Aku memeluk Mama dengan erat. Ini benar-benar kejutan. Baru kemarin kami mengobrol via telepon. Kala itu, Mama tak mengatakan apa pun seputar rencananya untuk terbang ke Indonesia. Setelah itu, pelukanku beralih pada kakakku yang lagi-lagi menemani Mama ke Pematangsiantar.
“Kenapa sih Mama suka sekali ngasih kejutan? Kenapa nggak bilang kalau mau ke sini? Aku kan bisa jemput ke bandara,” kataku setengah mengomel. Aku kembali mendekap Mama. “Ternyata aku kangen sama Mama. Sudah tiga tahun kita nggak ketemu,” desahku.
“Ya harus kangen. Memangnya kamu punya Mama berapa sampai berani nggak kangen sama Mama yang ini,” balas Mama sambil mencium pipiku.
Ketika aku merenggangkan pelukan, bisa kulihat mata Mama berkaca-kaca. Kondisiku pun kurang lebih sama. Namun tentu saja aku tak ingin kami tenggelam dalam air mata saat seharusnya merayakan pertemuan yang tak terduga ini.
“Kenapa Kakak selalu ikut-ikutan Mama, sih? Nggak
Sepeninggal Marco, aku benar-benar tersiksa oleh rasa penasaran. Namun, satu hal yang kupelajari selama kami bersama, adakalanya Marco bisa bersikap kepala batu. Contohnya saja tadi. Meski aku ingin tahu apa yang hendak dibicarakannya, Marco menolak membuka mulut. Dia bersikukuh bahwa sekarang bukan waktu yang tepat.Aku kesal sekali tapi tak bisa melakukan apa pun. Aku pun menuju kamar yang akan kami tempati malam ini. Berada di lantai dua belas, Nike memesan dua buah kamar dengan pintu penghubung. Karena Hotel Simalungun tidak memiliki suite.“Kak, Mama barusan udah pesan banyak makanan. Jangan langsung bobo, ya,” kata Nilla begitu melihatku masuk ke kamar yang akan kami tempati berdua. Nilla baru keluar dari kamar mandi, sudah mengenakan piama yang kubelikan beberapa bulan silam.“Mana mungkin bisa bobo, La. Pasti diajak Mama ngobrol sampai menjelang subuh,” gurauku. Aku sempat melirik pintu penghubung yang terbuka. “Aku
Kata-kata Mama malah membuatku kian heran. Bahkan, ada kecemasan yang mulai kurasakan. Kulirik kakakku, mencoba mencari tahu apakah ada masalah serius yang membuat Mama harus terbang ke Indonesia. Namun Nike malah sedang menumpukan perhatian pada piza yang sudah dinikmatinya.“Kenapa kamu malah bengong?” tegur Mama sembari memasukkan suapan roti panggang ke dalam mulutnya. “Apa ada masalah yang Mama nggak tau?”Aku menggeleng. “Justru aku mau tanya sama Mama. Apa ada masalah yang aku nggak tau?” aku membeo. “Bukannya nggak senang kalau Mama berlama-lama di sini. tapi biasanya cuma maksimal dua minggu. Kenapa sekarang malah jadi lima minggu? Pasti ada sesuatu, kan?” tebakku dengan kepala mulai membuat aneka tebakan.“Nggak ada apa-apa, Nef. Mama cuma kangen aja sama kamu dan kota ini. Mama juga pengin ngabisin waktu bareng Nilla. Mumpung lagi ada di sini.”Aku akhirnya mulai paham alasan Mama. Tam
Seperti dugaanku, kedatangan Mama memang membawa maksud tertentu. Namun, bukan seperti apa yang selama ini ada di benakku. Melainkan karena alasan lain yang tak kalah mengagetkan buatku.Esok paginya, Marco datang ke hotel. Cowok itu mengajak semua orang untuk sarapan di restoran. Aku keheranan karena seharusnya Marco bekerja hari ini. Mengapa dia malah menghabiskan waktu untuk sarapan bersamaku dan keluargaku? Karena Mama masih lima minggu berada di Pematangsiantar, kami punya banyak waktu untuk sarapan bersama tanpa membuat Marco terpaksa membolos.“Kamu nggak kerja hari ini, Co? Ini kan bukan hari libur,” kataku, mengingatkan. Aku mengecek arloji sekilas. “Ini udah jam setengah delapan. Kamu pasti telat ke kantor kalau harus sarapan dulu bareng kami. Lagian, kamu kok malah pakai celana jins, sih?”“Kamu banyak nanya, mendadak bawel,” balas Marco, kalem.Kami sedang menyusuri lorong menuju lift. Mama, Nike, dan Nilla
