Bella memilih menangani perempuan itu di kamar Ananta yang lebih dekat dari ruang tamu kemudian membiarkan Bi Manda mengobati Ananta. Kamar itu terlihat lebih bersih dari pertama kali bertemu. Tidak ada yang berbeda dari tatanannya. Hanya bunga lili putih kuncup yang mempercantik meja rias. Selebihnya tidak ada selain bunga plastik tersebut.
Setibanya di kamar Bella mendudukkan perempuan tersebut pada ujung pembaringan. Menanyai beberapa hal yang terpikirkan dalam benaknya.
"Kenapa bisa sampai banyak luka gores begini, sih?"
"Jatuh," sahut perempuan tersebut dengan nada datar.
Bella tersenyum tulus. Mengambil alat kesehatan di laci meja rias Ananta yang tampak kosong melompong selain alat kesehatan itu sendiri.
Kotak kesehatan tersebut berbentuk persegi panjang yang begitu dibuka menampilkan banyak sekali alat kesehatan dari mulai kapas sampai minyak kayu putih. Dipilihnya beberapa alat yang dikira membantu proses penyembuhan.
Sampai suara perempuan berpakaian kaus santai dipadu bawahan rok lebar mengintupsi kegiatan Bella.
Ibu Ananta menoleh, terlihat sekali Bi Manda mendekat sembari memawa sebaskom air hangat dan handuk kecil dengan wajah masam. Perempuan berumur itu selalu memasang wajah riang setiap harinya. Jadi jika tidak suka akan suatu hal, maka sangat kontras kelihatannya. Hal itu membuat Bella merasa tidak enak sekaligus ganjil terhadap perempuan asing di hadapannya.
"Taruh di sini saja, Bi." Bella menggeser kursi belajar lebih dekat ke ujung ranjang. Mengabaikan kecanggungan pesuruhnya yang secara terang menyentak benteng pembatas.
Dengan segera Bi Manda meletakkan air hangat tersebut ke kursi.
"Bagaimana dengan Ananta, Bi?"
Bola mata Bi Manda menelisik ke arah perempuan asing tersebut. Begitu bersitatap dengan manik merah yang tak biasa itu segera dilepas kontak matanya. Beralih pada Bella kemudian berujar, "sudah aku besihkan lukanya. Tapi aneh, lukanya begitu dalam tiga goresan secara bersamaan. Jika diperhatiakan lebih teliti itu bukan karena benda tajam tetapi goresan duri atau ... cakaran?."
Sengaja Bi Manda mengantung ujarannya. Ia hanya ingin melihat reaksi perempuan aneh tersebut. Adakah keterangan yang bisa menyangkal kecurigaan Bi Manda? Nyatanya perempuan tersebut tidak mencoba menjelaskan itu membuat Bi Manda maki curiga bahwa perempuan itulah yang sengaja melukai Ananta. Atau secara sengaja Ananta membantu perempuan itu dari suatu kejadian naas.
"Ya, sudah. Kau tunggu Ananta. Aku akan ke sana setelah ini selesai." Bi Manda mengangguk, berbalik menuju pintu keluar kamar.
"Bertahanlah, mungkin ini akan sedikit sakit." Bella mengambil kapas dan betadine, meletakkannya di ujung pembaringan kemudian membasahi kain dengan air hangat untuk mebersihkan kaki dari darah dan debu.
"Kalau begitu tidak perlu." Perempuan tersebut memalingkan wajah ke arah lain. Seharusnya Ananta yang merawatnya bukan? Tetapi jika Alice cermati lebih dalam. Ia ingin melihat kesunguhan Bella.
Mengabaikan ucapan perempuan tersebut Bella mendekat, membersihkan luka-luka di kaki dengan teliti. Sesekali perempuan tersebut mendesis perih. Merasa dongkol karena tidak diindahkan.
Dalam hal perawatan sebenarnya Bella orang yang cekatan dan tau bagian mana saja dengan obat apa saja. Tetapi rupanya hal itu tidak menghalangi Alice, perempuan yang ditemukan Ananta tadi untuk terus mengumpat kesakitan ketika obat merah membalut luka-lukanya.
"Sabar, mamang ini agak perih. Tapi nanti lekas membaik, kok." ujar Bella menenangkan.
