Home / Romansa / White Love / Cinta Dan Sahabat

Share

Cinta Dan Sahabat

Author: Yani m
last update Last Updated: 2021-06-19 07:14:30

Libur telah tiba,  libur telah tiba, hore! Hore! 

Begitulah aku bersenandung kala libur sekolah di depan mata. Liburan kali ini, tidak ada acara khusus dengan keluarga. Aku memutuskan berlibur dengan sahabatku di rumah Nenek Salma. Aku pamit hanya untuk dua malam di sana. 

"Kamu yakin mau berlibur di sana? " tanya Ibu dengan mimik sedih. 

"Iya, Bu, cuma dua malam kok, hari Rabu juga pulang. "

"Huhh, Ibu di sini nggak ada teman, " ucap Ibu sembari menghela nafas panjang. 

"Kan ada Jelly, he .... "

"Jelly kan kucing, Neng, masa Ibu tidur sama kucing. "

Kami pun terkekeh bersama. Lucu rasanya membayangkan Ibu tidur dan mengobrol dengan seekor kucing. Tapi, itu kan cuma sebentar, toh aku juga bakal pulang ke rumah. 

Ibu kembali membereskan barang-barang yang akan kubawa. Kemudian, aku pun pergi ke kamar untuk mengambil gawai dan benarlah dugaanku. Ada banyak panggilan dari Zidan dan beberapa pesan Whattshap. 

[Din, aku ikut berlibur sama kamu ya? ]

[Jangan, aku tidak enak dengan Salma dan keluarganya]

Tidak mungkin aku membawa Zidan berlibur bersama. Apa kata dunia nanti? Apa kata orang tua dan keluargaku? Kuletakkan gawai di atas nakas, kemudian kembali mengepak barang yang akan kubawa besok. 

***

Setelah menempuh lima jam perjalanan, akhirnya semua terbayar lunas dengan keindahan ciptaan-NYA. Lokasi pedesaan yang asri dengan panorama pegunungan hijau di sekeliling, benar-benar menyejukkan mata dan mendamaikan hati.

"Masya Allah ... Indah sekali pemandangannya. "

"Memang indah, apalagi di atas gunung. Kita bisa melihat seisi kota, " ucap Salma sembari menatap puncak gunung yang menjulang tinggi.

"Iya, kapan-kapan kita naik ke atas gunung sana, " timpal Aisyah bersemangat. 

Rumah Nenek Salma sudah tampak dari kejauhan. Sebuah rumah sederhana berbahan papan nan asri. Tanaman hias mendominasi teras rumah mungil itu. Salma berlari kecil menuju rumah itu. Ia tampak tidak sabar ingin segera berjumpa kakek dan neneknya.

"Assalamualaikum ...."

"Waalaikumsallam, ayo masuk, Neng, "

jawab Nenek seraya tersenyum ramah. 

Salma memeluk Neneknya erat, terlihat sorot kerinduan dari netra keduanya. Ah, andai aku sedekat itu dengan nenekku. Hush, aku pun berusaha mengusir bayangan masa kecilku. 

Suasana rumah yang rapi dan bersih adalah kesan pertama untuk rumah mungil ini. Hidangan makan malam tampak berjejer di atas tilam, menu khas pedesaan yang menggugah Selera. 

"Ayo, pada makan dulu. Kalian pasti lapar seharian di jalan. "

"Iya, Mak. Makasih. "

Kami pun menyantap hidangan sang empunya rumah dengan lahap. Ditemani cerita Nenek tentang masa mudanya. Tentang cinta sejatinya bersama Kakek.

Malam semakin larut, gelap gulita hampir sejauh mata memandang. Tidak ada pencahayaan seterang di kota. Hanya terlihat beberapa sinar lampu temaram di depan rumah beberapa tetangga. 

Aku sengaja duduk di teras rumah bersama Salma dan Aisyah. Sekedar menghirup udara segar. Semilir angin yang berdesir menerpa jilbab panjangku, membuatnya berkibar ke kiri dan ke kanan.

