🐺🐺🐺
Dari kejauhan tampak warna putih yang terlihat lebih kontras dari segala hal di sekitarnya. Sebuah Vila bertingkat dua berdiri gagah dengan corak hijau lumut dibeberapa sudut. Rupanya bangunan itu telah dipertegas dengan adanya beracam-macam bunga yang tumbuh liar di halaman. Vas bunga yang terbaring acak, rumput serta pohon yang sebelumnya tidak pernah ada telah tumbuh dengan ambisius.
Mobil putih Bella mulai bergerak lambat di depan gerbang setinggi satu meter. Warna hitam gerbang itu digantikan karat tebal yang mungkin saja dapat melukaimu . Gerbang tersebut dipermanis bunga rambat yang tampak berduri.
"Ayo, kita sudah sampai." Setelah keluar dari mobil Bella menghampiri Ananta yang telah membuka pintu lebih dulu. Perempuan itu mengapit lengan Ananta posesif. Tak ingin putranya tersandung kemalangan sedikitpun.
"Rumahnya terlihat seram."
Bella terkekeh mendengar kejujuran Bi Manda.
Ketiganya tampak kompak menghadapi Vila kokoh yang terbias cahaya, cukup untuk memanjakan mata. Area sekitar Vila juga tidak segelap jalanan tadi. Anehnya bangunan itu tidak roboh setelah ditinggal kang Maman tiga tahun yang lalu. Pria yang ditugaskan Bella untuk merawat Vila ini. Namun segera berhenti karena usianya yang tidak mampu. Setelah itu tidak ada lagi yang hendak menggantikan.
Dengan bingung Manda memandangi Bella yang mulai membuka tas, mengeluarkan sesuatu dari sana_sebuah benda pencetak gambar. Setelah didapatnya, seringaian menggelikan terpaku jelas di bibir. Kebiasaan Bella setelah kepergian Louise, ingin selalu mengabadikan setiap momen. Tidak ingin terlewatkan barang sedetikpun, sesuatu yang dianggapnya penting.
"Saatnya berfoto!" Ujarnya riang kemudian.
Helaan nafas terjadi pada Ananta. Ia tidak menyalahkan sang ibu yang begitu antusias terhadap album kenangan. Setelah kepergian Louis, sang ayah_Bella tampak murung. Perempuan yang selalu menggelung rambutnya dengan penjepit itu selalu meratapi_kenapa tidak ada satu gambar pun yang berisikan Louis. Bella tidak ingin melupakan segalanya, wajahnya, momen-momennya. Meskipun bisa di simpan ke dalam memori otak tentu itu tidak akan bertahan lama. Dan ibunya tersebut tidak ingin kejadian yang lalu terulang. Mengabadikan segalanya melalui banyak media. Hati, pikiran dan digital.
"Bi, fotokan aku dan Ananta."
Setelah kamera itu berpindah tangan. Bella menarik Ananta untuk mengatur posisi. Membelakangi Villa. Senyum hiperbolis tercetak di wajah Bella yang dipermanis dengan jari telunjuk serta tengah membentuk huruf 'v'. Hal itu berbanding terbalik dengan Ananta_yang saat itu matanya tidak fokus menghadap kamera. Menerawang jauh entah kemana. Senyumnya telah dibawa lari oleh pikiran yang senatiasa traveling. Meskipun demikian, setelah satu gambar pertama diambil. Bella meminta pengulangan, dengan Ananta yang tersenyum cerah. Guna menghindari pembuangan waktu, Ananta menurut saja. Satu gambar berhasil diambil. Bella mengajak Bi Manda untuk foto bersama, dengan kamera terbalik. Posisinya mereka bergelung, berdempetan, satu gambar terambil.
Bella melirik jam tangan di lengannya. "Pukul empat sore. Ahh, besok akan menjadi hari yang sibuk ya, Bi?" Sambil meletakkan kembali kameranya ke dalam tas.
Manda mengangguk antusias. "Iya, Non."
"Rumahnya jadi lebih liar, Ananta." Bella kembali berujar mengajak keduanya masuk. Penasaran bagaimana isi Vila itu.
Bi Manda membawa dua koper sekaligus sedangkan Bella menyeret satu koper dan lengan Ananta.
