🐺🐺🐺
Perempuan itu berbalik membelakangi jurang. Sampai terkejut dengan sosok lain yang tengah menatap matanya.
"Wahh, tidak kusangka kita akan dipertemukan di sini." Seorang pemuda dengan pakaian lebih elit itu berujar.
Pemuda itu mendegkus sebal ketika tidak mendengar jawaban. "Apa begitu sikap sopan yang diajarkan tetuamu?"
"Aku tidak memiliki waktu untuk meladeni." Perempuan berbusana mirip lelaki tersebut melenggang santai namun cekalan tejadi di tangan kanannya yang segera ia tepis kasar.
"Jangan pernah menyentuhku!" teriaknya ketus.
Perempuan itu mendelik tajam saat dua pengawal pemuda itu menutup jalan, mencegahnya pergi.
"Apa maumu?"
Senyum miring pemuda itu tercetak jelas di sana. Pemuda tersebut mendekat. "Hanya ingin berkenalan dengan calon permaisuri."
"Jangan membual!"
"Lihat! Ucapanmu terlalu besar untuk perempuan sepertimu. Bukankah itu mengelikan? Kehilangan kata-kata? Kita pernah bertemu di medan perang bukan?"
"Kau tidak akan pernah bisa mengintimidasiku." tegas perempuan itu lagi.
Kemudian pemuda tersebut berusaha memojokkannya, dengan langkah pelan menipiskan jarak. Membuat sang perempuan mundur perlahan.
"Benarkah? Kita liat apa yang terjadi."
Tanpa sadar tanah yang dipijak perempuan itu roboh seketika. Membawa tubuhnya jatuh ke jurang. Teriakan menggema karena terkejut. Disusul tawa remeh dari sang pemuda. Berbanding terbalik dengan lima pengikutnya yang berpakaian sama, mereka panik dengan apa yang dilakukan tuannya tersebut. Tanpa bisa berbuat apa-apa. Namun salah satu darinya berusaha mencari secercah jawaban,"tapi tuan, bagaimana dengan perempuan itu?" dengan nada setengah takut melihat tuannya tak acuh melangkah menjauh.
Pemuda tersebut hanya mengibaskan lengan malas. "Lupakan! Dia tidak akan mati semudah itu."
Di sisi lain perepuan itu meringis dengan luka gores dibeberapa bagian. "Sial! Dasar licik," gumamnya kesal. Kepalanya yang linu mendongak ke atas. Mencari jawaban apakah di atas sana nyawa gila mereka tertawa.
Semakin dipikir-pikir semakin membuat perempuan itu naik darah. Pasalnya tidak ada sengketsa apapun yang membuat dirinya berurusan dengan pemuda itu. Siapa dia pun perempuan itu tidak mengenal.
Bertemu di medan parang apanya. Pembual yang menyedihkan. Tapi tunggu, pemuda itulah yang menghalangi penelitian bersama Dyn, pengawal pribadinya. Mengingat itu membuat darah mendidih seketika. Tanpa sadar lengannya memukul tanah sekuat tenaga.
Langkah tersoek-soek perempuan tersebut bergerak menuju ke bawah bohon pinggir sungai. Merebahkan tubuhnya sebentar. Mungkin beberapa jam nanti luka-luka itu akan segera pulih dengan sendirinya.
Sambil berjaga-jaga perempuan itu menajamkan indra pendengarnya. Sampai sayup-sayup dentingan musik aneh nan merdu menyelinap ke selah telinga menjadi pengantar tidur paling syahdu.
Alunan melodi itu berasal dari Vila yang terletak agak jauh dari tempat perempuan tersebut beristirahat.
Di sana jari-jari lihai Ananta bergerak beberapakali untuk memetik senar gitar. Pemuda jangkung berambut cokelat itu memang menyukai musik. Hal yang bisa ia gunakan sebagai pengisi kekosongan.
Tampak seorang perempuan dengan rambut yang di ikat asal keluar dari rumah. Melakukan perenggangan beberapa otot setelah semalam direbahkan. Rambut coklatnya sedikit berantakan. Serta mata lentik bermanik hitam legam itu masih tampak sayu. Kulit sawo matang yang terlipat-lipat dibeberapa tempat sisa tadi malampun masih setia mempermanisnya.
"Permainanmu masih bagus seperti biasa, sayang." Ungkapan Bella membuat Ananta menghentikan kegiatannya. Tersenyum tulus ke arah sang ibu.
"Terimakasih."
Ananta meletakkan gitar itu di samping tubuh. Tangannya beralih mencari tongkat, kemudian berdiri.
"Aku tidak membangunkan Mama karena permainanku, bukan?"
"Tentu saja tidak, Anta. Justru Mama akan sangat menyesal kalau tidak mendengarnya."
Ananta tersenyum menaggapi. Wajahnya menghadap hutan blantara mengikuti pergerakan angin lembut. "Ananta mau jalan-jalan."
Bella membelalakkan matanya, agak terkejut yang langsung berubah tenang. "Sebentar, Mama panggil Bi Manda untuk menemani."