"Apa itu? Kaliat lihat kan? " tanya Aisyah yang terlihat ketakutan. 

"Aku nggak lihat, jangan-jangan ... hantu!" 

" Ish, kamu malah nakut-nakutin, Din. " 

"Tadi ada bayangan orang lari di sana, "

ucap Aisyah sembari menunjuk ke arah pepohonan rindang tidak jauh dari rumah ini. 

"Udah, nggak ada apa-apa kok, ayo masuk, " timpal Salma, kemudian menarik tangan kami untuk masuk ke dalam rumah. 

Sebenarnya aku masih penasaran dengan bayangan tadi. Tapi, tidak apalah, mungkin Aisyah salah lihat atau hanya kucing yang melintas. Yang penting bayangan itu tidak mengganggu kami. Di dalam kamar berukuran tiga kali tiga meter, kami berbagi tempat tidur. Saling bercerita hingga tertidur pulas. 

***

"Neng! Bangun, shalat subuh jamaah yuk, "seru Nenek dari balik pintu kamar tepat setelah azan subuh berkumandang.

Kami bersiap untuk menunaikan shalat subuh di surau dekat rumah. Jaraknya hanya seratus meter. Kami berjalan dengan penerangan obor buatan Kakek. Surau sudah tampak ramai, tua dan muda kompak berjamaah di sana.

Sungguh pemandangan yang jarang terlihat di perkotaan. Netraku mengedar ke sekeliling, jantungku serasa terhenti saat mendapati seseorang yang sangat mirip dengan Zidan. 

" Ais, bukankah itu Zidan? "

"Yang mana? Nggak mungkin, Zidan kan ada di rumahnya. "

"Kamu kangen ya?" goda Salma sambil terkekeh. 

"Stt!! "

Akhirnya orbrolan kami terhenti oleh peringatan seorang Ibu yang berada di shaf depan. Setelah selsai menunaikan ibadah shalat subuh, aku bergegas pergi ke teras mesjid. Menelisik setiap sudut untuk memastikan penglihatanku tadi. 

***

Suasana pagi yang hangat dan segar membuatku betah berlama-lama di sini. Kami berjalan santai, berkeliling kampung hingga ke muara sebuah sungai kecil. Menikmati dinginnya aliran sungai dan panorama indah disekitarnya. 

"Siapa itu? " pekik Salma lantang saat menyadari ada seseorang di balik semak-semak. 

Dalam hitungan detik, seseorang berbaju hitam berlari secepat kilat ke arah hutan kecil. 

"Ayo kita pulang! Aku takut, Sal, " ujar Aisyah dengan tubuh gemetar. Kami saling bertatapan untuk sesaat.

"Jangan-jangan si bayangan yang semalam," ucap kami bersamaan. 

Aisyah yang notabennya adalah seorang penakut berlari mendahului kami, disusul Salma dan aku Dari belakang. 

"Aisyah! Tungguin! "

Kami berlari terengah-engah sampai ke depan rumah. Salma menubruk benda persegi panjang berwarna biru, kemudian bergegas pergi ke toilet. 

"Astagfirullahaladzim, kirain dia ketakutan, ternyata kebelet toh, " ucapku tergelak puas.

"Nggak usah takut, di sini orangnya baik-baik. Palingan cuma ingin kenal, " ucap Nenek setengah terkekeh.

Ternyata Salma sudah menceritakan perihal bayangan hitam itu sebelum kami pergi ke sungai. Kakek dan Nenek semakin terkekeh ketika melihat cucunya berlari ke kamar mandi. Mereka tampak asik menikmati hari tua bersama. Ditemani secangkir kopi dan pisang goreng kesukaan Kakek. 

Betapa beruntungnya pasangan yang tetap bersama hingga ajal memisahkan. Begitupun dengan impianku untuk menua bersama orang terkasih hingga akhir hayat.

"Benarkah hanya orang iseng yang ngintip kemarin? " tanyaku penuh selidik. 