Hawa penggap menyambut begitu pintu utama dibuka. Berbeda dengan aroma berbagai macam bunga mekar di taman tadi. Isi rumah itu hampa tanpa cahaya dan oksigen yang masuk. Segera Bi Manda menyibak tirai jendela. Cahaya masuk memperlihatkan barang-barang seperti meja, kursi dan almari tertutup kain putih yang telah usang. Tidak terlalu buruk. Hanya debu setebal dua senti dan sarang laba-laba diseluruh penjuru tempat.
Bella menyibak kain putih yang tampak aus dan berdebu. Sontak saja Ananta dan Bella terbatuk bersamaan kemudian tertawa setelah sedikit reda. Kursi berbusa terlihat setelahnya.
"Kurang kenceng," ujar Ananta sembari menghalau debu di depan wajah. Bella tertawa lagi diikuti Bi Manda yang baru saja masuk dengan barang lain di tangan.
"Ananta duduk saja biar Mama dan Bi Manda yang beres-beres."
"Anta jadi merasa tidak bisa apa-apa."
"Jangan bicara begitu, Den Anta."
Rengkuhan lembut terasa di bahu Ananta. Rasa hangat pelukan ibunya tersebut membuat pemuda itu tersenyum. "Anta masih inget kan tata letak rumah ini? Masih sama seperti tujuh tahun lalu."
"Anta mau keliling."
Bella melepas pelukannya. Kemudian berujar, "kamar Anta kaya dulu. Tinggal lurus pintu nomor dua di pojok ruangan."
"Tongkatnya, Den?" Bi Manda menyerahan tongkat yang masih terlipat ke tangan Ananta.
Pemuda itu mengangguk dengan senyum tipis. "Makasih, Bi." Lengan Ananta mulai meraba dan meluruskan panjangnya tongkat tersebut. Memegang ujungnya untuk menuntun Ananta dalam bergerak.
"Mama sama Bi Manda beres-beres dulu yang utama. Keburu malam. Nanti Anta tinggal teriak saja sekencengnya kalau butuh bantuan."
"Non Bella ini ada-ada saja. Memang ini hutan?" Bi Manda menyahut sembari terkekeh geli.
"Loh, ini memang di pinggir hutan, Bi." tutur Bella terkekeh sambil menggelangkan kepala geli. Pandangan matanya melihat Ananta berjalan pelan seirama dengan tongkat yang dipegangnya. Ananta tampak tersenyum tipis karena perdebatan dirinya barusan.
Ananta membuka pintu kamar. Tangannya meraba dinding sebelah kanan mencari saklar rumah. Belum sampai menemukannya tangan Ananta terjeda. Rasanya percuma dihidupkan atau tidak. Semua tetap nampak gelap. Listrik pasti tidak sampai ke Vila ini lagi. Apalagi setelah tujuh tahun tidak berpenghuni. Beruntung air sumur masih tetap menyala.
Tubuh Ananta bergerak ke arah jendela. Disibaknya korden dan pintu jendela secara pelan. Pemunda itu merasakan gatal dibagian hidung akibat debu yang berhamburan.
Segalanya masih sama. Tata letaknya masih sama. Jadi tidak rumit untuk dirinya merasakan ini melalu hati dan pikiran.
Angin lembut berhembus pelan. Mengantarkan aroma alam bercapur berbagai macam bunga. Mata kosong Ananta menatap satu garis lurus ke arah dinding.
Inilah dunia Ananta. Dunia gelap sepekat tinta tanpa setitik cahaya sedikit pun. Dunia yang Ananta hadapi mulai dua tahun yang lalu.
Warna-warni dunia Ananta telah direngut selama lima menit paska kecelakaan mobil berlangsung. Digantikan satu warna abadi, hitam. Entah mata ini terbuka atau terpejam, semuanya akan sama saja. Ananta tidak bisa melihat pergantian siang dan malam. Ananta tidak bisa melihat senyum dan tangis seseorang. Bahkan dirinya sendiri pun tidak lagi dapat ia perkirakan bayangannya.
Dalam hening pikiran yang sunyi mulai merangkai berbagai macam angan, mengorek lebih dalam kenangan-kenangan masa lalu. Sepi semakin mempertegas suara-suara alam. Burung berkicau unik dan aliran air mengemercik merdu.