Pemuda itu langsung mencegah pergerakan ibunya dengan menggeleng. "Ananta ingin sendiri."
"Anta," ujar Bella alun memohon. Raut gelisah mulai timbul di wajah dekiknya. Ia tau Ananta ingin belajar mandiri tanpa pengawasan orang lain. Terjebak dalam dunia gelap membuat putranya tidak sebebas dulu. Tetapi itu membahayakan keselamatan Ananta.
Tangan Ananta meraih kalung berbandul peluit di leher pemuda tersebut. Membunyikan sebentar lalu tersenyum kemudian. Menunjukkan pada Bella semua akan baik-baik saja dengan adanya peluit itu.
"Kalau ada bahaya, Ananta akan bunyikan ini terus menerus sampai Mama datang. Begitupun jika Ananta tersesat."
Hati Bella melunak dengan keyakinan Ananta bahwa ia akan selalu ada untuk pemuda tersebut. Peluit itu mengingatkan dirinya akan sosok pujaan hati. Ayah Ananta, Louise. Dimanakah dia sekarang? Apa jika peluit itu ditiup di hutan ini, Louise akan datang.
"Anta yakin bisa?" Terbesit keraguan dengan perasaan tidak rela. Takut jika Ananta akan menjadi Louise yang hilang.
"Iya, Mamaku sayang."
"Jangan jauh-jauh, Anta!" tegasnya sok garang.
Ananta mengangguk setuju. Kembali berujar, "Ananta akan menyusuri sungai jadi gampang."
Setelah berhasil membujuk Bella Ananta lekas bergerak hati-hati mengikuti arahan angin. Takut ibunya akan segera berubah pikiran.
Selama perjalanan santainya Ananta menajamkan indra penciuman dan pendengaran. Meghidupkan angan seperti apakah alam di seitarnya dalam benaknya sendiri. Digabung dengan kilasan masa lalu ketika sang ayah pernah mengajak Ananta berburu. Mungkin pepohonan tinggi yang dulu telah mati, berganti dengan pohon baru. Rumput liarnya juga sama.
Dulu hutan ini tampak lebih bersahabat. Tidak ada cahaya biru yang menyesatkan. Lebih asik ditinggali sampai suatu ketika hilangnya Louise membuat pemikiran semua orang bahwa hutan ini terlarang. Apalagi ditambah dengan berbagi peristiwa hilangnya orang-orang yang sama penasarannya dengan cahaya biru.
Gemercik air menyadarkan pikiran liar Ananta. Sudah sampai manakah ia berjalan, pemuda itu tidak tau. Tetapi dari rasa kakinya yang mulai pegal Ananta yakin dirinya telah berjalan jauh.
Angin terasa lebih lembut dan segar. Hebusannya berlikuk-likuk terpantul pepohonan yang menjulang tinggi. Menyesatkan pikiran Ananta sesaat. Ketika tongkat Ananta mulai lengah pemuda itu jatuh tersungkur.
Jantung Ananta berdetak lebih kencang setelah mendengar suara pekikan yang bukan berasal dari pita suaranya. Ini terdengar lebih mirip geraman binatang buas.
Otak Ananta bertebaran tidak karuan. Hawa semakin mencengkam ketika dirinya tidak menemukan tongkat yang ia raba. Malah tangan tegas pemuda itu merasakan kelembutan kain, sampai geraman kembali menyentak jantungnya. Apakah ia akan mati mengenaskan dimakan serigala.
"Apa yang kau lakukan!" teriakan menggema gendang telinga.
Jantung Ananta berhenti berdetak untuk sesaat.
Suara tegas itu membuat Ananta menajamkan telinga. Meyakinkan kembali bahwa indra pendengarnya tidak pernah salah.
"Kubilang apa yang kau lakukan, hah?" Ananta terkejut bukan main. Itu suara perempuan yang begitu tegas.
"Enyahkan lenganmu dari kakiku, bodoh!"
Buru-buru Ananta mengangkat tangan yang sepertinya telah menindih perut orang itu.
"Kau membuat kakiku patah." Suara yang semula berupa teriakan berubah menjadi gerutuan marah. Tekanan intonasinya terlihat geram sekali.
Ananta terkejut denan itu. "Maafkan aku, sungguh. Aku minta maaf."
"Kalau begitu kau lekas berdiri! Tubuhmu berat di kakiku!"
Ananta berusaha berdiri tegap meski agak tertatih. Terdengar suara rintihan pelan perempuan itu. Ananta jadi merasa bersalah. Jadi tadi Ananta jatuh di atas kaki perempuan tersebut.
"Kau mengganggu tidur siangku dan sekarang membuat kakiku yang patah semakin parah!"
"Maaf, aku tidak tau." Suara menyesal terdengar di mulut Ananta. Jari- jari pemuda itu saling bergesekan. Merasakan sesuatu yang basah dan lengket. Dia menciumnya, mengira-ira seperti besi darah. Tentu bukan miliknya. Tangan Ananta baru saja menyentuh perempuan itu tadi.
Jadi perempuan itu benar kalau ia sedang terluka dan itu karena Ananta.