Kami saling berpandangan dan tersenyum pahit. Aku tidak percaya begitu saja dengan penjelasan Nenek. Seperti ada sesuatu yang disembunyikan. Jiwaku meronta-ronta ingin segera menyelidiki si bayangan hitam itu. 

***

Seperti malam sebelumnya, aku dan kedua sahabatku duduk di depan teras untuk menikmati langit malam yang selalu membuatku takjup. Tiba-tiba terdengar suara daun kering yang terinjak, suaranya begitu jelas di telinga, diikuti embusan angin yang membuat bulu kuduk berlari. Dalam sekejap sosok bayangan hitam itu melintas kembali tepat di depan kami. Sontak aku berlari dan mengejarnya, diikuti Salma dan Aisyah dari belakang. 

"Hai! tunggu! " pekikku lantang. 

Sosok berbaju hitam itu sempat berhenti dan menoleh ke arahku. Kemudian berlari secepat kilat dan menghilang di kegelapan malam. Akan tetapi, aku sempat menatap matanya yang tampak tidak asing. Tapi, siapakah sosok berbaju hitam itu? Dan apa maunya? Beribu tanya seolah berputar-putar di dalam otak kecilku. Kucuran air pun turun dengan derasnya dari langit, memaksa kami untuk segera pulang. 

***

Besok pagi adalah hari terakhir kami di desa ini. Aku dan Salma bergegas pergi ke surau sebelum azdan subuh berkumandang untuk memastikan sosok laki-laki yang mirip Zidan. Tiga puluh menit kami menunggu, akhirnya sosok yang ditunggu pun tiba.

"Zidan! " seruku spontan. 

"Kenapa kamu di sini? " cecarku lagi.

"Oh ... Din, Aku lagi main ke rumah teman, " jawabnya gugup. 

"Kamu mata-matain aku?"

"Jangan-jangan ... bayangan itu, Zidan, " ucap Salma geram. 

"Bukan, bukan aku, " sergah Zidan dengan kecepatan tinggi. 

"Makanya, aku ke sini buat jagain kalian, " ucapnya dengan tatapan meyakinkan. 

"Di sini banyak saudaraku, tidak perlu pengawal juga, " ucap Salma ketus.

"Aku bisa jelaskan, Din. Aku khawatir sama kamu. Aku ke sini buat jagain kamu, " jelasnya mencoba meyakinkan. 

"Tapi aku nggak suka cara kamu yang diam-diam memata-matai. "  

Aku pun pergi bersama Salma, meninggalkannya yang masih tercengung.

***

Sinar mentari telah nampak dari ufuk timur. Aroma tanah basah masih tercium oleh hidungku, begitupun dengan jejak-jejak rinai semalam, tetesan embun duduk manis di dedaunan.                    

Barang telah dikemas rapi, kami tinggal menunggu angkutan umum yang lewat untuk sampai ke terminal bus. Zidan tampak berlari ke arahku dengan tas punggungnya.

"Kita pulang bareng! " ajaknya dengan mimik tanpa dosa. 

"Iya nggak apa-apa, biar rame di jalan, " ucap Salma sembari mengedipkan mata ke arah Aisyah. 

Entah apa maksud kedua bocah itu dengan kedipan matanya. Membuatku terpojok dan salah tingkah. Hampir dua jam menunggu. Tetapi, tidak satu pun kendaraan yang melintas di jalan desa. 

"Ambu! Jalan yang ke kota longsor tadi malam, rusak parah, " ucap salah satu tetangga Nenek dengan penuh keyakinan.

"Beneran itu teh, Jang. Aduh Eneng-Eneng belum bisa pulang sekarang, tunggu sampai jalannya betul kembali, " tutur Nenek cemas bercampur bahagia.

Mungkin ini adalah rakdir dari Allah. Entah apa yang akan terjadi kedepannya, semua menjadi rahasia Illahi. Aku hanya bisa berusaha dan berdo'a. 

***

Berambung

Related chapters

  • White Love   Jangan Sentuh Aku!

