Amara mati-matian menahan rasa nyeri yang memanaskan matanya agar tidak membuahkan tangis. “Saya baik-baik aja, Tante. Maaf ya, memang belakangan ini saya ... agak sibuk. Tante dan Om sehat, kan?”
Yenny tertawa sambil mengelus punggung tangan kanan Amara yang berada di genggamannya. “Tentu aja Tante sehat. Kalau nggak, mana bisa bikin pesta kayak gini. Tadinya, Tante nggak mau bikin acara macem-macem. Tapi Om maksa. Demi cinta, Tante harus ngalah.”
Amara tersenyum sopan sebagai respons. Lalu dia segera memperkenalkan Sophie yang datang bersamanya. Dia bisa melihat rasa cinta yang berayun di udara tiap kali orangtua Brisha bersama. Mirip dengan yang terjadi pada orangtuanya. Berjuta tahun lalu.
Hal itu kadang menimbulkan sembilu yang mengiris jiwanya. Karena Amara yakin bahwa dia tak akan bisa merasakan hal yang sama. Seseorang yang sudah mati mustahil mampu merasakan cinta, bukan?
Meski awalnya cemas jika dia tidak akan bi
Dia tak suka berbohong karena ada risiko yang harus ditanggungnya. Sebab, tiap kali berdusta berarti kepala Amara akan terasa nyeri dan produksi asam lambung gadis itu meningkat drastis. Amara mulai berpikir bahwa berbohong sungguh bisa merusak kesehatan.Di sisi lain, makin lama berdusta ternyata kian mudah, pikirnya muram. Amara sungguh tidak betah menebar jala dusta lagi, tapi dia tidak punya pilihan yang lebih masuk akal sekaligus menyenangkan. Inilah risiko yang harus ditanggung ketika seseorang sudah tidak lagi berkata jujur. Selamanya dia harus berusaha mempertahankan itu.“Saya memang cuti kuliah, tapi bukan karena ada masalah kok, Tante. Cuma....” Amara berdeham, “agak bosan aja dan butuh suasana baru. Akhirnya ... daripada hasilnya nggak maksimal, lebih baik cuti sebentar. Harapannya, energi dan semangat saya bisa balik lagi.”Yenny mengelus bahu Amara dengan gerakan lembut. “Kamu menghabiskan cuti kuliah di mana? Di rumah
“Maaf?” Amara membelalakkan mata, mengira dia sudah salah mendengar.Ji Hwan bicara lagi, kali ini dengan perlahan. Seakan cowok itu ingin memastikan agar Amara bisa mendengar setiap katanya dengan sempurna. “Aku ke sini untuk bertemu kamu, Amara.” Ji Hwan tersenyum, membuat wajahnya menampilkan ekspresi lembut yang akan menawan hati gadis mana pun di luar sana. Kecuali Amara. “Waktu itu aku lupa meminta nomor ponselmu. Kampus kita kan bersebelahan. Nah, kebetulan hari ini aku ...”Pupil mata Amara membesar. “Dari mana kamu tahu aku ada kuliah hari ini?”Ji Hwan menjawab dengan ringan sembari mengerling ke sebelah kiri Amara. “Sophie. Tapi dia tidak mau memberi tahu nomor ponselmu. Jadi, aku....”“Aku juga tidak!” sentak Amara ketus. “Pulanglah Ji Hwan, aku bukan orang yang tepat untuk kamu temui. Aku tidak tertarik mencari teman baru.” Amara menoleh ke kiri, menatap Sophi
Amara tidak menyukai nada menegur di dalam suara Brisha. “Kenapa aku tidak boleh meninggalkannya begitu saja? Memangnya ada keharusan kalau aku mesti berbasa-basi dengan dia?” tanya Amara, meniru kalimat Brisha tadi. “Kamu sendiri, apa hakmu berusaha mendekatkan kami?” tanyanya terang-terangan.Brisha terbelalak. “Aku mendekatkan kalian? Aku sudah bilang, aku tidak tahu kalau Ji Hwan ke sini!” tegasnya. Gadis itu menatap Amara dengan kepala dimiringkan ke kanan. “Dan waktu acara di rumahku, memang dia yang memaksa ingin berkenalan denganmu. Meski aku sudah memberi peringatan pada Ji Hwan kalau kamu ... mungkin tidak akan bersikap ramah. Tapi Ji Hwan tak peduli. Dan aku tetap merasa itu bukan sesuatu yang salah.”Amara terdiam. Tiba-tiba menyadari betapa kacaunya situasi saat ini. Kepalanya terasa berputar, tapi akal sehatnya mulai menyusup masuk. Dia menyadari, tak seharusnya mengambil tindakan emosional seperti ini. Meng
