🐺🐺🐺
Semilir angin membelai bunga setaman dengan lembut. Serbuk harum menari diantara selah-selah udara, menuntunnya masuk melewati jendela rumah yang terbuka.
Perpaduan aroma wangi melintasi rongga hidung dengan alun. Membelai serta memanjakan pemuda yang saat ini tengah termenung menatap ke luar jendela. Jari telunjuk mengetuk meja berulang kali seirama dengan tetesan air keran taman. Menghalau rasa bosan yang timbul sejak satu jam yang lalu.
"Teh tawarnya."
Seorang perempuan berusia pertengahan tiga puluh meletakkan secangkir besar teh tubruk di antara celah ke dua tangan pemuda tersebut. Kemudian berangsur duduk tepat di depan pemuda itu, menghalangi pemandangan ratusan bunga setaman.
"Mama sudah mengurus semua hal untuk keberangkatan kita besok. Termasuk barang-barangmu." Perempuan bernama Bella memulai pembicaraan dengan senyum manis, menatap pemuda yang menghela nafas ringan sambil menyesap teh dengan tubuh tegaknya yang menjulang.
"Ananta kan sudah bilang. Kita seharusnya tidak ke sana."
Perempuan yang tengah memakai apron serta melipat lengan baju sampai ke siku itu memanyunkan bibir malas. Tampak tidak sesuai dengan kesan dewasa yang menggulung rambut dengan penjepit berwarna merah. "Mama ingin Ananta. Sudah lama sekali semenjak Ayahmu tiada, Vila itu tidak ada yang mengurus sama sekali. Rasanya Mama ingin melihat satu-satunya kenangan Ayahmu yang paling berharga."
"Mama pasti tau rumor itu. Tidak ada yang boleh melewati desa Hitam apalagi sampai masuk ke hutan LeNight," ujar Ananta dengan sabar. Rupanya sejak tiga hari yang lalu ibunya terus bersikeras ingin mengunjungi tempat terlarang tersebut.
"Itu hanya rumor, sayang. Mitos yang tidak pernah terjadi. Lagi pula Vila itu terletak di pinggir hutan. Tidak sampai masuk terlalu dalam."
"Kalau Mama lupa, Ayah menghilang di hutan hanya karena penasaran dengan cahaya terbang di antara pohon LeNight. Dan tidak pernah kembali. Bahkan tidak ada yang berani memasuki hutan itu karena sulitnya mencari jalan keluar."
Memang benar Vila yang terletak di pinggir hutan LeNight merupakan Vila yang dibagun mendiang ayahnya delapan tahun silam. Tetapi di tempat itu juga ayahnya menghilang, setahun setelah menempati Vila itu bersama Ananta dan ibunya.
Ananta tidak akan pernah lupa kejadian di mana ayahnya menghilang tanpa jejak dan tidak ada warga yang mau membantu dirinya dan Bella mencari sang ayah. Bahkan beberapa warga dengan keji mengatakan jika kemungkinan ayahnya telah menjadi santapan binatang buas.
"Peristiwa itu sudah terjadi tujuh tahun yang lalu. Mama yakin mitos itu sudah hilang dimakan zaman. Mama sama bi Manda sudah capek-capek loh making semua barangnya. Apa kamu tidak rindu dengan Ayah?"
Ananta mengeluarkan nafasnya perlahan. Hal yang paling sulit baginya adalah mendengar orang lain selalu memohon padanya. Apalagi kali ini merupakan ibunya sendiri dan sudah tiga hari perempuan itu bersekongkol dengan bi Manda untuk membujuknya.
Kali ini pemuda itu mengangguk setuju walaupun samar. Antara ikhlas dan tidak, semoga saja tidak ada hal buruk yang akan terjadi. Karena Ananta juga rindu dengan tempat paling romantis yang memiliki sejuta kenangan indah diantara keluarga kecilnya dulu.
Mata Bella bersinar cerah bersamaan dengan senyum hiperbolis yang menghiasi pipi dekiknya. Segera berdiri memeluk bahu Ananta dengan sayang. "Makasih Aksananta Louise. Mama yakin kamu pasti akan senang merasakan sejuknya udara di sana."
Ananta mengangguk pasti dengan senyum tipisnya sembari mengelus lengan sang ibu yang melingkar di bahu.
"Sukurlah Den Anta setuju. Padahal Bibi sudah putus asa, loh Den. Penasaran tidak ketulungan sama hutan yang katanya indah itu. Tidak tau bagaimana jadinya kalau Den Anta tidak setuju." Suara melengking alun memecah padatnya oksigen.