Tangan pemuda itu membelai lembut kasur di sebelahnya, yang penutup kain putih telah ia sibak sedari tadi.
"Anta?"
Ananta mengusap mata yang telah lancang merembeskan air beningnya. Memalingkan wajah ke arah sumber suara. Menajamkan pendengaran ketika ibunya kembali berujar, "ayo kita makan malam. Sudah mama siapin."
Bella mendekat ketika Ananta berdiri tegap. Keduanya berjalan ke arah ruang tamu. Menemui Bi Manda yang telah duduk lebih dulu di sana.
Samar-samar bau minyak terbakar memasuki indra penciuman Ananta. Bersamaan dengan itu kepul asap gurih ikut memanjakan hidung. Ananta tau bau apa ini.
"Mari, Den Anta." Bi Manda menarik kursi untuk pemuda tersebut.
Perlakuan bak raja itu kadang kala membuat Ananta risih sekaligus senang. Karena di saat semua teman-temannya menghilang, ada dua bidadari yang masih setia menemani. Tetapi apakah akan selamanya selalu seperti ini?
"Di sini tidak ada listrik. Untung Mama bawa lampu minyak sama lilin yang banyak."
Ananta menangguk kemudian memasukkan mi instan yang telah dimasak ke dalam mulutnya. Ia berusaha keras melakukan segalanya sendiri meski Bella telah menawari bantuan.
Dalam hening ketiganya menyantap mi masing-masing. Ada rasa lelah yang terdengar di setiap hembusan nafas Bi Manda dan ibu Ananta. Semua sudut rumah telah dibersihkan tadi. Tinggal halaman rumah yang akan dilanjutkan waktu sengang.
"Bagaimana rasanya, Den?"
"Rasa mi instant. Tapi malah terkesan nikmat."
Kemudian Bella dan Bi Manda tertawa bersama mendengar kata spontan Ananta.
"Benarkah? Sukur kalau gitu. Kamu tau air rebusannya Mama masak pake kayu bakar," tutur Bella sembari terkekeh.
"Pasti sangat seru."
Bella mengangguk setuju.
Itu adalah sensasi yang sangat jarang bisa perempuan itu lakukan. Merasakan geram ketika api tidak cepat menyala tetapi terasa lebih nikmat dan bangga ketika makanan itu telah siap tersaji.
"Kamu tau Anta? Tadi Bi Manda cari kayu bakar. Cepet banget dapetnya, tidak lebih dari sepuluh menit."
Bi Manda tersenyum kecil merasa tersanjung. "Biasa aja, Non. Di hutan kayu keringnya banyak. Tinggal di comot."
Ananta terkekeh geli. Bella menatap lekat putranya kemudian kembali berujar, "tidak ada bahan makanan lain yang bisa kita dapat di sini kecuali yang kita bawa. Anta nggak papa makan segala instant?"
"Nggak papa, Ma. Lagian Anta seneng, kok. Kalau nggak gini kan mana mau Mama biarin Anta makan instant. Udah kangen sejak masa sekolah."
Tanggan Anta menyendok mi tanpa ragu. Terbiasa gelap membuat Ananta harus bisa melakukan segala hal pribadinya agar tidak merepotkan orang lain lebih banyak.
"Jadi ketauan, Ananta! Semasa sekolah makannya instant terus. Awas aja, kali ini yang terakhir!"
Ananta terkikik geli sambil membayangkan ekspresi marah Bella yang selalu mengangkat segala hal yang dipegang untuk mengintimidasi lawan. Saat ini bisa dipastikan, Bella tengah mengangkat sendok ke arah Ananta. Bibir manyunya garang kuadrat.
"Nggak papa loh, Non. Sekali-sekali makan instant biar nggak sehat terus." Bi Manda mulai menambahi membuat Bella mengerut tidak suka. Alhasil ceramah Bella yang sudah mirip dokter mendemo di panggung kebenaran.
Perempuan seperti Bella selalu satu langkah lebih depan mengenai kesehatan. Ia akan melarang Ananta memakan segalah hal yang berbau instant. Mungkin karena kali ini terdesak jadi Bella tidak punya pilihan lain.
"Jangan gitu dong, Bi. Ya udah besok kita berburu saja."
"Mau nangkep apa di hutan blantara kaya gini? Nyamuk?"
