Home / Romansa / Without You / Akumulasi Rasa Takut

Share

Akumulasi Rasa Takut

Author: Mimosa
last update Last Updated: 2021-09-01 23:15:38

Reina tak tahu kenapa semenjak kepergian sang kakak kemarin dirinya diliputi rasa cemas. Anehnya semua orang justru terlihat biasa saja, padahal Reina sadar betul kalau ada yang tidak beres dengan kepergian kakaknya yang tiba-tiba. Reka pun rewel. Mungkinkah hanya anak kecil sepertinya dan Reka saja yang menyadari keganjilan itu?

Masih sangat pagi. Reina mengambil ponselnya berniat menghubungi Erland. Hanya nada sambung yang terdengar, kakaknya itu tak juga mengangkat teleponnya.

"Aa kenapa sih? Angkat kek!" gerutunya.

"Hallo."

Akhirnya suara serak itu menyapa gendang telinganya. "Kenapa lama angkatnya, A? Aa baru bangun tidur?"

"Hm."

"Aa di mana sekarang?"

"Hotel."

"Loh kok? Bukannya kemarin Aa bilang mau pulang ada kerjaan? Kok sekarang di hotel?"

"Aa langsung ke luar kota."

"Aa sebenarnya ke mana? Jawab jujur! Gue tahu Aa pasti gak baik-baik aja."

Reina menghela napas ketika sang kakak memilih diam tak bersuara. Jelas sudah sekarang kalau terjadi sesuatu pada kakak sulungnya. Reina tidak tahu apa, tapi sepertinya tidak begitu baik. "A, tunggu kita pulang. Jangan ngelakuin hal bego. Ingat, jarang ada orang yang lolos dua kali dari maut!"

***

Erland melempar ponselnya sembarang setelah komunikasi singkat dengan adiknya. Kepalanya sangat sakit karena terlalu banyak minum. Perutnya kini bahkan terasa seperti terpanggang dalam bara api. Panas, sakit, perih. Lelaki itu menggigit bibir bawahnya menahan sakit. Ia tidak tahu siapa yang membawanya ke tempat ini—yang jelas-jelas bukan rumahnya. Semalam Erland pasti mabuk berat sampai-sampai tidak menyadari apa yang terjadi padanya.

"Sudah sadar, Mas?" Seseorang masuk, kemudian bertanya pada Erland.

"Saya di mana?"

"Saya bartender yang semalam ingat? Mas di rumah saya karena semalam Mas mabuk berat dan tidak ada yang tahu tempat tinggal Mas. Lancang kalau kami nekat membuka dompet Mas untuk mencari kartu identitas."

"Terima kasih. Saya akan memberi biaya tambahan atas tumpangannya."

Lelaki itu menggeleng. "Gak usah, Mas. Saya ikhlas. Saya cuma mau kasih tahu Mas, jangan pernah datang ke tempat itu lagi seberat apa pun masalah yang Mas hadapi, karena menurut saya itu bukan penyelesaian."

Erland menghela napas berat. Benar apa yang orang itu katakan, seharusnya Erland tidak pernah menginjak tempat laknat itu. Bertingkah buruk dan menyiksa diri sendiri. Tapi, hatinya begitu sakit. Erland tidak ingin membahas masalah ini dengan Renata karena takut kalau kemarahannya akan menyebabkan sesuatu yang buruk terjadi pada Renata juga kandungannya dan konsekuensinya ia harus memendamnya seorang diri. Sebesar itu rasa sayangnya pada Renata. Sayang, sepertinya Renata tak sama.

"Apa semalam saya minum terlalu banyak?"

"Dengan Mas jatuh tak sadarkan diri sudah cukup menjelaskan betapa banyak jumlah minuman beralkohol yang Mas konsumsi."

