"Lebay lo, Kak. Segala bilang lama gak ngobrol, padahal tadi aja teleponan janjian mau ketemu."
Pernyataan Erland memaksa Hana menyeret Renata menjauh dari keluarganya. Janjian mau ketemu. Sebelum keberangkatannya ke Bandung, Hana dan Renata tidak ada pembicaraan apa pun. Alvin yang meminta izin pada Erland untuk menyusul ke sini. Hana tak habis pikir, memang siapa orang yang hendak Renata temui sampai-sampai harus berbohong pada Erland? Untung saja Hana berbaik hati dengan tidak menyangkal apa yang Erland katakan. Bukan berbohong demi Renata, ia hanya tidak ingin Erland terluka.
"Ren, sekarang jelasin ke gue, apa maksud omongan Erland tadi? Lo lagi bohongin Erland?"
Seketika Renata terdiam berusaha mencari jawaban yang tepat dan masuk akal untuk membungkam pertanyaan beruntun dari sahabatnya. "Hmm ... gue gak sengaja."
"Gak sengaja? Inget Ren, kita sahabatan gak cuma setahun, dua tahun. Gue tahu kapan lo jujur dan kapan lo bohong."
"Oke gue jujur. Bang Haikal. Dia ngajak gue ketemu di Jakarta nanti."
"Dan karena itu lo bohongin Erland? Gila, demi Haikal, Ren?"
"Lo tahu sendiri gimana hubungan gue sama dia, Han. Dia ada di saat Erland putusin gue waktu itu. Dia nemenin gue pas gue sendirian karena Erland pergi. Gue cuma anggap dia Abang, dan dia pun sebaliknya. Nothing special."
Hana geleng-geleng. "Masih dendam aja ternyata. Lo tahu mahalnya harga sebuah kepercayaan, Ren? Erland sangat percaya sama lo. Dia melakukan segalanya demi menebus penantian lo dulu sama dia, dengan cara menerima Reka yang notabene anak dari pernikahan pertama lo. Jangan lupa kalau dia juga pernah hampir mati karena ulah mantan lo yang berengsek.
Apa itu belum cukup buat nebus kesalahan dia sama lo? Dengan gampang lo mencederai rasa percaya Erland?"
"Gak usah lebay, Han. Gue sadar posisi dan gak akan berlebihan sama Bang Haikal."
"Sekalinya seseorang berbohong dan akhirnya ketahuan, orang lain bakal sulit atau bahkan gak akan percaya lagi sama dia, sekalipun ketika dia berkata jujur. Lo mau kayak gitu?" balas Hana sengit.
Renata diam.
"Kalau emang lo sama Haikal gak ada apa-apa, kenapa harus lewat jalan belakang? Ren, meskipun lo anggap dia Abang, tetap aja kalian bukan saudara kandung. Lo harus bisa menjaga kehormatan lo sebagai seorang istri, dan jangan lupa jaga kepercayaan suami lo. Haikal juga harusnya cukup tahu diri buat gak ganggu istri orang."
Benar kata Hana, ia tidak seharusnya melewati jalan yang justru dibenci Erland. Renata hanya tidak ingin Erland cemburu dan mereka bertengkar pada akhirnya. Lagi pula, ia hanya akan menemui Haikal sekali ini saja——mungkin. "Han, please gue janji cuma sekali ini aja gue nemuin Bang Haikal."
Hana menghela napas panjang. "Terserah lo. Gue gak akan membongkar ataupun menutupi. Kalau Erland nanya, gue bakal jawab, seandainya dia diam gue juga akan melakukan hal yang sama. Bukan demi melindungi lo, tapi menjaga perasaan Erland," kata Hana sembari berlalu dari hadapan Renata.
Di sudut lain, Erland yang tanpa sengaja mendengar percakapan Renata juga Hana tersenyum miring. Ia menertawakan dirinya sendiri. Ternyata selama ini laki-laki itu tidak pernah benar-benar lenyap dari hati istrinya. Bodoh kalau Erland tidak juga menyadarinya. Erland selalu beranggapan kalau Renata utuh untuknya, tapi tidak. Renata sudah membagi sesuatu yang seharusnya hanya untuknya.