"Ahh! Seharusnya tidak perlu diobati. Aku tidak terbiasa." Alice menjawab dengan nada ketus. Obat ini berbeda jauh dari yang biasa ia pakai. Karena milik perempuan tersebut lebih tradisional dengan mengambil bahan alam.
"Nanti kakimu bisa infeksi. Sudahlah, biarkan aku yang bekerja dan kau diam."
Wajah Alice melotot tidak terima. Ia tidak pernah diperintah seperti itu. Lebih terbiasa memerintah sehingga hal itu membuat harga dirinya tergores.
Tetapi melihat ketulusan dan ketenangan Bella dalam mengobatinya. Sumpah serapah yang ia punya kembai tertelan. Hatinya berdesir pelan. Alice rindu ibu yang tewas setelah membiarkan dirinya lahir di dunia ini. Lebih tepatnya penasaran akan seperti apa sikap ibunya begitu menghadapi ia terluka. Akankah seperhatian ini atau sama saja dengan ayahnya. Alice tidak bisa menerka.
"Infeksi tidak akan terjadi. Daya tahan tubuhku lebih kuat dari manusia kebanyakan," desis Alice dengan nada lebih lunak dari sebelumnya.
Bella terkekeh pelan. Menatap manik merah milik Alice yang menyentakkan binar cerah. Begitu cantik nan manis sekaligus tegas secara bersamaan. Entah itu hanya kesan untuk menutupi kerapuhan atau tidak. Bella terus berempati dengannya. "Ya, baguslah kalau begitu. Itu akan lebih baik."
"Oh, ya. Sebentar kuambilkan minum hangat." lanjut Bella lagi.
Alice mengangguk samar kemudian menatap jendela dari kamar Ananta ketika Bella mulai beranjak pergi.
Kamar Ananta terlihat luas dalam ruang minimalis tersebut. Hanya berpenghuni ranjang minimalis dua orang, meja dan kursi rias berukiran bunga rambat serta almari dengan ukiran bunga sakura.
Dengan segera perempuan tersebut beranjak dari bibir pembaringan. Menghadap pantulan dirinya dengan intens. Kaca almari tersebut menampilakan sosok tegasnya. Luka gores bertebaran pada wajah, celana yang sobek dibagian betis menampilkan kakinya yang dibebat perban. Alice mendengkus kesal. Dari kaca tersebut raut wajahnya berubah cerah dan segar. Beberapa luka menutup secara perlahan dengan sempurna. Kejadian yang sering dianggap ajaib oleh orang-orang itu membuat Alice tersenyum sinis dengan bola merah pada matanya.
Bertepatan dengan suara pintu dibuka Alice berbalik. Di ujung menampakkan tubuh Bella yang memudarkan senyum kearah tatapan lawan.
Beberapa detik terpaku dengan keheningan, Bella berjalan mendekat dengan senyum yang mulai beranjak cabit. Agak ragu dengan tubuh kokoh Alice menopang sempurna pada kondisi kaki yang patah.
Menghalau segala pemikiran yang tidak-tidak Bella megintruksi Alice kembali duduk di pembaringan. "Duduklah! Akan kupriksa wajahmu dan minumlah air hangatnya. Supaya tubuhmu kembali segar."
Dengan langkah santai mengabaikan keruwetan yang melanda otak Bella Alice kembali duduk. Diterimanya secangkir besar dengan kepulan asap kecil darinya. Disesapnya pelan air hangat tersebut.
"Kau tidak akan bertanya? Kenapa lukaku begitu cepat pulih."
Fokus Bella beralih sempurna pada wajah Alice yang tampak bersih, banyak luka gores yang hilang jejaknya. Berbanding terbalik dengan keadaan yang dilihat beberapa saat lalu. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan saat ini tetapi dengan segera Bella urungkan.
"Jika aku bertanya pun, kamu tidak akan memberitahu 'kan? Kalau begitu biarlah itu menjadi rahasia. Setiap orang memiliki keistimewaan tersendiri di dalam tubuhnya."
Alice mulai tertegun. Tidak menyangka akan mendapatkan jawaban seperti itu. Ditatapnya lekat-lekat parit wajah Bella yang tampak sumringah. Membereskan segala sesuatu yang dikeluarkan untuk mengobati dirinya tadi.
