Amara berdiri dengan perut terasa mulas dan kepala yang berputar. Di antara pandangannya yang berkabut, gadis itu berusaha menegaskan pandangan. Ditatapnya wajah Reuben dengan sungguh-sungguh. Mencari apa pun yang bisa mengindikasikan jika lelaki itu cuma sedang iseng.
Reuben ikut berdiri, menjulang di depan Amara. Wajahnya tampak serius dan sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda yang diinginkan Amara. Gadis itu merasakan darahnya seolah membeku. Hawa dingin menyelimuti punggungnya.
“Bapak barusan bilang apa?” Amara menolak untuk memercayai indera-inderanya. Juga melupakan janjinya agar mengubah panggilannya pada Reuben.
“Saya menyukaimu, Amara,” balas Reuben dengan tenang. “Kenapa? Apa itu jadi masalah serius? Jangan bilang kalau kamu merasa canggung hanya karena saya pernah menjadi dosenmu. Atau....”
Amara menggeleng cepat hingga lehernya terasa nyeri. “Bukan masalah itu. Saya nggak peduli siapa Bapak k
“Amara, ceritain apa yang terjadi tadi. kamu dan Pak Reuben,” Sophie menyenggolnya begitu kuliah berakhir. Amara yang sedang berpura-pura menyibukkan diri dengan membereskan isi tasnya, berusaha untuk tidak melirik ke kiri.“Aku ada kuliah dua puluh menit lagi. Kamu?” Amara mengabaikan kata-kata Sophie.“Ah, kamu pasti sengaja mengalihkan topik bahasan. Tapi, percayalah, cara itu sama sekali nggak akan berhasil. Selama satu semester ini seharusnya kamu lebih tahu kayak apa aku ini,” kata Sophie lugas. Gadis itu menggandeng lengan Amara saat mereka melangkah ke luar ruangan.“Ya, tentu aja aku lebih tau. Kamu itu mirip wabah bandel yang berusaha nempel di tubuh orang yang sehat. Kebal terhadap semua vaksin dan antibiotik,” cetus Amara gemas. “Nggak ada lanjutan gosipnya. Cukup sampai di situ aja.”“Kamu yakin? Kalian tadi nggak bikin semacam pertunjukan yang akan dibisikkan para mahasiswa di
“Tentu, aku akan datang,” balas Amara cepat tanpa pikir panjang. Dia pernah beberapa kali berkunjung ke rumah Brisha, sehingga mengenal keluarga temannya itu. “Sampaikan salamku sama mamamu, Sha. Dan terima kasih karena ingat untuk mengundangku,” katanya tulus. Brisha menantang mata Amara untuk sesaat. Sedetik kemudian rasa penyesalan membanjiri Amara. Seharusnya dia tidak menjanjikan apa-apa.“Kami nggak mungkin ngeluapain kamu, Mara. Kamu yang ... menjauh.”Amara mencoba tetap mempertahankan senyumnya sebelum pamit untuk masuk ke dalam kelas. Dia selalu menyukai keluarga Brisha, terutama mamanya. Dia bahkan pernah menginap beberapa kali di rumah temannya itu. Brisha adalah teman terdekatnya, nyaris menjadi sahabat. Sebelum Amara mengambil langkah mundur dan menjauh dari semua orang yang dikenalnya.“Kamu beneran akan datang, kan?” Sophie ikut campur lagi. “Brisha kayaknya berharap kamu nepatin janji, lho!&r
Amara mati-matian menahan rasa nyeri yang memanaskan matanya agar tidak membuahkan tangis. “Saya baik-baik aja, Tante. Maaf ya, memang belakangan ini saya ... agak sibuk. Tante dan Om sehat, kan?”Yenny tertawa sambil mengelus punggung tangan kanan Amara yang berada di genggamannya. “Tentu aja Tante sehat. Kalau nggak, mana bisa bikin pesta kayak gini. Tadinya, Tante nggak mau bikin acara macem-macem. Tapi Om maksa. Demi cinta, Tante harus ngalah.”Amara tersenyum sopan sebagai respons. Lalu dia segera memperkenalkan Sophie yang datang bersamanya. Dia bisa melihat rasa cinta yang berayun di udara tiap kali orangtua Brisha bersama. Mirip dengan yang terjadi pada orangtuanya. Berjuta tahun lalu.Hal itu kadang menimbulkan sembilu yang mengiris jiwanya. Karena Amara yakin bahwa dia tak akan bisa merasakan hal yang sama. Seseorang yang sudah mati mustahil mampu merasakan cinta, bukan?Meski awalnya cemas jika dia tidak akan bi