Di tempat parkir Amara diadang Sophie yang tampak marah. Namun sebelum gadis itu sempat bicara, Brisha memintanya untuk diam saja. Brisha bahkan mengajak Sophie untuk masuk ke dalam mobil Amara. Awalnya gadis itu menolak tapi Brisha memaksa. Itulah kali pertama Amara tersadarkan oleh fakta bahwa temannya mampu mendesakkan keinginan dengan begitu mudah. Brisha ternyata seorang pemaksa. Tidak jauh berbeda dengan Sophie.“Kunci mobil, Mara,” pinta Brisha dengan nada tegas.Kali ini, Amara tak berdaya untuk menolak. Jari-jarinya gemetar saat dia menyerahkan kunci mobilnya pada Brisha. Gadis itu yang menyetir dengan Amara duduk di jok depan. Sedangkan Sophie duduk sendiri di jok belakang.“Aku benar-benar nggak menyangka kamu sejahat itu. Selama ini aku berusaha memaklumi sikap burukmu, Mara. Tapi hari ini aku sudah benar-benar muak. Ada apa sih denganmu? Bagaimana bisa kamu bersikap sangat tidak sopan? Memaki dan meninggalkan orang yang datang baik
Brisha menginjak rem hingga menimbulkan suara decit ban. Sabuk pengaman menyelamatkan ketiga gadis itu sehingga tidak terlempar dari jok masing-masing. Selama lima detak jantung, keheningan yang mengerikan memerangkap mereka. Hingga suara klakson yang bersahut-sahutan membuat Brisha menepikan mobil. Selanjutnya, sumpah serapah pengemudi mobil lainnya terdengar samar.Brisha melawan. Gadis itu menurunkan kaca jendela untuk balas memaki. Dia juga mengacungkan jari tengah ke udara dengan berani.“Apa ada gunanya kalau kamu ikut-ikutan jadi preman?” Sophie mengingatkan. “Memang kamu yang salah karena mengerem seenaknya.”Brisha akhirnya kembali menaikkan kaca jendela mobil. “Iya, sih. Aku yang salah. Tapi tetap saja kesal karena orang gampang sekali memaki.”Amara memejamkan mata, tidak mengira jika kata-kata itu mampu membuatnya merasa lega. Seakan beban abadi yang menetap di bahunya, hilang hingga setengahnya. Dia tak per
“Terima kasih ya, Ji Hwan Oppa,” canda Brisha. “Dan maaf karena kami sudah merepotkanmu. Barusan ada ... masalah darurat.”“Nggak masalah, Brisha,” balas Ji Hwan tenang.Cowok itu duduk tegak dengan wajah serius. Amara yakin, bahwa kata-katanya tadi sudah menjadi sembilu yang membuat Ji Hwan kehilangan senyum. Gadis itu merasa bersalah karena sudah bicara jahat kepada orang yang baru dikenalnya. Setelah apa yang dilakukannya, Ji Hwan bahkan masih berkenan menggantikan Ronan. Namun lidah Amara terlalu kebas untuk mampu melantunkan kalimat bernada permohonan maaf.“Ke mana aku harus mengantar kalian?” tanya Ji Hwan kaku.“Ke rumahku,” Brisha lagi-lagi yang menjawab. “Masih ingat alamatnya, kan?”“Masihlah,” balas Ji Hwan.Amara benar-benar iri pada Brisha yang bisa menguasai diri dengan baik dan bersikap santai. Dulu dia pun seperti itu. Karena tahu tak bisa me