Tatapan tulusnya, Alice terbengong mendapati uluran kain dua lipat berwarna putih dan hitam. Yang dapat Alice duga itu merupakan baju putih berlengan biru dongker sesiku dan celana hitam tebal berkantung banyak. Aneh.
"Pakailah! Kukira kamu suka yang berbau meskulin. Jadi aku memilihkan baju Ananta yang baru. Terkesan santai kan?"
Dibentangkan kaus tersebut tepat di depan tubuh Alice, menyocokkannya. Tanpa tadang aling Bella terkikik geli. Tidak menyangka dengan apa yang ia lakukan.
"Aku selalu menginginkan anak perempuan. Kau cantik jadi pakaian apa saja pantas untukmu."
Begitu medapati Alice masih membisu Bella tersentak akan sesuatu. "Oh, ya ampun! Kita belum kenalan bukan? Siapa namamu?"
Dan untuk pertama kalinya senyum manis melebihi madu terbit ke peraduan. Kecanggungan senja memberikan kehangatan. "Alice. Alice Aghata ... Mercia?"
"Alice? Cantik sekali. Namamu klasik. Panggil aku Bella, saja. Emm, dan kamu tau pemuda tampan yang bersamamu tadi? Dia Ananta. Aksananta Louise. Dan perempuan tadi, Bi Manda."
"Louise?"
"Kenapa? Kamu mengenal nama itu?"
"Louise?" gumanan jelas terlontar begitu saja dari mulut Alice. Berulangkali ia utarakan kata itu dalam benak. Mencoba mengabrik kepingan memori yang tersimpan jauh dalam laci.Sepersekon ia tidak kunjung mendapatkan barang selembarpun informasi. Sampai Bella menyahut pemikirannya dengan begitu jelas, "kenapa? Kau mengenal nama itu?"Alice menggeleng ragu. Setengah memikirkan nama yang begitu familiar tersebut. Tidak. Marga itu bisa sama. Jadi Louise yang dimaksud di sini mungkin bukanlah orang yang sama seperti yang ada dipikirannya sekarang.Mengangguk, Bella meletakkan perkakas kesehatan di tempat semula. Tidak berusaha bertanya lebih banyak.Mata Bella beralih pada satu garis lurus. Tempat dimana wajah Alice terpahat apik. Tampak sempurna dengan bola mata jernih yang menghanyutkan. Warna merah batanya tampak tenang. Bella jadi penasaran seperti apakah warna mata Alice dibalik softlens tersebut
Semoga saja dengan keadaan Ananta yang seperti itu. Alice benar-benar suka, bukan penasaran apalagi percobaan.Bella menyuruh Alice duduk pada kursi busa yang tampak lebar tersebut. Menuntun Ananta mendekat agar lebih mudah dalam merawat Alice. Sedangkan Bi Manda yang melihat itu hanya pasrah saja. Tampaknya ia terlalu protektif dan curigaan. Mencoba untuk memaklumi Alice ia berujar, "aku siapkan makan malamnya, Non." ditujukan pada Bella. Kemudian tubuhnya hilang dibalik dinding pembatas antara dapur dan ruang tamu."Mama batuin Bi Manda, ya?" Mendapat anggukan Ananta Bella beranjak dari posisinya. Meninggalkan Ananta yang mulai tampak bingung harus bagaimana.Sekilas senyum menampakkan cabit pada wajah Alice. Ia berdiri menuntun Ananta untuk duduk di sebelahnya. Kemudian meletakkan perban pada kedua tangan Ananta."Sekarang obatilah aku!""Katanya sudah sembuh."
Ananta tersedak. Dengan segera Bella yang duduk di sampingnya menyerahkan minum.Apa kata Alice tadi? Rumput? Pakan ternak? Jadi secara tidak langsung perempuan tersebut menghinanya sebagai hewan peliharaan berkaki empat?"Pelan-pelan, Anta!" Bella mengelus punggung Ananta pelan. Memberikan ketenangan pada putranya tersebut.Perlakuan Bella membuat Ananta yang hendak meledakkan amarah pada Alice sedikit meredam. Tidak ada gunanya juga ia marah. Tetap saja, dengan kondisinya yang seperti ini Ananta tidak akan bisa memenangkan perdebatan."Oh, iya. Katanya Alice ingin belajar bermain gitar denganmu, Anta."Binar cerah terbit pada manik merah milik Alice. Kemarin setelah mendengar dan melihat secara langsung Ananta yang memainkan gitar ia jadi ingin menguasainya. Pertunjukan musik seperti itu jika ditampilkan di festival pasar bakal menang. Secara tidak ada yang menyamainya.