***
Berkali-kali remaja itu mengetuk pintu kamar mandi sembari menyerukan nama Erland, tapi tak juga terdengar jawaban selain bunyi keran air yang menyala bersahutan dengan suara orang muntah.
Reina diberitahu bundanya kalau di sini justru Erland yang mengalami sindrom orang hamil termasuk di dalamnya morning sickness, ngidam, sensitif atau bahkan yang lainnya, bukan Renata. Jujur saja Reina sedih melihat kakaknya begitu. Walaupun Erland jahil, Reina tetap menyayangi Erland.
Ketika pintu kamar mandi dibuka, sosok Erland muncul dengan napas yang memburu dan terdengar sedikit berat. Reina segera bertanya, "Aa baik-baik aja 'kan?"
Erland memaksakan seulas senyum, lalu mengacak pelan puncak kepala adiknya. "Lanjut makan gih. Aa gak bisa ikut makan lagi."
"Panggilin Bunda atau Teteh, ya?"
Erland segera menggeleng. "Jangan, Rei. Bilang sama semuanya sorry gak bisa gabung lagi."
Reina mengangguk paham. "Mau dibawain teh hangat, A?"
"Gak. Mau tidur aja sama Reka."
Lagi-lagi Reina mengangguk. "Aa jangan sakit lagi, ya," tuturnya lembut. Perasaan takut masih kerap kali membayangi ketika kakaknya tiba-tiba sakit. Meskipun dulu Reina masih sangat kecil, tapi semua masih terekam jelas di memorinya, terlebih tentang bagaimana sang kakak bertarung antara hidup dan mati.
Erland merengkuh tubuh mungil adiknya. "Aa baik-baik aja. Sana makan lagi biar gak kurus kering gini."
"Kalau ada apa-apa teriak aja, A. Jangan gengsi," ujar Reina sebelum benar-benar meninggalkan Erland.
***
Di meja makan, Erland yang tak kunjung kembali langsung jadi topik pembicaraan.
Melihat Reina berjalan ke arah mereka, Elena langsung bertanya, "Rei gimana Aa?"
"Aa gak bisa lanjut makan. Mau tidur katanya."
Elena menggeleng. "Nggak, Han. Jadi, gini loh, Rena lagi hamil muda. Eh, malah Erland yang ngerasain gejalanya. Kasihan sih, tapi biarin aja. Supaya dia tahu perjuangan seorang ibu.
Hana tersenyum miris seraya menatap Renata dengan tatapan yang sulit diartikan. Hana ingin menegaskan kalau kurang menderita apa lagi Erland karena Renata? Dan di saat seperti ini Renata justru ingin menemui laki-laki lain? Menyedihkan.
Alvin yang menyadari ada aura aneh antara Hana dan Renata hanya bisa mengernyit bingung. Bunda dari sahabatnya itu tengah bercanda, tapi kenapa Hana juga Renata malah terlihat tegang?
"Aa pucat banget Bunda. Aku takut Aa sakit lagi," ujar Reina.
Renata mendorong kursinya kemudian bangkit. "Aku permisi semua, mau lihat Erland dulu," pamit Renata. Setelah mendapat jawaban, ia berlalu dari hadapan mereka semua. Perempuan itu terlebih dulu pergi ke dapur hendak membuatkan sesuatu yang hangat untuk Erland.
Ketika secangkir teh hangat berhasil dibuatnya, Renata bergegas menuju kamar mereka. Begitu masuk, ternyata Erland tengah berbaring sembari memeluk putranya dengan posisi membelakangi pintu. Renata tidak tahu apakah Erland tidur atau belum. "Lan," panggilnya. Renata menaruh cangkir itu di atas nakas. "Lan kamu baik-baik aja?" tanyanya lagi.
Tak juga terdengar sahutan. Renata beralih ke sisi lain agar bisa lebih leluasa memandangi suaminya, dan betapa terkejutnya ia melihat wajah Erland yang pucat. Bukan hanya itu yang membuatnya terkejut, mata Erland basah, agak sedikit sembap, khas seperti orang habis menangis. "Lan, kamu gak pa-pa 'kan?"
