Untuk kesekian kalinya, Mama sempat berusaha membujukku agar pindah ke Perth dan mencari kerja di sana. Tanpa pikir dua kali, kutolak tawaran itu. Karena aku tak berniat mengubah rencana masa depan yang sudah kususun sejak belia. Aku ingin menjadi bankir di kota kelahiranku. Tambahan lain yang membuatku mustahil meninggalkan Pematangsiantar dan Puan Derana, aku bercita-cita menjadi relawan paruh waktu di tempat itu. Selain tentunya faktor Marco. Berhubungan jarak jauh itu takkan mudah.
“Ma, udahlah. Kalau nanti Nef pengin balik ke Perth, dia pasti nggak perlu dirayu-rayu,” komentar Nike. Mungkin kakakku pun merasa jenuh mendengar kalimat membujuk senada yang dilontarkan Mama dan selalu kurespons dengan penolakan.
Salah satu hal yang membuatku sangat bahagia, aku bisa memperkenalkan Nilla dengan kakak dan mamaku. Tampaknya, Nilla langsung membuat Nike dan Mama menyukainya. Mereka setuju untuk membiayai pendidikan Nilla sampai menjadi sarjana.
Mama dan
Aku harus menyiapkan berbagai keperluan untuk mengikuti pelatihan yang akan diselenggarakan Bank Dharmawangsa sebulan penuh. Terutama, pakaian yang layak untuk bekerja karena aku belum mendapat seragam. Aku dan puluhan karyawan yang baru direkrut berasal dari berbagai daerah di Sumatera Utara.Kali ini, Lita tak bisa dimintai tolong karena butik tempatnya bekerja tidak menyediakan pakaian yang kubutuhkan. Akhirnya, justru Vicky yang menemaniku keliling Pematangsiantar untuk mencari benda-benda yang kubutuhkan.“Inilah keuntungan jadi anak kuliahan, selalu punya waktu luang,” gurau Vicky. “Nggak merasa bersalah walau harus keluyuran berjam-jam. Kalau udah kerja, tentu aja situasinya beda, kan? Bisa-bisa dapat surat peringatan.”“Bener juga,” dukungku sambil tertawa geli.Saat ini, hari sudah menjelang sore dan kami sedang dalam perjalanan pulang menuju Rumah Borju. Di jok belakang mobil Vicky, a
Seakan bisa membaca pikiranku, Levi sangat sering menggodaku saat kami bicara di telepon atau bertukar pesan via WhatsApp.“Jangan kangen sama Marco ya, Nef. Tenang aja, di sini kami semua jagain pacarmu supaya dia nggak macem-macem. Pokoknya, kamu harus fokus sama acara pelatihan biar jadi pegawai terbaik abad ini,” oceh Levi.“Ish, siapa juga yang kangen,” balasku dengan wajah terasa panas membara.“Yaelah Nef, nggak usah sok malu gitu. Aku tau apa isi hatimu,” sahut Levi, yakin.Namun, akhirnya aku bisa menuntaskan pelatihan itu tanpa masalah berarti. Lalu, kami juga masih harus melakukan magang di cabang-cabang Bank Dharmawangsa yang ada di kota Medan. Durasinya? Sebulan penuh.“Nasabah itu banyak maunya. Kadang rasanya pengin marah kalau ketemu yang banyak tingkah. Kayak tadi, ada nasabahku yang marah karena kartunya tertelan di ATM. Ada juga yang malah ngajak makan malam setelah kelar buka rekening,&r
Tiga tahun kemudian.Ada banyak yang terjadi dalam hidupku selama tiga tahun terakhir ini. Perubahan yang bisa dibilang drastis dan melenceng dari cita-citaku semula. Aku cuma bertahan beberapa bulan di dunia perbankan, hal yang sudah kuimpikan sejak remaja. Namun aku tak menyesali apa yang kemudian kujalani. Meski dalam banyak kesempatan, selalu ada yang mempertanyakan perasaanku. Contohnya saja hari ini.“Kamu beneran nggak nyesel karena ninggalin kerjaanmu dan ngurusin Puan Derana kan, Nef?” tanya Joyce. “Maaf ya, kalau kamu nggak suka komentarku.”Kami semua berkumpul di Puan Derana yang sedang merayakan ulang tahun. Tepatnya, sembilan tahun silam tempat penampungan itu mulai beroperasi secara resmi. Kami berada di halaman belakang, menyaksikan orang-orang berlalu lalang menikmati pesta sederhana yang digelar sore itu. Aku duduk di bangku dari besi tempa, diapit oleh Joyce dan Vicky. Kami bertiga sedang menikmati es krim alpukat yang