Ejekan Ananta sembuat seburan tawa Bi Manda meledak sempurna. "Kelinci mungkin ada."
"Bibi mungkin terlalu banyak nonton filem. Kalaupun ada kelinci liar mungkin agak ke pedalaman." terang Ananta.
"Ikan, Anta. Tadi Mama ngelihat sungai di belakang rumah masih ada. Pasti banyak ikannya. Mama jadi kangen liat Louise mancing sama kamu."
Tanpa sadar pemuda itu mulai mengulum senyum. Mancing, ya? Kebiasaan Louise, sang ayah. Sewaktu di Vila ini dulu.
Setiap hari libur menyapa, Louise akan selalu menjadi orang pertama yang menggebrak kamar Ananta. Mengajak putra satu-satunya itu memancing di belakang vila.
Ngobrol sebanyak yang bisa diucapkan untuk menikmati dunia yang terasa milik sendiri. Atau bahkan Ananta akan berteriak girang saat sang ayah mendapat tangkapan pertama. Dan ikannya akan lebih dulu lari karena terkejut. Saat-saat seperti itu Louise pasti akan bilang: lama-lama Papa gunain kulit kamu sebagai umpan. Dan keduanya akan meledakkan tawa bersama. Bella akan menghampiri mereka bersamaan dengan sekeranjang buah.
Masa-masa itu tidak tau akankah terulang kembali atau tidak. Ananta rindu.
"Bapak suka mancing, ya, Non?"
Bella mengangguk antusias menanggapi Bi Manda.
Pembicaraan mereka mulai merlanjut mengenai keseruan keluarga Louise dalam menghabiskan waktu. Dikolaborasi dengan cerita bi Manda yang menjadi perbandingan. Melupakan waktu sejenak untuk menyambung tawa yang kemudian meledak-ledak.
🐺🐺🐺Semilir angin menerpa lebih kencang di area perbukitan. Melepaskan anak rambut sedikit demi sedikit dari ikatan kepang. Wajah datar nan tegas menatap jauh ke depan. Perempuan itu bukanlah cendikiawan puitis yang akan menikmati setiap hembusan nafas secara perlahan.Perempuan itu berbalik membelakangi jurang. Sampai terkejut dengan sosok lain yang tengah menatap matanya."Wahh, tidak kusangka kita akan dipertemukan di sini." Seorang pemuda dengan pakaian lebih elit itu berujar.Pemuda itu mendegkus sebal ketika tidak mendengar jawaban. "Apa begitu sikap sopan yang diajarkan tetuamu?""Aku tidak memiliki waktu untuk meladeni." Perempuan berbusana mirip lelaki tersebut melenggang santai namun cekalan tejadi di tangan kanannya yang segera ia tepis kasar."Jangan pernah menyentuhku!" teriaknya ketus.Perempuan itu mendel
Mereka berbondong-bondong ke dalam rumah. Dengan segera Bella menyuruh Bi Manda menyiapkan seperangkat kesehatan untuk mengobati luka Ananta dan perempuan tersebut.Bella memilih menangani perempuan itu di kamar Ananta yang lebih dekat dari ruang tamu kemudian membiarkan Bi Manda mengobati Ananta. Kamar itu terlihat lebih bersih dari pertama kali bertemu. Tidak ada yang berbeda dari tatanannya. Hanya bunga lili putih kuncup yang mempercantik meja rias. Selebihnya tidak ada selain bunga plastik tersebut.Setibanya di kamar Bella mendudukkan perempuan tersebut pada ujung pembaringan. Menanyai beberapa hal yang terpikirkan dalam benaknya."Kenapa bisa sampai banyak luka gores begini, sih?""Jatuh," sahut perempuan tersebut dengan nada datar.Bella tersenyum tulus. Mengambil alat kesehatan di laci meja rias Ananta yang tampak kosong melompong selain alat kesehatan itu sendiri.