Dia tak suka berbohong karena ada risiko yang harus ditanggungnya. Sebab, tiap kali berdusta berarti kepala Amara akan terasa nyeri dan produksi asam lambung gadis itu meningkat drastis. Amara mulai berpikir bahwa berbohong sungguh bisa merusak kesehatan.Di sisi lain, makin lama berdusta ternyata kian mudah, pikirnya muram. Amara sungguh tidak betah menebar jala dusta lagi, tapi dia tidak punya pilihan yang lebih masuk akal sekaligus menyenangkan. Inilah risiko yang harus ditanggung ketika seseorang sudah tidak lagi berkata jujur. Selamanya dia harus berusaha mempertahankan itu.“Saya memang cuti kuliah, tapi bukan karena ada masalah kok, Tante. Cuma....” Amara berdeham, “agak bosan aja dan butuh suasana baru. Akhirnya ... daripada hasilnya nggak maksimal, lebih baik cuti sebentar. Harapannya, energi dan semangat saya bisa balik lagi.”Yenny mengelus bahu Amara dengan gerakan lembut. “Kamu menghabiskan cuti kuliah di mana? Di rumah
“Maaf?” Amara membelalakkan mata, mengira dia sudah salah mendengar.Ji Hwan bicara lagi, kali ini dengan perlahan. Seakan cowok itu ingin memastikan agar Amara bisa mendengar setiap katanya dengan sempurna. “Aku ke sini untuk bertemu kamu, Amara.” Ji Hwan tersenyum, membuat wajahnya menampilkan ekspresi lembut yang akan menawan hati gadis mana pun di luar sana. Kecuali Amara. “Waktu itu aku lupa meminta nomor ponselmu. Kampus kita kan bersebelahan. Nah, kebetulan hari ini aku ...”Pupil mata Amara membesar. “Dari mana kamu tahu aku ada kuliah hari ini?”Ji Hwan menjawab dengan ringan sembari mengerling ke sebelah kiri Amara. “Sophie. Tapi dia tidak mau memberi tahu nomor ponselmu. Jadi, aku....”“Aku juga tidak!” sentak Amara ketus. “Pulanglah Ji Hwan, aku bukan orang yang tepat untuk kamu temui. Aku tidak tertarik mencari teman baru.” Amara menoleh ke kiri, menatap Sophi
Amara tidak menyukai nada menegur di dalam suara Brisha. “Kenapa aku tidak boleh meninggalkannya begitu saja? Memangnya ada keharusan kalau aku mesti berbasa-basi dengan dia?” tanya Amara, meniru kalimat Brisha tadi. “Kamu sendiri, apa hakmu berusaha mendekatkan kami?” tanyanya terang-terangan.Brisha terbelalak. “Aku mendekatkan kalian? Aku sudah bilang, aku tidak tahu kalau Ji Hwan ke sini!” tegasnya. Gadis itu menatap Amara dengan kepala dimiringkan ke kanan. “Dan waktu acara di rumahku, memang dia yang memaksa ingin berkenalan denganmu. Meski aku sudah memberi peringatan pada Ji Hwan kalau kamu ... mungkin tidak akan bersikap ramah. Tapi Ji Hwan tak peduli. Dan aku tetap merasa itu bukan sesuatu yang salah.”Amara terdiam. Tiba-tiba menyadari betapa kacaunya situasi saat ini. Kepalanya terasa berputar, tapi akal sehatnya mulai menyusup masuk. Dia menyadari, tak seharusnya mengambil tindakan emosional seperti ini. Meng
