Satu jam kemudian Wisnuaji telah sampai di rumah anaknya. Dan ia memarkirkan mobilnya di halaman rumah Juna yang luas kemudian ia berjalan menaiki tangga untuk masuk ke dalam rumah. Dalam hatinya ia bertanya tanya siapa wanita yang mencarinya hingga nekad sampai di rumah anaknya.
"Assalamualaikum," Teriak Juna dari tangga depan sebelum memasuki rumah yang membuat Nada cepat cepat keluar rumah.
"Waalaikum Salam," Kata Nada sambil berjalan ke arah suami dan Papa mertuanya. Kemudian ia menjabat tangan suami dan papa mertuanya.
"Tumben kamu jadi istri manis banget."
Nada hanya nyengir dan menginjak kaki Juna yang di balut dengan sepatu gunung itu. Sejujurnya ia malu ketika Papa mertuanya tau jika hubungannya dan sang suami seperti Tom and Jerry.
"Sudah Nad, Papa tau kalian seperti apa hubungannya."
"Ya malu, Pa, enggak ada romantis romantisnya gini sama Janaidi."
"Buat apa romantis kalo kalian tidak bisa jadi diri sendiri. Oh ya, yang nyari papa masih di sini?"
"Masih, Pa."
Kemudian Wisnuaji masuk ke rumah Juna mendahului anak dan menantunya. Pertama kali ia melihat Samira ia hanya bertanya tanya, apakah ia mengenalnya, karena Wisnuaji yakin ia tidak mengenal wanita yang sedang duduk di sofa ruang tamu anaknya.
Dari penglihatan dan pengamatannya yang tampak di depannya adalah seorang wanita muda yang mungkin lebih pantas jadi anaknya karena usianya mungkin 11-12 dengan Juna dan Nada. Perempuan ini menggunakan dress berwarna kuning dengan motif bunga dan dan daun, rambut panjangnya ia gerai dan wajahnya yang sangat terawat mampu membuat Wisnuaji yakin, bahwa dari ujung kepala hingga ujung kaki tubuh perempuan yang mencarinya ini adalah hasil perawatan mahal selama bertahun-tahun.
Sedangkan Samira yang pertama kali melihat Wisnuaji di hidupnya secara nyata bukan hanya dari cerita Pinar Defne, atau foto yang ia dapatkan kemarin dari detektif yang ia sewa tidak mampu berkata kata. Karena Wisnuaji yang ada di depannya bahkan lebih muda daripada di foto yang ia lihat, dengan perawakan tinggi, badan hasil kerja keras di gym selama bertahun-tahun.
Penampilannya yang muda bahkan tidak pantas di sematkan kepada seorang laki laki berusia 56 tahun."Ehemmm," Suara orang berdeham mengembalikan Samira dan Wisnuaji ke realita yang ada kini bahwa mereka belum saling bertegur sapa.
"Selamat siang," sapa Samira sambil berdiri.
"Siang, silahkan duduk," kata Wisnuaji kepada Samira.
"Buset deh Nad, berasa sudah kaya rumah sendiri aja si Papa," bisik Juna ke Nada namun masih bisa di dengar Papanya yang hanya mampu geleng-geleng menghadapi putranya.
"Terimakasih."
"Pa, Juna sama Nada ke dalam dulu ya."
"Ya."
Ketika Juna dan Nada melewati ruang tamu, Samira hanya memperhatikan pasangan jangkung ini yang tingginya di atas tinggi rata rata orang Indonesia. Tapi lebih dari apapun, Juna seperti tidak memiliki darah Wisnuaji sama sekali selain dari perawakannya yang tinggi dan gagah.
"Maaf, anda siapa?"
"Saya Samira Huri, teman dari mantan istri anda."
Seketika tubuh Wisnuaji menegang di tempat ia duduk.
"Maaf, kalo kedatangan saya mendadak, saya hanya ingin menyampaikan pesan beliau untuk anda. Bahwa dia ingin bertemu dengan anda dan anaknya."
Wisnuaji tidak sanggup berkata-kata kali ini. Baginya Pinar Defne telah mati di hidupnya sejak ia membawa pulang Juna ke Indonesia ketika berusia 6 bulan. Dan ia sama sekali tidak berminat untuk mengetahui tentang seluk beluk kehidupan mantan istrinya apalagi bertemu dengannya lagi. Cukup rasa sakit yang di torehkan Pinar Defne kepadanya dulu.