Telinga Ananta mendengar suara pergerakan. Sepertinya perempuan itu lekas berdiri di depannya. Kibasan terasa di wajah Ananta. "Buta, heh?"
Ananta menangguk tanpa perasaan malu. Toh memang itulah keadaannya. Kembali ia ucapkan kata maaf.
Tengkuk Ananta terasa merinding dengan angin hangat yang menerpa. Perempuan aneh tersebut mengendus tubuh Ananta. Membuat si pemilih risih.
"Apa yang akan kau lakukan dengan kakiku?"
Agak bingung Ananta menjawab, "aku akan bertanggungjawab. Merawatmu di Vila." dengan penuh keyakinan.
"Pondok?"
Ananta menagngguk.
"Dengan mata tidak bisa melihat?" lanjut perempuan itu lagi.
"Ada Mama dan Bibi di sana. Lagipula aku tidak akan sampai di sini kalau tidak cukup pintar."
"Baiklah. Aku terima tawaranmu. Tetapi harus kau yang mengobatiku." Kembali Ananta dibuat terkejut dengan tangan melingkar di pundak dan hebusan nafas hangat terasa dekat di wajahnya. Bersamaan dengan syarat yang dikibarkan perempuan tersebut. Agaknya Ananta merasa keberatan walaupun ini tanggungjawabnya.
"Aku tidak bisa melihat."
"Tetapi kau tidak bodoh kan untuk mengira-ngira?" Hati Ananta mulai bersungut.
Setelah hening beberapa saat karena Ananta memilih diam. Perempuan tersebut kembali melanjutkan. "Tunjukkan jalannya!"
Jantung Ananta berdetak hebat. Dia tidak pernah sedekat ini dengan perempuan selain ibunnya apalagi setahun semenjak ia tidak bisa melihat. "Haruskah tanganmu seperti ini?" ujar Ananta. Pemuda itu segera melepas lengan yang melingkar di pundaknya dengan erat. Takut perempuan itu akan mendengar detak jantungnya yang menggila.
"Kakiku patah kau tau. Dan kau! Harus bertanggungjawab."
"Aku tidak bisa melihat. Tentu saja jalannya akan kaku jika kamu merangkul pundakku."
"Benar. Sekarang siapa yang akan menuntun siapa?" Perempuan itu menyilangkan lengan dengan wajah kesal.
"Tolong ambilkan tongkatku dan kemarikan lenganmu."
Mata perempuan tersebut berhenti pada tongkat aneh yang tidak pernah ia lihat sebelumnya, tergeletak tak berdaya di bawah pohon yang sebelumnya menjadi sandaran tidur. Ia benci diperinta namun tidak elak ia ambil, kemudian diserahkan pada tangan Ananta. "Seperti apa pondokmu? Biarkan aku menjadi matamu dan kau menjadi kakiku sekarang."
Tangan perempuan tersebut kembali melingkar di bahu Ananta. Membuat dempuran jantungnya kembali tidak bekerja normal. Sebisa mungkin Ananta tata dengan tenang.
"Bercat putih dua lantai. Tinggal mengikuti sungai maka kamu akan tau." Perempuan itu mengangguk mengerti meski Ananta tidak bisa melihat pergerakannya.
Keduanya bergerak dalam diam. Terhanyut dengan pemikirannya masing-masing.
Kadangkala Ananta meringis pelan setiap mendengar rintihan perempuan di bahunya tersebut yang lebih mirim seperti geraman binatang buas. Merasakan langkahnya yang agak kaku membuat Ananta yakin jika perempuan itu terluka parah.
"Maaf, aku membuatmu terluka."
"Baru sadar? Padahal aku telah menahan sakitnya sedari tadi."
"Maaf," Ananta berhenti melangkah begitu merasakan tidak ada pergerakan lagi dari makhluk di sampingnya. Suara mendengkus kesal terdengar.
"Kau ucapkan kata itu lagi. Bisa aku pastikan bahwa kakimu akan hilang sebelah."
Bulu kudu Ananta meremang seketika. Sebenarnya ia tidak yakin jika perempuan tersebut akan tega melakukan itu. Tetapi entah mengapa mendengar nada yang tersemat akan sebuah janji membuat Ananta semakin takut. Ananta tidak tau seperti apa rupa perempuan ini. Terlebih lagi ia baru mengenalnya. Siapa tau jika memang perempuan itu adalah psikopat yang mengincar buronannya di hutan.
"Kamu tidak akan melakukannya." ujar Ananta begitu yakin. Dia akan mencoba menghalau berbagai pikiran negatif. Meyakini bahwa seseorang ini merupakan perempuan yang manis terlepas dari sikap garangnya.
"Kau begitu yakin sekali."
"Akhh." Ananta tersentak pelan. Terkejut dengan apa yang ia rasakan. Perih menjalar di lengan kirinya. Mau tidak mau Ananta memusatkan wajahnya ke arah perempuan tersebut mencari kepastian. Melepaskan rangkulan perempuan itu. Ananta yakin saat ini perempuan yang tidak ia ketahui namanya itu sedang menyeringai licik, kemudian disusul suara tawa yang mengerikan.