Seorang perempuan berkepala lima puluh tahunnan berjalan mendekat. Meletakkan semangkuk capcay kuah ke meja. Bella tertawa geli setelah mendengar ujaran Bi Manda.
"Nah, Anta. Mama sudah masak capcay kuah kesukaan kamu. Sudah seminggu tidak makan itu kan?" Ananta mengangguk. Membiarkan dentingan kerampik yang bertubrukan.
Bau gurihnya merebak ke penjuru ruang tamu. Belum mencicipipun Ananta tau kombinasi capcay yang dibuat Bella. Lebih didominasi bunga kol dan brokolinya ketimbang kobis ataupun sawi hijau.
Bella meletakkan beberapa sendok ke piring Ananta sambil menyuruh Bi Manda mengeluarkan semua makanannya. Mereka akan makan siang bersama di meja itu tidak terkecuali Bi Manda.
"Mama tidak makan?"
"Ini sekalian kita makan sama-sama."
"Jangan lupa banyakin istirahat, Mama pasti lelah udah nyiapin semua kebutuhan Ananta."
Bella terenyum tulus, "iya, sayang. Dimakan, gih," tangan jahilnya mencubit pipi anak tunggal itu dengan gemas. Membuat pemilik kesal setengah mati karena tidak pernah bisa menghindari tindak asusila tersebut.
🌻👯🌻👯🌻👯🌻
Fajar baru saja menampakkan sinarnya malu-malu, tetapi keluarga Louise sudah disibukkan dengan pengangkutan beberapa koper dan barang penting lain ke dalam mobil pribadi sedari tadi.
Tergesa sembari mengaitkan kancing baju teratasnya dengan tangan yang membawa kunci mobil, Bella berjalan keluar.
"Semuanya sudah beres, bi?" Perempuan dengan setelan baju casual itu kemudian mengangguk menyahuti.
Tangan sigap Bella melingkar pada lengan kokoh milik Ananta yang duduk di kursi teras rumah. Menuntun pemuda itu masuk ke kursi depan penumpang. Setelah bi Manda ikut serta ke dalam mobil tersebut melaju dengan kecepatan sedang.
"Kenapa pagi-pagi sekali harus berangkat?"
"Perjalanan ini memakan waktu lima jam, Ananta. Mama pengen cepat-cepat samapi ke sana sebelum malam tiba."
"Kalau begitu mama akan capek mengemudi."
Bella mengusap rambut cokelat Ananta dengan lengannya yang bebas dari kemudi. Tersenyum tulus kemudian berujar, "tidak masalah, sayang."
Lagu Petra simhombing menemani kesunyian yang menari di ruang mobil tersebut. Ananta termenung menyenderkan kepalanya pada kursi menghadap ke luar, menikmati perpaduan antara udara yang berhembus masuk lewat jendela mobil dengan musik yang menggema berjudul mine tersebut.
Sejak dua tahun silam angin menjadi hal yang paling Ananta suka. Kelembutanya yang membelai tubuh melambai dirinya untuk menunjukkan jalan yang gelap tanpa keyakinan. Angin akan selalu menyelipkan keberanian bagi Ananta. Keberanian untuk melangkah dan keberanian untuk tersenyum.
Enam jam lebih mobil itu bergerak. Mulai berpisah dengan aspal yang kemudian disambut kerikil terjal. Suasana terdengar sunyi dan ramai secara bersamaan.
Perjalanan ini menghabiskan waktu lebih banyak dari perkiraan Bella. Jalanan kota macet, belum lagi drama lupa jalan. Melelahkan. Jika bisa memilih Bella akan langsung merebahkan diri ke ranjang begitu tiba nanti. Tapi itu hanya angan, karena rumah yang lama tidak terawat akan sulit untuk ditinggali dalam waktu dekat.
"Jalanan sudah memasuki perdesaan, Den."
Ananta mengangguk dengan senyum tipis yang selalu menjadi pemanis bibir. Kepalanya masih setia bersandar pada sandaran kursi. Terlihat tidak bersemangat karena tidak menginginkan ini sedari awal. Masih belum siap membangkitkan kembali kenangan bersama Louise, sang ayah terhebat.
"Persawahan membantang luas, kuning padi dan daunnya bergoyang mengikuti irama angin," imbuh Bella antusias. Berusaha untuk memecah belah pemikiran Ananta yang terlihat lesu sedari tadi. Bella kembali menambahkan, "Penduduknya tampak ramah Ananta. Banyak yang menggarap sawah untuk dipanen."