Di tempat parkir Amara diadang Sophie yang tampak marah. Namun sebelum gadis itu sempat bicara, Brisha memintanya untuk diam saja. Brisha bahkan mengajak Sophie untuk masuk ke dalam mobil Amara. Awalnya gadis itu menolak tapi Brisha memaksa. Itulah kali pertama Amara tersadarkan oleh fakta bahwa temannya mampu mendesakkan keinginan dengan begitu mudah. Brisha ternyata seorang pemaksa. Tidak jauh berbeda dengan Sophie.“Kunci mobil, Mara,” pinta Brisha dengan nada tegas.Kali ini, Amara tak berdaya untuk menolak. Jari-jarinya gemetar saat dia menyerahkan kunci mobilnya pada Brisha. Gadis itu yang menyetir dengan Amara duduk di jok depan. Sedangkan Sophie duduk sendiri di jok belakang.“Aku benar-benar nggak menyangka kamu sejahat itu. Selama ini aku berusaha memaklumi sikap burukmu, Mara. Tapi hari ini aku sudah benar-benar muak. Ada apa sih denganmu? Bagaimana bisa kamu bersikap sangat tidak sopan? Memaki dan meninggalkan orang yang datang baik
Brisha menginjak rem hingga menimbulkan suara decit ban. Sabuk pengaman menyelamatkan ketiga gadis itu sehingga tidak terlempar dari jok masing-masing. Selama lima detak jantung, keheningan yang mengerikan memerangkap mereka. Hingga suara klakson yang bersahut-sahutan membuat Brisha menepikan mobil. Selanjutnya, sumpah serapah pengemudi mobil lainnya terdengar samar.Brisha melawan. Gadis itu menurunkan kaca jendela untuk balas memaki. Dia juga mengacungkan jari tengah ke udara dengan berani.“Apa ada gunanya kalau kamu ikut-ikutan jadi preman?” Sophie mengingatkan. “Memang kamu yang salah karena mengerem seenaknya.”Brisha akhirnya kembali menaikkan kaca jendela mobil. “Iya, sih. Aku yang salah. Tapi tetap saja kesal karena orang gampang sekali memaki.”Amara memejamkan mata, tidak mengira jika kata-kata itu mampu membuatnya merasa lega. Seakan beban abadi yang menetap di bahunya, hilang hingga setengahnya. Dia tak per
Amara sering mendengar kalimat tentang cinta yang bisa mengubah hidup seseorang dengan drastis. Dan selama ini dia kerap mencibir, tidak memercayai hal itu sama sekali. Baginya, orang-orang yang sedang jatuh cinta itu cuma melebih-lebihkan saja.Akan tetapi, kini cibirannya itu justru berbalik menyerang Amara. Menjadi bumerang yang membuatnya jengah. Jika boleh jujur, Amara bahkan tidak tahu kalau efek cinta yang dirasakannya itu ternyata jauh lebih besar dibanding bayangan gadis itu. Amara mengira hidupnya sudah remuk dan takkan bisa lagi kembali normal. Bahagia itu cuma sebuah mimpi lancang yang terlarang untuknya.Hingga Seo Ji Hwan hadir dalam dunianya, memainkan sihir ajaib yang tidak pernah terduga.Membuka hatinya lagi untuk Ji Hwan setelah tahu siapa cowok itu, sama sekali tidak mudah. Akan tetapi, memaksa Ji Hwan menjauh dan membiarkan cowok itu lenyap dari hidup Amara selamanya, jauh lebih tidak tertanggungkan. Cinta Amara untuk cowok itu sudah bertumb
Kata-kata Ji Hwan itu mengejutkan Amara. Dia pun merespons. “Pasti itu melibatkan cewek yang namanya Rita tadi,” tebak Amara dengan perasaan terganggu. Cemburu.“Memang iya,” aku Ji Hwan dengan jujur. Pengakuan itu membuat Amara berjengit.“Dan tadi dia menggandengmu dengan mesra,” Amara menahan diri agar tidak mengomel panjang. “Aku dan Sophie ngeliat semuanya.”“Dia memang menggandengku, Mara. Tapi seingatku, buru-buru kulepaskan. Nggak ada yang bisa dianggap ‘mesra’ di situ,” ralat Ji Hwan. Kedua tangannya terangkat dan membuat tanda petik di udara. “Kalau memang kamu secemburu itu, seharusnya kamu nggak pernah ngelepasin aku,” dia menambahkan.Amara menoleh ke kanan, mengira akan melihat Ji Hwan tersenyum jail. Namun ternyata tidak. Ji Hwan terlihat sangat serius dengan kata-katanya. Matanya yang agak sipit itu menatap Amara dengan kesungguhan yang luar biasa.