Sedangkan diujung lain Bella tersenyum geli di sertai bi Manda yang berjalan mendekat membawa sekeranjang buah pisang dari kota. Pesuruh Bella tersebut menatap binggung Alice yang tampak aneh. Menarik pancing ke belakang, ke atas?Alice tidak menggulung benang pancingnya melainkan menariknya sampai ke ujung. Di sana terlihat ikan nila kecil menyatu dengan ujung pancing. Dengan segera Alice meraih ikan tersebut lalu tanpa basa-basi menarik benang pancing dari mulut ikan tanpa merasa iba. Sedangkan Bella yang juga melihatnya agak terkejut. Untuk ukuran manusia normal seharusnya Alice tidak akan setega itu merobek mulut hewan."Non Alice kejam sekali." lirih bi Manda. Alice yang memiliki pendengaran tajam langsung melirik tajam ke arah bi Manda."Apa maksudmu?" Manda hanya bisa terbengong mendengar pertanyaan Alice. Karena yang ia rasa hanya bergumam tadi."Aku tidak bilang apa-apa.""Jangan mengelak!""Iya, non. Aku hanya berasumsi saja. Tingk
Cahaya biru laut agak meresahkan bagi kaumnya. Ia memakan beberapa penduduk yang dirasa memiliki kedudukan penting maupun kekuatan besar. Walaupun Alice tidak sepenuhnya yakin cahaya itu memakan korbannya atau tidak. Tetapi yang jelas cahaya itu akan menyesatkan siapa saja mangsa yang dipilih. Ke suatu tempat tertentu. Kemudian menghilang tanpa jejak."Cahaya biru laut?" Ananta yakin dulu ia pernah melihat ini sebelumnya. Louise. Terakhir kali ayahnya menghilang karena mengikuti cahaya itu. Tidak salah lagi. Ananta bahkan melihatnya secara langsung bahwa Louise mengikuti cahaya itu. Tetapi Ananta tidak berhasil mengikuti kemana perginya. Dan menghilang begitu saja. Tanpa tanda."Itu berbahaya. Jangan mengikutinya lagi! Aku tau kau tanpa sadar mengikutinnya." Alice menarik lengan Ananta tetapi dengan gerakan kecil pemuda itu menghentikannya."Aku ingin tau. Sesuatu dalam diriku apa yang diinginkan cahaya itu?""Itu tidak penting Ananta." Alice menarik leng
✒✒✒Kata Alice ada sekitar dua penjaga di gerbang pintu masuk. Tubuhnya kekar dengan badan yang tinggi tegap. Kedua pria penjaga itu memiliki wajah yang terkesan sangar. Dan Alice sama sekali tidak takut. Perempuan itu bisa melakukan apa saja yang ia mau. Bahkan membunuh kedua penjaga tersebut dan menggantinya yang baru.Yang Ananta pikir. Kenapa desa ini harus diberi penjaga. Bahkan seberapa kuat Alice untuk melakukan hal yang diucapkan secara lantang perempuan tersebut. Atau seberapa pengaruh posisi Alice sampai mampu menggerakkan semua isi kepalanya."Salah satu penjaga itu menghilang dua bulan lalu. Itu penjaga yang baru. Menurut dugaan mereka mengikuti cahaya biru laut."Ananta kira Alice tidak ingin membahas hal ini lagi.