Ananta mengarahkan wajahnya ke jendela. Tersenyum penuh arti dengan pemikiran yang tidak bisa orang lain tebak. Kesunyiannya menjadi alasan untuk mengirit pembicaraan.
Bi Manda mengedarakan pandangan ke sepanjang jalan. Agak risih dengan padangan para petani yang menatap lekat mobil Bella dengan aneh. Mungkin saja karena jarang ada mobil yang memasuki desa Hitam tersebut.
Hitam adalah julukan yang diberikan penduduk setempat dan sekitarnya untuk desa ini. Kata 'Hitam' sebagai penanda sebuah peringatan bahwa siapapun yang melintasinya tidak boleh pergi lebih jauh melewati desa Hitam menuju hutan terlarang, LeNight dan LeRay. Desa Hitam adalah gerbang menuju hutan terlarang. Dan saat ini mereka telah memasuki kawasan terlarang bagi orang asing ini.
Setelah beberapa lama melintasi perumahan minimalis yang menyatu dengan alam tersebut mobil Bella berhenti tepat di pertigaan jalan bebatuan. Tampak raut bingung di wajahnya.
"Sudah sampai, Ma?" Pertanyaan yang sama untuk ke sekian kalinya. Karena sedari awal perjalanan Bella lebih banyak berhenti. Dengan alasan lupa jalan selanjutnya.
"Mama lupa jalannya Ananta. Belok ke kanan hutan LeNight belok ke kiri hutan LeRay atau sebaliknya?"
"Tidak mencari petunjuk jalan di hp lagi saja, Non?"
"Tidak ada sinyal di sini, Bi. Mapsnya sudah putus di gerbang desa Hitam," jawab Bella.
Matahari telah bergerak ke bawah sekarang. Jalanan kota tadi cukup padat, menyita banyak waktu. Berbeda setelah memasuki gerbang desa Hitam yang tampak sepi. Hanya terlihat beberapa penduduk pertengahan lima puluhan ke atas yang lalu lalang. Itupun di sekitar permukiman warga dekat gerbang. Nampaknya mitos bahwa pemuda-pemudi yang memasuki awal pubertas langsung meninggalkan desa benar adanya. Mereka lebih memilih bekerja atau melanjutkan pendidikan ke kota yang lebih terjamin.
"Tanya warga disekitar sini, saja." Ananta menyarankan dengan nada tenang. Sampai Bella menyahut dengan nada lemah. "Kita sudah hampir keluar dari desa Hitam. Permukiman warga sudah kita lewati." Tekanannya masih tetap kekeh bersemangat.
"Bibi turun saja, Non. Sepertinya di depan itu ada orang."
Bella mengangguk setelah menyipitkan mata dan mendapati seorang pria pertengahan enam puluhan berjalan mendekat. Bajunya terlihat putih usang termakan tanah. "Tidak perlu. Biar aku majukan mobilnya."
Suara gemletak bebatuan kecil yang terdesak ban hitam tampak mendominasi. Setelah tepat di samping pria yang memasang wajah bingung, mobil putih tersebut berhenti. Bella menurunkan kaca mobil sembari memajukan sedikit kepalanya. Bertanya pada pria yang baru saja menurunkan sekarung rumput. "Permisi. Maaf, Pak mau nanya. Ini jalan menuju hutan LeNight sebelah mana, ya?"
"Untuk apa menanyakan hutan itu?" Raut wajah pria itu berubah, tidak seramah sebelumnya. Suaranya terdengar ketus. "Tidak ada yang boleh melewati hutan itu, apa lagi masuk ke dalam."
"Tapi kenapa, ya Pak?"
"Tidak ada yang bisa kembali tanpa seijin 'taring' ketika memasuki hutan tersebut. Kita tidak pernah tau apa yang menunggu di dalam sana. Lebih baik kalian pulang saja, hari sudah semakin gelap." Intonasi suaranya terlihat menekan pada kalimat 'taring'. Hal itu mengganggu pendengaran Ananta.
Bi Manda memanggil Bella pelan tetapi keburu ditumpangi suara Ananta. "Ma, lebih baik kita pulang saja."
"Nggak bisa gitu dong, Ananta. Mama udah capek-capek nyetir sampai sini. Masa mau balik."
"Itu lebih baik, Non," ujar pria itu menambahi. Membuat Bella mendesah gelisah.
"Aku Bella, Pak. Bella Louise, pemilik Vila di pinggir hutan itu," tegasnya kemudian. Barangkali pria itu akan berubah pikiran karena Bella memiliki hak untuk datang berkunjung ke Vila yang beratas namakan dirinya.