Aku nyaris pingsan!Betapa tidak? Ini benar-benar tak terduga. Selama ini, aku dan Marco tak pernah membahas tentang rencana untuk menikah. Rasanya, itu adalah hal yang masih jauh dari hidup kami. Selain karena usia yang masih kuanggap muda, kami sedang menikmati kesibukan setelah tak lagi berkuliah. Apalagi Marco baru saja membangun karier sebagai pengacara meski selalu menghabiskan akhir pekan di Puan Derana saat tak terhalang pekerjaan.“Nef, kamu belum jawab pertanyaanku,” kata Marco lagi, mengingatkan.Suara cowok itu membuat aku kembali pada kekinian. Tersadar bahwa kami sedang berada di restoran Hotel Simalungun, dikeliling keluarga dan para sahabat. Terjawab sudah keheranan yang kusuarakan sejak tadi pada Marco.Aku agak mendongak untuk menatap Marco. Cowok itu tampak serius dan ... sepertinya sedikit tegang. Aku mengerjap dengan kepala terasa penuh dengan tiba-tiba. Aku tak tahu apa yang harus kuucapkan untuk merespons pertanyaan Marc
“Kalian kenapa bisa pada ngumpul di sini?” tanyaku sembari menatap teman-temanku satu per satu. Saat berpandangan dengan Joyce, mau tak mau aku pun teringat perbincangan kami kemarin.“Dikabarin pagi-pagi sama Marco. Alhasil, Yuma dan Cliff harus bolos ngantor. Joyce juga. Sementara aku lebih beruntung karena cuma ada kuliah siang,” sahut Levi. “Kalau Vicky, untungnya jadi bos. Nggak ada yang berani protes kalau datang telat ke toko.” Levi menatap pacarnya sambil tersenyum lembut. Meski Levi nyaris setipe dengan Marco, artinya tak suka mengumbar perasaannya pada Vicky di depan umum, tapi aku tahu bahwa dia begitu mencintai sang pacar.Yuma menukas, “Udah, nggak usah pandang-pandangan genit gitu. Belum tiba giliran kalian berdua. Sekarang masih jatahnya Nef dan Marco untuk pamer.” Lalu, Yuma mendorong Marco sehingga berdiri tepat di sebelah kiriku. “Kalian berdua, tolong tampil lebih mesra, ya? Tadi pas Marco mau nge
Marco menatapku dengan intens. “Kamu tetap mau nikah sama aku kan, Nef? Walau mungkin umur kita masih lumayan muda dan aku belum punya banyak uang?”Mataku berkaca-kaca. Kali ini, aku yang berinisiatif untuk maju dan memeluk Marco. Efek serudukan banteng itu masih tetap kurasa. “Pertanyaan apa itu? Tentu aja aku mau nikah sama kamu. Memangnya siapa lagi yang lebih tepat untuk jadi suamiku selain kamu?”Dilamar dengan tiba-tiba, disaksikan Mama yang datang jauh-jauh dari Perth dan Papa yang secara khusus diminta Marco untuk datang, sudah membuatku kehilangan kata-kata. Butuh waktu untuk meyakinkan diriku bahwa ini memang nyata dan bukan cuma halusinasiku. Namun ternyata itu cuma semacam menu pembuka. Karena kejutan lain sudah menunggu saat aku dan Marco memasuki ruang kerja Tante Danty yang lumayan luas itu.“Apa? Mama pengin aku dan Marco nikah satu bulan lagi sebelum Mama balik ke Perth?” aku balik bertanya pada Mama dengan j