Ketika ia berusaha untuk membuktikan kepada orang tuanya jika ia tidak salah memilih istri, namun kenyataan yang ada justru menamparnya di depan mata. Ketika ia sibuk memulai bisnisnya di Jerman, Pinar Defne masih bisa berselingkuh darinya. Rasa sakit karena pengkhianatan itu yang membuat Wisnuaji enggan membuka hatinya lagi untuk lawan jenis, dan lebih memilih untuk menikmati kehidupannya walau hanya berdua bersama anaknya.
"Maaf, tapi saya tidak berminat bertemu dengan dia. Ada lagi yang ingin anda sampaikan?"
"Saya mohon anda melihatnya walau hanya sekali di hidup anda sebelum dia meninggal dunia"
"Maksud anda apa?"
"Pinar Defne sekarang sedang kritis karena leukimia stadium akhir."
Walau shock mendengar kata kata Samira di depannya. Tapi Wisnuaji benar benar tidak berminat bertemu dengan Pinar Defne.
"Sampaikan padanya bahwa saya sudah menganggapnya mati di hidup saya sejak ia memilih berselingkuh."
Samira hanya bisa menarik nafas dalam dalam, ia bisa melihat wajah Wisnuaji yang menyiratkan kemarahan, kekecewaan dan rasa sakit karena di khianati. Samira tidak perlu bertanya lebih lanjut. Ia kemudian membuka tas Hermes Birkinnya dan mengeluarkan kartu namanya.
"Ini kartu nama saya, jika anda berubah pikiran silahkan hubungi saya. Saya harap walau hanya sekali, anda memberi kemurahan hati walau hanya sedikit. Bagaimanapun dia adalah ibu dari anak anda."
Wisnuaji hanya melihat apa yang dilakukan oleh Samira, namun ia tidak merespon apapun apalagi repot repot mengambil kartu nama yang di sodorkan Samira di meja.
"Kalo begitu, saya permisi dulu. Selamat siang, assalamualaikum."
"Waalaikum Salam."
Setelahnya Samira pergi dari rumah Juna tanpa berpamitan kepada si empunya rumah. Dia tidak menyangka jika Wisnuaji masih menyimpan dendam pada Pinar Defne sang mantan istri.
Kini harapan Samira hanya ada pada Nada. Semoga saja ia bisa membujuk Nada untuk merayu suaminya agar mau bertemu ibunya. Sungguh, saat ini Samira merasa ia sedang harakiri. Andai ia tidak membantu Pinar Defne, Samira mungkin kini sedang menikmati liburannya di Maldives, atau Miami.
Namun satu hal yang ia wajib syukuri, karena akhirnya ia bisa melihat Wisnuaji dari dekat. Dan ia benar benar melebihi ekspektasi yang ada di diri Samira walau Samira sadar diri bila ia tidak bisa menggapai Wisnuaji sampai kapanpun. Karena dirinya bukanlah wanita sempurna, apalagi kista ovarium telah tumbuh lagi di sisa indung telurnya.
Samira masuk ke mobilnya dan meminta sang supir menuju ke hotel miliknya. Bagaimanapun hotel miliknya dengan konsep alam pedesaan yang ada di dekat candi Borobudur begitu sanggup membuatnya menenangkan pikirannya, dan besok ia akan mencoba menemui Nada di kantornya. Karena tadi ia sempat mengobrol dengan Nada, dan ia kini mengetahui jika Nada bekerja di salah satu perusahaan Perancis yang ia pernah memakai jasa mereka ketika membangun salah satu kantor cabangnya di Paris dulu.
Sedangkan Wisnuaji sendiri sejak Samira meninggalkan rumahnya masih diam duduk di sofa, pikirannya sedang menimbang-nimbang apakah ia akan mengabulkan permintaan Pinar Defne atau tidak. Bagaimanapun, walau sekali seharusnya Juna pernah berbicara dengan ibunya. Walau dirinya tidak pernah menceritakan apapun kepada Juna, tapi ibu dan ayahnya dulu yang menceritakan semuanya hingga Juna pernah berencana untuk tidak menikah. Untung saja, Juna masih memiliki kemampuan untuk mencintai karena akhirnya ia bisa mencintai istrinya. Namun sampai sekarang Juna masih sering menceritakan kepada Wisnuaji bila ia masih memiliki ketakutan bila Nada pergi meninggalkannya seperti Mamanya meninggalkan Papanya. Sesuatu yang Wisnuaji sadari merupakan ketakutan Juna karena kisah orang tuanya dulu.
