Ardhia mengeluh, dia ingin sekali langsing dan bergaya dengan berbagai macam model baju kekinian. “Apa yang harus kulakukan, tidak mungkin aku menangis memikirkan nasibku. Aku tidak boleh cengeng.” Walau hatinya sangat sakit rasanya, dia tidak ingin berjiwa cengeng. Dirinya harus kuat, ada mertua laki-laki di belakangnya.Ardhia mengambil HP, dia bermaksud menelpon Farah. Minta nasehat agar beban hidupnya se
Nissa berlari mengejar Yudha yang baru beranjak ke pintu. Gadis itu tidak mau jika ditinggal sendirian. “Aku tidak boleh terus di sini. Ardhia bisa mengadu kepada Papaku. Bisa-bisa semua yang sudah ditandatangani dibatalkan semua.” Yudha berusaha menjelaskan jika dirinya harus pergi kepada Ardhia.“Jangan pergi! Hiks hiks hiks.” Nissa berjongkok sambil memegang tangan Yudha. Air matanya mengalir deras di pipinya, menyisakan rasa perih karena tadi tersungkur ke pasir.“Mengertilah, Nissa. Kita tidak boleh bersama-sama terus. Apakah kamu mau menjadi miskin?” tanya Yudha. Perlahan-lahan lelaki itu melepas tangan Nissa yang menggelayutinya.Nissa tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Percuma dirinya memohon juga, kekasihnya itu tetap akan meninggalkannya.Nissa hanya bisa nangis terisak-isak. Dia menutup pintu dengan hati hancur. Menyandarkan tubuhnya sambil berfikir, mengapa hidupnya malang nian.Tentu saja dia tidak merasakan jika hati Ardhia juga sama hancurnya seperti dirinya. Dirinya han
Seno tersenyum bahagia melihat video yang dikirim Yudha. Pria itu melihat Ardhia tengah duduk sambil memainkan HP-nya. Akhirnya apa yang diharapkan olehnya akan terwujud.“Lihat, Ma. Mereka tampak rukun. Tidak sia-sia aku mengeluarkan banyak uang untuk kebahagiaan mereka.” Seno memperlihatkan layar handphone ke arah istrinya.Sejenak Wina melihatnya sambil tersenyum sinis. Dia yakin jika anaknya itu pura-pura bahagia. Bukankah dirinya sudah menyiapkan sesuatu untuk kebahagiaan anaknya itu.“Nissa di mana, ya?” tanya hati Wina. “Oh, iya. Pesan dari dia belum kubuka.” Mata wanita cantik itu melirik suaminya. Cepat-cepat dipasang senyum manis di bibirnya. Dia menunggu suaminya lengah. Dipasangnya headset biar tidak ada suara yang keluar dari video yang akan dilihatnya.Sebuah video yang dikirim Nissa memperlihatkan gadis itu masuk ke kamar hotel. Lalu beralih ke seorang pemuda yang berjalan di belakangnya.“Semoga dia cepat hamil.” Tanpa sadar Wina bergumam. Suaranya cukup keras untuk di
Mendengar keributan yang terjadi antara Yudha dengan ibunya membuat Ardhia bangun. Dia mengendap-ngendap keluar dari kamarnya dan mendengar percakapan mereka.Ardhia sedih mendengar kata-kata mamanya alias mertuanya, tidak menyangka sebegitu bencinya mertuanya itu kepadanya.Masih beruntung Yudha membelanya walau tidak sepenuhnya. Ardhia dengan cepat balik lagi ke kamar setelah mendengar Yudha menaiki tangga. Namun, masih terdengar olehnya Wina mengumpat Yudha“Astaga Ibu macam apa seperti itu. Kamu beruntung Nak, mempunyai Ibu seperti aku. Ibu tidak akan berlaku seperti itu kepadamu, kamu baik-baik, ya di dalam perut Ibu,” bisik Ardhia sambil mengusap perutnya.Ardhia memasang telinganya baik-baik, mendengar ada suara mendatangi kamarnya. “Apakah itu Yudha?” tanyanya dalam hati. “Mau apa dia ke sini? Sial pintunya belum dikunci lagi tadi,” gumam Ardhia sambil membetulkan selimutnya, pura-pura tertidur pulasKlotak! Terdengar pintu dibuka, Yudha melongokkan kepalanya ke kamar Ardhia