Selama lima minggu berada di Pematangsiantar, ternyata Mama bukan cuma membantu menyiapkan pesta pernikahanku dengan Marco. Mama yang bersikeras tetap mengingap di hotel karena tak mau menyusahkan siapa pun, juga memberiku dan Marco hadiah pernikahan yang tak kuduga. Bisa menebak? Sebuah rumah untuk kutinggali bersama suamiku nantinya.Selama dua minggu penuh, di sela-sela urusan kebaya yang akan kukenakan saat menikah, aku menemani Mama berkeliling Pematangsiantar untuk mencari rumah yang diinginkannya. Alhasil, aku terpaksa meminta izin pada Tante Danty. Sesekali Nilla menemani jika dia tak ada jadwal kuliah. Sementara kakakku sudah kembali ke Medan untuk bekerja.Awalnya, kukira Mama berniat membeli rumah sebagai investasi belaka. Makanya aku cukup heran karena Mama justru cerewet sekali saat meminta opiniku. Ada rumah yang begitu bagus dan Mama tampak menyukainya setengah mati, tapi batal dibeli karena aku kurang menyukai halamannya yang disemen seluruhnya. Tak ada
Nike menawari paket bulan madu ke Maladewa. Destinasi yang menggiurkan, tapi belum bisa kami manfaatkan secepat mungkin. Pasalnya, hanya berselang empat hari dari pesta pernikahanku dan Marco, aku sudah harus bertolak ke Medan.Kami semua disibukkan dengan acara yang telah disiapkan jauh-jauh hari. Tepatnya acara bincang-bincang tentang kekerasan pada anak dan perempuan. Ibu mertuaku yang akan menjadi salah satu narasumber pada acara yang digagas oleh sebuah BUMN ini. Sepak terjang pemilik Puan Derana ini sedang mendapat sorotan dari media. Sayang, Marco tak bisa ikut karena memiliki pekerjaan yang tak bisa ditinggal.Efek dari kian dikenalnya nama Puan Derana, Mama Danty pun mendapat banyak undangan wawancara atau menjadi narasumber yang diterima dengan selektif. Hanya tawaran yang kira-kira akan memberi efek menguntungkan bagi Puan Derana saja yang disanggupi.Sebelum Mama dan Uncle Eddie meninggalkan Pematangsiantar untuk terbang ke Bali dan melanjutkan perja
Amara sering mendengar kalimat tentang cinta yang bisa mengubah hidup seseorang dengan drastis. Dan selama ini dia kerap mencibir, tidak memercayai hal itu sama sekali. Baginya, orang-orang yang sedang jatuh cinta itu cuma melebih-lebihkan saja.Akan tetapi, kini cibirannya itu justru berbalik menyerang Amara. Menjadi bumerang yang membuatnya jengah. Jika boleh jujur, Amara bahkan tidak tahu kalau efek cinta yang dirasakannya itu ternyata jauh lebih besar dibanding bayangan gadis itu. Amara mengira hidupnya sudah remuk dan takkan bisa lagi kembali normal. Bahagia itu cuma sebuah mimpi lancang yang terlarang untuknya.Hingga Seo Ji Hwan hadir dalam dunianya, memainkan sihir ajaib yang tidak pernah terduga.Membuka hatinya lagi untuk Ji Hwan setelah tahu siapa cowok itu, sama sekali tidak mudah. Akan tetapi, memaksa Ji Hwan menjauh dan membiarkan cowok itu lenyap dari hidup Amara selamanya, jauh lebih tidak tertanggungkan. Cinta Amara untuk cowok itu sudah bertumb
Kata-kata Ji Hwan itu mengejutkan Amara. Dia pun merespons. “Pasti itu melibatkan cewek yang namanya Rita tadi,” tebak Amara dengan perasaan terganggu. Cemburu.“Memang iya,” aku Ji Hwan dengan jujur. Pengakuan itu membuat Amara berjengit.“Dan tadi dia menggandengmu dengan mesra,” Amara menahan diri agar tidak mengomel panjang. “Aku dan Sophie ngeliat semuanya.”“Dia memang menggandengku, Mara. Tapi seingatku, buru-buru kulepaskan. Nggak ada yang bisa dianggap ‘mesra’ di situ,” ralat Ji Hwan. Kedua tangannya terangkat dan membuat tanda petik di udara. “Kalau memang kamu secemburu itu, seharusnya kamu nggak pernah ngelepasin aku,” dia menambahkan.Amara menoleh ke kanan, mengira akan melihat Ji Hwan tersenyum jail. Namun ternyata tidak. Ji Hwan terlihat sangat serius dengan kata-katanya. Matanya yang agak sipit itu menatap Amara dengan kesungguhan yang luar biasa.