"Dengan begitu kita impas bukan?"
"Kamu gila? Aku tidak sengaja melukaimu dan kamu mengores lenganku dengan sadis? Kamu sebut itu impas?" Pemuda berambut cokelat itu meninggikan suaranya. Kedua alis tebalnya hampir menyatu karena amarah menguasai pikiran. Tersulut rasa sakit di lengan yang terluka ia balut dengan tangan sebelah. Mencegah darah keluar lebih banyak.
Gila, perempuan itu terkekeh geli. "Hentikan wajah konyolmu itu. Kau terlihat lucu. Bukankah begitu hukum alam? Nyawa dengan nyawa. Luka dibayar dengan luka. Nanti ... jika kamu mengobatiku. Aku juga akan mengobatimu."
Hentikan. Ananta ingin tertawa begitu mendengar kekehan yang timbul dari pita suara merdu nan tegas itu. Sejak kapan pikiran kuno itu masih tersemat dibenak manusia? Nyawa dibayar nyawa?
"Aku terkesan dengan pikiran kunomu itu. Karena sedari tadi aku minta maaf berulang kali. Kamu harusnya minta maaf sekarang?"
Geraman mengelitik telinga Ananta. Perempuan itu tersulut karena Ananta mengatainya kuno. Karena tentu saja perempuan tersebut terlalu berwibawa untuk mengucapkan 'maaf'.
"Kau akan berubah pikiran begitu tau kehidupan yang sesungguhnya."
Kata-kata merdu tersebut terngiang-ngiang mengitar otak Ananta. Masih belum mengerti dengan maksut dari ucapan itu.
Menyadari kecanggungan Ananta merubah topik. Dengan keadaannya yang seperti ini Ananta harus menjaga sikap. Sebenarnya Ananta bukanlah orang yang mudah tersulut emosi. Tapi entah mengapa, dengannya Ananta ingin selalu berteriak. Lebih tepatnya ingin selalu berbicara menyambung kedekatan.
"Kenapa kakimu bisa patah?" Keduanya masih berjalan satai berdampingan. Agak lama keheningan menyapa.
"Jatuh dari bukit tadi." Ananta mengangguk. Tidak ingin terlibat lebih banyak. Walaupun seluruh otaknya tertupuk segala pertanyaan. Mengapa ada seseorang di hutan terlarang ini? Terlebih dia perempuan.
"Apakah kita sudah sampai? Rumahmu memiliki gerbang hitam yang jelek?"
Ananta menjawab dengan anggukan kepala. "Dulu aku pernah ke sini sebelumnya. Yang aku tahu tidak ada kehidupan sama sekali."
"Aku baru pindah lima hari yang lalu."
Perempuan itu mengangguk. Menuntun Ananta sampai gerbang rumah yang terlihat rapi dengan bunga-bunga yang berjejeran di teras. Hasil karya Bella dan Manda. Bunga itu tampak manis karena beberapa vasnya retak dan berlubang.
Seseorang keluar dari rumah dengan tergesa. Sebelumnya perempuan berrambut hitam legam itu mengintip dari jendela rumah. Mungkin takut orang jahat yang datang. Tapi setelah tau bahwa ini Ananta maka Manda baru keluar.
"Ya, amsyong. Den Anta, kenapa?" suara cempreng mengglegar. Bi Manda menghampiri keduanya dengan tergesa. Raut kawatir terlihat jelas begitu melihat Ananta ditatih seseorang. Lebih tepatnya menatih seseorang sebenarnya. Tapi karena panik Bi Manda tidak tau mana yang meski ia tolong.
"Tidak apa-apa, Bi. Tolong perempuan ini sepertinya terluka parah." Manik cokelat Manda beralih pada perempuan asing yang merangkul Ananta. Was-was dengan kesan pertama yang diberikan.
Perempuan aneh itu tampak mencurigakan dengan baju khas pria berwarna hitam. Terdapat pemanis di bagian dadanya yang ditumbuhi semacam bulu ayam berwarna hitam, tetapi lebih besar. Dan ternyata bulu-bulu itu terus berlanjut semakin kecil ke bawah sampai pinggang dan punggung. Seperti baju bulu unggas. Celana panjang yang tidak ketat juga berwarna hitam. Rambut hitam pekat yang dikepang. Terdapat anak rambut bertebaran, mempercantik wajah putihnya yang tampak kontras. Matanya lentik. Yang tampak mencolok adalah bola mata itu berwarna merah_sangat merah seberti bata.
"Siapa ini, Den?" nadanya menyiratkan ketakutan. Jangan lupa bahwa Bi Manda penakut dan parno dibalik sikapnya yang riang.
"Bisakah kau tidak perlu banyak tanya? Aku lelah berjalan sedari tadi."
Bi Manda tersentak dengan nada ketus yang terlontar. Hal itu semakin menambah rasa tidak sukanya terhadap perempuan aneh itu.
Ananta ingin berucap tetapi suara merdu menimbun. "Anta? Kamu sudah pulang? Kenapa berhenti di sini?"