Netra cokelat pemuda itu mebesar sempurna. Tampak terkejut mendengarnya. "Louise," gumamnya pelan. Nama itu sangat familiar di desa Hitam. Karena dialah orang pertama yang hilang di hutan LeNight tersebut, yang kemudian memakan lebih banyak korban hilang selanjutnya.
"Tidak ada pengecualian kusus antara keluarga Louise atau bukan. Kami sebagai warga hanya sekedar memberi peringatan. Tidak ada yang bisa mencegah labih banyak." Pria itu kembali menjelaskan. Kata-katanya seakan menegaskan bahwa seluruh warga desa Hitam tidak akan pernah ikut adil mengenai segala hal yang akan terjadi dengan rombongan ini. Seperti beberapa peristiwa yang pernah terjadi di waktu silam.
"Di pinggir hutan. Hanya di Vila itu kami akan datang."
Pria itu mengangguk mendengar keyakinan Bella. Raut wajahnya tampak tidak terlalu peduli.
"Cahaya biru laut. Jangan pernah mengikuti. Belok kiri adalah jalan hutan LeNight."
Ananta menghela nafas. Memikirkan berbagai benang yang mulai meraingkai rumit di kepalanya. Samar-samar ia mendengar ibunya berterimakasih pada pria itu dan berpamitan. Kemudian disusul suara bi Manda yang tampak berbicara kawatir yang keburu ditenangkan Bella, kemudian beralih dengan pembahasan seputar masakan apa yang akan mereka masak selepas berbenah.
Perbedaan hawa mulai terasa dipori-pori Ananta. Disusul suara gesekan kaca mobil yang tertutup pelan. "Hawanya semakin sejuk seperti dulu." Bella menutup kaca mobil di sebelah Ananta.
"Jananan agak gelap ya, Non. Tapi terang secara bersamaan. Bibi merasa aneh."
Bella terkekeh geli, sedikit melirik Ananta. Sepertinya putra satu-satunya itu tau ketakutan Bi Manda. Kedua orang yang sedarah itu tau betul mengapa di hutan itu tampak gelap dan terang bersamaan. Hutan LeNight memiliki cahaya hijau daun yang menerangi udara di sekitarnya. Itulah mengapa hutan tapak gelap dan terang secara bersamaan, pembiasan warna hijau armi.
Dulu tidak seterang ini kabut cahayanya. Dan tidak terlalu banyak cahaya biru lautnya. Ada yang terasa janggal. Seperti kata pria yang baru saja ditemui beberapa saat yang lalu. Cahaya itu kadang kala bergerombol menciptakan cahaya biru laut yang tampak pekat dan tidak boleh diikuti kemana pun terbangnya. Pantangan yang dilanggar Louise, ayah Ananta hanya karena penasaran kemana berhentinya cahaya terbang itu.
🐺🐺🐺Dari kejauhan tampak warna putih yang terlihat lebih kontras dari segala hal di sekitarnya. Sebuah Vila bertingkat dua berdiri gagah dengan corak hijau lumut dibeberapa sudut. Rupanya bangunan itu telah dipertegas dengan adanya beracam-macam bunga yang tumbuh liar di halaman. Vas bunga yang terbaring acak, rumput serta pohon yang sebelumnya tidak pernah ada telah tumbuh dengan ambisius.Mobil putih Bella mulai bergerak lambat di depan gerbang setinggi satu meter. Warna hitam gerbang itu digantikan karat tebal yang mungkin saja dapat melukaimu . Gerbang tersebut dipermanis bunga rambat yang tampak berduri."Ayo, kita sudah sampai." Setelah keluar dari mobil Bella menghampiri Ananta yang telah membuka pintu lebih dulu. Perempuan itu mengapit lengan Ananta posesif. Tak ingin putranya tersandung kemalangan sedikitpun."Rumahnya terlihat seram."Bella terkekeh mendengar ke
🐺🐺🐺Semilir angin menerpa lebih kencang di area perbukitan. Melepaskan anak rambut sedikit demi sedikit dari ikatan kepang. Wajah datar nan tegas menatap jauh ke depan. Perempuan itu bukanlah cendikiawan puitis yang akan menikmati setiap hembusan nafas secara perlahan.Perempuan itu berbalik membelakangi jurang. Sampai terkejut dengan sosok lain yang tengah menatap matanya."Wahh, tidak kusangka kita akan dipertemukan di sini." Seorang pemuda dengan pakaian lebih elit itu berujar.Pemuda itu mendegkus sebal ketika tidak mendengar jawaban. "Apa begitu sikap sopan yang diajarkan tetuamu?""Aku tidak memiliki waktu untuk meladeni." Perempuan berbusana mirip lelaki tersebut melenggang santai namun cekalan tejadi di tangan kanannya yang segera ia tepis kasar."Jangan pernah menyentuhku!" teriaknya ketus.Perempuan itu mendel