Ji Hwan tertawa geli. Amara benar-benar merasa lega karena akhirnya bisa melihat cowok itu tergelak lagi. Lesung pipitnya begitu menyihir. Amara sekarang baru menyadari betapa dia sangat merindukan Ji Hwan. Dia tidak tahu bagaimana selama ini bisa bertahan, bahkan sampai bersikap memusuhi cowok itu. Amara pun tak sudi mendengar semua pembelaan diri dari Ji Hwan.“Sophie juga udah ngingetin aku tentang kamu yang gengsi banget untuk mengakui perasaanmu sama aku,” aku Ji Hwan.Amara mendesah tak berdaya. “Kalau nanti ketemu Sophie, aku akan menjahit mulutnya,” ucap gadis itu. “Dia sama sekali nggak bisa menjaga rahasia.”Ji Hwan tertawa kecil. “Sophie nggak punya maksud jelek. Dia cuma ingin membantu kita berdua,” katanya. “Heartling, bisa nggak sih, kita berhenti berantem dan ngucapin kata-kata yang nyakitin hati? Aku beneran jatuh cinta sama kamu. Aku menyesali semua yang harus kamu alami. Aku lebih nyesal lag
Wajah Amara menghangat. Kata-kata Ji Hwan itu membuatnya jengah. Dia sempat mengerjap sambil menatap sang mantan, tak yakin bagaimana Ji Hwan tampak berbeda dibanding kemarin. Hari ini, Ji Hwan tampak lebih santai dan bisa mengucapkan kata-kata yang mengejutkan. Meski tak terlihat lesung pipitnya yang begitu disukai Amara.“Kenapa aku harus cemburu?” Amara mengerutkan glabelanya. “Ji Hwan, kita beneran konyol banget karena ngebahas hal-hal yang nggak penting. Sekarang, balik ke masalah yang sebenarnya. Kamu ngajak aku ke sini untuk ngebahas apa?” tanya Amara. Dia berusaha bersikap setenang mungkin meski nyatanya jantung Amara terasa menggila lagi.“Bukannya kamu merindukanku?” Ji Hwan malah balas bertanya. Pertanyaan itu begitu mengejutkan, seperti bom yang dijatuhkan di keheningan malam.“Apa?” Amara yakin dia sudah salah dengar.Ji Hwan menjawab dengan sabar. Nada sinis yang tadi tertangkap di telinga Amar
“Kamu sakit ya, Mara? Wajahmu agak pucat,” cetus Ji Hwan dengan napas memburu. Menurut tebakan Amara, cowok itu pasti berlari saat kembali ke tempatnya menunggu.“Aku nggak sakit.” Seisi dada Amara dipenuhi permohonan, berharap Ji Hwan mau memanggilnya “Heartling” lagi. Permohonan yang tidak mampu dilisankan Amara di depan cowok itu. Sesaat kemudian, gadis itu memarahi dirinya sendiri. Memangnya apa yang diharapkannya? Ji Hwan sudah melakuakan segalanya untuk mempertahankan Amara. Akan tetapi, Amara sendiri yang menolak Ji Hwan berkali-kali.Ji Hwan melihat ke arah jam tangannya. “Kita bisa pergi sekarang? Atau kamu mau makan siang dulu?”Amara menggeleng. “Aku nggak lapar.”Setelahnya, gadis itu berjalan bersisian dengan Ji Hwan menuju tempat parkir motor di fakultas cowok itu. Tak ada yang membuka mulut. Amara pun sama sekali tidak berkomentar saat mantan pacarnya menyerahkan sebuah helm kepada
Namun Amara tidak mampu mensterilkan diri dari perasaan senang saat melihat Rita menjadi salah tingkah dengan wajah agak pias. Mereka saling sapa dengan canggung. Amara juga merasa lega karena Ji Hwan tidak mengoreksi kata-kata Sophie tadi.Kurang dari tiga menit kemudian Rita pamit dengan alasan harus masuk kelas. Tak lama kemudian Sophie pun menyusul. Tidak ada tanda-tanda bahwa gadis itu menyesali caranya mengintimidasi Rita. Sophie malah terkesan puas dengan kelakuannya barusan. Kini, yang tinggal hanya Amara, berdiri berhadapan dengan mantan pacarnya dengan canggung. Gadis itu memindahkan berat badannya dari kaki kanan ke kaki kiri. Tidak ada yang bicara hingga berdetik-detik. Sementara mahasiswa berlalu-lalang di sekitar mereka.“Amara, kenapa belum pulang? Masih ada kuliah, ya?”Tanpa melihat pun Amara tahu bahwa Reuben yang barusan menyapanya. Dosennya itu berhenti sambil menatap Amara. Berdiri di depan dua pria yang pernah menjanjikan hati m