Terdengar suara dedaunan kering yang terinjak. Bella semakin mendekat padanya. "Ah, ada tamu rupanya. Oh, ada apa dengan wajahmu, cantik? Kenapa penuh memar dan luka gores seperti itu?"
Bella langsung menghampiri Ananta. Mengambil alih perempuan yang bertumpu di pundak putranya tersebut. Sadar jika kondisi perempuan tersebut tampak mengenaskan. Lebih mengenaskan dari Ananta.
Sedangkan Ananta sendiri terbisu karena ucapan Bella. Jadi perempuan tadi separah itu. Kenapa?
"Bibi tuntun, Anta masuk dan segera siapkan air hangat." ujar Bella sambil menuntun perempuan asing yang memasang wajah datar.
Mereka berbondong-bondong ke dalam rumah. Dengan segera Bella menyuruh Bi Manda menyiapkan seperangkat kesehatan untuk mengobati luka Ananta dan perempuan tersebut.Bella memilih menangani perempuan itu di kamar Ananta yang lebih dekat dari ruang tamu kemudian membiarkan Bi Manda mengobati Ananta. Kamar itu terlihat lebih bersih dari pertama kali bertemu. Tidak ada yang berbeda dari tatanannya. Hanya bunga lili putih kuncup yang mempercantik meja rias. Selebihnya tidak ada selain bunga plastik tersebut.Setibanya di kamar Bella mendudukkan perempuan tersebut pada ujung pembaringan. Menanyai beberapa hal yang terpikirkan dalam benaknya."Kenapa bisa sampai banyak luka gores begini, sih?""Jatuh," sahut perempuan tersebut dengan nada datar.Bella tersenyum tulus. Mengambil alat kesehatan di laci meja rias Ananta yang tampak kosong melompong selain alat kesehatan itu sendiri.
"Louise?" gumanan jelas terlontar begitu saja dari mulut Alice. Berulangkali ia utarakan kata itu dalam benak. Mencoba mengabrik kepingan memori yang tersimpan jauh dalam laci.Sepersekon ia tidak kunjung mendapatkan barang selembarpun informasi. Sampai Bella menyahut pemikirannya dengan begitu jelas, "kenapa? Kau mengenal nama itu?"Alice menggeleng ragu. Setengah memikirkan nama yang begitu familiar tersebut. Tidak. Marga itu bisa sama. Jadi Louise yang dimaksud di sini mungkin bukanlah orang yang sama seperti yang ada dipikirannya sekarang.Mengangguk, Bella meletakkan perkakas kesehatan di tempat semula. Tidak berusaha bertanya lebih banyak.Mata Bella beralih pada satu garis lurus. Tempat dimana wajah Alice terpahat apik. Tampak sempurna dengan bola mata jernih yang menghanyutkan. Warna merah batanya tampak tenang. Bella jadi penasaran seperti apakah warna mata Alice dibalik softlens tersebut
Semoga saja dengan keadaan Ananta yang seperti itu. Alice benar-benar suka, bukan penasaran apalagi percobaan.Bella menyuruh Alice duduk pada kursi busa yang tampak lebar tersebut. Menuntun Ananta mendekat agar lebih mudah dalam merawat Alice. Sedangkan Bi Manda yang melihat itu hanya pasrah saja. Tampaknya ia terlalu protektif dan curigaan. Mencoba untuk memaklumi Alice ia berujar, "aku siapkan makan malamnya, Non." ditujukan pada Bella. Kemudian tubuhnya hilang dibalik dinding pembatas antara dapur dan ruang tamu."Mama batuin Bi Manda, ya?" Mendapat anggukan Ananta Bella beranjak dari posisinya. Meninggalkan Ananta yang mulai tampak bingung harus bagaimana.Sekilas senyum menampakkan cabit pada wajah Alice. Ia berdiri menuntun Ananta untuk duduk di sebelahnya. Kemudian meletakkan perban pada kedua tangan Ananta."Sekarang obatilah aku!""Katanya sudah sembuh."
Ananta tersedak. Dengan segera Bella yang duduk di sampingnya menyerahkan minum.Apa kata Alice tadi? Rumput? Pakan ternak? Jadi secara tidak langsung perempuan tersebut menghinanya sebagai hewan peliharaan berkaki empat?"Pelan-pelan, Anta!" Bella mengelus punggung Ananta pelan. Memberikan ketenangan pada putranya tersebut.Perlakuan Bella membuat Ananta yang hendak meledakkan amarah pada Alice sedikit meredam. Tidak ada gunanya juga ia marah. Tetap saja, dengan kondisinya yang seperti ini Ananta tidak akan bisa memenangkan perdebatan."Oh, iya. Katanya Alice ingin belajar bermain gitar denganmu, Anta."Binar cerah terbit pada manik merah milik Alice. Kemarin setelah mendengar dan melihat secara langsung Ananta yang memainkan gitar ia jadi ingin menguasainya. Pertunjukan musik seperti itu jika ditampilkan di festival pasar bakal menang. Secara tidak ada yang menyamainya.