Erland mendesah pasrah. Pantas saja perutnya seperti dipelintir dan kepalanya seakan habis dibenturkan ke tembok berkali-kali. Sakit. Semoga saja lambungnya tidak akan memprotes kelakuan buruknya semalam. Mudah-mudahan apa yang dirasakannya sekarang hanya efek mabuk semata. "Sekali lagi saya ucapkan terima kasih. Saya permisi dulu," pamitnya sembari menyambar ponsel juga kunci mobilnya.

***

Sesampainya di Jakarta Reina langsung berpamitan pada kedua orang tua juga kakak iparnya untuk pergi ke rumah teman, dengan alasan hendak meminjam catatan agar tidak tertinggal pelajaran karena izin dua hari kemarin. Semua percaya, padahal itu hanya alibinya saja. Reina bermaksud menemui sang kakak. Tadi kakaknya itu sudah memberitahu alamatnya dengan syarat tak ada seorang pun boleh tahu perihal keberadaannya. Jadi, Reina terpaksa berbohong.

Reina memasuki sebuah rumah minimalis yang terlihat cukup luas. Entah rumah siapa ini, yang jelas kakaknya memberi alamat yang mengarahkannya ke sini. Gadis itu menekan bel beberapa kali hingga akhirnya seorang lelaki berwajah pucat muncul di ambang pintu.

"Yaallah Aa!" Reina memekik kaget melihat kondisi Erland sekarang. Rambut acak-acakan, muka pucat, dan sedikit berkeringat. Bisa dipastikan kalau kakaknya itu sedang sakit. "Aa sakit? Kenapa gak bilang?"

Erland menggeleng kemudian tersenyum. "Masuk, yuk."

Reina mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Banyak foto-foto keluarganya di sana. "Aa ini rumah siapa sih? Kok ada foto Ayah, Bunda, aku, foto nikahan Aa sama Teteh terus foto Reka."

Erland tersenyum getir. "Rumah buat Aa sama Teteh. Jangan bilang-bilang, ya. Rencananya ini buat kado anniversary kita yang pertama nanti. Tinggal finishing aja sih."

Reina menatap lekat-lekat wajah Erland. "Terus kenapa Aa kabur-kaburan gini? Aa lagi ada masalah, ya, sama Teteh?"

Erland menggeleng. Belum saatnya Reina tahu. Dia masih terlalu muda untuk sanggup mencerna masalah-masalah rumah tangga.

"Aa gak usah bohong. Gue tahu kok lagi ada masalah! A, ingat kita dari kecil sama-sama, gue bisa ngerasain kalau Aa itu gak baik-baik aja."

"Salah gak sih, Rei, kalau Aa cemburu?"

"Maksudnya?"

"Ada orang yang bisa bikin Teteh nyaman selain Aa. Ada orang yang bisa bikin Teteh ketawa selain Aa. Ada orang yang jauh lebih berharga buat Teteh, dan itu bukan Aa."

"Teteh selingkuh?"

"Enggak. Bukan gitu. Ada seseorang yang dianggap kakak sama Teteh dan orang itu cowok."

"Cuma dianggap kan? Mereka gak ada ikatan darah? Manusiawi kalau Aa cemburu. Bagaimanapun sesuatu yang lebih dari itu mungkin aja terjadi karena mereka bukan saudara kandung."

Erland merebahkan tubuhnya di sofa lantas memejamkan mata. Itulah yang Erland takutkan. Erland takut kalau pada akhirnya mereka akan memiliki perasaan yang lebih dari adik kakak hingga berbuntut Erland ditinggalkan. "Aa harus gimana?"

"Bicarain sama Teteh, A. Jangan dipendam sendiri, apalagi sampai kabur-kaburan gini."