    Kabar tentang jalan menuju kota yang rusak parah akibat longsor ternyata benar adanya. Kami terpaksa harus menginap beberapa hari lagi di sini. Aku bergegas memberi kabar kepada Ibu tentang kepulanganku yang terlambat. Begitupun dengan Aisyah dan Zidan yang terlihat menghubungi keluarga mereka. Tidak terbayang, betapa cemasnya Ibu jika aku tidak mengabarinya."Jalannya sedang diperbaiki tapi butuh beberapa hari," ucap Kakek yang baru pulang dari balai Desa.Pria tua itu duduk di teras rumah dan bersandar pada dinding kayu berwarna cokelat. Mengepulkan asap rokok yang membumbung ke udara. Netranya menerawang ke atas, seperti sedang mengingat sesuatu."Kakek baru ingat, tadi ketemu sama Abah Ustaz," ucapnya yakin."Kalian bersedia mengajar anak-anak di surau?" tanya Kakek setelah menyeruput secangkir kopi pahit."Memangnya kemana ustazah Siti?" tanya Nenek sembari menyodorkan sepiring pisang goreng kepada Kakek."

    Last Updated : 2021-06-19
  • White Love   Akankah Kamu Melukaiku?

    Libur telah usai, menyisakan asam, manis dan pahitnya kenangan. Aku menjalani aktivitas seperti biasanya, pun dengan Zidan. Ia bersikap lebih sopan dan berhati-hati ketika bersamaku.Kompetisi hafiz Qur'an tingkat Provinsi akan segera di mulai. Semua sekolah dan pesantren tengah sibuk mempersiapkan kandidatnya. Begitu pun dengan sekolahku. Hampir setiap hari aku dan siswa tahfiz lainnya diwajibkan menambah hapalan. Ustazah pembimbing akan mendengarkan setoran hapalan kami satu per satu di pagi hari dan selepas pulang sekolah.Aku menunggu giliran untuk setor hapalan. Di tempat lain, kulihat Zidan pun sedang menunggu giliran. Hati ini serasa damai dan sejuk saat mendengar lantunan ayat suci di setiap penjuru."Dini!"Setelah hampir satu jam menunggu akhirnya giliranku untuk setor hapalan."Bismillahirohmanirohiim," gumamku pelan.Selang beberapa menit setelah merampungkan setoran. Aku merasakan nyeri di dalam per

    Last Updated : 2021-06-19
  • White Love   Kamu Tetap Juara Di Hatiku

    "Kak, ayo makan dulu! " ajakku lembut kepada sosok wanita yang tengah termenung di bawah jendela. Jarang sekali melihat Kak Rianti makan, akhir-akhir ini. Tubuhnya tampak semakin kurus dan tidak terurus."Nanti saja, " jawab Kak Rianti datar."Kakak harus makan agar kuat menghadapi kenyataan. Karena sakit hati itu butuh tenaga, " godaku sedikit berkelakar."Iya, kamu bener, " jawabnya sambil terkekeh.Kak Rianti pun makan dengan lahap, seperti buronan yang tidak makan selama tiga hari. Namun, manik hitamnya tidak bisa menyembunyikan luka, terlihat sayu dan berembun. Ia tertawa, tapi aku tahu betul kalau hatinya menangis. Raut muka yang dahulu cantik berseri. Kini kusam dan murung. Semangat hidupnya seolah sirna bersama pengkhianatan Kak Rangga. Badannya mulai kurus dengan mata hitam dan cekung.Ya Rabb, aku tidak tega melihat Kak Rianti seperti itu, aku hanya bisa mendoakannya di dalam hati. Tidak bisa mengobati luka di hati