Setelah beberapa saat hanya duduk membatu, akhirnya Amara berhasil juga membulatkan tekad dan keluar dari dalam mobil. Sophie dan Brisha entah berada di mana, tapi Amara menebak mereka berdua ada di kamar temannya. Setahu Amara, Sophie baru sekali ke rumah ini dan nyaris tidak mengenal Brisha. Namun tampaknya apa yang terjadi hari ini sudah menciptakan perbedaan mencolok.Amara sedang berjalan gontai melintasi halaman ketika Brisha muncul di teras. Gadis itu sudah mengganti pakaiannya. Dengan celana pendek nyaris selutut dan kaus longgar, Brisha tetap cantik. Namun semburat warna pucat di wajahnya masih terlihat. Tebakan Amara, itu efek dari pengakuannya tadi. Karena saat mendatangi Brisha, gadis itu sama sekali tak tampak pucat.Amara bertanya, “Sophie mana?”“Ada di kamarku. Ji Hwan sudah pulang?”Amara mengangguk. “Aku minta maaf karena sudah....”Kata-katanya tidak pernah tergenapi karena Brisha sudah memeluk
“Marcello temanmu sejak SD itu? Yang kuliah di Fakultas Pertanian, kan?” Brisha mencari penegasan. “Aku masih ingat, tapi memang sudah lama aku tidak bertemu dia. Sepertinya sejak kamu cuti dia juga....” Brisha terdiam seketika. “Maaf, aku sudah melantur.”“Ada apa dengan cowok yang namanya Marcello ini?” tukas Sophie tak sabar. “Dia yang melakukan ... hmmm ... hal buruk padamu?” tanyanya blak-blakan. Brisha menoleh ke kiri, memberikan pandangan menegur ke arah gadis itu.Jawaban Amara membuat Brisha melongo. “Ya. Memang dia yang memaksaku....” tangis Amara pecah tiba-tiba. Air mata yang dikiranya sudah kering itu ternyata masih bersisa. Dia merasakan seseorang memeluknya, Brisha. Aroma parfum samarnya membuat Amara bisa mengenalinya. Sophie menyusul sekedip kemudian. Membuat tangis Amara kian kencang.Lalu, gadis itu pun mulai buka suara. Bercerita tentang suatu hari yang dikiranya cuma akh
Amara sering mendengar kalimat tentang cinta yang bisa mengubah hidup seseorang dengan drastis. Dan selama ini dia kerap mencibir, tidak memercayai hal itu sama sekali. Baginya, orang-orang yang sedang jatuh cinta itu cuma melebih-lebihkan saja.Akan tetapi, kini cibirannya itu justru berbalik menyerang Amara. Menjadi bumerang yang membuatnya jengah. Jika boleh jujur, Amara bahkan tidak tahu kalau efek cinta yang dirasakannya itu ternyata jauh lebih besar dibanding bayangan gadis itu. Amara mengira hidupnya sudah remuk dan takkan bisa lagi kembali normal. Bahagia itu cuma sebuah mimpi lancang yang terlarang untuknya.Hingga Seo Ji Hwan hadir dalam dunianya, memainkan sihir ajaib yang tidak pernah terduga.Membuka hatinya lagi untuk Ji Hwan setelah tahu siapa cowok itu, sama sekali tidak mudah. Akan tetapi, memaksa Ji Hwan menjauh dan membiarkan cowok itu lenyap dari hidup Amara selamanya, jauh lebih tidak tertanggungkan. Cinta Amara untuk cowok itu sudah bertumb
Kata-kata Ji Hwan itu mengejutkan Amara. Dia pun merespons. “Pasti itu melibatkan cewek yang namanya Rita tadi,” tebak Amara dengan perasaan terganggu. Cemburu.“Memang iya,” aku Ji Hwan dengan jujur. Pengakuan itu membuat Amara berjengit.“Dan tadi dia menggandengmu dengan mesra,” Amara menahan diri agar tidak mengomel panjang. “Aku dan Sophie ngeliat semuanya.”“Dia memang menggandengku, Mara. Tapi seingatku, buru-buru kulepaskan. Nggak ada yang bisa dianggap ‘mesra’ di situ,” ralat Ji Hwan. Kedua tangannya terangkat dan membuat tanda petik di udara. “Kalau memang kamu secemburu itu, seharusnya kamu nggak pernah ngelepasin aku,” dia menambahkan.Amara menoleh ke kanan, mengira akan melihat Ji Hwan tersenyum jail. Namun ternyata tidak. Ji Hwan terlihat sangat serius dengan kata-katanya. Matanya yang agak sipit itu menatap Amara dengan kesungguhan yang luar biasa.
