Home / Romansa / White Love / Jangan Sentuh Aku!

Share

Jangan Sentuh Aku!

Author: Yani m
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Kabar tentang jalan menuju kota yang rusak parah akibat longsor ternyata benar adanya. Kami terpaksa harus menginap beberapa hari lagi di sini. Aku bergegas memberi kabar kepada Ibu tentang kepulanganku yang terlambat. Begitupun dengan Aisyah dan Zidan yang terlihat menghubungi keluarga mereka. Tidak terbayang, betapa cemasnya Ibu jika aku tidak mengabarinya.

"Jalannya sedang diperbaiki tapi butuh beberapa hari," ucap Kakek yang baru pulang dari balai Desa.

Pria tua itu duduk di teras rumah dan bersandar pada dinding kayu berwarna cokelat. Mengepulkan asap rokok yang membumbung ke udara. Netranya menerawang ke atas, seperti sedang mengingat sesuatu.

"Kakek baru ingat, tadi ketemu sama Abah Ustaz," ucapnya yakin.

"Kalian bersedia mengajar anak-anak di surau?" tanya Kakek setelah menyeruput secangkir kopi pahit.

"Memangnya kemana ustazah Siti?" tanya Nenek sembari menyodorkan sepiring pisang goreng kepada Kakek.

"Ustazah Siti ke kota kemarin. Sama seperti kalian, nggak bisa pulang gara-gara jalan rusak," jawab Kakek menjelaskan.

"Gimana menurut kalian?" tanya Salma seraya menatap kami bergantian.

"Insya Allah, kami bersedia," jawabku sembari melirik ke arah Aisyah. Kemudian diikuti anggukan tanda setuju dari Aisyah.

"Zidan, bagaimana denganmu?" tanya Salma.

"Aku sih, yes," jawab Zidan sambil mengulum senyum.

"Alhamdulillah, kalian mulai ngajar besok sore ya," tutur Kakek penuh semangat.

***

Lembayung senja telah nampak dari arah barat diikuti sang surya yang perlahan menghilang menuju peraduan. Warna orange berpadu dengan hijaunya pegunungan sungguh memanjakan mata. Nikmat mana lagi yang kau dustakan? 

Aku tak berhenti mengucap syukur atas nikmat dan kasih sayang-Nya. Anak-anak bertasbih dan bershalawat bersahutan. Surau kecil ini sekarang terasa lebih hangat dengan adanya anak-anak mengaji.. Melihat wajah polos dan semangat mereka membuat diriku terpacu untuk melanjutkan hapalanku. 

"Masya Allah ... adik-adik ternyata sudah fasih membaca Al-Qur'an," sanjungku dengan penuh semangat.

"Terimakasih, Ustazah," jawab mereka hampir bersamaan.

"Tinggal rajin mengaji dan belajar lagi tajwidnya," sambungku dengan seulas senyum termanis sepanjang masa.

"Iya Ustazah!!" sahut mereka kompak.

Kami membuat empat kelompok belajar anak. Dua kelompok bacaan Al-Qur'an dan dua kelompok untuk bacaan Iqra. Setelah selesai mengaji dan bersalaman, anak- anak itu berhamburan ke luar mesjid. Saling berdesakan di pintu depan. 

"Hati-hati, nanti jatuh!" pekikku mengingatkan.

Aku membereskan beberapa Al-Qur'an yang berserak begitupun dengan dua sahabatku yang terlihat membereskan jejak-jejak belajar khas anak-anak. Sesekali, manik ini mencuri pandang ke arah Zidan yang sedang menulis sesuatu di atas secarik kertas. Bola mataku reflek menunduk saat beradu dengan manik hitamnya. Entah kenapa, Zidan selalu berhasil membuat jantungku berdetak liar saat netra kami saling bertemu. 

"Ehmm, ehhm." Aku sengaja terbatuk walaupun tenggorokanku tidak gatal untuk menghalau rasa malu yang mulai mengusik hati.