    Last Updated : 2021-07-05
  • White Love   Perkenalkan Dirimu

    Aku berlari sekuat tenaga menuju rumah, tampak beberapa tetangga tengah berkerumun sambil berbisik-bisik. Teriakan Kak Rianti terdengar nyaring hingga ke pekarangan rumah. Aku menubruk kerumunan itu untuk bisa masuk ke dalam rumah."Pergi! " pekik Kak Rianti sembari melemparkan beberapa bantal sofa ke arah Kak Rangga."Istigfar, Ran. Inget anak-anakmu, " ucap Ibu sembari memeluk Kak Rianti."Maafin aku, tapi Alif akan kubawa, " ucap lelaki berbaju hitam itu sembari menoleh ke arah Alif."Jangan! Jangan bawa anakku. Aku yang mengandung dan melahirkannya, merawat mereka sampai sekarang, " tukas Kak Rianti diiringi tangisan pilu."Maaf, Ibu-ibu, tolong jangan ngumpul di sini. Kasian Kak Rianti, " pintaku kepada kerumunan orang di depan rumah sambil mengatupkan kedua tangan.Mereka pun pergi bersamaan. Masih terdengar suara gunjingan mereka ke telingaku. Mengabaikannya adalah pili

    Last Updated : 2021-07-07
  • White Love   Kuatkan Imanku Ya Rabb

    "Apa maksudmu? Kalian pacaran? " tanya Bapak dengan ekspresi marah. Bapak terlihat sedikit emosi. Rona wajahnya berubah menjadi merah padam. Aku baru pertama kali melihat Bapak marah kepada orang yang baru dikenalnya. Beliau memang sosok yang protektif dan tegas. Namun ramah dan penyayang. "Bukan begitu, Pak. Ini nggak seperti yang Bapak pikirkan, " jawabku agak cemas. "Jika Allah mengizinkan dan Bapak menerima. Saya ingin mengkhitbah Dini, Pak, " ucap Zidan sambil menatap Bapak lekat. 'Apa? Mengkhitbah? Ini semua di luar rencana. Aku belum siap menikah, Zi,' bisikku di dalam hati sambil menatap ke arah Zidan dan menggelengkan kepala perlahan. "Tapi kalian kan masih sekolah. Masa depan kalian masih panjang. Dipikir dulu baik-baik, " ucap Ibu tenang. Bapak terlihat bingung, ia menyeruput kopi hitamnya beberapa kali. "Iya, Bu. Maksudnya, saya akan

    Last Updated : 2021-07-09
  • White Love   Assalamu'alaikum, Umi

    Ujian akhir sekolah sudah di depan mata. Aku dan Zidan lebih sibuk belajar dan hanya sesekali bersua. Bel jam istirahat terdengar nyaring dari speaker kelas. Hampir semua siswa ke luar kelas untuk melepas penat. Sebagian pergi ke kantin sekolah sebagiannya lagi pergi dengan urusan mereka masing-masing."Din, ayo ke kantin! " ajak Salma yang sudah berdiri di samping mejaku bersama Aisyah."Duluan aja, aku mau ke belakang dulu. ""Oh ... Ehm, ehm, " goda Salma seraya menoleh ke arah Zidan."Ehm, ehm juga, " ucapku mengulum senyum.Zidan pergi ke luar kelas terlebih dahulu. Aku menyusulnya dari belakang sambil menunduk. Sebenarnya, agak malu juga terlalu sering bersama di jam istirahat."Aduh! " pekikku spontan saat tubuh ringkih ini menumbruk benda empuk di depanku."Hati-hati dong, " ucap Zidan mengernyitkan dahi."Ih ... Kenapa juga kamu berhenti ngedadak? Kan jadi tab

    Last Updated : 2021-07-12
  • White Love   Cemburu Itu Tidak Enak

    Zidan mengantarku dengan selamat sampai ke rumah. Kemudian pamit pulang setelah menyapa Bapak yang sedang duduk di depan teras."Assalamualaikum.""Waalaikumsalam, acaranya lancar, Neng?" tanya Bapak penuh selidik."Allhamdulillah, Pak. Uminya Zidan baik banget," jawabku dengan seulas senyum."Allhamdulillah.""Dini masuk dulu ya, Pak, " ujarku diikuti anggukkan dari Bapak.Aku melangkah malas menuju ke dalam kamar. Dari jauh,terdengar tangisan Alif yang memekakkan telinga. Aku bergegas mencari sumber suara, tampak Ibu sedang sibuk menenangkan Alif sambil bershalawat."Alif kenapa, Bu? " tanyaku seraya mendekat ke tempat Ibu berdiri."Kangen sama Mamahnya, dari siang nanyain Rianti terus, " jawab Ibu sedih.Beliau terlihat lelah nenggendong Alif. Keringat mulai mengucur dari dahi dan pelipisnya, padahal udara sudah mulai dingin. Tubuh renta itu terlihat semakin ringkih. Ibu beber