Ji Hwan tertawa geli. Amara benar-benar merasa lega karena akhirnya bisa melihat cowok itu tergelak lagi. Lesung pipitnya begitu menyihir. Amara sekarang baru menyadari betapa dia sangat merindukan Ji Hwan. Dia tidak tahu bagaimana selama ini bisa bertahan, bahkan sampai bersikap memusuhi cowok itu. Amara pun tak sudi mendengar semua pembelaan diri dari Ji Hwan.“Sophie juga udah ngingetin aku tentang kamu yang gengsi banget untuk mengakui perasaanmu sama aku,” aku Ji Hwan.Amara mendesah tak berdaya. “Kalau nanti ketemu Sophie, aku akan menjahit mulutnya,” ucap gadis itu. “Dia sama sekali nggak bisa menjaga rahasia.”Ji Hwan tertawa kecil. “Sophie nggak punya maksud jelek. Dia cuma ingin membantu kita berdua,” katanya. “Heartling, bisa nggak sih, kita berhenti berantem dan ngucapin kata-kata yang nyakitin hati? Aku beneran jatuh cinta sama kamu. Aku menyesali semua yang harus kamu alami. Aku lebih nyesal lag
Wajah Amara menghangat. Kata-kata Ji Hwan itu membuatnya jengah. Dia sempat mengerjap sambil menatap sang mantan, tak yakin bagaimana Ji Hwan tampak berbeda dibanding kemarin. Hari ini, Ji Hwan tampak lebih santai dan bisa mengucapkan kata-kata yang mengejutkan. Meski tak terlihat lesung pipitnya yang begitu disukai Amara.“Kenapa aku harus cemburu?” Amara mengerutkan glabelanya. “Ji Hwan, kita beneran konyol banget karena ngebahas hal-hal yang nggak penting. Sekarang, balik ke masalah yang sebenarnya. Kamu ngajak aku ke sini untuk ngebahas apa?” tanya Amara. Dia berusaha bersikap setenang mungkin meski nyatanya jantung Amara terasa menggila lagi.“Bukannya kamu merindukanku?” Ji Hwan malah balas bertanya. Pertanyaan itu begitu mengejutkan, seperti bom yang dijatuhkan di keheningan malam.“Apa?” Amara yakin dia sudah salah dengar.Ji Hwan menjawab dengan sabar. Nada sinis yang tadi tertangkap di telinga Amar
“Kamu sakit ya, Mara? Wajahmu agak pucat,” cetus Ji Hwan dengan napas memburu. Menurut tebakan Amara, cowok itu pasti berlari saat kembali ke tempatnya menunggu.“Aku nggak sakit.” Seisi dada Amara dipenuhi permohonan, berharap Ji Hwan mau memanggilnya “Heartling” lagi. Permohonan yang tidak mampu dilisankan Amara di depan cowok itu. Sesaat kemudian, gadis itu memarahi dirinya sendiri. Memangnya apa yang diharapkannya? Ji Hwan sudah melakuakan segalanya untuk mempertahankan Amara. Akan tetapi, Amara sendiri yang menolak Ji Hwan berkali-kali.Ji Hwan melihat ke arah jam tangannya. “Kita bisa pergi sekarang? Atau kamu mau makan siang dulu?”Amara menggeleng. “Aku nggak lapar.”Setelahnya, gadis itu berjalan bersisian dengan Ji Hwan menuju tempat parkir motor di fakultas cowok itu. Tak ada yang membuka mulut. Amara pun sama sekali tidak berkomentar saat mantan pacarnya menyerahkan sebuah helm kepada
Namun Amara tidak mampu mensterilkan diri dari perasaan senang saat melihat Rita menjadi salah tingkah dengan wajah agak pias. Mereka saling sapa dengan canggung. Amara juga merasa lega karena Ji Hwan tidak mengoreksi kata-kata Sophie tadi.Kurang dari tiga menit kemudian Rita pamit dengan alasan harus masuk kelas. Tak lama kemudian Sophie pun menyusul. Tidak ada tanda-tanda bahwa gadis itu menyesali caranya mengintimidasi Rita. Sophie malah terkesan puas dengan kelakuannya barusan. Kini, yang tinggal hanya Amara, berdiri berhadapan dengan mantan pacarnya dengan canggung. Gadis itu memindahkan berat badannya dari kaki kanan ke kaki kiri. Tidak ada yang bicara hingga berdetik-detik. Sementara mahasiswa berlalu-lalang di sekitar mereka.“Amara, kenapa belum pulang? Masih ada kuliah, ya?”Tanpa melihat pun Amara tahu bahwa Reuben yang barusan menyapanya. Dosennya itu berhenti sambil menatap Amara. Berdiri di depan dua pria yang pernah menjanjikan hati m