Hari demi hari dijalani Ardhia dengan bimbang. Sementara Yudha belum berubah dan Wina bertambah tidak menyukainya. Hanya Seno yang selalu memperhatikannya dan itu membuat Wina cemburu.“Papa … Mama nggak suka ya, kalau Papa terlalu memperhatikan Ardhia! Apakah Papa suka sama dia?” tanya Wina tanpa tedeng aling-aling. Tentu saja Seno terkejut mendapat pertanyaan dari Wina seperti itu. Matanya melotot, hampir melompat dari tempatnya.“Suka bagaimana? Fari dulu juga Papa suka sama Ardhia. Makanya dia Papa jadikan menantu, aneh-aneh aja,” jawab Seno sambil memandang istrinya tajam. Tidak suka sama sekali dengan ucapan istrinya.“Maksud Mama bukan itu. Papa suka sama dia?” tanya Wina lagi semakin kurang ajar. Wanita itu memandang penulis selidik.“Jaga ucapanu! Mama tidak pantas berbicara seperti itu. Ardhia itu menantuku dan dia sekarang sedang mengandung anak Yudha!” ujar Seno keras karena emosi. Dia keceplosan dan berbicara tentang kehamilan Ardhia.“Apa hamil? tanya Wina gak kalah kag
Perlahan-lahan tangan keriput itu menyentuh perut Ardhia, rupanya butuh tenaga ekstra agar bisa mendapatkan apa yang dimaksud. Soalnya perut ardia sedikit gendut walaupun dia sudah berkurang beberapa kilogram tapi perutnya masih besar.Dengan harap-harap cemas Ardhia memegang perut dan tangan nenek parah. Dia terkikik sendiri.“Kamu diam tangannya! Jangan dipegang tangan Nenek,” ujar nenek sambil tersenyum. Dia maklum jika Ardhia belum pernah diurut.“Geli Nek … geli, hihi hihihi,” kata ardia sambil cekikikan lagi. Dia merasa tidak tahan saat tangan neneknya Farah menjelajahi perutnya.“Tahan sedikit, kamu mau tahu nggak, hamil atau tidaknya?” tanya neneknya Farah. Tangannya tetap menelusuri perut Ardhia yang sudah licin berminyak. Tiba-tiba nenek itu terdiam saat merasakan sesuatu, ditekannya lagi berkali-kali untuk memastikan perasaannya.Farah tahu apa yang ditemukan neneknya itu, dia memandang tegang ke arah neneknya. Ardhia juga memandang ke wajah nenek dan Farah dengan bingung
Ardia dan Farah duduk menghadapi masing-masing semangkuk mie ayam. Ardhia menunduk setelah mendengar perkataan dokter tadi.“Negatif.”Kata-kata dokter tadi membuatnya sedikit kecewa. Sesungguhnya dia berharap keajaiban terjadi. Dia ingin hamil dan mengandung anak Yudha. Seandainya mereka pisah nanti ada kesibukan mengurus anak.“Baguslah kamu nggak hamil,” kata Farah. Dia melihat ke arah sahabatnya itu, hatinya ikut merasakan sakit mendengar penuturan Ardhia yang tidak diperbolehkan mertuanya untuk satu kamar dengan Yuda.“Eh buset, harusnya aku hamil ini,” tukas Ardhia sambil mengaduk-aduk mie.“Lho, gimana sih, tadi katanya masih perawan, hamil anak siapa jadinya?” Ardhia tertawa mendengar perkataan sahabatnya itu. Kelebihan Ardhia adalah, mampu menyembunyikan rasa sakit dalam senyuman.“Tapi kok aku seperti orang hamil, ya? Ini aja mual-mual tiap pagi. Sebenarnya aku punya rahasia, tapi ini cuma kamu dan aku saja ya.” Ardhia berbisik sambil memandang Farah.Terlihat keraguan dari
Esok harinya mereka pulang kembali ke Jakarta. Wina masih tetap ketakutan dengan boneka hantu tersebut, dirinya tetap mengira jika kamar Ardhia ada hantunya.“Pokoknya aku mau pulang hari ini,” kata Wina. Dia membereskan kopernya, tanpa jalan-jalan ke pantai ataupun belanja oleh-oleh. Pokoknya harus pulang hari ini, begitu pikirnya“Ya, udah Mama saja yang pulang. Aku masih seminggu di sini,” kata Ardhia dia tidak mau mengikuti kata mertuanya itu. “Salah sendiri ikut-ikutan bulan madu, pengantin juga bukan,” pikir Ardhia.“Ya udah, kalau kita mau pulang,” kata Seno. “Biarkan Yudha dan Ardhia tetap di sini.”“Tidak bisa … tidak bisa, Yudha harus pulang juga. Ardhia cepat bereskan bajumu!” suruh mertuanya itu.Ardhia memanyunkan bibirnya, dia kesal dengan campur tangan mertuanya itu. Urusannya apa dia ikut-ikutan ke Bali. “Huh ngapain, sih? Dia sekarang ngerecokin lagi. Sudah jauh-jauh malah ikut-ikutan datang ke sini. Bulan maduku jadi gagal,” gerutu Ardhia dalam hati. Kemarin digang