    Last Updated : 2021-07-13
  • White Love   Retak

    Ujian akhir sekolah telah kami lewati. Semua terlihat lega dan bahagia. Acara tour sekaligus perpisahan kelas telah diatur dari jauh hari. Pagi buta, aku bergegas bangun dan bersiap untuk pergi ke sekolah. Bus yang akan mengantar kami tour akan tiba tepat pukul 06.00 pagi. Biar memaksimalkan waktu, kata wali kelas kami sambil terkekeh."Din! Zidan udah di depan! " pekik Ibu nyaring.Aku pun berpamitan dengan Ibu dan Bapak, kemudian pergi ke sekolah bersama Zidan."Dingin, Zi. Jangan ngebut-ngebut, " ujarku seraya mengeratkan jakek yang lumayan tebal."Siap, tuan putri, " jawabnya berseloroh.Aku tergelak di dalam hati. Semakin hari, Zidan semakin lihai menggombal. Entah belajar dari mana lelaki satu ini. Dulu, ia terlihat dingin dan kaku. Cinta memang bisa merubah segalanya.Selang beberapa menit, kami sudah sampai di sekolah. Dua bus pariwisata sudah terparkir cantik di sana. Hampir semua siswa terlihat s

    Last Updated : 2021-07-14

Latest chapter

  • White Love   Perubahan sikap Bulan

    Mentari yang terjatuh di balik pintu kamar Bulan tampak syok dan kaget melihat tingkah sang anak yang semakin aneh dan brutal."Kenapa, Tar?" tanya Emak cemas, kemudian membantu Mentari untuk berdiri kembali."Bulan, tadi dorong Mentari sampai keluar dari kamar.""Kok bisa Bulan punya tenaga sebesar itu?" tanya Emak makin khawatir.Wanita paruh baya itu membuka pintu perlahan dan mengintip aktivitas sang cucu kesayangan dari balik pintu. Bulan nampak sedang berbicara dengan bonekanya, seolah boneka itu benar-benar hidup. Tidak jauh berbeda dengan Mentari, Emak pun tampak Syok dan kaget."Cepat bawa ke dokter!" pinta Emak yang masih terlihat Syok."Ya, Mak, besok Mentari dan Rangga kan bawa Mentari ke Dokter."Hingga adzan subuh berkumandang. Mentari dan Emak belum juga bisa memejamkan mata. Mereka tidak habis pikir dengan apa yang terjadi dengan gadis kecil kesayangannya itu. Mereka merenung di ruang tamu

  • White Love   Trauma Bulan

    Sesampainya di rumah, suasana sudah semakin sepi. Hanya ada segelintir orang yang masih membantu membuat beberapa keperluan untuk pernikahan Mentari. Sang calon pengantin duduk dengan wajah muram di ruang tamu. Emak menyambut dengan cemas melihat ekspresi wajah sang anak."Ada apa? Apa yang terjadi sama Bulan? tanya Emak cemas."Kemungkinan Bulan trauma dan perlu di terapi," jawab Mentari lemas."Astaghfirullahaladzim, Kenapa jadi begini? Semoga cucu Nenek enggak apa-apa ya? Semoga cepet sembuh," ujar Emak seraya memeluk tubuh kecil sang cucu."Tapi pernikahan tetap jalan kan? Semua sudah disusun rapi dan undangan sudah disebar?" tanya Emak yang tampak kembali cemas."Insyaallah, pernikahan akan dilakukan sesuai rencana. Sambil mengobati trauma Bulan," jawab Rangga dengan tatapan lembut kepada sang anak.Akhirnya pasangan yang hendak menikah itu pun lebih terfokus kepada pengobatan Bulan dari