Lengan baju Ananta diseret paksa Alice ke samping. Setelah berhenti Ananta mendengkus kesal sambil membenarkan kerah bajunya yang melorot akibat tarikan mendadak tersebut."Ada apa, sih?""Silahkan dipilih, non. Samurai atau pedangnya? Keduanya sama-sama dibuat oleh pengrajin dari balik bukit, desa Northumbria. Hanya tersisa dua senjata ini yang berasal dari kerajaan itu." Suara pria yang sepertinya penjual senjata tampak menerangkan dengan penuh keyakinan.Alice tersenyum lebar, mengangguk pasti dengan antusias. Dirinya sebagai pecinta senjata tentu tau benda tersebut berasal dari desa mana saja. Semua senjata yang diproduksi setiap pengrajin dari desa tertentu memilih ukiannya masing-masing. Seperti dari Mercia, desa serta kerajaan yang saat ini disinggahi memiliki lambang kerajaan mawar merah untuk setiap benda dan segala ha
"Berapa harganya?""Kamu membelinya?" tanya Ananta.Alice menggeleng pelan. "Tidak. Aku mengincarnya." Disertai senyum antusias yang ketika Ananta dapat melihatnya itu akan tampak mengerikkan. Alice mengulum sekilas jari telunjuknya kemudian ia tempelkan pada Tekko-kagi yang ia incar. Dengan ambisi ia akan mendapatkan yang dirinya mau."Kau tidak akan menyesal nona. Ini dilengkapi dengan Kakute." Penjual menunjukkan cicil yang ia ambil dari kain emas yang sama dengan Tekko-kagi tadi. Menyerahkan pada Alice.Alice menimang cincin tersebut. Benda itu merupakan senjata tersembunyi mirip cincin tetapi memiliki dua mata duri."Jika kau bertemu lawan dan mampu memegang leher atau pergelangan tangan. Kau dapat melukainya. Mungkin ini tidak membuatmu membunuhnya tapi bisa memberimu waktu untuk melarikan diri. Atau bisa dioles racun.""Kau dengar itu Ananta? Ini cocok untukmu." Ali
Mendadak sosok itu mendekat. Berjalan lambat dengan langkah-langkahnya yang besar. Tubuh yang tampak kecil tersebut mendadak terlihat makin besar dan tinggi seiring dekatnya mereka. Ananta sedang berusaha untuk tidak menahan napas. Sayangnya hal itu nihil. Aura yang pekat membuta Ananta membeku. Sedangkan disisi lain, Ananta melirik Cara yang sama bisunya. Seolah perempuan itu tau dan sedang menunggu.Tubuhnya hitam tegas. Tinggi menjulang, lebih tinggi dari Ananta sekitar lima belas sentimeter. Dalam hati Ananta monolog, "pantas saja." Kaki yang dibalut celana bahan berwarna hitamnya tampak panjang. Karena itu pria berambut kaku dengan mata biru begitu cepat tiba di depan Cara.Kesan mengerikan tersebut membuat Ananta tercengang ketika pria itu mendadak tersenyum. Menyapa Cara ramah."Dimana Araujo?" Hal pertama yang keluar dari mulut Cara setelah pria tersebut menyapa. Cara tidak sungkan untuk tidak membalas sapaan pria ini."Kau tentu bisa menebak apa yang terjadi." Dengan aksen s
"Benarkah? Apa wajahmu berlubang?" Tanya Cara penasaran. Perempuan tersebut kemudian mendekat."Tidak." Tetapi paku itu berasal dari tempat Cara berdiri. "Berarti kamu menghancurkan paku itu?" Cara makin penasaran dan ini sukses membuat Ananta merasa aneh."Kamu yang melemparkan paku itu dan menghancurkannya tepat di depanku?" Ananta tidak ingin percaya dengan ini. Tetapi mengingat tentang matanya, cahaya biru laut, api merah darah membuat Ananta berpikir kemungkinan itu bisa saja terjadi."Konyol. Kamu yang melakukan itu sendiri." Cara terkikik. Postur tubuhnya yang semula serius kembali rileks. Tepat ketika menyadari Ananta masih syok ia kembali berujar, "aku yang melemparkan paku itu," Ananta membelalak. Dan sebelum pemuda tersebut membuka mulut Cara lebih dulu menerobos, "hanya untuk memastikan sesuatu. Ternyata itu bukan softlens.""Apa maksudmu?" Ananta bingung.Tetapi Cara malah tertawa, "Ananta. Aku tidak sebodoh itu. Menurutmu, untuk apa aku membawamu ke seni kalau bukan ka