***
Dengan perasaan campur aduk di hatinya Wisnuaji memanggil Juna untuk berbicara berdua di halaman belakang rumah Juna yang luas dan di penuhi pepohonan rindang. "Ada apa Pa, kayanya serius banget mukanya?" kata Juna sambil mulai duduk di kursi yang ada di halaman belakang rumahnya. "Iya, Papa mau membicarakan hal yang serius sebentar sama kamu." "Perihal apa?" "Mama kamu." Wisnuaji melihat ekspresi Juna yang tiba tiba berubah tegang dan wajahnya memerah. "Ada apa dengan dia?" "Dia ingin bertemu dengan kamu." Juna diam memandang Wisnuaji didepannya. Beberapa saat kemudian ia akhirnya bersuara. "Sampaikan padanya sampai bertemu di akhirat ya Pa. Juna masuk dulu." Wisnuaji hanya bisa menghela nafasnya. Ia tidak bisa memaksakan Juna karena Juna telah dewasa dan bisa mengambil sikap serta keputusan apapun sendiri tanpa intervensi darinya. Ia cukup memahami sikap Juna yang menolak untuk bertemu dengan Pinar Defne karena rasa sakit di hatinya. Bagaimana bisa seorang ibu lebih mement
Setelah Samira keluar dari kantor Nada, ia langsung menuju ke mobilnya dan menginstruksikan kepada supirnya untuk menuju ke alamat rumah Wisnuaji. Selama di perjalanan Samira sedikit gugup mengingat pertemuan pertama mereka yang tidak terlalu baik. Bahkan dari cara Wisnuaji membahas Pinar Defne kemarin, Samira sadar, jika Wisnuaji tidak berminat untuk bertatap muka lagi dengan mantan istrinya tersebut. Di waktu yang sama dan tempat yang berbeda Wisnuaji menerima telepon dari menantunya. "Hallo, Nad." "Hallo Pa. Papa ada di rumah enggak sekarang?" "Ada. Kenapa?" "Nanti Tante Samira ke rumah Papa bawain Gurame asam manisnya ya. Papa jangan pergi dulu." "Enggak Nad, Papa lagi mandiin Alda di belakang. Kamu bilang sama dia suruh masuk saja nanti ke belakang." "Ya Papa bilang sama ART Papa." "Iya." Lama Wisnuaji dan Nada saling diam dengan pikiran masing-masing. Nada dengan pikiran bagaimana cara menyampaikannya kepada Papa mertuanya bila Samira adalah gandengan Papa mertuanya unt
"Kamu siapa bisa ada disini?" Mendengar pertanyaan wanita itu Samira bangkit berdiri dari posisi duduknya dan tersenyum canggung. Kini ia bingung harus menerangkan siapa dirinya kepada wanita ini. Tidak mungkin ia mengatakan jika ia adalah pengagum rahasia Wisnuaji sejak 10 tahun yang lalu kepada wanita ini. Ya Tuhan...Tolong kirim Malaikat penolong saat ini, karena aku tidak tau harus menjawab apa sekarang.. "Saya, saya," Kata Samira dengan sedikit bingung harus berucap apa "Dia pasanganku. Siapa yang mengijinkanmu masuk ke sini?" "Satpam membukakan gerbang untuk aku tadi Mas." "Aku bukan Mas mu. Sudah cukup Retno kamu mencoba mengganggu kehidupanku sejak beberapa bulan ini. Sebaiknya kamu angkat kaki dari rumahku" Samira melihat wanita cantik yang berdandan dengan pakaian kurang bahan ini sambil menelan ludah. Ia yakin wanita ini berusia jauh di bawahnya. Mungkin kisaran 37 tahun. Jika wanita seperti ini saja di tolak Wisnuaji, apalagi dirinya yang sempurna saja tidak sebaga