Amara belum pernah merasakan siksaan luar biasa saat mengikuti kuliah. Ji Hwan yang sudah memperkenalkannya pada perasaan asing yang membuatnya tak berdaya itu. Amara mengutuki waktu yang melamban dan jarum jam yang seakan tidak bergerak. Seolah-olah waltu membeku begitu saja.“Mara, bisa duduk diam nggak, sih?” protes Sophie. “Kalau kamu bergerak-gerak terus di kursimu, mungkin bakalan dikira kena wasir.”Kalimat seenaknya dari Sophie itu membuat Amara menendang kaki sahabatnya dengan gerakan pelan. Sophie malah terkikik geli dan buru-buru menundukkan wajah agar tak ketahuan dosen sedang tertawa.“Pasti kamu udah nggak sabar pengin buru-buru keluar dari sini, kan?” tebak Sophie ketika akhirnya kelas berakhir. Seringai jailnya tidak mampu membuat perasaan Amara membaik. “Tersiksa banget kan, Mara?”Amara mengabaikan gurauan sahabatnya. “Sophie, nanti kalau ketemu Ji Hwan, aku harus ngomong apa? Aku ben
Amara melangkah pelan dengan kepala tertunduk. Sophie menggandeng lengan kanannya. Setelah menghabiskan waktu di kantin, mereka akhirnya menuju ruang kelas. Perkuliahan akan dimulai sekitar sepuluh menit lagi. Perbincangan Amara dan Sophie tidak mendapat titik temu seputar jalan keluar untuk soal Ji Hwan. Amara sudah kehilangan semangat. Dia yakin, kini dia merasakan patah hati dalam arti sebenarnya.Amara tahu, rasa sakit yang harus ditanggungnya pasti tak akan ringan. Setelah semua kemarahannya mereda dan akal sehat yang berbicara, pastilah rasanya berbeda dibanding malam tahun baru itu. Saat dia memutuskan hubungan dengan Ji Hwan tanpa perasaan.“Kamu terlalu jauh dijajah gengsi. Itu kebiasaan jelek, Mara. Gengsi itu perlu tapi ya harus pada tempatnya. Kalau memang....” Sophie tidak melanjutkan kalimatnya.Heran karena Sophie tak lagi bicara, Amara berujar, “Silakan terus mengejek dan menceramahiku. Masa sih kamu udah capek? Kayaknya ini bar
Sophie sudah digariskan menjadi orang yang tak mudah dipuaskan. Dan meski sudah ikut melihat adegan tadi, gadis itu merasa bahwa reaksi Amara terlalu berlebihan. Cemburu yang tidak pada tempatnya. Bagi Sophie, tak seharusnya semangat Amara melempem begitu saja. Gadis itu tanpa sungkan mengutarakan opininya.“Katanya rindu, tapi udah langsung nyerah cuma karena ngeliat ada pengagum Ji Hwan yang lagi usaha untuk narik perhatian,” sindirnya. Sophie tidak menyembunyikan rasa gelinya. Tawanya menyusul kemudian, membuat Amara merengut sekaligus kesal.“Aku nggak cemburu, kalau itu yang kamu maksud,” balas Amara, defensif.Sophie mengabaikan kata-kata Amara. “Kamu ingat nama cewek itu? Rita kan, ya?”Amara berusaha keras menggali memorinya tapi gagal total. “Entahlah, aku sama sekali nggak ingat. Cuma kenal mukanya doang.”“Hmmm, aku maklum, sih. Sebelum ini, kamu terlalu asyik berdua sama Ji Hwan, sih