Sebenarnya tak hanya masalah Renata yang kini mengganggu pikiran Erland, tapi juga masalah kesehatannya. Bercak darah dalam muntahannya tadi menjadi momok menakutkan. Ia takut kalau itu pertanda sesuatu yang buruk. Erland pun mengakui dalam kurun waktu satu tahun ini, ia kembali merasakan ada sesuatu yang tidak beres pada tubuhnya. Ia sering merasa lelah padahal tak banyak melakuan kegiatan. Tumbang ketika terlalu keras bekerja atau stres. Berat badannya sudah turun beberapa kilogram dari beratnya semula. Untung keluarganya beranggapan kalau Erland terlalu banyak pikiran hingga berat badannya menyusut. Perutnya selalu terasa sangat sakit ketika ia salah makan atau telat makan. Apalagi selepas ia mengonsumsi alkohol semalam, seperti ada ribuan jarum yang tertanam di perutnya siap merobek-robek lambungnya. Ia jadi ragu kalau gejala-gejala yang dialaminya belakangan ini adalah morning sickness. Mungkun saja ....

"A, kok diam aja?"

"Bentar, Rei."

Reina iseng mendaratkan punggung tangannya di kening Erland. "Aa demam? Kita pindah ke kamar aja, yuk. Biar di kompres."

"Gak usah, nanti juga sembuh sendiri."

"GAK USAH SOK KUAT DEH. GUE UDAH TAU KEBIASAAN AA DARI KECIL!"

Lagi Erland tersenyum. Reina kecilnya dulu telah berubah menjadi monster galak yang manis. "Iya, Rei. Iya."

***

Renata mengulum senyum ketika Haikal memperlakukannya begitu manis. Renata ingin memakan mie ayam yang dulu sering ia datangi bersama Haikal. Mungkin ini yang disebut ngidam karena keinginan itu muncul begitu saja. Renata tadi berpamitan pada mertuanya untuk mengajak Reka main ke rumah sang mama. Arlan berniat mengantar, tetapi Renata menolak dengan halus.

"Mau nambah lagi gak?" tanya Haikal ketika mendapati Renata makan dengan lahap.

Perempuan itu menggeleng.

Sesekali Haikal mengajak Reka bermain agar Renata bisa makan dengan leluasa. "Reka mau mie ayam juga? Nanti, ya, kalau udah besar Oom beliin."

"Abang gak makan?"

"Lihatin si ayam tiren makan aja udah kenyang."

"Bebek!" sahut Renata disusul tawa lepas, melupakan sejenak rasa penatnya karena Erland. Banyak pesan yang dikirimkannya pada lelaki itu, tapi tak satu pun mendapat balasan.

"Masih inget aja panggilan itu."

Renata terkekeh. Tentu saja ia ingat. Renata tak pernah melupakan apa pun yang berkaitan dengan Haikal. Mereka tak punya hubungan apa-apa selain kakak-adik, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan bukan?

Bersambung

Related chapters

  • Without You   Baik-baik saja

    Suasana hening menyelimuti makan malam kali ini. Reina yang biasanya terus berceloteh mendadak jadi sangat diam. Mana mungkin ia bisa bercanda seperti biasa setelah meninggalkan kakaknya dalam keadaan sakit. Reina takut terjadi apa-apa."Reina," panggil Arlan, tetapi gadis itu tak menyahuti. "Reina, Sayang?""Eh, iya, A?"Semua yang ada di sana serempak menoleh seraya menautkan alis."Aa?" tanya Elena.Reina gelagapan. Kenapa ia bisa sampai keceplosan menyebut kakaknya. Erland sudah berpesan agar Reina tidak dulu memberitahukan keberadaannya pada ayah, bunda, apalagi Renata. Erland ingin menenangkan diri sekarang. "Ehm ... itu, Bunda, aku tuh lagi ingat-ingat pesan Aa. Kata Aa, mungkin Aa baru bisa pulang besok, soalnya sekarang Aa masih di Bogor. Ada pertemuan apa gitu aku gak ngerti."Arlan dan Elena langsung percaya, tapi tidak dengan Renata. Perempuan itu ragu pada per