Zidan terlihat mengangkat sedikit bibirnya ke atas dan melanjutkan tulisannya. Entah apa yang ditulisnya di kertas itu. Membuat rasa ingin tahuku mengebu-gebu. Mungkin itu tulisan untuk muridnya atau untuk aku? Aku sibuk berdebat dengan hatiku sampai tidak sadar secarik kertas itu sudah ada di genggaman. Kubaca satu per satu huruf yang tertulis di dalamnya, memastikan tidak ada satu abjad pun yang terlewat.

[Aku mau bicara berdua saja, di teras rumah nanti malam]

Aku tercenung untuk sesaat setelah membaca pesannya. Otakku berfikir keras apakah gerangan yang akan disampaikannya?. 

Namun, jujur saja pesan singkat di secarik kertas itu membuat hatiku berbunga. 'Hey, ingat, aku tidak boleh pacaran. Itu dosa.' Suara hatiku berteriak-teriak di dalam sini. Menentang bagian hati lain yang mulai dimabuk cinta.

***

Tepat jam delapan malam, aku meminta izin kepada Nenek untuk menemui Zidan di teras. Kedua sahabatku menatap penuh selidik seakan diri ini adalah terdakwa yang sedang diintrogasi.

"Silahkan, tapi jangan malem-malem. Tidak enak sama tetangga," jawab Nenek dengan seulas senyum.

Zidan tampak sudah menunggu, ia duduk di bangku yang terbuat dari bambu kuning di pekarangan rumah. Di bawah cahaya lampu remang-remang. Tepat di bawah pohon mangga milik Nenek.

"Assalamualaikum ..." sapaku pelan.

"Waalaikumsallam ...."

Aku duduk agak jauh dari tempatnya duduk. Hatiku tak henti beristigfar untuk menjaga agar syetan tidak ikut dalam obrolan kami. Dia melirikku dan tersenyum, membuat jantung kembali berdetak liar.

'Astagfirullah, ini tidak benar. Ini zinah hati dan mata' rutuk di dalam hati.

"Din, boleh aku pegang tanganmu?" tanyanya sembari menggeser tempat duduknya mendekat ke arahku.

"Astagfirullah, Apa kamu lupa? Kita adalah seorang tahfiz. Jangan kotori hapalan kita dengan perbuatan itu."

"Bukankah hapalan kita akan hilang perlahan jika berbuat seperti ini. Kamu lupa kah?" cecarku sedikit emosi.

Zidan tertunduk dalam, entah marah atau menyesal, lama tidak bersuara. Kemudian, samar terdengar lafaz istigfar keluar dari mulutnya berkali-kali. 

"Maaf ..." ucapnya nyaris tidak terdengar. Ia masih menunduk dan tak berani mengangkat wajah.

"Berjanjilah untuk saling mendukung cita-cita kita. Jangan kecewakan orang tua kita," ucapku menahan tangis.

Nyaris saja, cita-cita menjadi hafiz terhempas bersama gejolak darah muda kami. Satu yang teringat dari pesan Ibu, seorang wanita akan sangat berharga di mata Allah dan pria, jika ia menjaga kehormatan dan harga dirinya sampai menikah nanti.

Namun, bukan itu yang membuatku menentang sikap Zidan. Di atas semua itu, aku takut dan malu kepada- Mu, Ya-Rabb.

"Maafkan aku, Din," ucap pria yang sekarang berada tepat di depanku.

Aku menelisik manik hitamnya, terlihat penyesalan yang mendalam di balik maniknya. Aku mengangguk kemudian pergi meninggalkannya. Disusul kucuran air hujan dari langit. Aku sempat berbalik ke arahnya. Ia tampak berlari ke luar pekarangan dan menghilang di derasnya hujan.

Langit menangis semalaman, seolah merutuki kejadian yang hampir kami lakukan. Udara dingin serasa menusuk hingga ke pori-pori. Aku mengeratkan selimut yang kami pakai bersama. Aisyah dan Salma tampak lelap dalam buaian mimpi.

Aku mencoba untuk menyusul mereka ke dunia mimpi, tapi hasilnya nihil. Hati bergejolak di dalam sana. Berperang antara yang baik dan yang buruk. Akhirnya, aku melangkahkan kaki untuk mengambil air wudhu. Memohon ampun di dalam sujud yang panjang.