"Louise?" gumanan jelas terlontar begitu saja dari mulut Alice. Berulangkali ia utarakan kata itu dalam benak. Mencoba mengabrik kepingan memori yang tersimpan jauh dalam laci.Sepersekon ia tidak kunjung mendapatkan barang selembarpun informasi. Sampai Bella menyahut pemikirannya dengan begitu jelas, "kenapa? Kau mengenal nama itu?"Alice menggeleng ragu. Setengah memikirkan nama yang begitu familiar tersebut. Tidak. Marga itu bisa sama. Jadi Louise yang dimaksud di sini mungkin bukanlah orang yang sama seperti yang ada dipikirannya sekarang.Mengangguk, Bella meletakkan perkakas kesehatan di tempat semula. Tidak berusaha bertanya lebih banyak.Mata Bella beralih pada satu garis lurus. Tempat dimana wajah Alice terpahat apik. Tampak sempurna dengan bola mata jernih yang menghanyutkan. Warna merah batanya tampak tenang. Bella jadi penasaran seperti apakah warna mata Alice dibalik softlens tersebut
Semoga saja dengan keadaan Ananta yang seperti itu. Alice benar-benar suka, bukan penasaran apalagi percobaan.Bella menyuruh Alice duduk pada kursi busa yang tampak lebar tersebut. Menuntun Ananta mendekat agar lebih mudah dalam merawat Alice. Sedangkan Bi Manda yang melihat itu hanya pasrah saja. Tampaknya ia terlalu protektif dan curigaan. Mencoba untuk memaklumi Alice ia berujar, "aku siapkan makan malamnya, Non." ditujukan pada Bella. Kemudian tubuhnya hilang dibalik dinding pembatas antara dapur dan ruang tamu."Mama batuin Bi Manda, ya?" Mendapat anggukan Ananta Bella beranjak dari posisinya. Meninggalkan Ananta yang mulai tampak bingung harus bagaimana.Sekilas senyum menampakkan cabit pada wajah Alice. Ia berdiri menuntun Ananta untuk duduk di sebelahnya. Kemudian meletakkan perban pada kedua tangan Ananta."Sekarang obatilah aku!""Katanya sudah sembuh."
Ananta tersedak. Dengan segera Bella yang duduk di sampingnya menyerahkan minum.Apa kata Alice tadi? Rumput? Pakan ternak? Jadi secara tidak langsung perempuan tersebut menghinanya sebagai hewan peliharaan berkaki empat?"Pelan-pelan, Anta!" Bella mengelus punggung Ananta pelan. Memberikan ketenangan pada putranya tersebut.Perlakuan Bella membuat Ananta yang hendak meledakkan amarah pada Alice sedikit meredam. Tidak ada gunanya juga ia marah. Tetap saja, dengan kondisinya yang seperti ini Ananta tidak akan bisa memenangkan perdebatan."Oh, iya. Katanya Alice ingin belajar bermain gitar denganmu, Anta."Binar cerah terbit pada manik merah milik Alice. Kemarin setelah mendengar dan melihat secara langsung Ananta yang memainkan gitar ia jadi ingin menguasainya. Pertunjukan musik seperti itu jika ditampilkan di festival pasar bakal menang. Secara tidak ada yang menyamainya.
Sedangkan diujung lain Bella tersenyum geli di sertai bi Manda yang berjalan mendekat membawa sekeranjang buah pisang dari kota. Pesuruh Bella tersebut menatap binggung Alice yang tampak aneh. Menarik pancing ke belakang, ke atas?Alice tidak menggulung benang pancingnya melainkan menariknya sampai ke ujung. Di sana terlihat ikan nila kecil menyatu dengan ujung pancing. Dengan segera Alice meraih ikan tersebut lalu tanpa basa-basi menarik benang pancing dari mulut ikan tanpa merasa iba. Sedangkan Bella yang juga melihatnya agak terkejut. Untuk ukuran manusia normal seharusnya Alice tidak akan setega itu merobek mulut hewan."Non Alice kejam sekali." lirih bi Manda. Alice yang memiliki pendengaran tajam langsung melirik tajam ke arah bi Manda."Apa maksudmu?" Manda hanya bisa terbengong mendengar pertanyaan Alice. Karena yang ia rasa hanya bergumam tadi."Aku tidak bilang apa-apa.""Jangan mengelak!""Iya, non. Aku hanya berasumsi saja. Tingk