Mereka berbondong-bondong ke dalam rumah. Dengan segera Bella menyuruh Bi Manda menyiapkan seperangkat kesehatan untuk mengobati luka Ananta dan perempuan tersebut.Bella memilih menangani perempuan itu di kamar Ananta yang lebih dekat dari ruang tamu kemudian membiarkan Bi Manda mengobati Ananta. Kamar itu terlihat lebih bersih dari pertama kali bertemu. Tidak ada yang berbeda dari tatanannya. Hanya bunga lili putih kuncup yang mempercantik meja rias. Selebihnya tidak ada selain bunga plastik tersebut.Setibanya di kamar Bella mendudukkan perempuan tersebut pada ujung pembaringan. Menanyai beberapa hal yang terpikirkan dalam benaknya."Kenapa bisa sampai banyak luka gores begini, sih?""Jatuh," sahut perempuan tersebut dengan nada datar.Bella tersenyum tulus. Mengambil alat kesehatan di laci meja rias Ananta yang tampak kosong melompong selain alat kesehatan itu sendiri.
"Louise?" gumanan jelas terlontar begitu saja dari mulut Alice. Berulangkali ia utarakan kata itu dalam benak. Mencoba mengabrik kepingan memori yang tersimpan jauh dalam laci.Sepersekon ia tidak kunjung mendapatkan barang selembarpun informasi. Sampai Bella menyahut pemikirannya dengan begitu jelas, "kenapa? Kau mengenal nama itu?"Alice menggeleng ragu. Setengah memikirkan nama yang begitu familiar tersebut. Tidak. Marga itu bisa sama. Jadi Louise yang dimaksud di sini mungkin bukanlah orang yang sama seperti yang ada dipikirannya sekarang.Mengangguk, Bella meletakkan perkakas kesehatan di tempat semula. Tidak berusaha bertanya lebih banyak.Mata Bella beralih pada satu garis lurus. Tempat dimana wajah Alice terpahat apik. Tampak sempurna dengan bola mata jernih yang menghanyutkan. Warna merah batanya tampak tenang. Bella jadi penasaran seperti apakah warna mata Alice dibalik softlens tersebut
Semoga saja dengan keadaan Ananta yang seperti itu. Alice benar-benar suka, bukan penasaran apalagi percobaan.Bella menyuruh Alice duduk pada kursi busa yang tampak lebar tersebut. Menuntun Ananta mendekat agar lebih mudah dalam merawat Alice. Sedangkan Bi Manda yang melihat itu hanya pasrah saja. Tampaknya ia terlalu protektif dan curigaan. Mencoba untuk memaklumi Alice ia berujar, "aku siapkan makan malamnya, Non." ditujukan pada Bella. Kemudian tubuhnya hilang dibalik dinding pembatas antara dapur dan ruang tamu."Mama batuin Bi Manda, ya?" Mendapat anggukan Ananta Bella beranjak dari posisinya. Meninggalkan Ananta yang mulai tampak bingung harus bagaimana.Sekilas senyum menampakkan cabit pada wajah Alice. Ia berdiri menuntun Ananta untuk duduk di sebelahnya. Kemudian meletakkan perban pada kedua tangan Ananta."Sekarang obatilah aku!""Katanya sudah sembuh."
Ananta tersedak. Dengan segera Bella yang duduk di sampingnya menyerahkan minum.Apa kata Alice tadi? Rumput? Pakan ternak? Jadi secara tidak langsung perempuan tersebut menghinanya sebagai hewan peliharaan berkaki empat?"Pelan-pelan, Anta!" Bella mengelus punggung Ananta pelan. Memberikan ketenangan pada putranya tersebut.Perlakuan Bella membuat Ananta yang hendak meledakkan amarah pada Alice sedikit meredam. Tidak ada gunanya juga ia marah. Tetap saja, dengan kondisinya yang seperti ini Ananta tidak akan bisa memenangkan perdebatan."Oh, iya. Katanya Alice ingin belajar bermain gitar denganmu, Anta."Binar cerah terbit pada manik merah milik Alice. Kemarin setelah mendengar dan melihat secara langsung Ananta yang memainkan gitar ia jadi ingin menguasainya. Pertunjukan musik seperti itu jika ditampilkan di festival pasar bakal menang. Secara tidak ada yang menyamainya.