Ardhia yang tengah tertidur pulas terganggu dengan dinyalakannya lampu oleh Seno. Dia terkejut saat bapak mertuanya ada di kamarnya. Tidak sadar kapan masuknya. “Papa sedang apa?” tanya Ardhia. Gadis itu cepat bangkit dari tidurnya. Merasa curiga dengan mertuanya diam-diam dirinya memeriksa tubuhnya. Tidak ada yang mencurigakan.“Mamamu bilang ada boneka hantu di sini?” kata Seno. Terbungkuk-bungkuk lelaki itu mencari boneka yang dimaksud.“Mana ada boneka hantu … tidak ada,” kata Ardhia. “Ayo lihat, kita periksa bareng-bareng!” ajak Ardhia sambil berdiri. Wanita itu mengawasi sekitar, tidak terlihat ada yang aneh dan mencurigakan“Dasar mamakmu, ada-ada saja,” sahut Seno kesal. Lelaki itu juga mencari-cari tidak ada boneka apalagi boneka hantuTidak lama kemudian datang Yudha bersama Wina, rupanya pemuda itu terganggu tidurnya karena kegaduhan mereka.“Ada apa sih selalu ribut-ribut … dari tadi ribut sekarang ribut,” gerutu Yudha. “Mama kamu nih, selalu bikin onar, sekarang dia bi
Yudha datang sambil berkacak pinggang, dia melongo melihat orang tuanya datang. Tadi sempet juga ibunya menelpon tapi tidak digubrisnya dia sangat terpukul dengan kejadian semalam. Eh … rupanya tadi itu sudah di bandara.“Apa-apaan ini?” tanya Yuda. Dia tidak habis pikir mengapa mama dan papanya ada di sini. Mau apa mereka datang. “Mama jelaskan padaku!” suruh Yudha. Kepalanya semakin mumet rasanya. Nyut-nyutan seperti mau pecah.“Mama aja tidak mau terjadi apa-apa dengan Ardhia.” Wina memandang menantu gendutnya itu. Ardhia jadi salah tingkah, merasa jika mertuanya itu sebenarnya perhatian padanya.“Maksudnya apa?” tanya Ardhia. Rasanya dia sudah bisa mengurus dirinya sendiri. “Mama tidak usah terlalu khawatir.” Wina terlihat gugup mendengar pertanyaan ardia sementara Seno hanya melongo saja. Lelaki itu tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Biasanya juga orang bulan madu itu tidak membawa keluarga.“Mama, ayo ke kamar kita!” ajak Seno. Dia merasa istrinya itu sudah ngelantur. Bil
Ardhia terkekeh melihat Yudha meremas kepalanya. Lelaki itu merasa sangat bodoh dengan kejadian ini. Dia meyakini bahwa ini benar-benar terjadi.“Mengapa kamu tidak tidur di bawah semalam?” tanya Yudha dengan wajah keruh. “Itu … itu … darah per ….” Yudha tidak melanjutkan perkataannya. Dia maklum sendiri, apa yang sudah terjadi sesungguhnya. Sedikit kelegaan menjalar di hatinya. “Ternyata dia masih gadis tulen.”“Enak aja suruh tidur di bawah, kucing di rumahku aja tidur di kasur.” Ardhia menjawab tak kalah judes. Dia sudah menemukan jati dirinya. Tidak akan terima begitu saja direndahkan oleh Yudha. Wanita itu harus mengikuti permainan Yudha.Gadis itu tahu, suaminya itu takut dengan ayahnya alias mertuanya. Sedangkan Ardhia adalah menantu pilihannya. Jadi, dia kini tidak akan mengalah begitu saja. Sok aja kalau berani.“Lalu … semalam itu?” Yudha rupanya masih menyesali perbuatannya. Masih berharap dirinya hanya tidur tanpa grapa grepe ke istrinya. Namun, sulit dipercaya jika tidak
Ardhia tertawa puas sambil menutup mulut. Dia berjingkat-jingkat menuju kursi dekat meja rias. Ingin melihat siapa saja yang komen. “Hah, ibu mertuaku kasih emot melongo. Ckckck … di luar nurul.” Ardhia senang karena orang-orang yang dibidiknya sudah melihat siaran langsungnya. Cepat-cepat Ardhia menghapus postingannya tersebut.Ping ping ping ping.Terdengar tanda pesan masuk di HP Yudha. Entah berapa puluh kali, pasti itu dari Nissa. Puas rasanya Ardhia sudah melakukan sesuatu yang memaksa mereka untuk mengakuinya sebagai istri Yudha.“Kurus aku jika lama-lama makan hati.” Ardhia mengusap lehernya yang rata. Tidak ada tulang menonjol seperti model-model. Dia yakin jika ikut senam BL (Body Language) juga dirinya pasti langsing. “Hoam.” Terganggu dengan bunyi ponselnya, Yudha membuka matanya. Dia meraba-raba kasur mencari benda tersebut sambil menguap.Rupanya rasa kantuk yang luar biasa tidak membuat lelaki itu membuka ponselnya. Dia malah tertidur lagi dengan layar ponsel yang terb