Sedangkan diujung lain Bella tersenyum geli di sertai bi Manda yang berjalan mendekat membawa sekeranjang buah pisang dari kota. Pesuruh Bella tersebut menatap binggung Alice yang tampak aneh. Menarik pancing ke belakang, ke atas?Alice tidak menggulung benang pancingnya melainkan menariknya sampai ke ujung. Di sana terlihat ikan nila kecil menyatu dengan ujung pancing. Dengan segera Alice meraih ikan tersebut lalu tanpa basa-basi menarik benang pancing dari mulut ikan tanpa merasa iba. Sedangkan Bella yang juga melihatnya agak terkejut. Untuk ukuran manusia normal seharusnya Alice tidak akan setega itu merobek mulut hewan."Non Alice kejam sekali." lirih bi Manda. Alice yang memiliki pendengaran tajam langsung melirik tajam ke arah bi Manda."Apa maksudmu?" Manda hanya bisa terbengong mendengar pertanyaan Alice. Karena yang ia rasa hanya bergumam tadi."Aku tidak bilang apa-apa.""Jangan mengelak!""Iya, non. Aku hanya berasumsi saja. Tingk
Cahaya biru laut agak meresahkan bagi kaumnya. Ia memakan beberapa penduduk yang dirasa memiliki kedudukan penting maupun kekuatan besar. Walaupun Alice tidak sepenuhnya yakin cahaya itu memakan korbannya atau tidak. Tetapi yang jelas cahaya itu akan menyesatkan siapa saja mangsa yang dipilih. Ke suatu tempat tertentu. Kemudian menghilang tanpa jejak."Cahaya biru laut?" Ananta yakin dulu ia pernah melihat ini sebelumnya. Louise. Terakhir kali ayahnya menghilang karena mengikuti cahaya itu. Tidak salah lagi. Ananta bahkan melihatnya secara langsung bahwa Louise mengikuti cahaya itu. Tetapi Ananta tidak berhasil mengikuti kemana perginya. Dan menghilang begitu saja. Tanpa tanda."Itu berbahaya. Jangan mengikutinya lagi! Aku tau kau tanpa sadar mengikutinnya." Alice menarik lengan Ananta tetapi dengan gerakan kecil pemuda itu menghentikannya."Aku ingin tau. Sesuatu dalam diriku apa yang diinginkan cahaya itu?""Itu tidak penting Ananta." Alice menarik leng
✒✒✒Kata Alice ada sekitar dua penjaga di gerbang pintu masuk. Tubuhnya kekar dengan badan yang tinggi tegap. Kedua pria penjaga itu memiliki wajah yang terkesan sangar. Dan Alice sama sekali tidak takut. Perempuan itu bisa melakukan apa saja yang ia mau. Bahkan membunuh kedua penjaga tersebut dan menggantinya yang baru.Yang Ananta pikir. Kenapa desa ini harus diberi penjaga. Bahkan seberapa kuat Alice untuk melakukan hal yang diucapkan secara lantang perempuan tersebut. Atau seberapa pengaruh posisi Alice sampai mampu menggerakkan semua isi kepalanya."Salah satu penjaga itu menghilang dua bulan lalu. Itu penjaga yang baru. Menurut dugaan mereka mengikuti cahaya biru laut."Ananta kira Alice tidak ingin membahas hal ini lagi.
Lengan baju Ananta diseret paksa Alice ke samping. Setelah berhenti Ananta mendengkus kesal sambil membenarkan kerah bajunya yang melorot akibat tarikan mendadak tersebut."Ada apa, sih?""Silahkan dipilih, non. Samurai atau pedangnya? Keduanya sama-sama dibuat oleh pengrajin dari balik bukit, desa Northumbria. Hanya tersisa dua senjata ini yang berasal dari kerajaan itu." Suara pria yang sepertinya penjual senjata tampak menerangkan dengan penuh keyakinan.Alice tersenyum lebar, mengangguk pasti dengan antusias. Dirinya sebagai pecinta senjata tentu tau benda tersebut berasal dari desa mana saja. Semua senjata yang diproduksi setiap pengrajin dari desa tertentu memilih ukiannya masing-masing. Seperti dari Mercia, desa serta kerajaan yang saat ini disinggahi memiliki lambang kerajaan mawar merah untuk setiap benda dan segala ha
Mendadak sosok itu mendekat. Berjalan lambat dengan langkah-langkahnya yang besar. Tubuh yang tampak kecil tersebut mendadak terlihat makin besar dan tinggi seiring dekatnya mereka. Ananta sedang berusaha untuk tidak menahan napas. Sayangnya hal itu nihil. Aura yang pekat membuta Ananta membeku. Sedangkan disisi lain, Ananta melirik Cara yang sama bisunya. Seolah perempuan itu tau dan sedang menunggu.Tubuhnya hitam tegas. Tinggi menjulang, lebih tinggi dari Ananta sekitar lima belas sentimeter. Dalam hati Ananta monolog, "pantas saja." Kaki yang dibalut celana bahan berwarna hitamnya tampak panjang. Karena itu pria berambut kaku dengan mata biru begitu cepat tiba di depan Cara.Kesan mengerikan tersebut membuat Ananta tercengang ketika pria itu mendadak tersenyum. Menyapa Cara ramah."Dimana Araujo?" Hal pertama yang keluar dari mulut Cara setelah pria tersebut menyapa. Cara tidak sungkan untuk tidak membalas sapaan pria ini."Kau tentu bisa menebak apa yang terjadi." Dengan aksen s