  • White Love   Persiapan Pernikahan

    Malam sudah semakin larut. Bulan pun tampak sudah tertidur lelap. Mentari dan Rangga belum juga dapat memejamkan mata. Mereka saling berpandangan satu sama lain, merasakan debaran jantung yang semakin berdetak liar.Rangga mulai berusaha untuk menggapai jari-jemari Mentari. Namun wanita muda itu berusaha untuk menepisnya yang beberapa kali."Tidurlah, udah malam!" pinta Mentari kemudian berbalik membelakangi tubuh Rangga.Rangga terlihat kesal. Wajahnya mulai memerah. Akan tetapi, ia tidak bisa berbuat lebih. Hanya memandangi punggung Mentari yang entah kenapa terlihat begitu seksi di mata Rangga. Akhirnya Rangga pun terdiam. Ia tidak berani untuk memaksa sang kekasih hati untuk memenuhi hasratnya.Rangga tahu betul karakter Mentari yang teguh dan tegas, apalagi untuk hal-hal yang melanggar norma. Lelaki itu memilih untuk menahan hasrat yang mulai naik dan menjalar ke seluruh

  • White Love   Permohonan Orang Tua Dina

    Deru suara motor terdengar jelas dari dalam rumah. Mentari dan Emak bergegas mengintip dari balik tirai jendela. Terlihat Rangga turun dari kuda besi kesayangannya, kemudian berjalan menuju ke arah rumah Mentari.Mentari segera membukakan pintu untuk sang pangeran hatinya." Di mana? Mana orangnya? tanya Rangga dengan mimik cemas."Nggak tahu, padahal tadi masih ada di depan," jawab Mentari yang masih terlihat tegang."Duduk dulu, Ga!" pinta emak kepada sang mantan sang menantu.Baru saja Rangga hendak duduk di atas kursi tamu. Tiba-tiba terdengar derit suara pintu terbuka.Tampak kedua orang tua Dina berdiri di balik pintu dengan muka tegang dan sedih. Mereka segera menghambur ke arah Mentari yang sedang duduk tidak jauh dari tempat duduk Rangga."Tari, tolong Dina, maafkan anak Ibu. Tolong cabut

  • White Love   Penyesalan Dina

    Bulan disambut bahagia oleh seluruh anggota keluarga. Mereka pulang ke rumah Emak, di sana kedua orang tua Rangga pun sudah menunggu untuk menyambut sang cucu."Alhamdulillah, cucu Emak selamat," ujar Emak seraya memeluk tubuh mungil cucu kesayangannya.Nyak pun segera menghampiri dan memeluk Bulan dalam tangis haru dan bahagia."Cepat kasih makan, kayaknya lemes banget tubuhnya!" pinta Nyak kepada Mentari.Mentari pun segera menyiapkan makanan kesukaan Bulan dan menyuapi sang anak, perlahan. Mata bulat yang selalu berbinar itu, tampak cekung dan menghitam. Tubuh Bulan kurus dan tidak bertenaga."Makan yang banyak!" pinta Mentari lirih seraya memasukkan sesendok nasi ke dalam mulut Bulan. Tanpa terasa, air mata pun menetes perlahan melihat Bulan yang makan dengan lahap. Entah sudah berapa hari anak itu seperti tidak menyentuh makanan, ia tampak kelap