    Last Updated : 2021-09-01
  • Without You   Bingung

    "Sel-sel itu sudah menyebar ke kelenjar getah bening. Bahkan, ke lapisan otot pada dinding lambung. Kita harus melakukan pemeriksaan lanjutan untuk mengetahui bisa atau tidaknya dilakukan operasi. Kita hanya akan menyisakan lambung yang sehat. Kamu harus cepat, Erland, jika tidak ingin terjadi sesuatu yang lebih buruk."Erland terus memikirkan ucapan Dokter Fabian di rumah sakit tempo hari. Sudah masuk pada tahap serius. Tak bergejala atau ... Erland saja yang selama ini tak terlalu ambil pusing dengan kondisinya?Mata sendu lelaki itu menatap nanar sosok mungil Reka yang kini ada dalam gendongannya. Jangankan menjadi ayah yang baik, melihat Reka tumbuh dewasa saja rasanya sangat tidak mungkin mengingat kondisinya sekarang. Dikecupnya lembut dahi bayi mungilnya kemudian bertutur lirih, "Reka, kalau Papa gak ada, kamu jaga Mama sama adik, ya? Maaf karena Papa belum bisa jadi Papa yang baik, tapi Papa sayang kok sama Reka. Sayang banget."

    Last Updated : 2021-09-05
  • Without You   Prolog

    Sore yang tampak sepi. Kediaman Erland yang biasanya ramai tiba-tiba sunyi senyap seperti tak ada tanda-tanda kehidupa, hanya terdengar bunyi jarum jam yang terus bekerja berputar sesuai porosnya. Semua itu tentu saja terjadi karena seluruh penghuninya sedang pergi berlibur meninggalkan hiruk pikuk ibu kota. Itu semua karena Erland baru saja memenangkan proyek besar.Erland sekeluarga pergi ke Bandung dengan tujuan meluruskan sejenak pikiran yang semrawut karena berbagai hal di Jakarta. Sulit sekali menemui waktu kosong seperti saat ini. Helaan napas berat terdengar. Reka sudah rewel, Reina juga, tapi kemacetan ini benar-benar sukar ditembus. Renata sudah kebingungan membujuk putranya untuk diam."Kasih susu coba, Ren," ujar Elena."Rekanya gak mau Bunda.""Sini biar Bunda yang gendong. Reka ikut Oma yuk, Nak," kata wanita itu lagi sembari mengambil alih Reka dari pangkuan Renata.

    Last Updated : 2021-09-01
  • Without You   Cederanya rasa percaya

    "Lebay lo, Kak. Segala bilang lama gak ngobrol, padahal tadi aja teleponan janjian mau ketemu."Pernyataan Erland memaksa Hana menyeret Renata menjauh dari keluarganya. Janjian mau ketemu. Sebelum keberangkatannya ke Bandung, Hana dan Renata tidak ada pembicaraan apa pun. Alvin yang meminta izin pada Erland untuk menyusul ke sini. Hana tak habis pikir, memang siapa orang yang hendak Renata temui sampai-sampai harus berbohong pada Erland? Untung saja Hana berbaik hati dengan tidak menyangkal apa yang Erland katakan. Bukan berbohong demi Renata, ia hanya tidak ingin Erland terluka."Ren, sekarang jelasin ke gue, apa maksud omongan Erland tadi? Lo lagi bohongin Erland?"Seketika Renata terdiam berusaha mencari jawaban yang tepat dan masuk akal untuk membungkam pertanyaan beruntun dari sahabatnya. "Hmm ... gue gak sengaja.""Gak sengaja? Inget Ren, kita sahabatan gak cuma setahun, dua tahun. G