"Hmm." Erland hanya menjawab dengan gumaman tanpa membuka mata. Pria itu melepas pelukannya pada Reka, kemudian berguling ke sisi lain dari tempat tidurnya. Sebisa mungkin ia menghindari kontak dengan Renata dulu untuk meredam rasa marah dan kecewanya. Erland takut dirinya lepas kontrol dan berujung denga kehilangan Renata. Lagi pula, belum tentu Renata akan benar-benar menemui Haikal. Ia hanya perlu bersabar, meredakan emosi, dan bicara baik-baik nanti.
Banyak yang berubah dari Erland. Setelah beranjak dewasa, Erland memang mati-matian menekan sifat pemarah, egois, dan cemburuannya. Semoga kali ini pun berhasil. Doakan Papa, Reka, supaya Papa tetap bisa menjaga kamu, Mama, dan calon adik kamu.
Bersambung...
Di saat semua menyiapkan diri untuk berpetualang, keliling tempat wisata yang ada di daerah sana, Erland justru terlihat tengah mengemasi pakaiannya. Ia memutuskan untuk pulang ke Jakarta hari ini juga.Sebelumnya lelaki itu telah berusaha memaafkan istrinya, tapi tiba-tiba saja pagi buta ia mendengar Renata sedang berbicara via telepon dengan seseorang. Seseorang yang sangat Erland benci. Suasana hatinya hancur seketika."Lan, kamu kok malah berkemas? Bukannya kita mau pergi ke peternakan sapi perah itu?""Ada kerjaan mendesak. Gak bisa ditunda. Kalian lanjut aja liburannya," sahut Erland dengan nada dingin. Tentu saja Erland berbohong, tak ada pekerjaan mendesak seperti yang disebutkannya. Ia hanya ingin menenangkan diri, jauh dari semuanya, termasuk istrinya."Bukan karena hal lain?""Hmm.""Kalau gitu aku ikut kamu pulang ke Jakarta.""Gak usah."
Reina tak tahu kenapa semenjak kepergian sang kakak kemarin dirinya diliputi rasa cemas. Anehnya semua orang justru terlihat biasa saja, padahal Reina sadar betul kalau ada yang tidak beres dengan kepergian kakaknya yang tiba-tiba. Reka pun rewel. Mungkinkah hanya anak kecil sepertinya dan Reka saja yang menyadari keganjilan itu?Masih sangat pagi. Reina mengambil ponselnya berniat menghubungi Erland. Hanya nada sambung yang terdengar, kakaknya itu tak juga mengangkat teleponnya."Aa kenapa sih? Angkat kek!" gerutunya."Hallo."Akhirnya suara serak itu menyapa gendang telinganya. "Kenapa lama angkatnya, A? Aa baru bangun tidur?""Hm.""Aa di mana sekarang?""Hotel.""Loh kok? Bukannya kemarin Aa bilang mau pulang ada kerjaan? Kok sekarang di hotel?""Aa langsung ke luar kota."
Suasana hening menyelimuti makan malam kali ini. Reina yang biasanya terus berceloteh mendadak jadi sangat diam. Mana mungkin ia bisa bercanda seperti biasa setelah meninggalkan kakaknya dalam keadaan sakit. Reina takut terjadi apa-apa."Reina," panggil Arlan, tetapi gadis itu tak menyahuti. "Reina, Sayang?""Eh, iya, A?"Semua yang ada di sana serempak menoleh seraya menautkan alis."Aa?" tanya Elena.Reina gelagapan. Kenapa ia bisa sampai keceplosan menyebut kakaknya. Erland sudah berpesan agar Reina tidak dulu memberitahukan keberadaannya pada ayah, bunda, apalagi Renata. Erland ingin menenangkan diri sekarang. "Ehm ... itu, Bunda, aku tuh lagi ingat-ingat pesan Aa. Kata Aa, mungkin Aa baru bisa pulang besok, soalnya sekarang Aa masih di Bogor. Ada pertemuan apa gitu aku gak ngerti."Arlan dan Elena langsung percaya, tapi tidak dengan Renata. Perempuan itu ragu pada per
"Sel-sel itu sudah menyebar ke kelenjar getah bening. Bahkan, ke lapisan otot pada dinding lambung. Kita harus melakukan pemeriksaan lanjutan untuk mengetahui bisa atau tidaknya dilakukan operasi. Kita hanya akan menyisakan lambung yang sehat. Kamu harus cepat, Erland, jika tidak ingin terjadi sesuatu yang lebih buruk."Erland terus memikirkan ucapan Dokter Fabian di rumah sakit tempo hari. Sudah masuk pada tahap serius. Tak bergejala atau ... Erland saja yang selama ini tak terlalu ambil pusing dengan kondisinya?Mata sendu lelaki itu menatap nanar sosok mungil Reka yang kini ada dalam gendongannya. Jangankan menjadi ayah yang baik, melihat Reka tumbuh dewasa saja rasanya sangat tidak mungkin mengingat kondisinya sekarang. Dikecupnya lembut dahi bayi mungilnya kemudian bertutur lirih, "Reka, kalau Papa gak ada, kamu jaga Mama sama adik, ya? Maaf karena Papa belum bisa jadi Papa yang baik, tapi Papa sayang kok sama Reka. Sayang banget."