PART 7Setelah menghampiri Wisnuaji dan Ibunya, mereka bertiga masuk ke Mall. Samira lebih memilih jalan di belakang Wisnuaji dan ibunya, karena ia sendiri sulit mengatur ritme irama jantungnya yang berdetak semakin cepat jika ia ada di dekat Wisnuaji. Seharusnya di usianya yang sudah kepala 4, ia tidak merasakan rasa bak anak remaja tujuh belas tahun yang sedang jatuh cinta dan naksir kepada kakak kelasnya seperti ini."Nduk, kamu kok jalan di belakang, sini sebelahan sama ibu," kata ibu Wisnuaji sambil memutar tubuhnya menghadap ke Samira dan tangannya langsung menggenggam tangan Samira untuk berjalan di sebelahnya.Kini justru Wisnuaji yang berjalan di belakang ibunya dan Samira. Bahkan Wisnuaji menghala nafasnya melihat ibunya yang bersemangat seperti ketika Juna dan Nada akan menikah."Kita mau beli apa Bu?" Tanya Samira yang berjalan di sebelah Ningrum"Apa ya, Kalo satu set perhiasan saja bagaimana?""Boleh.""Apa tidak berlebihan Bu?" Kini Wisnuaji sudah memotong pembicaraan S
PART 8Samira masuk ke sebuah toilet wanita dan ia akhirnya menumpahkan air matanya di tempat ini. Tempat di mana Wisnuaji tidak bisa melihat wajah kalahnya. Wajah yang selama ini ia sembunyikan. Memang Samira tidak pernah menyangka bila Redi sampai hati mengeluarkan kata kata itu terhadapnya setelah ia menolak Redi untuk rujuk setahun yang lalu. Karena bagi Samira, wanita baik baik tidak akan mau merusak kebahagiaan wanita lain. Dia juga tidak mau merebut kebahagiaan anak anak Redi, apalagi ia sudah tidak memiliki perasaan apapun kepada mantan suaminya itu.Diwaktu yang sama tempat yang berbeda. Ningrum dan Wisnuaji menatap Redi dengan pandangan tidak percayanya."Apa anda merasa bahagia setelah mengatakan hal itu kepada seseorang yang pernah anda cintai?" Kata Wisnuaji menahan emosinya melihat tingkah mantan suami Samira"Tidak, aku hanya ingin kalian tau kekurangannya agar kalian bisa mengambil keputusan yang tepat. Aku tidak ingin dia menjanda sampai dua kali""Wow, hanya karena d
PART 9Sepulang dari kediaman Juna dan Nada, Samira langsung di antar Wisnuaji menuju ke hotelnya. "Nduk, kamu kenapa enggak sewa rumah saja kalo di hotel kan boros?"Samira hanya tersenyum menanggapi pertanyaan dari Ningrum."Belum ada waktu Bu untuk cari rumah.""Kamu di rumahnya Juna sama Nada saja. Rumah mereka di Jogja enggak di pakai.""Tidak usah Bu, rumah itu kan mereka pakai kalo mereka lelah harus pulang pergi Jogja temanggung.""Iya, tapi daripada boros uang. Hotel kamu nginap itu kan bisa puluhan juta semalam."Samira hanya tersenyum menanggapinya."Kebetulan sebagian besar saham hotel tersebut milik saya Bu.""Owalah, pantas saja. Tapi tetap saja nyaman di rumah daripada hotel. Benar tidak Wis?" Tanya Ningrum karena sejak tadi Wisnuaji hanya diam saja"Benar, tapi kalo Samira ada uangnya dan dia nyaman tinggal di hotel, kenapa tidak Bu?""Yowes kalo begitu, besok kamu pindahan saja ke rumah ibu Nduk. Ibu cuma di rumah sendiri kok."Samira membelalakkan matanya. Tidak per
Sudah tiga hari Samira tinggal bersama Ningrum di rumah Ningrum yang begitu nyaman ini dan malam ini adalah malam dimana acara ulang tahun pernikahan orang tua Nada yang tidak lain juga besan Wisnuaji akan digelar. Menurut Ningrum setelah acara ini mereka akan berlibur bersama di Villa milik keluarga Nada yang ada di Bali selama 3 hari. Ingin Samira menolak ajakan Ningrum karena dirinya merasa tidak pantas hadir di keluarga ini, karena dia bukan anggota keluarga, namun Ningrum memaksanya agar ikut serta untuk mendampingi Wisnuaji di acara ini sekaligus perkenalan ke khalayak ramai tentang status dirinya sebagai "calon" Wisnuaji. Ini sudah di luar kesepakatannya dengan Nada sehingga kini Samira mengajak Nada bertemu. Samira mengajak Nada untuk makan siang bersama dan ia memilih menjemput Nada di kantornya. Ketika Samira sampai di sana Nada sudah menunggunya di loby dan langsung Nada memasuki mobil Samira. "Assalamualaikum Tan," kata Nada sambil membuka pintu mobil penumpang belakang