“Memangnya kalau kamu nikah sama Marco, nggak bisa berguna lagi untuk Puan Derana, Nef?” bantah Joyce, tak setuju. Ekspresinya berubah serius. “Bukannya kalian malah bisa lebih fokus? Marco nggak perlu cemas lagi kamu digodain donatur Puan Derana.”Aku terpana mendengar kata-kata Joyce. “Donatur Puan Derana yang mana? Memangnya Marco bilang apa?” tanyaku keheranan.Vicky bersuara lebih dulu, mendahului Joyce. “Sebentar! Kalau soal fokus, menurutku nih, nggak ada kaitannya sama nikah atau nggak. Selain itu, memangnya kalau mereka nikah, otomatis yang godain Nef bakalan berhenti? Nggak, kan? Hal-hal kayak gitu pasti tetap ada entah dari sisi Nef atau Marco. Namanya juga hidup. Yang penting, Nef nggak tergoda. ”Aku setuju dengan kata-kata Vicky. Namun saat ini fokusku bukan ke sana. Karena itu, kuulangi pertanyaanku pada Joyce tadi sekali lagi. Gadis itu menatapku dengan senyum canggung. Seakan dia baru saja melakuka
Marco tampak kaget mendengar kata-kata yang kulontarkan dengan nada tak bersahabat. Ini bukan kebiasaanku meski aku bukanlah gadis penyabar. Selama tiga setengah tahun bersama, aku selalu bisa menahan diri agar emosiku tak sampai meledak.Bisa dibilang, aku dan Marco bertumbuh bersama-sama. Kami bertransformasi dari sepasang anak kuliahan menjadi dua orang dewasa yang cukup rasional. Aku dan Marco tak pernah bertengkar karena hal-hal sepele yang memang bisa dituntaskan dengan mudah. Kami pun nyaris tak pernah terlibat pertikaian karena salah paham. Andai boleh menilai, kuanggap hubunganku dengan Marco selama ini cukup sehat.“Kamu kenapa?” Marco duduk di sebelah kiriku.“Aku kesal. Karena menurutku seharusnya kamu ngasih tau kalau kamu terganggu sama Jovie. Bukan malah curhat sama Cliff atau yang lain,” tukasku tanpa basa-basi. Aku menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Tak seharusnya aku menjadi begini emosi. Setelah itu, aku pun
Aku memeluk Mama dengan erat. Ini benar-benar kejutan. Baru kemarin kami mengobrol via telepon. Kala itu, Mama tak mengatakan apa pun seputar rencananya untuk terbang ke Indonesia. Setelah itu, pelukanku beralih pada kakakku yang lagi-lagi menemani Mama ke Pematangsiantar.“Kenapa sih Mama suka sekali ngasih kejutan? Kenapa nggak bilang kalau mau ke sini? Aku kan bisa jemput ke bandara,” kataku setengah mengomel. Aku kembali mendekap Mama. “Ternyata aku kangen sama Mama. Sudah tiga tahun kita nggak ketemu,” desahku.“Ya harus kangen. Memangnya kamu punya Mama berapa sampai berani nggak kangen sama Mama yang ini,” balas Mama sambil mencium pipiku.Ketika aku merenggangkan pelukan, bisa kulihat mata Mama berkaca-kaca. Kondisiku pun kurang lebih sama. Namun tentu saja aku tak ingin kami tenggelam dalam air mata saat seharusnya merayakan pertemuan yang tak terduga ini.“Kenapa Kakak selalu ikut-ikutan Mama, sih? Nggak
Sepeninggal Marco, aku benar-benar tersiksa oleh rasa penasaran. Namun, satu hal yang kupelajari selama kami bersama, adakalanya Marco bisa bersikap kepala batu. Contohnya saja tadi. Meski aku ingin tahu apa yang hendak dibicarakannya, Marco menolak membuka mulut. Dia bersikukuh bahwa sekarang bukan waktu yang tepat.Aku kesal sekali tapi tak bisa melakukan apa pun. Aku pun menuju kamar yang akan kami tempati malam ini. Berada di lantai dua belas, Nike memesan dua buah kamar dengan pintu penghubung. Karena Hotel Simalungun tidak memiliki suite.“Kak, Mama barusan udah pesan banyak makanan. Jangan langsung bobo, ya,” kata Nilla begitu melihatku masuk ke kamar yang akan kami tempati berdua. Nilla baru keluar dari kamar mandi, sudah mengenakan piama yang kubelikan beberapa bulan silam.“Mana mungkin bisa bobo, La. Pasti diajak Mama ngobrol sampai menjelang subuh,” gurauku. Aku sempat melirik pintu penghubung yang terbuka. “Aku
Kata-kata Mama malah membuatku kian heran. Bahkan, ada kecemasan yang mulai kurasakan. Kulirik kakakku, mencoba mencari tahu apakah ada masalah serius yang membuat Mama harus terbang ke Indonesia. Namun Nike malah sedang menumpukan perhatian pada piza yang sudah dinikmatinya.“Kenapa kamu malah bengong?” tegur Mama sembari memasukkan suapan roti panggang ke dalam mulutnya. “Apa ada masalah yang Mama nggak tau?”Aku menggeleng. “Justru aku mau tanya sama Mama. Apa ada masalah yang aku nggak tau?” aku membeo. “Bukannya nggak senang kalau Mama berlama-lama di sini. tapi biasanya cuma maksimal dua minggu. Kenapa sekarang malah jadi lima minggu? Pasti ada sesuatu, kan?” tebakku dengan kepala mulai membuat aneka tebakan.“Nggak ada apa-apa, Nef. Mama cuma kangen aja sama kamu dan kota ini. Mama juga pengin ngabisin waktu bareng Nilla. Mumpung lagi ada di sini.”Aku akhirnya mulai paham alasan Mama. Tam