Sore yang tampak sepi. Kediaman Erland yang biasanya ramai tiba-tiba sunyi senyap seperti tak ada tanda-tanda kehidupa, hanya terdengar bunyi jarum jam yang terus bekerja berputar sesuai porosnya. Semua itu tentu saja terjadi karena seluruh penghuninya sedang pergi berlibur meninggalkan hiruk pikuk ibu kota. Itu semua karena Erland baru saja memenangkan proyek besar.Erland sekeluarga pergi ke Bandung dengan tujuan meluruskan sejenak pikiran yang semrawut karena berbagai hal di Jakarta. Sulit sekali menemui waktu kosong seperti saat ini. Helaan napas berat terdengar. Reka sudah rewel, Reina juga, tapi kemacetan ini benar-benar sukar ditembus. Renata sudah kebingungan membujuk putranya untuk diam."Kasih susu coba, Ren," ujar Elena."Rekanya gak mau Bunda.""Sini biar Bunda yang gendong. Reka ikut Oma yuk, Nak," kata wanita itu lagi sembari mengambil alih Reka dari pangkuan Renata.
"Sel-sel itu sudah menyebar ke kelenjar getah bening. Bahkan, ke lapisan otot pada dinding lambung. Kita harus melakukan pemeriksaan lanjutan untuk mengetahui bisa atau tidaknya dilakukan operasi. Kita hanya akan menyisakan lambung yang sehat. Kamu harus cepat, Erland, jika tidak ingin terjadi sesuatu yang lebih buruk."Erland terus memikirkan ucapan Dokter Fabian di rumah sakit tempo hari. Sudah masuk pada tahap serius. Tak bergejala atau ... Erland saja yang selama ini tak terlalu ambil pusing dengan kondisinya?Mata sendu lelaki itu menatap nanar sosok mungil Reka yang kini ada dalam gendongannya. Jangankan menjadi ayah yang baik, melihat Reka tumbuh dewasa saja rasanya sangat tidak mungkin mengingat kondisinya sekarang. Dikecupnya lembut dahi bayi mungilnya kemudian bertutur lirih, "Reka, kalau Papa gak ada, kamu jaga Mama sama adik, ya? Maaf karena Papa belum bisa jadi Papa yang baik, tapi Papa sayang kok sama Reka. Sayang banget."
Suasana hening menyelimuti makan malam kali ini. Reina yang biasanya terus berceloteh mendadak jadi sangat diam. Mana mungkin ia bisa bercanda seperti biasa setelah meninggalkan kakaknya dalam keadaan sakit. Reina takut terjadi apa-apa."Reina," panggil Arlan, tetapi gadis itu tak menyahuti. "Reina, Sayang?""Eh, iya, A?"Semua yang ada di sana serempak menoleh seraya menautkan alis."Aa?" tanya Elena.Reina gelagapan. Kenapa ia bisa sampai keceplosan menyebut kakaknya. Erland sudah berpesan agar Reina tidak dulu memberitahukan keberadaannya pada ayah, bunda, apalagi Renata. Erland ingin menenangkan diri sekarang. "Ehm ... itu, Bunda, aku tuh lagi ingat-ingat pesan Aa. Kata Aa, mungkin Aa baru bisa pulang besok, soalnya sekarang Aa masih di Bogor. Ada pertemuan apa gitu aku gak ngerti."Arlan dan Elena langsung percaya, tapi tidak dengan Renata. Perempuan itu ragu pada per
Reina tak tahu kenapa semenjak kepergian sang kakak kemarin dirinya diliputi rasa cemas. Anehnya semua orang justru terlihat biasa saja, padahal Reina sadar betul kalau ada yang tidak beres dengan kepergian kakaknya yang tiba-tiba. Reka pun rewel. Mungkinkah hanya anak kecil sepertinya dan Reka saja yang menyadari keganjilan itu?Masih sangat pagi. Reina mengambil ponselnya berniat menghubungi Erland. Hanya nada sambung yang terdengar, kakaknya itu tak juga mengangkat teleponnya."Aa kenapa sih? Angkat kek!" gerutunya."Hallo."Akhirnya suara serak itu menyapa gendang telinganya. "Kenapa lama angkatnya, A? Aa baru bangun tidur?""Hm.""Aa di mana sekarang?""Hotel.""Loh kok? Bukannya kemarin Aa bilang mau pulang ada kerjaan? Kok sekarang di hotel?""Aa langsung ke luar kota."