  • White Love   Aksi Penyelamatan

    Menteri dan Rangga menunggu beberapa saat di luar rumah itu. Berharap para polisi segera datang untuk membantu mereka. Akan tetapi, setelah lama ditunggu. Polisi pun tidak kunjung datang. Persis seperti adegan di dalam film, di mana para polisi yang selalu datang terlambat. Akhirnya kedua pasangan itu pun sudah tidak sabar dan nekat untuk masuk ke dalam rumah tanpa bantuan siapa pun.Mereka berjalan dengan mengendap, berusaha tidak menimbulkan suara sedikit pun atau pun memancing perhatian orang-orang yang ada di dalam rumah. Mentari berjalan perlahan ke arah belakang untuk memeriksa sekitar, sedangkan Rangga bertugas di depan memantau keadaan di depan rumah itu.Tepat di belakang rumah, Mentari menemukan sebuah jendela yang tertutup rapat. Ia pun berusaha untuk melihat ke dalamnya. Namun, tidak ada alat apa pun yang bisa digunakan sebagai pijakan agar ia bisa melihat ke dalam jendela yang letaknya berada di atas. Mentari pun seg

  • White Love   Pencarian Bulan

    Mentari pagi telah nampak dari ufuk timur. Menerobos celah jendela dan membelai hangat tubuh mungil Bulan yang menggigil semalaman. Gadis kecil itu masih meringkuk di atas tilam kardus. Ia mengerjap beberapa kali, kemudian duduk di sudut ruangan dengan mata sembab akibat menangis semalaman.Gadis kecil itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ruangan berukuran tiga kali empat itu tampak kosong dan hanya ada beberapa tumpuk barang bekas di tiap sudut. Sepertinya itu adalah sebuah gudang yang sudah tidak terpakai lagi. Penerangan hanya dari kaca jendela yang ditutup rapat yang ditutup oleh beberapa kayu besar yang disilangkan.Bulan tergugu di dalam sana seorang diri. Tangis gadis kecil itu terdengar pilu menyayat hati. Sepiring makanan yang diberikan oleh penculik itu tadi malam, tidak ia sentuh sedikit pun. Gadis kecil itu ketakutan, ia menjerit beberapa kali. Meminta pertolongan. Namun, nihil, sepertinya tempat itu sangat terpencil da

  • White Love   Mengungkap Sang Penculik

    Mentari masih tergugu di bawah guyuran hujan yang semakin deras. Entah berapa lama wanita muda itu berlutut di sana. Tubuhnya semakin menggigil, tapi ia tidak bisa bangkit seolah terpaku oleh kejadian yang baru saja ia alami. Jiwanya tidak terima dengan apa yang menimpa putri kesayangannya."Kenapa kemalangan itu kembali terjadi dan menimpa anakku? Apa dosaku Ya Rabb?" liriknya pilu, menyayat hati.Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan Mentari. Nyak tampak turun dari mobil dan berlari menuju wanita malang itu.“Ada apa, Tari?" tanyanya khawatir, seraya menaungi Mentari dengan payung yang ia bawa."Bulan, Bulan diculik, Nyak," jawab Mentari dengan terisak."Astagfirullahaladzim, siapa yang menculiknya?"Wanita paruh baya itu sontak kaget. Dadanya bergemuruh dan panas. Cucu satu-satunya yang baru saja bertemu, hilang dan diculik

  • White Love   Penculikan

    Setelah mengetahui identitas sang peneror. Rangga meminta kedua orang tuanya untuk berbicara kepada orang tua Dina, agar semua permasalahan ini selesai dan tidak semakin berkepanjangan.Senja itu, selepas pulang dari Cafe. Rangga menjemput Mentari untuk menemui kedua orangtuanya. Agar permasalahannya dengan Dina benar-benar selesai. Bulan pun turut serta saat itu, karena ia sudah sangat rindu dengan kakek neneknya.Sesampainya di rumah Rangga. Mereka disambut hangat oleh kedua orang tua Rangga. Bulan segera berlari dan menghambur ke pelukan sang Nenek. Ikatan darah memang lebih kental dari pada air. Walaupun keduanya baru bertemu beberapa saat. Mereka sudah terlihat akrab dan memiliki ikatan batin yang kuat."Nenek!" pekik Bulan seraya memeluk erat sang Nenek."Cucu kesayangan Nenek, ayo masuk."Mereka pun masuk ke dalam rumah dan duduk di ruang tamu. Di s

DMCA.com Protection Status