Cahaya biru laut agak meresahkan bagi kaumnya. Ia memakan beberapa penduduk yang dirasa memiliki kedudukan penting maupun kekuatan besar. Walaupun Alice tidak sepenuhnya yakin cahaya itu memakan korbannya atau tidak. Tetapi yang jelas cahaya itu akan menyesatkan siapa saja mangsa yang dipilih. Ke suatu tempat tertentu. Kemudian menghilang tanpa jejak."Cahaya biru laut?" Ananta yakin dulu ia pernah melihat ini sebelumnya. Louise. Terakhir kali ayahnya menghilang karena mengikuti cahaya itu. Tidak salah lagi. Ananta bahkan melihatnya secara langsung bahwa Louise mengikuti cahaya itu. Tetapi Ananta tidak berhasil mengikuti kemana perginya. Dan menghilang begitu saja. Tanpa tanda."Itu berbahaya. Jangan mengikutinya lagi! Aku tau kau tanpa sadar mengikutinnya." Alice menarik lengan Ananta tetapi dengan gerakan kecil pemuda itu menghentikannya."Aku ingin tau. Sesuatu dalam diriku apa yang diinginkan cahaya itu?""Itu tidak penting Ananta." Alice menarik leng
✒✒✒Kata Alice ada sekitar dua penjaga di gerbang pintu masuk. Tubuhnya kekar dengan badan yang tinggi tegap. Kedua pria penjaga itu memiliki wajah yang terkesan sangar. Dan Alice sama sekali tidak takut. Perempuan itu bisa melakukan apa saja yang ia mau. Bahkan membunuh kedua penjaga tersebut dan menggantinya yang baru.Yang Ananta pikir. Kenapa desa ini harus diberi penjaga. Bahkan seberapa kuat Alice untuk melakukan hal yang diucapkan secara lantang perempuan tersebut. Atau seberapa pengaruh posisi Alice sampai mampu menggerakkan semua isi kepalanya."Salah satu penjaga itu menghilang dua bulan lalu. Itu penjaga yang baru. Menurut dugaan mereka mengikuti cahaya biru laut."Ananta kira Alice tidak ingin membahas hal ini lagi.
Mendadak sosok itu mendekat. Berjalan lambat dengan langkah-langkahnya yang besar. Tubuh yang tampak kecil tersebut mendadak terlihat makin besar dan tinggi seiring dekatnya mereka. Ananta sedang berusaha untuk tidak menahan napas. Sayangnya hal itu nihil. Aura yang pekat membuta Ananta membeku. Sedangkan disisi lain, Ananta melirik Cara yang sama bisunya. Seolah perempuan itu tau dan sedang menunggu.Tubuhnya hitam tegas. Tinggi menjulang, lebih tinggi dari Ananta sekitar lima belas sentimeter. Dalam hati Ananta monolog, "pantas saja." Kaki yang dibalut celana bahan berwarna hitamnya tampak panjang. Karena itu pria berambut kaku dengan mata biru begitu cepat tiba di depan Cara.Kesan mengerikan tersebut membuat Ananta tercengang ketika pria itu mendadak tersenyum. Menyapa Cara ramah."Dimana Araujo?" Hal pertama yang keluar dari mulut Cara setelah pria tersebut menyapa. Cara tidak sungkan untuk tidak membalas sapaan pria ini."Kau tentu bisa menebak apa yang terjadi." Dengan aksen s
"Benarkah? Apa wajahmu berlubang?" Tanya Cara penasaran. Perempuan tersebut kemudian mendekat."Tidak." Tetapi paku itu berasal dari tempat Cara berdiri. "Berarti kamu menghancurkan paku itu?" Cara makin penasaran dan ini sukses membuat Ananta merasa aneh."Kamu yang melemparkan paku itu dan menghancurkannya tepat di depanku?" Ananta tidak ingin percaya dengan ini. Tetapi mengingat tentang matanya, cahaya biru laut, api merah darah membuat Ananta berpikir kemungkinan itu bisa saja terjadi."Konyol. Kamu yang melakukan itu sendiri." Cara terkikik. Postur tubuhnya yang semula serius kembali rileks. Tepat ketika menyadari Ananta masih syok ia kembali berujar, "aku yang melemparkan paku itu," Ananta membelalak. Dan sebelum pemuda tersebut membuka mulut Cara lebih dulu menerobos, "hanya untuk memastikan sesuatu. Ternyata itu bukan softlens.""Apa maksudmu?" Ananta bingung.Tetapi Cara malah tertawa, "Ananta. Aku tidak sebodoh itu. Menurutmu, untuk apa aku membawamu ke seni kalau bukan ka