***

"Allhamdulillah, jalannya sudah bener lagi, sudah bisa dipakai hari ini," ucap Kakek dengan senyum merekah.

"Allhamdulillah, kita bisa pulang hari ini. Ayo berkemas mumpung masih pagi," seru Salma tidak kalah gembiranya.

Kami pun bergegas untuk berkemas dan berpamitan dengan Kakek dan Nenek Salma. Angkutan umum menuju kota mulai terlihat di jalanan. Kami pergi tanpa Zidan. Seseorang yang Kakek suruh memberitahu Zidan, mengabarkan jika pria itu sudah pergi terlebih dulu, tepat setengah jam yang lalu.

Bus yang kami tumpangi melaju perlahan. Meninggalkan dusun asri nan indah. Netraku menatap hampa pegunungan yang menjulang tinggi, serasa ada yang kurang di dalam sini. Perasaan tidak nyaman di dalam hati.

***

Bersambung

Related chapters

  • White Love   Akankah Kamu Melukaiku?

    Libur telah usai, menyisakan asam, manis dan pahitnya kenangan. Aku menjalani aktivitas seperti biasanya, pun dengan Zidan. Ia bersikap lebih sopan dan berhati-hati ketika bersamaku.Kompetisi hafiz Qur'an tingkat Provinsi akan segera di mulai. Semua sekolah dan pesantren tengah sibuk mempersiapkan kandidatnya. Begitu pun dengan sekolahku. Hampir setiap hari aku dan siswa tahfiz lainnya diwajibkan menambah hapalan. Ustazah pembimbing akan mendengarkan setoran hapalan kami satu per satu di pagi hari dan selepas pulang sekolah.Aku menunggu giliran untuk setor hapalan. Di tempat lain, kulihat Zidan pun sedang menunggu giliran. Hati ini serasa damai dan sejuk saat mendengar lantunan ayat suci di setiap penjuru."Dini!"Setelah hampir satu jam menunggu akhirnya giliranku untuk setor hapalan."Bismillahirohmanirohiim," gumamku pelan.Selang beberapa menit setelah merampungkan setoran. Aku merasakan nyeri di dalam per

  • White Love   Kamu Tetap Juara Di Hatiku

    "Kak, ayo makan dulu! " ajakku lembut kepada sosok wanita yang tengah termenung di bawah jendela. Jarang sekali melihat Kak Rianti makan, akhir-akhir ini. Tubuhnya tampak semakin kurus dan tidak terurus."Nanti saja, " jawab Kak Rianti datar."Kakak harus makan agar kuat menghadapi kenyataan. Karena sakit hati itu butuh tenaga, " godaku sedikit berkelakar."Iya, kamu bener, " jawabnya sambil terkekeh.Kak Rianti pun makan dengan lahap, seperti buronan yang tidak makan selama tiga hari. Namun, manik hitamnya tidak bisa menyembunyikan luka, terlihat sayu dan berembun. Ia tertawa, tapi aku tahu betul kalau hatinya menangis. Raut muka yang dahulu cantik berseri. Kini kusam dan murung. Semangat hidupnya seolah sirna bersama pengkhianatan Kak Rangga. Badannya mulai kurus dengan mata hitam dan cekung.Ya Rabb, aku tidak tega melihat Kak Rianti seperti itu, aku hanya bisa mendoakannya di dalam hati. Tidak bisa mengobati luka di hati

  • White Love   Perkenalkan Dirimu

    Aku berlari sekuat tenaga menuju rumah, tampak beberapa tetangga tengah berkerumun sambil berbisik-bisik. Teriakan Kak Rianti terdengar nyaring hingga ke pekarangan rumah. Aku menubruk kerumunan itu untuk bisa masuk ke dalam rumah."Pergi! " pekik Kak Rianti sembari melemparkan beberapa bantal sofa ke arah Kak Rangga."Istigfar, Ran. Inget anak-anakmu, " ucap Ibu sembari memeluk Kak Rianti."Maafin aku, tapi Alif akan kubawa, " ucap lelaki berbaju hitam itu sembari menoleh ke arah Alif."Jangan! Jangan bawa anakku. Aku yang mengandung dan melahirkannya, merawat mereka sampai sekarang, " tukas Kak Rianti diiringi tangisan pilu."Maaf, Ibu-ibu, tolong jangan ngumpul di sini. Kasian Kak Rianti, " pintaku kepada kerumunan orang di depan rumah sambil mengatupkan kedua tangan.Mereka pun pergi bersamaan. Masih terdengar suara gunjingan mereka ke telingaku. Mengabaikannya adalah pili