Sedangkan diujung lain Bella tersenyum geli di sertai bi Manda yang berjalan mendekat membawa sekeranjang buah pisang dari kota. Pesuruh Bella tersebut menatap binggung Alice yang tampak aneh. Menarik pancing ke belakang, ke atas?Alice tidak menggulung benang pancingnya melainkan menariknya sampai ke ujung. Di sana terlihat ikan nila kecil menyatu dengan ujung pancing. Dengan segera Alice meraih ikan tersebut lalu tanpa basa-basi menarik benang pancing dari mulut ikan tanpa merasa iba. Sedangkan Bella yang juga melihatnya agak terkejut. Untuk ukuran manusia normal seharusnya Alice tidak akan setega itu merobek mulut hewan."Non Alice kejam sekali." lirih bi Manda. Alice yang memiliki pendengaran tajam langsung melirik tajam ke arah bi Manda."Apa maksudmu?" Manda hanya bisa terbengong mendengar pertanyaan Alice. Karena yang ia rasa hanya bergumam tadi."Aku tidak bilang apa-apa.""Jangan mengelak!""Iya, non. Aku hanya berasumsi saja. Tingk
Cahaya biru laut agak meresahkan bagi kaumnya. Ia memakan beberapa penduduk yang dirasa memiliki kedudukan penting maupun kekuatan besar. Walaupun Alice tidak sepenuhnya yakin cahaya itu memakan korbannya atau tidak. Tetapi yang jelas cahaya itu akan menyesatkan siapa saja mangsa yang dipilih. Ke suatu tempat tertentu. Kemudian menghilang tanpa jejak."Cahaya biru laut?" Ananta yakin dulu ia pernah melihat ini sebelumnya. Louise. Terakhir kali ayahnya menghilang karena mengikuti cahaya itu. Tidak salah lagi. Ananta bahkan melihatnya secara langsung bahwa Louise mengikuti cahaya itu. Tetapi Ananta tidak berhasil mengikuti kemana perginya. Dan menghilang begitu saja. Tanpa tanda."Itu berbahaya. Jangan mengikutinya lagi! Aku tau kau tanpa sadar mengikutinnya." Alice menarik lengan Ananta tetapi dengan gerakan kecil pemuda itu menghentikannya."Aku ingin tau. Sesuatu dalam diriku apa yang diinginkan cahaya itu?""Itu tidak penting Ananta." Alice menarik leng
Mendadak sosok itu mendekat. Berjalan lambat dengan langkah-langkahnya yang besar. Tubuh yang tampak kecil tersebut mendadak terlihat makin besar dan tinggi seiring dekatnya mereka. Ananta sedang berusaha untuk tidak menahan napas. Sayangnya hal itu nihil. Aura yang pekat membuta Ananta membeku. Sedangkan disisi lain, Ananta melirik Cara yang sama bisunya. Seolah perempuan itu tau dan sedang menunggu.Tubuhnya hitam tegas. Tinggi menjulang, lebih tinggi dari Ananta sekitar lima belas sentimeter. Dalam hati Ananta monolog, "pantas saja." Kaki yang dibalut celana bahan berwarna hitamnya tampak panjang. Karena itu pria berambut kaku dengan mata biru begitu cepat tiba di depan Cara.Kesan mengerikan tersebut membuat Ananta tercengang ketika pria itu mendadak tersenyum. Menyapa Cara ramah."Dimana Araujo?" Hal pertama yang keluar dari mulut Cara setelah pria tersebut menyapa. Cara tidak sungkan untuk tidak membalas sapaan pria ini."Kau tentu bisa menebak apa yang terjadi." Dengan aksen s
"Benarkah? Apa wajahmu berlubang?" Tanya Cara penasaran. Perempuan tersebut kemudian mendekat."Tidak." Tetapi paku itu berasal dari tempat Cara berdiri. "Berarti kamu menghancurkan paku itu?" Cara makin penasaran dan ini sukses membuat Ananta merasa aneh."Kamu yang melemparkan paku itu dan menghancurkannya tepat di depanku?" Ananta tidak ingin percaya dengan ini. Tetapi mengingat tentang matanya, cahaya biru laut, api merah darah membuat Ananta berpikir kemungkinan itu bisa saja terjadi."Konyol. Kamu yang melakukan itu sendiri." Cara terkikik. Postur tubuhnya yang semula serius kembali rileks. Tepat ketika menyadari Ananta masih syok ia kembali berujar, "aku yang melemparkan paku itu," Ananta membelalak. Dan sebelum pemuda tersebut membuka mulut Cara lebih dulu menerobos, "hanya untuk memastikan sesuatu. Ternyata itu bukan softlens.""Apa maksudmu?" Ananta bingung.Tetapi Cara malah tertawa, "Ananta. Aku tidak sebodoh itu. Menurutmu, untuk apa aku membawamu ke seni kalau bukan ka