    Last Updated : 2021-09-01
  • Without You   Kalut

    Di saat semua menyiapkan diri untuk berpetualang, keliling tempat wisata yang ada di daerah sana, Erland justru terlihat tengah mengemasi pakaiannya. Ia memutuskan untuk pulang ke Jakarta hari ini juga.Sebelumnya lelaki itu telah berusaha memaafkan istrinya, tapi tiba-tiba saja pagi buta ia mendengar Renata sedang berbicara via telepon dengan seseorang. Seseorang yang sangat Erland benci. Suasana hatinya hancur seketika."Lan, kamu kok malah berkemas? Bukannya kita mau pergi ke peternakan sapi perah itu?""Ada kerjaan mendesak. Gak bisa ditunda. Kalian lanjut aja liburannya," sahut Erland dengan nada dingin. Tentu saja Erland berbohong, tak ada pekerjaan mendesak seperti yang disebutkannya. Ia hanya ingin menenangkan diri, jauh dari semuanya, termasuk istrinya."Bukan karena hal lain?""Hmm.""Kalau gitu aku ikut kamu pulang ke Jakarta.""Gak usah."

    Last Updated : 2021-09-01

Latest chapter

  • Without You   Bingung

    "Sel-sel itu sudah menyebar ke kelenjar getah bening. Bahkan, ke lapisan otot pada dinding lambung. Kita harus melakukan pemeriksaan lanjutan untuk mengetahui bisa atau tidaknya dilakukan operasi. Kita hanya akan menyisakan lambung yang sehat. Kamu harus cepat, Erland, jika tidak ingin terjadi sesuatu yang lebih buruk."Erland terus memikirkan ucapan Dokter Fabian di rumah sakit tempo hari. Sudah masuk pada tahap serius. Tak bergejala atau ... Erland saja yang selama ini tak terlalu ambil pusing dengan kondisinya?Mata sendu lelaki itu menatap nanar sosok mungil Reka yang kini ada dalam gendongannya. Jangankan menjadi ayah yang baik, melihat Reka tumbuh dewasa saja rasanya sangat tidak mungkin mengingat kondisinya sekarang. Dikecupnya lembut dahi bayi mungilnya kemudian bertutur lirih, "Reka, kalau Papa gak ada, kamu jaga Mama sama adik, ya? Maaf karena Papa belum bisa jadi Papa yang baik, tapi Papa sayang kok sama Reka. Sayang banget."

  • Without You   Baik-baik saja

    Suasana hening menyelimuti makan malam kali ini. Reina yang biasanya terus berceloteh mendadak jadi sangat diam. Mana mungkin ia bisa bercanda seperti biasa setelah meninggalkan kakaknya dalam keadaan sakit. Reina takut terjadi apa-apa."Reina," panggil Arlan, tetapi gadis itu tak menyahuti. "Reina, Sayang?""Eh, iya, A?"Semua yang ada di sana serempak menoleh seraya menautkan alis."Aa?" tanya Elena.Reina gelagapan. Kenapa ia bisa sampai keceplosan menyebut kakaknya. Erland sudah berpesan agar Reina tidak dulu memberitahukan keberadaannya pada ayah, bunda, apalagi Renata. Erland ingin menenangkan diri sekarang. "Ehm ... itu, Bunda, aku tuh lagi ingat-ingat pesan Aa. Kata Aa, mungkin Aa baru bisa pulang besok, soalnya sekarang Aa masih di Bogor. Ada pertemuan apa gitu aku gak ngerti."Arlan dan Elena langsung percaya, tapi tidak dengan Renata. Perempuan itu ragu pada per

  • Without You   Akumulasi Rasa Takut

    Reina tak tahu kenapa semenjak kepergian sang kakak kemarin dirinya diliputi rasa cemas. Anehnya semua orang justru terlihat biasa saja, padahal Reina sadar betul kalau ada yang tidak beres dengan kepergian kakaknya yang tiba-tiba. Reka pun rewel. Mungkinkah hanya anak kecil sepertinya dan Reka saja yang menyadari keganjilan itu?Masih sangat pagi. Reina mengambil ponselnya berniat menghubungi Erland. Hanya nada sambung yang terdengar, kakaknya itu tak juga mengangkat teleponnya."Aa kenapa sih? Angkat kek!" gerutunya."Hallo."Akhirnya suara serak itu menyapa gendang telinganya. "Kenapa lama angkatnya, A? Aa baru bangun tidur?""Hm.""Aa di mana sekarang?""Hotel.""Loh kok? Bukannya kemarin Aa bilang mau pulang ada kerjaan? Kok sekarang di hotel?""Aa langsung ke luar kota."