Ji Hwan tertawa geli. Amara benar-benar merasa lega karena akhirnya bisa melihat cowok itu tergelak lagi. Lesung pipitnya begitu menyihir. Amara sekarang baru menyadari betapa dia sangat merindukan Ji Hwan. Dia tidak tahu bagaimana selama ini bisa bertahan, bahkan sampai bersikap memusuhi cowok itu. Amara pun tak sudi mendengar semua pembelaan diri dari Ji Hwan.“Sophie juga udah ngingetin aku tentang kamu yang gengsi banget untuk mengakui perasaanmu sama aku,” aku Ji Hwan.Amara mendesah tak berdaya. “Kalau nanti ketemu Sophie, aku akan menjahit mulutnya,” ucap gadis itu. “Dia sama sekali nggak bisa menjaga rahasia.”Ji Hwan tertawa kecil. “Sophie nggak punya maksud jelek. Dia cuma ingin membantu kita berdua,” katanya. “Heartling, bisa nggak sih, kita berhenti berantem dan ngucapin kata-kata yang nyakitin hati? Aku beneran jatuh cinta sama kamu. Aku menyesali semua yang harus kamu alami. Aku lebih nyesal lag
Wajah Amara menghangat. Kata-kata Ji Hwan itu membuatnya jengah. Dia sempat mengerjap sambil menatap sang mantan, tak yakin bagaimana Ji Hwan tampak berbeda dibanding kemarin. Hari ini, Ji Hwan tampak lebih santai dan bisa mengucapkan kata-kata yang mengejutkan. Meski tak terlihat lesung pipitnya yang begitu disukai Amara.“Kenapa aku harus cemburu?” Amara mengerutkan glabelanya. “Ji Hwan, kita beneran konyol banget karena ngebahas hal-hal yang nggak penting. Sekarang, balik ke masalah yang sebenarnya. Kamu ngajak aku ke sini untuk ngebahas apa?” tanya Amara. Dia berusaha bersikap setenang mungkin meski nyatanya jantung Amara terasa menggila lagi.“Bukannya kamu merindukanku?” Ji Hwan malah balas bertanya. Pertanyaan itu begitu mengejutkan, seperti bom yang dijatuhkan di keheningan malam.“Apa?” Amara yakin dia sudah salah dengar.Ji Hwan menjawab dengan sabar. Nada sinis yang tadi tertangkap di telinga Amar
“Kamu sakit ya, Mara? Wajahmu agak pucat,” cetus Ji Hwan dengan napas memburu. Menurut tebakan Amara, cowok itu pasti berlari saat kembali ke tempatnya menunggu.“Aku nggak sakit.” Seisi dada Amara dipenuhi permohonan, berharap Ji Hwan mau memanggilnya “Heartling” lagi. Permohonan yang tidak mampu dilisankan Amara di depan cowok itu. Sesaat kemudian, gadis itu memarahi dirinya sendiri. Memangnya apa yang diharapkannya? Ji Hwan sudah melakuakan segalanya untuk mempertahankan Amara. Akan tetapi, Amara sendiri yang menolak Ji Hwan berkali-kali.Ji Hwan melihat ke arah jam tangannya. “Kita bisa pergi sekarang? Atau kamu mau makan siang dulu?”Amara menggeleng. “Aku nggak lapar.”Setelahnya, gadis itu berjalan bersisian dengan Ji Hwan menuju tempat parkir motor di fakultas cowok itu. Tak ada yang membuka mulut. Amara pun sama sekali tidak berkomentar saat mantan pacarnya menyerahkan sebuah helm kepada
Namun Amara tidak mampu mensterilkan diri dari perasaan senang saat melihat Rita menjadi salah tingkah dengan wajah agak pias. Mereka saling sapa dengan canggung. Amara juga merasa lega karena Ji Hwan tidak mengoreksi kata-kata Sophie tadi.Kurang dari tiga menit kemudian Rita pamit dengan alasan harus masuk kelas. Tak lama kemudian Sophie pun menyusul. Tidak ada tanda-tanda bahwa gadis itu menyesali caranya mengintimidasi Rita. Sophie malah terkesan puas dengan kelakuannya barusan. Kini, yang tinggal hanya Amara, berdiri berhadapan dengan mantan pacarnya dengan canggung. Gadis itu memindahkan berat badannya dari kaki kanan ke kaki kiri. Tidak ada yang bicara hingga berdetik-detik. Sementara mahasiswa berlalu-lalang di sekitar mereka.“Amara, kenapa belum pulang? Masih ada kuliah, ya?”Tanpa melihat pun Amara tahu bahwa Reuben yang barusan menyapanya. Dosennya itu berhenti sambil menatap Amara. Berdiri di depan dua pria yang pernah menjanjikan hati m