"Benarkah? Apa wajahmu berlubang?" Tanya Cara penasaran. Perempuan tersebut kemudian mendekat."Tidak." Tetapi paku itu berasal dari tempat Cara berdiri. "Berarti kamu menghancurkan paku itu?" Cara makin penasaran dan ini sukses membuat Ananta merasa aneh."Kamu yang melemparkan paku itu dan menghancurkannya tepat di depanku?" Ananta tidak ingin percaya dengan ini. Tetapi mengingat tentang matanya, cahaya biru laut, api merah darah membuat Ananta berpikir kemungkinan itu bisa saja terjadi."Konyol. Kamu yang melakukan itu sendiri." Cara terkikik. Postur tubuhnya yang semula serius kembali rileks. Tepat ketika menyadari Ananta masih syok ia kembali berujar, "aku yang melemparkan paku itu," Ananta membelalak. Dan sebelum pemuda tersebut membuka mulut Cara lebih dulu menerobos, "hanya untuk memastikan sesuatu. Ternyata itu bukan softlens.""Apa maksudmu?" Ananta bingung.Tetapi Cara malah tertawa, "Ananta. Aku tidak sebodoh itu. Menurutmu, untuk apa aku membawamu ke seni kalau bukan ka
Esoknya pagi-pagi sekali Ananta terjaga dengan beberapa pilihan rencana dalam pikirannya. Seakan otaknya yang tidur telah berjaga semalaman. Dia bangun, memakai baju putih polos dengan kaus abu dibagian dalam. Meninggalkan kamar sepetak yang dominan kayu di berbagai sisi.Kakinya dengan ringan menyusuri ruang tengah sederhana. Terlihat bagian paling menonjol adalah meja makan dengan empat kursi kayu. Tepat di sebelah kanan pintu keluar kamarnya terdapat almari kayu rapat, tanpa ukiran apapun. Ananta tidak berhasil menduga apa isi lemari itu. Sedangkan di sebelah kiri terdapat pintu kamar. Cara berada dibalik pintu tersebut. Mata Ananta kini menyusuri setiap sudut ruangan. Memilih satu-satunya pintu keluar yang berada sejajar di depan tubuhnya. Pandangan pertama yang ditangkap mata Ananta begitu keluar dari rumah adalah rumah-rumah panggung yang berjajar rapi. Dan beberapa dari mereka memiliki jarak sekitar sepuluh meteran dibawah langit fajar yang tidak sepenuhnya gelap. Hawa dingin
Beruntung setelah seperempat menit mereka akhirnya menemukan suara bising dari arah seberang. Tepat di pintu masuk dan keluar, gerbang utama desa Mercia. Beberapa orang yang dominan pria tua bercanda dengan tawa menggelegar sambil mengangkat gelas, menenggak beberapa yang tersisa di dalamnya.Herly, Ursula dan Sam yang tampak girang lantas bergegas menghampiri. Hawa dingin pada malam panjang segera ditepis oleh kobaran api dibagian tengah toko tersebut. Jelas plakat berbunyi 'Veni ed vade'."Oh, tidak! Kita cukup beruntung kali ini." Sam memekik sambil tertawa. Reflek memukul perut Herly dengan punggung tangan hingga mendesis. Ursula melalak ketika mengetahui adegan barusan. Ia sudah lelah melihat betapa girang temannya ini."Anak itu, biar aku pukul kepalanya sesekali." Geram Ursula. Herly mengikuti langkah Sam dengan wajah mendung menahan sakit di perut. Sial.Beberapa dari pengunjung dengan tubuh yang besar, gempal dan ada pula yang kurus kering menatap ingin tau. Dari pakaian yang
"Aiss, kita sudah berjalan sejauh ini. Kakiku hampir pegal." Tidak diragukan lagi ketika suara melengking konyol yang nampak kekanakan ini akan terlontar. Semua orang, setidaknya Ursula dan Herly akan langsung tau siapa pemiliknya.Sam berhenti sejenak, memijat kakinya sembari menggerutu. Merana memandang Ursula dan tuannya Herly masih berjalan tanpa memperdulikannya.Malam ini Herly yang diapit oleh kedua pengikutnya sedari tadi hampir tiba di perbatasan. Pintu keluar masuk desa Mercia. Sebenarnya Herly sendiri tidak pernah merasa lelah sedikitpun. Wajahnya berseri memandang ke sekeliling, rumah penduduk yang tertutup rapat. Beberapa lampion menggantung disekitar pagar atau satu-satunya pohon di depan rumah. Hanya saja gerutuan Sam tidak pernah berhenti barang sedetik sepanjang perjalanan."Hampir bukan?" Ursula menyahut masih dengan memfokuskan jalannya. Sam tertinggal. Tapi setelah mendengar Ursula menanggapinya lagi, ia mendadak sensi, "apa?" Sambil berlari menyusul Herly dan Ursu