  • White Love   Kuatkan Imanku Ya Rabb

    "Apa maksudmu? Kalian pacaran? " tanya Bapak dengan ekspresi marah. Bapak terlihat sedikit emosi. Rona wajahnya berubah menjadi merah padam. Aku baru pertama kali melihat Bapak marah kepada orang yang baru dikenalnya. Beliau memang sosok yang protektif dan tegas. Namun ramah dan penyayang. "Bukan begitu, Pak. Ini nggak seperti yang Bapak pikirkan, " jawabku agak cemas. "Jika Allah mengizinkan dan Bapak menerima. Saya ingin mengkhitbah Dini, Pak, " ucap Zidan sambil menatap Bapak lekat. 'Apa? Mengkhitbah? Ini semua di luar rencana. Aku belum siap menikah, Zi,' bisikku di dalam hati sambil menatap ke arah Zidan dan menggelengkan kepala perlahan. "Tapi kalian kan masih sekolah. Masa depan kalian masih panjang. Dipikir dulu baik-baik, " ucap Ibu tenang. Bapak terlihat bingung, ia menyeruput kopi hitamnya beberapa kali. "Iya, Bu. Maksudnya, saya akan

  • White Love   Assalamu'alaikum, Umi

    Ujian akhir sekolah sudah di depan mata. Aku dan Zidan lebih sibuk belajar dan hanya sesekali bersua. Bel jam istirahat terdengar nyaring dari speaker kelas. Hampir semua siswa ke luar kelas untuk melepas penat. Sebagian pergi ke kantin sekolah sebagiannya lagi pergi dengan urusan mereka masing-masing."Din, ayo ke kantin! " ajak Salma yang sudah berdiri di samping mejaku bersama Aisyah."Duluan aja, aku mau ke belakang dulu. ""Oh ... Ehm, ehm, " goda Salma seraya menoleh ke arah Zidan."Ehm, ehm juga, " ucapku mengulum senyum.Zidan pergi ke luar kelas terlebih dahulu. Aku menyusulnya dari belakang sambil menunduk. Sebenarnya, agak malu juga terlalu sering bersama di jam istirahat."Aduh! " pekikku spontan saat tubuh ringkih ini menumbruk benda empuk di depanku."Hati-hati dong, " ucap Zidan mengernyitkan dahi."Ih ... Kenapa juga kamu berhenti ngedadak? Kan jadi tab

  • White Love   Cemburu Itu Tidak Enak

    Zidan mengantarku dengan selamat sampai ke rumah. Kemudian pamit pulang setelah menyapa Bapak yang sedang duduk di depan teras."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam, acaranya lancar, Neng?" tanya Bapak penuh selidik."Allhamdulillah, Pak. Uminya Zidan baik banget," jawabku dengan seulas senyum."Allhamdulillah.""Dini masuk dulu ya, Pak, " ujarku diikuti anggukkan dari Bapak.Aku melangkah malas menuju ke dalam kamar. Dari jauh,terdengar tangisan Alif yang memekakkan telinga. Aku bergegas mencari sumber suara, tampak Ibu sedang sibuk menenangkan Alif sambil bershalawat."Alif kenapa, Bu? " tanyaku seraya mendekat ke tempat Ibu berdiri."Kangen sama Mamahnya, dari siang nanyain Rianti terus, " jawab Ibu sedih.Beliau terlihat lelah nenggendong Alif. Keringat mulai mengucur dari dahi dan pelipisnya, padahal udara sudah mulai dingin. Tubuh renta itu terlihat semakin ringkih. Ibu beber