  • Without You   Kalut

    Di saat semua menyiapkan diri untuk berpetualang, keliling tempat wisata yang ada di daerah sana, Erland justru terlihat tengah mengemasi pakaiannya. Ia memutuskan untuk pulang ke Jakarta hari ini juga.Sebelumnya lelaki itu telah berusaha memaafkan istrinya, tapi tiba-tiba saja pagi buta ia mendengar Renata sedang berbicara via telepon dengan seseorang. Seseorang yang sangat Erland benci. Suasana hatinya hancur seketika."Lan, kamu kok malah berkemas? Bukannya kita mau pergi ke peternakan sapi perah itu?""Ada kerjaan mendesak. Gak bisa ditunda. Kalian lanjut aja liburannya," sahut Erland dengan nada dingin. Tentu saja Erland berbohong, tak ada pekerjaan mendesak seperti yang disebutkannya. Ia hanya ingin menenangkan diri, jauh dari semuanya, termasuk istrinya."Bukan karena hal lain?""Hmm.""Kalau gitu aku ikut kamu pulang ke Jakarta.""Gak usah."

  • Without You   Cederanya rasa percaya

    "Lebay lo, Kak. Segala bilang lama gak ngobrol, padahal tadi aja teleponan janjian mau ketemu."Pernyataan Erland memaksa Hana menyeret Renata menjauh dari keluarganya. Janjian mau ketemu. Sebelum keberangkatannya ke Bandung, Hana dan Renata tidak ada pembicaraan apa pun. Alvin yang meminta izin pada Erland untuk menyusul ke sini. Hana tak habis pikir, memang siapa orang yang hendak Renata temui sampai-sampai harus berbohong pada Erland? Untung saja Hana berbaik hati dengan tidak menyangkal apa yang Erland katakan. Bukan berbohong demi Renata, ia hanya tidak ingin Erland terluka."Ren, sekarang jelasin ke gue, apa maksud omongan Erland tadi? Lo lagi bohongin Erland?"Seketika Renata terdiam berusaha mencari jawaban yang tepat dan masuk akal untuk membungkam pertanyaan beruntun dari sahabatnya. "Hmm ... gue gak sengaja.""Gak sengaja? Inget Ren, kita sahabatan gak cuma setahun, dua tahun. G

  • Without You   Prolog

    Sore yang tampak sepi. Kediaman Erland yang biasanya ramai tiba-tiba sunyi senyap seperti tak ada tanda-tanda kehidupa, hanya terdengar bunyi jarum jam yang terus bekerja berputar sesuai porosnya. Semua itu tentu saja terjadi karena seluruh penghuninya sedang pergi berlibur meninggalkan hiruk pikuk ibu kota. Itu semua karena Erland baru saja memenangkan proyek besar.Erland sekeluarga pergi ke Bandung dengan tujuan meluruskan sejenak pikiran yang semrawut karena berbagai hal di Jakarta. Sulit sekali menemui waktu kosong seperti saat ini. Helaan napas berat terdengar. Reka sudah rewel, Reina juga, tapi kemacetan ini benar-benar sukar ditembus. Renata sudah kebingungan membujuk putranya untuk diam."Kasih susu coba, Ren," ujar Elena."Rekanya gak mau Bunda.""Sini biar Bunda yang gendong. Reka ikut Oma yuk, Nak," kata wanita itu lagi sembari mengambil alih Reka dari pangkuan Renata.

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status