Sepanjang jalannya acara, Samira beserta keluarga Wisnuaji duduk di dekat keluarga Nada yang menurut Wisnuaji begitu istimewa dan kini Samira baru membuktikan sendiri jika kata-kata Wisnuaji memang benar adanya. Karena keluarga Nada begitu ramai, sering saling menggoda, namun terlihat adanya kasih sayang di antara mereka. Jika hanya keluarga inti hal seperti ini sudah wajar, tetapi di keluarga besar bisa berinteraksi seperti ini sungguh sesuatu yang sangat jarang terjadi.Karena merasa ingin membetulkan make up nya, setelah acara makan malam bersama ini, Samira ijin kepada Wisnuaji untuk ke toilet."Mas, aku ke belakang dulu sebentar ya.""Okay"Setelah mendengar jawaban Wisnuaji, Samira bangkit berdiri dari posisi duduknya dan menuju ke toilet.Ketika ia baru saja keluar dari toilet dan berjalan memasuki ballroom hotel kembali, tiba tiba ia bertemu dengan Raka, atasan Nada yang di kenalkan kepadanya tadi siang."Mbak Samira ya?"Samira hanya tersenyum menanggapi panggilan Raka."Pang
Hari-hari Samira dan Wisnuaji semakin bertambah semarak dengan kehadiran kedua cucu kembar mereka. Bahkan paling tidak 3 kali dalam seminggu mereka akan berkunjung ke rumah sang anak hanya untuk bermain dengan Edel dan Galen. Kini Edel dan Galen telah berusia hampir 6 bulan dan Nada sudah bersiap untuk memasuki dunia kerja kembali. Di karenakan kondisi tersebut Wisnuaji dan Samira benar-benar mencari baby sitter yang memiliki kredibilitas yang baik dan sudah pernah di pekerjakan oleh orang terdekat mereka. Pilihan mereka jatuh ke baby sitter yang pernah merawat anak Meinita dan Nuno. Atas rekomendasi mereka berdua, akhirnya Samira dan Wisnuaji mempekerjakan Sari dan Ana. "Sam, kamu yakin buat pakai Sari dan Ana untuk Edel dan Galen?" "Yakin. Mereka beneran bersertifikat, bahkan mereka fasih berbahasa asing. Aku rasa cocok untuk itu. Apalagi mereka telah menikah dan memiliki anak, amanlah Mas." "Ya sudah, besok kita tinggal bilang sama Juna dan Nada. Tapi aku tetep nggak akan lepas
Wisnuaji dan Samira baru saja mendarat di Yogyakarta internasional Airport. Ketika mereka baru saja keluar dari pintu keluar bandara. Tiba-tiba handphone Samira berbunyi yang menandakan ada pesan masuk. Ketika ia membuka pesan tersebut, ternyata Nada yang mengirimkan foto twins di group keluarga Widiatmaja. Nada : *sending picture* Nada : Eyang Ningrum, Mama Samira dan Papa Wisnu. Ini foto si kembar. Samira langsung tersenyum membaca pesan tersebut. Kemudian ia menyimpan foto si kembar ke dalam folder yang ada di handphonenya. "Kamu kenapa senyum-senyum begitu?" Tanya Wisnuaji kepada Samira ketika mereka baru saja masuk ke mobil. "Ini lagi lihat foto cucu kita. Bule banget ya, Mas? Kayanya gen-nya Pinar kuat sih di si kembar." Wisnuaji hanya menghela nafasnya dan meminjam handphone milik Samira. Ia tersenyum melihat cucunya. Rasa bangga dan bahagia bercampur menjadi satu di dalam dirinya. "Kamu kenapa kaya mau nangis gitu, Mas?" Tanya Samira ketika melihat sang suami berkaca-ka