  • White Love   Retak

    Ujian akhir sekolah telah kami lewati. Semua terlihat lega dan bahagia. Acara tour sekaligus perpisahan kelas telah diatur dari jauh hari. Pagi buta, aku bergegas bangun dan bersiap untuk pergi ke sekolah. Bus yang akan mengantar kami tour akan tiba tepat pukul 06.00 pagi. Biar memaksimalkan waktu, kata wali kelas kami sambil terkekeh."Din! Zidan udah di depan! " pekik Ibu nyaring.Aku pun berpamitan dengan Ibu dan Bapak, kemudian pergi ke sekolah bersama Zidan."Dingin, Zi. Jangan ngebut-ngebut, " ujarku seraya mengeratkan jakek yang lumayan tebal."Siap, tuan putri, " jawabnya berseloroh.Aku tergelak di dalam hati. Semakin hari, Zidan semakin lihai menggombal. Entah belajar dari mana lelaki satu ini. Dulu, ia terlihat dingin dan kaku. Cinta memang bisa merubah segalanya.Selang beberapa menit, kami sudah sampai di sekolah. Dua bus pariwisata sudah terparkir cantik di sana. Hampir semua siswa terlihat s

  • White Love   Kalau Jodoh Pasti Bertemu

    "Din, Zidan sakit apa? " tanya Salma."Emang Zidan sakit? Aku nggak tahu, " jawabku datar."Kalian berantem? "Aku hanya diam dan menyiapkan beberapa persyaratan yang harus kukirim ke beberapa pondok tahfidz.Hampir satu bulan setelah acara perpisahan sekolah. Aku tidak berkirim kabar dengan Zidan. Ia tidak pernah lagi menghubungiku. Mungkin lelaki itu benar-benar marah kali ini."Kita tengokin Zidan, yuk! " ajak Salma sambil merajuk."Kata teman-teman, Zidan sakit udah dua minggu? ""Sakit apa? " tanyaku penasaran. Hati kecil ini tidak bisa dibohongi kalau aku masih peduli kepadanya."Katanya kecelakaan, jatuh dari motor, " ucap Salma menatapku lekat.Hari itu, aku hanya berdua dengan Salma. Aisyah tengah sibuk dengan urusan keluarganya. Kami saling bercerita hingga senja, salah satu yang membuatku terhibur adalah berbagi cerita dengan sahabat. Walau tidak banyak membantu,

Latest chapter

  • White Love   Perubahan sikap Bulan

    Mentari yang terjatuh di balik pintu kamar Bulan tampak syok dan kaget melihat tingkah sang anak yang semakin aneh dan brutal."Kenapa, Tar?" tanya Emak cemas, kemudian membantu Mentari untuk berdiri kembali."Bulan, tadi dorong Mentari sampai keluar dari kamar.""Kok bisa Bulan punya tenaga sebesar itu?" tanya Emak makin khawatir.Wanita paruh baya itu membuka pintu perlahan dan mengintip aktivitas sang cucu kesayangan dari balik pintu. Bulan nampak sedang berbicara dengan bonekanya, seolah boneka itu benar-benar hidup. Tidak jauh berbeda dengan Mentari, Emak pun tampak Syok dan kaget."Cepat bawa ke dokter!" pinta Emak yang masih terlihat Syok."Ya, Mak, besok Mentari dan Rangga kan bawa Mentari ke Dokter."Hingga adzan subuh berkumandang. Mentari dan Emak belum juga bisa memejamkan mata. Mereka tidak habis pikir dengan apa yang terjadi dengan gadis kecil kesayangannya itu. Mereka merenung di ruang tamu

  • White Love   Trauma Bulan

    Sesampainya di rumah, suasana sudah semakin sepi. Hanya ada segelintir orang yang masih membantu membuat beberapa keperluan untuk pernikahan Mentari. Sang calon pengantin duduk dengan wajah muram di ruang tamu. Emak menyambut dengan cemas melihat ekspresi wajah sang anak."Ada apa? Apa yang terjadi sama Bulan? tanya Emak cemas."Kemungkinan Bulan trauma dan perlu di terapi," jawab Mentari lemas."Astaghfirullahaladzim, Kenapa jadi begini? Semoga cucu Nenek enggak apa-apa ya? Semoga cepet sembuh," ujar Emak seraya memeluk tubuh kecil sang cucu."Tapi pernikahan tetap jalan kan? Semua sudah disusun rapi dan undangan sudah disebar?" tanya Emak yang tampak kembali cemas."Insyaallah, pernikahan akan dilakukan sesuai rencana. Sambil mengobati trauma Bulan," jawab Rangga dengan tatapan lembut kepada sang anak.Akhirnya pasangan yang hendak menikah itu pun lebih terfokus kepada pengobatan Bulan dari