Esoknya pagi-pagi sekali Ananta terjaga dengan beberapa pilihan rencana dalam pikirannya. Seakan otaknya yang tidur telah berjaga semalaman. Dia bangun, memakai baju putih polos dengan kaus abu dibagian dalam. Meninggalkan kamar sepetak yang dominan kayu di berbagai sisi.Kakinya dengan ringan menyusuri ruang tengah sederhana. Terlihat bagian paling menonjol adalah meja makan dengan empat kursi kayu. Tepat di sebelah kanan pintu keluar kamarnya terdapat almari kayu rapat, tanpa ukiran apapun. Ananta tidak berhasil menduga apa isi lemari itu. Sedangkan di sebelah kiri terdapat pintu kamar. Cara berada dibalik pintu tersebut. Mata Ananta kini menyusuri setiap sudut ruangan. Memilih satu-satunya pintu keluar yang berada sejajar di depan tubuhnya. Pandangan pertama yang ditangkap mata Ananta begitu keluar dari rumah adalah rumah-rumah panggung yang berjajar rapi. Dan beberapa dari mereka memiliki jarak sekitar sepuluh meteran dibawah langit fajar yang tidak sepenuhnya gelap. Hawa dingin
Beruntung setelah seperempat menit mereka akhirnya menemukan suara bising dari arah seberang. Tepat di pintu masuk dan keluar, gerbang utama desa Mercia. Beberapa orang yang dominan pria tua bercanda dengan tawa menggelegar sambil mengangkat gelas, menenggak beberapa yang tersisa di dalamnya.Herly, Ursula dan Sam yang tampak girang lantas bergegas menghampiri. Hawa dingin pada malam panjang segera ditepis oleh kobaran api dibagian tengah toko tersebut. Jelas plakat berbunyi 'Veni ed vade'."Oh, tidak! Kita cukup beruntung kali ini." Sam memekik sambil tertawa. Reflek memukul perut Herly dengan punggung tangan hingga mendesis. Ursula melalak ketika mengetahui adegan barusan. Ia sudah lelah melihat betapa girang temannya ini."Anak itu, biar aku pukul kepalanya sesekali." Geram Ursula. Herly mengikuti langkah Sam dengan wajah mendung menahan sakit di perut. Sial.Beberapa dari pengunjung dengan tubuh yang besar, gempal dan ada pula yang kurus kering menatap ingin tau. Dari pakaian yang
"Aiss, kita sudah berjalan sejauh ini. Kakiku hampir pegal." Tidak diragukan lagi ketika suara melengking konyol yang nampak kekanakan ini akan terlontar. Semua orang, setidaknya Ursula dan Herly akan langsung tau siapa pemiliknya.Sam berhenti sejenak, memijat kakinya sembari menggerutu. Merana memandang Ursula dan tuannya Herly masih berjalan tanpa memperdulikannya.Malam ini Herly yang diapit oleh kedua pengikutnya sedari tadi hampir tiba di perbatasan. Pintu keluar masuk desa Mercia. Sebenarnya Herly sendiri tidak pernah merasa lelah sedikitpun. Wajahnya berseri memandang ke sekeliling, rumah penduduk yang tertutup rapat. Beberapa lampion menggantung disekitar pagar atau satu-satunya pohon di depan rumah. Hanya saja gerutuan Sam tidak pernah berhenti barang sedetik sepanjang perjalanan."Hampir bukan?" Ursula menyahut masih dengan memfokuskan jalannya. Sam tertinggal. Tapi setelah mendengar Ursula menanggapinya lagi, ia mendadak sensi, "apa?" Sambil berlari menyusul Herly dan Ursu