Amara belum pernah merasakan siksaan luar biasa saat mengikuti kuliah. Ji Hwan yang sudah memperkenalkannya pada perasaan asing yang membuatnya tak berdaya itu. Amara mengutuki waktu yang melamban dan jarum jam yang seakan tidak bergerak. Seolah-olah waltu membeku begitu saja.“Mara, bisa duduk diam nggak, sih?” protes Sophie. “Kalau kamu bergerak-gerak terus di kursimu, mungkin bakalan dikira kena wasir.”Kalimat seenaknya dari Sophie itu membuat Amara menendang kaki sahabatnya dengan gerakan pelan. Sophie malah terkikik geli dan buru-buru menundukkan wajah agar tak ketahuan dosen sedang tertawa.“Pasti kamu udah nggak sabar pengin buru-buru keluar dari sini, kan?” tebak Sophie ketika akhirnya kelas berakhir. Seringai jailnya tidak mampu membuat perasaan Amara membaik. “Tersiksa banget kan, Mara?”Amara mengabaikan gurauan sahabatnya. “Sophie, nanti kalau ketemu Ji Hwan, aku harus ngomong apa? Aku ben
Amara melangkah pelan dengan kepala tertunduk. Sophie menggandeng lengan kanannya. Setelah menghabiskan waktu di kantin, mereka akhirnya menuju ruang kelas. Perkuliahan akan dimulai sekitar sepuluh menit lagi. Perbincangan Amara dan Sophie tidak mendapat titik temu seputar jalan keluar untuk soal Ji Hwan. Amara sudah kehilangan semangat. Dia yakin, kini dia merasakan patah hati dalam arti sebenarnya.Amara tahu, rasa sakit yang harus ditanggungnya pasti tak akan ringan. Setelah semua kemarahannya mereda dan akal sehat yang berbicara, pastilah rasanya berbeda dibanding malam tahun baru itu. Saat dia memutuskan hubungan dengan Ji Hwan tanpa perasaan.“Kamu terlalu jauh dijajah gengsi. Itu kebiasaan jelek, Mara. Gengsi itu perlu tapi ya harus pada tempatnya. Kalau memang....” Sophie tidak melanjutkan kalimatnya.Heran karena Sophie tak lagi bicara, Amara berujar, “Silakan terus mengejek dan menceramahiku. Masa sih kamu udah capek? Kayaknya ini bar
Sophie sudah digariskan menjadi orang yang tak mudah dipuaskan. Dan meski sudah ikut melihat adegan tadi, gadis itu merasa bahwa reaksi Amara terlalu berlebihan. Cemburu yang tidak pada tempatnya. Bagi Sophie, tak seharusnya semangat Amara melempem begitu saja. Gadis itu tanpa sungkan mengutarakan opininya.“Katanya rindu, tapi udah langsung nyerah cuma karena ngeliat ada pengagum Ji Hwan yang lagi usaha untuk narik perhatian,” sindirnya. Sophie tidak menyembunyikan rasa gelinya. Tawanya menyusul kemudian, membuat Amara merengut sekaligus kesal.“Aku nggak cemburu, kalau itu yang kamu maksud,” balas Amara, defensif.Sophie mengabaikan kata-kata Amara. “Kamu ingat nama cewek itu? Rita kan, ya?”Amara berusaha keras menggali memorinya tapi gagal total. “Entahlah, aku sama sekali nggak ingat. Cuma kenal mukanya doang.”“Hmmm, aku maklum, sih. Sebelum ini, kamu terlalu asyik berdua sama Ji Hwan, sih