  • White Love   Persiapan Pernikahan

    Malam sudah semakin larut. Bulan pun tampak sudah tertidur lelap. Mentari dan Rangga belum juga dapat memejamkan mata. Mereka saling berpandangan satu sama lain, merasakan debaran jantung yang semakin berdetak liar.Rangga mulai berusaha untuk menggapai jari-jemari Mentari. Namun wanita muda itu berusaha untuk menepisnya yang beberapa kali."Tidurlah, udah malam!" pinta Mentari kemudian berbalik membelakangi tubuh Rangga.Rangga terlihat kesal. Wajahnya mulai memerah. Akan tetapi, ia tidak bisa berbuat lebih. Hanya memandangi punggung Mentari yang entah kenapa terlihat begitu seksi di mata Rangga. Akhirnya Rangga pun terdiam. Ia tidak berani untuk memaksa sang kekasih hati untuk memenuhi hasratnya.Rangga tahu betul karakter Mentari yang teguh dan tegas, apalagi untuk hal-hal yang melanggar norma. Lelaki itu memilih untuk menahan hasrat yang mulai naik dan menjalar ke seluruh

  • White Love   Permohonan Orang Tua Dina

    Deru suara motor terdengar jelas dari dalam rumah. Mentari dan Emak bergegas mengintip dari balik tirai jendela. Terlihat Rangga turun dari kuda besi kesayangannya, kemudian berjalan menuju ke arah rumah Mentari.Mentari segera membukakan pintu untuk sang pangeran hatinya." Di mana? Mana orangnya? tanya Rangga dengan mimik cemas."Nggak tahu, padahal tadi masih ada di depan," jawab Mentari yang masih terlihat tegang."Duduk dulu, Ga!" pinta emak kepada sang mantan sang menantu.Baru saja Rangga hendak duduk di atas kursi tamu. Tiba-tiba terdengar derit suara pintu terbuka.Tampak kedua orang tua Dina berdiri di balik pintu dengan muka tegang dan sedih. Mereka segera menghambur ke arah Mentari yang sedang duduk tidak jauh dari tempat duduk Rangga."Tari, tolong Dina, maafkan anak Ibu. Tolong cabut

  • White Love   Penyesalan Dina

    Bulan disambut bahagia oleh seluruh anggota keluarga. Mereka pulang ke rumah Emak, di sana kedua orang tua Rangga pun sudah menunggu untuk menyambut sang cucu."Alhamdulillah, cucu Emak selamat," ujar Emak seraya memeluk tubuh mungil cucu kesayangannya.Nyak pun segera menghampiri dan memeluk Bulan dalam tangis haru dan bahagia."Cepat kasih makan, kayaknya lemes banget tubuhnya!" pinta Nyak kepada Mentari.Mentari pun segera menyiapkan makanan kesukaan Bulan dan menyuapi sang anak, perlahan. Mata bulat yang selalu berbinar itu, tampak cekung dan menghitam. Tubuh Bulan kurus dan tidak bertenaga."Makan yang banyak!" pinta Mentari lirih seraya memasukkan sesendok nasi ke dalam mulut Bulan. Tanpa terasa, air mata pun menetes perlahan melihat Bulan yang makan dengan lahap. Entah sudah berapa hari anak itu seperti tidak menyentuh makanan, ia tampak kelap