"Lalu apa yang harus dilakukan sekarang?" Darwin tidak berani mengangkat tangan untuk membasuh peluh yang mem-biji saat dingin menerpa. Kehormatannya kepada Raja Ardolph yang harus ia sematkan pada Raja Charlotte kini memberatkan.Charlotte tersenyum menang, "aku tidak menganggap keputusan Raja Ardolph itu menyedihkan. Dalang dibalik kebakaran itu memang harus ditangkap. Tapi, dengan berubahnya 'senjata' klan warewolf maka akan berubah juga rencananya. Karena Raja Ardolph telah meninggal, maka seluruh keputusan beralih kepadaku."Ada banyak kejanggalan yang ia berikan untuk Raja Charlotte saat ini. Keserakahan dan aura Charlotte membuat Mentri Darwin tidak pernah menyetujui pernikahan Alice dengan pemuda tersebut. Tapi dalam keheningan yang menerpa sejenak, Charlotte berujar lagi, "aku akan memberikan banyak penjaga untukmu dan Gilmer. Ini mungkin agak terlambat, tapi harus segera dilakukan." Darwin menatap dalam hingga akhirnya tersenyum. Mungkin penilaiannya terhadap Charlotte sala
Sedangkan disisi lain Charlotte berdiri tepat di pinggir danau, membelakangi menteri Darwin dan gazebo Rex_tempat santai khusus raja yang terletak di samping kanan menara Raja itu sendiri."Katakan!" Raja Charlotte tidak berniat untuk memulai pembicaraan ini.Sambil menghembuskan napas, Mentri Darwin menatap ke sekeliling. Malam yang temaram, menghadap danau buatan yang luasnya kurang lebih sepuluh kali sepuluh meter tampak lebih pekat dinginnya. Lentera kecil menggantung berjajar rapi di atas permukaan air hingga memberikan kesan romantis dan damai. Tempat seperti ini ada dua di istana. Satu dibuat khusus sebagai gazebo raja atau Rex dan satu lagi adalah gazebo Reginae, gazebo Ratu."Maaf yang Mulia. Mustahil jika kebakaran itu terjadi tanpa sengaja." Raja Charlotte yang masih membelakangi dengan kedua tangan saling bertautan dibelakang nampak bergeming."Aku telah memerintahkan para penjaga untuk mengintrogasi orang-orang yang tampak mencurigakan. Sekaligus memblokir gerbang utama
"Tentunya, manusia serigala tidak memiliki kekuatan selain kemampuan berperang dan api merah darah. Dan mataku yang hebat itu mampu memulihkan dan menghancurkan sesuatu, sesuai keinginan pemiliknya!" Alice kembali melanjutkan dengan napas menggebu. Sejak awal ialah umpan sekaligus senjata terbaik yang berusaha Mercia jaga. Dan Raja Ardolph ingin memindahkan matanya pada Charlotte."Tidakkah kenyataan itu membuat Ratu sadar bahwa Ratu bukanlah klan manusia serigala?" Dyn berujar dengan suara rendah.Makanan yang tersaji di depannya mulai dingin seiring dengan perdebatan mereka.Alice sadar dengan itu, sejak awal ia sudah curiga bahwa dirinya bukanlah keturunan Raja Ardolph. "Pergilah, tugasmu sudah selesai." Alice berusaha memposisikan tubuhnya untuk tenang.Sedangkan Dyn, melirik kembali ke arah meja yang penuh dengan hidangan tersebut. Dulu, ia tidak akan pernah duduk dengan lancang dihadapan Alice. Bahkan menyentuh sampanye yang disediakan oleh Alice secara khusus untuknya. Tapi ka
"Itu kesimpulan awal yang bisa kita ambil. Dari yang aku dengar, buku phoenix itu berisi tentang petunjuk membuka portal sekaligus menutup portal pembatas antara hutan LeNight dan LeRay."Gigi-gigi Alice ber-gemletak menahan geram. Sudah sejauh ini para menteri dan raja Ardolph berkerja sama dengan raja Charlotte menjalankan misi. Sedangkan Alice, ia bahkan tidak tau sedikitpun mengenai informasi ini. Geraman Alice cukup membuat Alice meremas kuat ujung buku phoenix di pangkuannya."Aku sempat mengikuti pelayan dari kantor hukum menteri Darwin. Yang dua minggu lalu memutuskan untuk berhenti. Dan mendapatkan alasan kenapa menteri Darwin tidak pernah menyetujui pernikahan Ratu Alice dengan Raja Charlotte.""Ucapkan secara langsung! Jangan berbelit-belit!" Alice berteriak marah. Dadanya bergetar. Raja Ardolph telah meninggal dan ia tidak mendapatkan kenangan terbaiknya selama bersama raja tersebut."Alasan kenapa Raja Ardolph bersikeras menjodohkan Ratu dengan Raja Ardolph karena ingin m