Di saat semua menyiapkan diri untuk berpetualang, keliling tempat wisata yang ada di daerah sana, Erland justru terlihat tengah mengemasi pakaiannya. Ia memutuskan untuk pulang ke Jakarta hari ini juga.Sebelumnya lelaki itu telah berusaha memaafkan istrinya, tapi tiba-tiba saja pagi buta ia mendengar Renata sedang berbicara via telepon dengan seseorang. Seseorang yang sangat Erland benci. Suasana hatinya hancur seketika."Lan, kamu kok malah berkemas? Bukannya kita mau pergi ke peternakan sapi perah itu?""Ada kerjaan mendesak. Gak bisa ditunda. Kalian lanjut aja liburannya," sahut Erland dengan nada dingin. Tentu saja Erland berbohong, tak ada pekerjaan mendesak seperti yang disebutkannya. Ia hanya ingin menenangkan diri, jauh dari semuanya, termasuk istrinya."Bukan karena hal lain?""Hmm.""Kalau gitu aku ikut kamu pulang ke Jakarta.""Gak usah."
"Lebay lo, Kak. Segala bilang lama gak ngobrol, padahal tadi aja teleponan janjian mau ketemu."Pernyataan Erland memaksa Hana menyeret Renata menjauh dari keluarganya. Janjian mau ketemu. Sebelum keberangkatannya ke Bandung, Hana dan Renata tidak ada pembicaraan apa pun. Alvin yang meminta izin pada Erland untuk menyusul ke sini. Hana tak habis pikir, memang siapa orang yang hendak Renata temui sampai-sampai harus berbohong pada Erland? Untung saja Hana berbaik hati dengan tidak menyangkal apa yang Erland katakan. Bukan berbohong demi Renata, ia hanya tidak ingin Erland terluka."Ren, sekarang jelasin ke gue, apa maksud omongan Erland tadi? Lo lagi bohongin Erland?"Seketika Renata terdiam berusaha mencari jawaban yang tepat dan masuk akal untuk membungkam pertanyaan beruntun dari sahabatnya. "Hmm ... gue gak sengaja.""Gak sengaja? Inget Ren, kita sahabatan gak cuma setahun, dua tahun. G
Sore yang tampak sepi. Kediaman Erland yang biasanya ramai tiba-tiba sunyi senyap seperti tak ada tanda-tanda kehidupa, hanya terdengar bunyi jarum jam yang terus bekerja berputar sesuai porosnya. Semua itu tentu saja terjadi karena seluruh penghuninya sedang pergi berlibur meninggalkan hiruk pikuk ibu kota. Itu semua karena Erland baru saja memenangkan proyek besar.Erland sekeluarga pergi ke Bandung dengan tujuan meluruskan sejenak pikiran yang semrawut karena berbagai hal di Jakarta. Sulit sekali menemui waktu kosong seperti saat ini. Helaan napas berat terdengar. Reka sudah rewel, Reina juga, tapi kemacetan ini benar-benar sukar ditembus. Renata sudah kebingungan membujuk putranya untuk diam."Kasih susu coba, Ren," ujar Elena."Rekanya gak mau Bunda.""Sini biar Bunda yang gendong. Reka ikut Oma yuk, Nak," kata wanita itu lagi sembari mengambil alih Reka dari pangkuan Renata.