  • White Love   Aksi Penyelamatan

    Menteri dan Rangga menunggu beberapa saat di luar rumah itu. Berharap para polisi segera datang untuk membantu mereka. Akan tetapi, setelah lama ditunggu. Polisi pun tidak kunjung datang. Persis seperti adegan di dalam film, di mana para polisi yang selalu datang terlambat. Akhirnya kedua pasangan itu pun sudah tidak sabar dan nekat untuk masuk ke dalam rumah tanpa bantuan siapa pun.Mereka berjalan dengan mengendap, berusaha tidak menimbulkan suara sedikit pun atau pun memancing perhatian orang-orang yang ada di dalam rumah. Mentari berjalan perlahan ke arah belakang untuk memeriksa sekitar, sedangkan Rangga bertugas di depan memantau keadaan di depan rumah itu.Tepat di belakang rumah, Mentari menemukan sebuah jendela yang tertutup rapat. Ia pun berusaha untuk melihat ke dalamnya. Namun, tidak ada alat apa pun yang bisa digunakan sebagai pijakan agar ia bisa melihat ke dalam jendela yang letaknya berada di atas. Mentari pun seg

  • White Love   Pencarian Bulan

    Mentari pagi telah nampak dari ufuk timur. Menerobos celah jendela dan membelai hangat tubuh mungil Bulan yang menggigil semalaman. Gadis kecil itu masih meringkuk di atas tilam kardus. Ia mengerjap beberapa kali, kemudian duduk di sudut ruangan dengan mata sembab akibat menangis semalaman.Gadis kecil itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ruangan berukuran tiga kali empat itu tampak kosong dan hanya ada beberapa tumpuk barang bekas di tiap sudut. Sepertinya itu adalah sebuah gudang yang sudah tidak terpakai lagi. Penerangan hanya dari kaca jendela yang ditutup rapat yang ditutup oleh beberapa kayu besar yang disilangkan.Bulan tergugu di dalam sana seorang diri. Tangis gadis kecil itu terdengar pilu menyayat hati. Sepiring makanan yang diberikan oleh penculik itu tadi malam, tidak ia sentuh sedikit pun. Gadis kecil itu ketakutan, ia menjerit beberapa kali. Meminta pertolongan. Namun, nihil, sepertinya tempat itu sangat terpencil da

  • White Love   Mengungkap Sang Penculik

    Mentari masih tergugu di bawah guyuran hujan yang semakin deras. Entah berapa lama wanita muda itu berlutut di sana. Tubuhnya semakin menggigil, tapi ia tidak bisa bangkit seolah terpaku oleh kejadian yang baru saja ia alami. Jiwanya tidak terima dengan apa yang menimpa putri kesayangannya."Kenapa kemalangan itu kembali terjadi dan menimpa anakku? Apa dosaku Ya Rabb?" liriknya pilu, menyayat hati.Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan Mentari. Nyak tampak turun dari mobil dan berlari menuju wanita malang itu.“Ada apa, Tari?" tanyanya khawatir, seraya menaungi Mentari dengan payung yang ia bawa."Bulan, Bulan diculik, Nyak," jawab Mentari dengan terisak."Astagfirullahaladzim, siapa yang menculiknya?"Wanita paruh baya itu sontak kaget. Dadanya bergemuruh dan panas. Cucu satu-satunya yang baru saja bertemu, hilang dan diculik

  • White Love   Penculikan

    Setelah mengetahui identitas sang peneror. Rangga meminta kedua orang tuanya untuk berbicara kepada orang tua Dina, agar semua permasalahan ini selesai dan tidak semakin berkepanjangan.Senja itu, selepas pulang dari Cafe. Rangga menjemput Mentari untuk menemui kedua orangtuanya. Agar permasalahannya dengan Dina benar-benar selesai. Bulan pun turut serta saat itu, karena ia sudah sangat rindu dengan kakek neneknya.Sesampainya di rumah Rangga. Mereka disambut hangat oleh kedua orang tua Rangga. Bulan segera berlari dan menghambur ke pelukan sang Nenek. Ikatan darah memang lebih kental dari pada air. Walaupun keduanya baru bertemu beberapa saat. Mereka sudah terlihat akrab dan memiliki ikatan batin yang kuat."Nenek!" pekik Bulan seraya memeluk erat sang Nenek."Cucu kesayangan Nenek, ayo masuk."Mereka pun masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tamu. Di s

DMCA.com Protection Status