Minggu pagi ini Samira telah bersiap siap untuk mengikuti acara wisata yang di selenggarakan oleh ibu-ibu dasawisma yang menaungi aster miliknya. Disebut dasawisma karena anggotanya hanya 10 KK. "Mas, ini cuma 10 keluarga aja yang ikut piknik?" Tanya Samira ketika mereka menunggu bus di depan gang perumahan. "Iya. Tapi mereka bawa anak-anaknya." "Lha kita cuma berdua aja. Aneh nggak sih Mas?" "Siapa bilang cuma berdua. Anak-anak masih di jalan. Bentar lagi mereka datang." Samira hanya sanggup melongo mendengar penuturan Wisnuaji. Karena kemarin Wisnuaji hanya mendaftarkan Samira dan dirinya sendiri. "Kemarin kamu cuma daftar dua lho, Mas. Apa masih ada slot kosong?" "Masih. Yang minta Bu ketua buat kita ajak anak-anak kemarin. Nah, itu mereka." Samira menoleh menuju arah telunjuk Wisnuaji. Terlihat Juna sudah menggendong tas ransel dan Nada membawa tas piknik Tupperware. Samira yakin menantunya sudah membawa perbekalan untuk makan siang mereka. "Assalamualaikum Ma, Pa," sapa
Samira menatap Wisnuaji yang sedang mempacking barang-barangnya kedalam travel bag kecil berwarna hitam. Setelah beberapa saat, Samira memutuskan untuk mendekati sang suami."Mas, kamu mau kemana lagi? Kita baru balik tadi pagi dari rumah Juna.""Aku mau touring Harley Davidson, di ajakin Adam. Kamu ikut aja, nanti naik mobil bareng Slamet.""Slamet ikut?""Ya gitu, dia bawa mobil ngintilin di belakang sama istri-istrinya temenku. Kamu ikut juga yuk?"Samira menghela nafasnya."Nggak deh Mas, kasian Nada. Juna sering ke luar kota, kalo enggak juga pulang kantor sudah malam. Aku mau temani dia aja sekalian belajar bikin kue.""Yakin nggak ikut?""Nggak Mas, yang penting kamu hati-hati ya. Nggak usah ngebut kalo di jalan. Sering sering kasih kabar."Wisnuaji hanya tersenyum dan memeluk sang istri."Makasih ya, sudah jadi istri yang mau mencoba memahami hoby suami tanpa ngedumel.""Iya Mas. Lagian itu juga kado dari aku, masa aku larang kamu buat ikut. Kan lucu kalo kaya gitu," kata Sami
Malam ini Samira harus tidur sendirian karena Wisnuaji memilih untuk mengikuti kegiatan Ronda lagi setelah mereka menikah. Walau di kompleks mereka tinggal memiliki satpam, tetapi kegiatan Ronda masih tetap di jalankan agar silaturahmi antar bapak-bapak tetap terjaga. Samira mengingat perdebatannya dengan sang suami tadi siang sewaktu mereka baru saja tiba di rumah setelah beberapa hari berada di Bali."Sam, nanti malam kamu tidur sendiri ya?""Memang Mas Wisnu mau kemana?""Aku mau ikut ronda lagi. Sudah sejak kita menikah, aku nggak pernah ikut ronda sama bapak-bapak. Arisan juga nggak pernah datang.""Kan sudah ada satpam yang keliling kompleks, bahkan kita punya satpam pribadi di depan Mas. Apa itu masih belum cukup?"Kini Wisnuaji hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Mungkin bagi Samira yang sejak lahir sudah tinggal di kawasan elite tidak pernah melihat sang ayah atau kakak laki-lakinya mengikuti kegiatan seperti ini sehingga ia kurang memiliki rasa guyup dengan lingk
Sepulang dari Bali beberapa hari lalu, Samira dan Wisnuaji masih belum bertemu lagi dengan anak serta menantunya."Mas, ke rumah anak-anak yuk?"Wisnuaji hanya menghela nafasnya dan memandang istrinya yang sedang duduk santai sambil menikmati wedang secang buatan Minah."Mereka lagi pulang ke Temanggung. Jauh Sam.""Iya, tapi kasian Nada hamil gini tapi Juna sering ke luar kota. Lagipula Nada itu barusan resign Mas. Biasanya orang yang sibuk tiba-tiba santai pasti bingung, jenuh nggak tau apa yang mesti di lakuin.""Terus kamu mau ngajakin Nada ngapain?""Beli perlengkapan buat twins. Lagipula sudah mau 6 bulan kan Mas, biar nggak ribet kalo dekat-dekat lahiran.""Biar Nada di jemput Slamet aja. Kamu coba telepon dia suruh ke sini.""Kita jemput saja, gimana Mas?""Nggak, lumayan waktu tiga jam bisa buat tidur atau istirahat.""Yowes Mas, aku coba telepon Nada dulu ya?"Wisnuaji hanya menganggukkan kepalanya sebagai tanda persetujuan. Kini Samira langsung meraih handphonenya dan seger