Amara belum pernah merasakan siksaan luar biasa saat mengikuti kuliah. Ji Hwan yang sudah memperkenalkannya pada perasaan asing yang membuatnya tak berdaya itu. Amara mengutuki waktu yang melamban dan jarum jam yang seakan tidak bergerak. Seolah-olah waltu membeku begitu saja.“Mara, bisa duduk diam nggak, sih?” protes Sophie. “Kalau kamu bergerak-gerak terus di kursimu, mungkin bakalan dikira kena wasir.”Kalimat seenaknya dari Sophie itu membuat Amara menendang kaki sahabatnya dengan gerakan pelan. Sophie malah terkikik geli dan buru-buru menundukkan wajah agar tak ketahuan dosen sedang tertawa.“Pasti kamu udah nggak sabar pengin buru-buru keluar dari sini, kan?” tebak Sophie ketika akhirnya kelas berakhir. Seringai jailnya tidak mampu membuat perasaan Amara membaik. “Tersiksa banget kan, Mara?”Amara mengabaikan gurauan sahabatnya. “Sophie, nanti kalau ketemu Ji Hwan, aku harus ngomong apa? Aku ben
Amara melangkah pelan dengan kepala tertunduk. Sophie menggandeng lengan kanannya. Setelah menghabiskan waktu di kantin, mereka akhirnya menuju ruang kelas. Perkuliahan akan dimulai sekitar sepuluh menit lagi. Perbincangan Amara dan Sophie tidak mendapat titik temu seputar jalan keluar untuk soal Ji Hwan. Amara sudah kehilangan semangat. Dia yakin, kini dia merasakan patah hati dalam arti sebenarnya.Amara tahu, rasa sakit yang harus ditanggungnya pasti tak akan ringan. Setelah semua kemarahannya mereda dan akal sehat yang berbicara, pastilah rasanya berbeda dibanding malam tahun baru itu. Saat dia memutuskan hubungan dengan Ji Hwan tanpa perasaan.“Kamu terlalu jauh dijajah gengsi. Itu kebiasaan jelek, Mara. Gengsi itu perlu tapi ya harus pada tempatnya. Kalau memang....” Sophie tidak melanjutkan kalimatnya.Heran karena Sophie tak lagi bicara, Amara berujar, “Silakan terus mengejek dan menceramahiku. Masa sih kamu udah capek? Kayaknya ini bar
Sophie sudah digariskan menjadi orang yang tak mudah dipuaskan. Dan meski sudah ikut melihat adegan tadi, gadis itu merasa bahwa reaksi Amara terlalu berlebihan. Cemburu yang tidak pada tempatnya. Bagi Sophie, tak seharusnya semangat Amara melempem begitu saja. Gadis itu tanpa sungkan mengutarakan opininya.“Katanya rindu, tapi udah langsung nyerah cuma karena ngeliat ada pengagum Ji Hwan yang lagi usaha untuk narik perhatian,” sindirnya. Sophie tidak menyembunyikan rasa gelinya. Tawanya menyusul kemudian, membuat Amara merengut sekaligus kesal.“Aku nggak cemburu, kalau itu yang kamu maksud,” balas Amara, defensif.Sophie mengabaikan kata-kata Amara. “Kamu ingat nama cewek itu? Rita kan, ya?”Amara berusaha keras menggali memorinya tapi gagal total. “Entahlah, aku sama sekali nggak ingat. Cuma kenal mukanya doang.”“Hmmm, aku maklum, sih. Sebelum ini, kamu terlalu asyik berdua sama Ji Hwan, sih