Esoknya pagi-pagi sekali Ananta terjaga dengan beberapa pilihan rencana dalam pikirannya. Seakan otaknya yang tidur telah berjaga semalaman. Dia bangun, memakai baju putih polos dengan kaus abu dibagian dalam. Meninggalkan kamar sepetak yang dominan kayu di berbagai sisi.Kakinya dengan ringan menyusuri ruang tengah sederhana. Terlihat bagian paling menonjol adalah meja makan dengan empat kursi kayu. Tepat di sebelah kanan pintu keluar kamarnya terdapat almari kayu rapat, tanpa ukiran apapun. Ananta tidak berhasil menduga apa isi lemari itu. Sedangkan di sebelah kiri terdapat pintu kamar. Cara berada dibalik pintu tersebut. Mata Ananta kini menyusuri setiap sudut ruangan. Memilih satu-satunya pintu keluar yang berada sejajar di depan tubuhnya. Pandangan pertama yang ditangkap mata Ananta begitu keluar dari rumah adalah rumah-rumah panggung yang berjajar rapi. Dan beberapa dari mereka memiliki jarak sekitar sepuluh meteran dibawah langit fajar yang tidak sepenuhnya gelap. Hawa dingin
Beruntung setelah seperempat menit mereka akhirnya menemukan suara bising dari arah seberang. Tepat di pintu masuk dan keluar, gerbang utama desa Mercia. Beberapa orang yang dominan pria tua bercanda dengan tawa menggelegar sambil mengangkat gelas, menenggak beberapa yang tersisa di dalamnya.Herly, Ursula dan Sam yang tampak girang lantas bergegas menghampiri. Hawa dingin pada malam panjang segera ditepis oleh kobaran api dibagian tengah toko tersebut. Jelas plakat berbunyi 'Veni ed vade'."Oh, tidak! Kita cukup beruntung kali ini." Sam memekik sambil tertawa. Reflek memukul perut Herly dengan punggung tangan hingga mendesis. Ursula melalak ketika mengetahui adegan barusan. Ia sudah lelah melihat betapa girang temannya ini."Anak itu, biar aku pukul kepalanya sesekali." Geram Ursula. Herly mengikuti langkah Sam dengan wajah mendung menahan sakit di perut. Sial.Beberapa dari pengunjung dengan tubuh yang besar, gempal dan ada pula yang kurus kering menatap ingin tau. Dari pakaian yang
"Aiss, kita sudah berjalan sejauh ini. Kakiku hampir pegal." Tidak diragukan lagi ketika suara melengking konyol yang nampak kekanakan ini akan terlontar. Semua orang, setidaknya Ursula dan Herly akan langsung tau siapa pemiliknya.Sam berhenti sejenak, memijat kakinya sembari menggerutu. Merana memandang Ursula dan tuannya Herly masih berjalan tanpa memperdulikannya.Malam ini Herly yang diapit oleh kedua pengikutnya sedari tadi hampir tiba di perbatasan. Pintu keluar masuk desa Mercia. Sebenarnya Herly sendiri tidak pernah merasa lelah sedikitpun. Wajahnya berseri memandang ke sekeliling, rumah penduduk yang tertutup rapat. Beberapa lampion menggantung disekitar pagar atau satu-satunya pohon di depan rumah. Hanya saja gerutuan Sam tidak pernah berhenti barang sedetik sepanjang perjalanan."Hampir bukan?" Ursula menyahut masih dengan memfokuskan jalannya. Sam tertinggal. Tapi setelah mendengar Ursula menanggapinya lagi, ia mendadak sensi, "apa?" Sambil berlari menyusul Herly dan Ursu