"Lalu apa yang harus dilakukan sekarang?" Darwin tidak berani mengangkat tangan untuk membasuh peluh yang mem-biji saat dingin menerpa. Kehormatannya kepada Raja Ardolph yang harus ia sematkan pada Raja Charlotte kini memberatkan.Charlotte tersenyum menang, "aku tidak menganggap keputusan Raja Ardolph itu menyedihkan. Dalang dibalik kebakaran itu memang harus ditangkap. Tapi, dengan berubahnya 'senjata' klan warewolf maka akan berubah juga rencananya. Karena Raja Ardolph telah meninggal, maka seluruh keputusan beralih kepadaku."Ada banyak kejanggalan yang ia berikan untuk Raja Charlotte saat ini. Keserakahan dan aura Charlotte membuat Mentri Darwin tidak pernah menyetujui pernikahan Alice dengan pemuda tersebut. Tapi dalam keheningan yang menerpa sejenak, Charlotte berujar lagi, "aku akan memberikan banyak penjaga untukmu dan Gilmer. Ini mungkin agak terlambat, tapi harus segera dilakukan." Darwin menatap dalam hingga akhirnya tersenyum. Mungkin penilaiannya terhadap Charlotte sala
Sedangkan disisi lain Charlotte berdiri tepat di pinggir danau, membelakangi menteri Darwin dan gazebo Rex_tempat santai khusus raja yang terletak di samping kanan menara Raja itu sendiri."Katakan!" Raja Charlotte tidak berniat untuk memulai pembicaraan ini.Sambil menghembuskan napas, Mentri Darwin menatap ke sekeliling. Malam yang temaram, menghadap danau buatan yang luasnya kurang lebih sepuluh kali sepuluh meter tampak lebih pekat dinginnya. Lentera kecil menggantung berjajar rapi di atas permukaan air hingga memberikan kesan romantis dan damai. Tempat seperti ini ada dua di istana. Satu dibuat khusus sebagai gazebo raja atau Rex dan satu lagi adalah gazebo Reginae, gazebo Ratu."Maaf yang Mulia. Mustahil jika kebakaran itu terjadi tanpa sengaja." Raja Charlotte yang masih membelakangi dengan kedua tangan saling bertautan dibelakang nampak bergeming."Aku telah memerintahkan para penjaga untuk mengintrogasi orang-orang yang tampak mencurigakan. Sekaligus memblokir gerbang utama
"Tentunya, manusia serigala tidak memiliki kekuatan selain kemampuan berperang dan api merah darah. Dan mataku yang hebat itu mampu memulihkan dan menghancurkan sesuatu, sesuai keinginan pemiliknya!" Alice kembali melanjutkan dengan napas menggebu. Sejak awal ialah umpan sekaligus senjata terbaik yang berusaha Mercia jaga. Dan Raja Ardolph ingin memindahkan matanya pada Charlotte."Tidakkah kenyataan itu membuat Ratu sadar bahwa Ratu bukanlah klan manusia serigala?" Dyn berujar dengan suara rendah.Makanan yang tersaji di depannya mulai dingin seiring dengan perdebatan mereka.Alice sadar dengan itu, sejak awal ia sudah curiga bahwa dirinya bukanlah keturunan Raja Ardolph. "Pergilah, tugasmu sudah selesai." Alice berusaha memposisikan tubuhnya untuk tenang.Sedangkan Dyn, melirik kembali ke arah meja yang penuh dengan hidangan tersebut. Dulu, ia tidak akan pernah duduk dengan lancang dihadapan Alice. Bahkan menyentuh sampanye yang disediakan oleh Alice secara khusus untuknya. Tapi ka
"Itu kesimpulan awal yang bisa kita ambil. Dari yang aku dengar, buku phoenix itu berisi tentang petunjuk membuka portal sekaligus menutup portal pembatas antara hutan LeNight dan LeRay."Gigi-gigi Alice ber-gemletak menahan geram. Sudah sejauh ini para menteri dan raja Ardolph berkerja sama dengan raja Charlotte menjalankan misi. Sedangkan Alice, ia bahkan tidak tau sedikitpun mengenai informasi ini. Geraman Alice cukup membuat Alice meremas kuat ujung buku phoenix di pangkuannya."Aku sempat mengikuti pelayan dari kantor hukum menteri Darwin. Yang dua minggu lalu memutuskan untuk berhenti. Dan mendapatkan alasan kenapa menteri Darwin tidak pernah menyetujui pernikahan Ratu Alice dengan Raja Charlotte.""Ucapkan secara langsung! Jangan berbelit-belit!" Alice berteriak marah. Dadanya bergetar. Raja Ardolph telah meninggal dan ia tidak mendapatkan kenangan terbaiknya selama bersama raja tersebut."Alasan kenapa Raja Ardolph bersikeras menjodohkan Ratu dengan Raja Ardolph karena ingin m