Esoknya pagi-pagi sekali Ananta terjaga dengan beberapa pilihan rencana dalam pikirannya. Seakan otaknya yang tidur telah berjaga semalaman. Dia bangun, memakai baju putih polos dengan kaus abu dibagian dalam. Meninggalkan kamar sepetak yang dominan kayu di berbagai sisi.Kakinya dengan ringan menyusuri ruang tengah sederhana. Terlihat bagian paling menonjol adalah meja makan dengan empat kursi kayu. Tepat di sebelah kanan pintu keluar kamarnya terdapat almari kayu rapat, tanpa ukiran apapun. Ananta tidak berhasil menduga apa isi lemari itu. Sedangkan di sebelah kiri terdapat pintu kamar. Cara berada dibalik pintu tersebut. Mata Ananta kini menyusuri setiap sudut ruangan. Memilih satu-satunya pintu keluar yang berada sejajar di depan tubuhnya. Pandangan pertama yang ditangkap mata Ananta begitu keluar dari rumah adalah rumah-rumah panggung yang berjajar rapi. Dan beberapa dari mereka memiliki jarak sekitar sepuluh meteran dibawah langit fajar yang tidak sepenuhnya gelap. Hawa dingin
Beruntung setelah seperempat menit mereka akhirnya menemukan suara bising dari arah seberang. Tepat di pintu masuk dan keluar, gerbang utama desa Mercia. Beberapa orang yang dominan pria tua bercanda dengan tawa menggelegar sambil mengangkat gelas, menenggak beberapa yang tersisa di dalamnya.Herly, Ursula dan Sam yang tampak girang lantas bergegas menghampiri. Hawa dingin pada malam panjang segera ditepis oleh kobaran api dibagian tengah toko tersebut. Jelas plakat berbunyi 'Veni ed vade'."Oh, tidak! Kita cukup beruntung kali ini." Sam memekik sambil tertawa. Reflek memukul perut Herly dengan punggung tangan hingga mendesis. Ursula melalak ketika mengetahui adegan barusan. Ia sudah lelah melihat betapa girang temannya ini."Anak itu, biar aku pukul kepalanya sesekali." Geram Ursula. Herly mengikuti langkah Sam dengan wajah mendung menahan sakit di perut. Sial.Beberapa dari pengunjung dengan tubuh yang besar, gempal dan ada pula yang kurus kering menatap ingin tau. Dari pakaian yang
"Aiss, kita sudah berjalan sejauh ini. Kakiku hampir pegal." Tidak diragukan lagi ketika suara melengking konyol yang nampak kekanakan ini akan terlontar. Semua orang, setidaknya Ursula dan Herly akan langsung tau siapa pemiliknya.Sam berhenti sejenak, memijat kakinya sembari menggerutu. Merana memandang Ursula dan tuannya Herly masih berjalan tanpa memperdulikannya.Malam ini Herly yang diapit oleh kedua pengikutnya sedari tadi hampir tiba di perbatasan. Pintu keluar masuk desa Mercia. Sebenarnya Herly sendiri tidak pernah merasa lelah sedikitpun. Wajahnya berseri memandang ke sekeliling, rumah penduduk yang tertutup rapat. Beberapa lampion menggantung disekitar pagar atau satu-satunya pohon di depan rumah. Hanya saja gerutuan Sam tidak pernah berhenti barang sedetik sepanjang perjalanan."Hampir bukan?" Ursula menyahut masih dengan memfokuskan jalannya. Sam tertinggal. Tapi setelah mendengar Ursula menanggapinya lagi, ia mendadak sensi, "apa?" Sambil berlari menyusul Herly dan Ursu