"Lalu apa yang harus dilakukan sekarang?" Darwin tidak berani mengangkat tangan untuk membasuh peluh yang mem-biji saat dingin menerpa. Kehormatannya kepada Raja Ardolph yang harus ia sematkan pada Raja Charlotte kini memberatkan.Charlotte tersenyum menang, "aku tidak menganggap keputusan Raja Ardolph itu menyedihkan. Dalang dibalik kebakaran itu memang harus ditangkap. Tapi, dengan berubahnya 'senjata' klan warewolf maka akan berubah juga rencananya. Karena Raja Ardolph telah meninggal, maka seluruh keputusan beralih kepadaku."Ada banyak kejanggalan yang ia berikan untuk Raja Charlotte saat ini. Keserakahan dan aura Charlotte membuat Mentri Darwin tidak pernah menyetujui pernikahan Alice dengan pemuda tersebut. Tapi dalam keheningan yang menerpa sejenak, Charlotte berujar lagi, "aku akan memberikan banyak penjaga untukmu dan Gilmer. Ini mungkin agak terlambat, tapi harus segera dilakukan." Darwin menatap dalam hingga akhirnya tersenyum. Mungkin penilaiannya terhadap Charlotte sala
Sedangkan disisi lain Charlotte berdiri tepat di pinggir danau, membelakangi menteri Darwin dan gazebo Rex_tempat santai khusus raja yang terletak di samping kanan menara Raja itu sendiri."Katakan!" Raja Charlotte tidak berniat untuk memulai pembicaraan ini.Sambil menghembuskan napas, Mentri Darwin menatap ke sekeliling. Malam yang temaram, menghadap danau buatan yang luasnya kurang lebih sepuluh kali sepuluh meter tampak lebih pekat dinginnya. Lentera kecil menggantung berjajar rapi di atas permukaan air hingga memberikan kesan romantis dan damai. Tempat seperti ini ada dua di istana. Satu dibuat khusus sebagai gazebo raja atau Rex dan satu lagi adalah gazebo Reginae, gazebo Ratu."Maaf yang Mulia. Mustahil jika kebakaran itu terjadi tanpa sengaja." Raja Charlotte yang masih membelakangi dengan kedua tangan saling bertautan dibelakang nampak bergeming."Aku telah memerintahkan para penjaga untuk mengintrogasi orang-orang yang tampak mencurigakan. Sekaligus memblokir gerbang utama
"Tentunya, manusia serigala tidak memiliki kekuatan selain kemampuan berperang dan api merah darah. Dan mataku yang hebat itu mampu memulihkan dan menghancurkan sesuatu, sesuai keinginan pemiliknya!" Alice kembali melanjutkan dengan napas menggebu. Sejak awal ialah umpan sekaligus senjata terbaik yang berusaha Mercia jaga. Dan Raja Ardolph ingin memindahkan matanya pada Charlotte."Tidakkah kenyataan itu membuat Ratu sadar bahwa Ratu bukanlah klan manusia serigala?" Dyn berujar dengan suara rendah.Makanan yang tersaji di depannya mulai dingin seiring dengan perdebatan mereka.Alice sadar dengan itu, sejak awal ia sudah curiga bahwa dirinya bukanlah keturunan Raja Ardolph. "Pergilah, tugasmu sudah selesai." Alice berusaha memposisikan tubuhnya untuk tenang.Sedangkan Dyn, melirik kembali ke arah meja yang penuh dengan hidangan tersebut. Dulu, ia tidak akan pernah duduk dengan lancang dihadapan Alice. Bahkan menyentuh sampanye yang disediakan oleh Alice secara khusus untuknya. Tapi ka
"Itu kesimpulan awal yang bisa kita ambil. Dari yang aku dengar, buku phoenix itu berisi tentang petunjuk membuka portal sekaligus menutup portal pembatas antara hutan LeNight dan LeRay."Gigi-gigi Alice ber-gemletak menahan geram. Sudah sejauh ini para menteri dan raja Ardolph berkerja sama dengan raja Charlotte menjalankan misi. Sedangkan Alice, ia bahkan tidak tau sedikitpun mengenai informasi ini. Geraman Alice cukup membuat Alice meremas kuat ujung buku phoenix di pangkuannya."Aku sempat mengikuti pelayan dari kantor hukum menteri Darwin. Yang dua minggu lalu memutuskan untuk berhenti. Dan mendapatkan alasan kenapa menteri Darwin tidak pernah menyetujui pernikahan Ratu Alice dengan Raja Charlotte.""Ucapkan secara langsung! Jangan berbelit-belit!" Alice berteriak marah. Dadanya bergetar. Raja Ardolph telah meninggal dan ia tidak mendapatkan kenangan terbaiknya selama bersama raja tersebut."Alasan kenapa Raja Ardolph bersikeras menjodohkan Ratu dengan Raja Ardolph karena ingin m