"Sam, semuanya sudah selesai di packing?" Tanya Wisnuaji pada Samira. "Sudah Mas. Btw beneran ini kita dapat gratisan nginap di hotelnya Tom dan Salma?" Tanya Samira balik kepada sang suami. "Iya. Katanya jatah mereka sekarang soalnya kemarin sudah Fabian sama Deva yang bayarin." "Bayarin?" "Iya. Mereka kalo liburan bersama itu digilir siapa yang nanggung transportasi serta akomodasinya. Sekarang jatahnya mereka besok yang babymoon kayanya jadi jatahnya Nada sama Juna." Samira hanya menganggukkan kepalanya dan segera ia menuju ke depan meja riasnya untuk mempersiapkan diri karena Juna dan Nada sebentar lagi akan sampai bersama Ningrum. Satu jam setelahnya keluarga Widiatmaja sudah dalam formasi komplitnya yang terdiri dari Ningrum, Wisnuaji, Samira, Juna dan Nada. Kini mereka semua segera menaiki Toyota Vellfire hitam untuk menuju ke Yogyakarta internasional Airport di Kulon Progo. Di dalam mobil suasana yang santai namun tidak seterbuka biasanya karena Ningrum ada bersama merek
Alarm di handphone Samira bergetar, kemudian ia bangun dan melihatnya dengan tersenyum. Ketika ia menengok ke sisi sebelah kanan ranjangnya, tampak sang suami yang sedang tertidur dengan pulas. Segera ia bangun dari posisi tidurnya dan mencium bibir Wisnuaji dengan pelan hingga sang suami mengerjapkan matanya. Penglihatan Wisnuaji tanpa kacamata atau contact lens yang sedikit kurang fokus membuatnya menatap Samira dengan menyipitkan matanya. "Happy birthday Mas," kata Samira sambil tersenyum di depan wajah Wisnuaji. "Tanggal berapa sekarang?" "Tanggal tiga Mas." "Astagfirullah, aku lupa. Makasih ya," kata Wisnuaji sambil bangun dari posisi tidurnya untuk duduk di ranjang. "Sama-sama. Selamat ulang tahun ke 57 ya Mas. Semoga di usia...," Perkataan Samira terhenti ketika bibirnya secara tiba-tiba di lumat oleh Wisnuaji. Samira hanya sanggup menutup matanya dan menerima pemberian sang suami. Bahkan Samira terbawa suasana hingga ia mengalungkan tangannya ke leher Wisnuaji. Wisnuaj
Dua hari setelah singgah di Surabaya untuk melakukan RUPS, Samira dan Wisnuaji kembali ke Jogja menggunakan kereta sesuai keinginan Wisnuaji yang ingin menikmati perjalanan. Sepanjang perjalanan dari stasiun Gubeng hingga Stasiun Yogyakarta banyak hal yang mereka obrolkan berdua. "Mas," panggil Samira ketika mereka menyadari di gerbong ini hanya mereka berdua penghuninya. "Hmm." "Berasa naik gerbong pribadi ya, sepi begini." "Ya beginilah kalo bukan weekend, libur panjang rata-rata nggak terlalu ramai. Apalagi kereta pagi seperti ini." "Mas," panggil Samira lagi ketika Wisnuaji tidak banyak mengajaknya bicara. "Apa?" "Aku kemarin undang satu orang lagi untuk datang di acara tasyakuran yacht rent kita." "Siapa?" "Heni. Istrinya Redi." Satu detik.... Dua detik.... Tiga detik.... Samira masih menanti reaksi Wisnuaji yang ternyata tetap sama yaitu terbengong bengong di sampingnya. Mau tidak mau Samira harus menceritakan semuanya pada sang suami. "Iya Mas. Sepulang RUPS kemar