"Lalu apa yang harus dilakukan sekarang?" Darwin tidak berani mengangkat tangan untuk membasuh peluh yang mem-biji saat dingin menerpa. Kehormatannya kepada Raja Ardolph yang harus ia sematkan pada Raja Charlotte kini memberatkan.Charlotte tersenyum menang, "aku tidak menganggap keputusan Raja Ardolph itu menyedihkan. Dalang dibalik kebakaran itu memang harus ditangkap. Tapi, dengan berubahnya 'senjata' klan warewolf maka akan berubah juga rencananya. Karena Raja Ardolph telah meninggal, maka seluruh keputusan beralih kepadaku."Ada banyak kejanggalan yang ia berikan untuk Raja Charlotte saat ini. Keserakahan dan aura Charlotte membuat Mentri Darwin tidak pernah menyetujui pernikahan Alice dengan pemuda tersebut. Tapi dalam keheningan yang menerpa sejenak, Charlotte berujar lagi, "aku akan memberikan banyak penjaga untukmu dan Gilmer. Ini mungkin agak terlambat, tapi harus segera dilakukan." Darwin menatap dalam hingga akhirnya tersenyum. Mungkin penilaiannya terhadap Charlotte sala
Sedangkan disisi lain Charlotte berdiri tepat di pinggir danau, membelakangi menteri Darwin dan gazebo Rex_tempat santai khusus raja yang terletak di samping kanan menara Raja itu sendiri."Katakan!" Raja Charlotte tidak berniat untuk memulai pembicaraan ini.Sambil menghembuskan napas, Mentri Darwin menatap ke sekeliling. Malam yang temaram, menghadap danau buatan yang luasnya kurang lebih sepuluh kali sepuluh meter tampak lebih pekat dinginnya. Lentera kecil menggantung berjajar rapi di atas permukaan air hingga memberikan kesan romantis dan damai. Tempat seperti ini ada dua di istana. Satu dibuat khusus sebagai gazebo raja atau Rex dan satu lagi adalah gazebo Reginae, gazebo Ratu."Maaf yang Mulia. Mustahil jika kebakaran itu terjadi tanpa sengaja." Raja Charlotte yang masih membelakangi dengan kedua tangan saling bertautan dibelakang nampak bergeming."Aku telah memerintahkan para penjaga untuk mengintrogasi orang-orang yang tampak mencurigakan. Sekaligus memblokir gerbang utama
"Tentunya, manusia serigala tidak memiliki kekuatan selain kemampuan berperang dan api merah darah. Dan mataku yang hebat itu mampu memulihkan dan menghancurkan sesuatu, sesuai keinginan pemiliknya!" Alice kembali melanjutkan dengan napas menggebu. Sejak awal ialah umpan sekaligus senjata terbaik yang berusaha Mercia jaga. Dan Raja Ardolph ingin memindahkan matanya pada Charlotte."Tidakkah kenyataan itu membuat Ratu sadar bahwa Ratu bukanlah klan manusia serigala?" Dyn berujar dengan suara rendah.Makanan yang tersaji di depannya mulai dingin seiring dengan perdebatan mereka.Alice sadar dengan itu, sejak awal ia sudah curiga bahwa dirinya bukanlah keturunan Raja Ardolph. "Pergilah, tugasmu sudah selesai." Alice berusaha memposisikan tubuhnya untuk tenang.Sedangkan Dyn, melirik kembali ke arah meja yang penuh dengan hidangan tersebut. Dulu, ia tidak akan pernah duduk dengan lancang dihadapan Alice. Bahkan menyentuh sampanye yang disediakan oleh Alice secara khusus untuknya. Tapi ka
"Itu kesimpulan awal yang bisa kita ambil. Dari yang aku dengar, buku phoenix itu berisi tentang petunjuk membuka portal sekaligus menutup portal pembatas antara hutan LeNight dan LeRay."Gigi-gigi Alice ber-gemletak menahan geram. Sudah sejauh ini para menteri dan raja Ardolph berkerja sama dengan raja Charlotte menjalankan misi. Sedangkan Alice, ia bahkan tidak tau sedikitpun mengenai informasi ini. Geraman Alice cukup membuat Alice meremas kuat ujung buku phoenix di pangkuannya."Aku sempat mengikuti pelayan dari kantor hukum menteri Darwin. Yang dua minggu lalu memutuskan untuk berhenti. Dan mendapatkan alasan kenapa menteri Darwin tidak pernah menyetujui pernikahan Ratu Alice dengan Raja Charlotte.""Ucapkan secara langsung! Jangan berbelit-belit!" Alice berteriak marah. Dadanya bergetar. Raja Ardolph telah meninggal dan ia tidak mendapatkan kenangan terbaiknya selama bersama raja tersebut."Alasan kenapa Raja Ardolph bersikeras menjodohkan Ratu dengan Raja Ardolph karena ingin m