“Kak Saga kalau sudah mengantuk, bakal lama tidurnya. Aku juga lagi off hari ini.” Kaira menambahkan saat Val masih terkejut dengan ajakan itu.
“Oh. Baiklah.” Akhirnya Val setuju setelah memikirkannya.
“Oke, sip! Nanti aku jemput di lobi, ya?” Adik Saga tampak kegirangan mendengar jawaban itu.
Val pun segera pamit ke apartemennya untuk bersiap-siap. Kurang dari satu jam, Val sudah berada di dalam mobil Kaira yang melaju santai.
“Kak Val biasanya weekend ke mana?” tanya Kaira.
“Aku jarang berpergian sih. Aku termasuk kaum rebahan,” jawab Val sambil tertawa.
“Ih, enaknya. Aku juga maunya gitu, tapi kadang kaki ini gatal minta jalan-jalan. Kebiasaan di tempat kerja karena harus berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain.”
“Kamu keren.” Pujian yang dilontarkan Val membuat Kaira sedikit tersipu.
“Ah, keren apanya. Kalau keren,
Saga sudah menunggu di depan lobi apartemen Val ketika dua gadis itu tiba menjelang malam.“Kalian ini dari mana saja sampai malam begini baru pulang?” omelnya ketika Val dan Kaira turun. “Pasti kau yang bikin gara-gara!” tuduhnya pada sang adik.“Salah sendiri suruh siapa molor!” Kaira tidak mau kalah. “Makanya jangan bergadang. Apalagi sama cewek, bisa sampai pagi tuh!”Val jadi tersipu melihat kedipan mata Kaira.“Bergadang apanya?” bantah Saga. “Aku nggak─”“Iya, iya, aku mengerti. Aku nggak akan bilang Mami kalau kalian ….” Kembali Kaira mengedip nakal. “Ah, tapi Mami kayaknya juga nggak keberatan. Malah seneng mau dapet cucu, dan aku dapet keponakan. Asyiiik!”“Hei, Kai, kau ini ngomong apa sih?! Val, dia habis makan apa jadi melantur begini?” Wajah Saga memerah dan menatap Val untuk meminta pertolongan.Val hanya b
Saga baru saja selesai mandi ketika teringat kado pemberian Val yang sudah ia letakkan di lemari bajunya. Ia tersenyum melihat botol wewangian itu lalu menyemprotkannya ke seluruh tubuh.Wangi segar favoritnya segera memenuhi ruangan. Perlahan ia menghidu aromanya dan rasa bahagia menyeruak di dadanya.Dengan wajah penuh senyuman Saga menjemput Val di lobi. Gadis itu sudah menunggunya sejak beberapa menit yang lalu.“Kau tidur nyenyak semalam?” tanya Saga saat keduanya sudah melaju santai.“Lumayan. Kamu sendiri?”“Hmm … saking senangnya, aku nggak bisa tidur.”“Kenapa?”“Karena kau selalu ada di kepalaku, di depan mataku, bahkan menutup mata pun, kau masih ada di sana.”Val mendelik mendengar rayuan Saga. “Halah! Pagi-pagi sudah ngegombal,” decaknya. Samar-samar hidungnya mengenali aroma parfum yang ia beli kemarin.Dia memakainya, p
Val dan Saga telah resmi menjalin hubungan secara terbuka. Baik kedua keluarga dan teman-teman, semua telah mengetahuinya. Namun, bukan berarti hubungan itu aman, tentram, dan lancar tanpa kendala. Layaknya hubungan dua orang manusia, perbedaan pendapat dan pertengkaran kecil selalu ada. Terlebih, Val dan Saga mengawalinya dengan rasa saling membenci. Bahkan, dalam acara makan malam dua keluarga besar untuk membahas tanggal pernikahan pun diwarnai adu mulut yang seru. Di ruang VIP sebuah restoran, Val dan Saga saling mempertahankan pendapatnya.“Sabtu!” tegas Saga.“Nggak! Minggu saja!” tolak Val sama-sama keras kepalanya.Mereka berdua diminta menentukan hari yang dipilih untuk mengadakan resepsi pernikahan. Orang tua Saga dan Val memberi kebebasan pada dua anak manusia itu untuk berdiskusi dan memutuskannya bersama. Nyatanya, mereka berdua mempunyai sifat yang sama kerasnya dan tidak mau mengalah.“Rupanya kalian belum memu
“Aku nggak mau di sini! Review-nya jelek.” Val menunjuk brosur gedung pernikahan di tangannya.“Itu nggak enak. Aku pernah mencobanya. Kau akan menyesal bila memilihnya,” tolak Saga saat Val memilih bagian katering.“Temanku pernah memakainya, tapi jadinya hancur. Dia sampai menangis dan malu bila mengingatnya.” Kali ini Val mengarah pada vendor bridal.“Yang ini! Hasilnya kasar! Terkesan murahan!” Saga melempar salah satu brosur ke meja yang berantakan oleh tumpukan selebaran dan kartu nama.Kaira yang sejak tadi diam mengamati mereka, menghela napas panjang dan menggaruk-garuk kening yang tidak gatal. Saat ini, ketiganya berada di apartemen Saga untuk mendiskusikan vendor yang akan mereka pakai. Dua hari lalu, Saga sudah memberi keputusan tentang tanggal pernikahan mereka pada Robby. Ayahnya itu langsung meminta daftar vendor yang akan dipakai.Saga kelabakan. Akhirnya dengan persetujuan Va
Berkat Kaira, semua urusan vendor bisa selesai dengan cepat. Setelah mengamati dua perbandingan yang dibuat Kaira dan Val, Saga pun sudah memutuskan. Harga dan jadwal temu pun sudah diatur. Sisanya tinggal urusan gaun yang akan dipilih.Bagi sebagian besar─bisa jadi semua─wanita, pemilihan gaun pengantin ini merupakan saat-saat istimewa. Seorang wanita yang akan tampil bak ratu sehari, tentu akan menunjukkan sisi dirinya yang paling cantik dan mengagumkan. Karena itulah, gaun pengantin ini merupakan poin yang krusial dan penuh pertimbangan.Kali ini, Rima dan Diana turut serta ketika memilih jas dan gaun pengantin. Beberapa pilihan warna dan model jas disodorkan pada Saga, pria itu langsung memutuskan dengan cepat. Namun, bukannya puas, Diana justru memberi saran lain sebagai pertimbangan.“Apa lagi, Mi? Aku ‘kan sudah memilihnya, dan itu sudah sesuai dengan yang aku mau. Kemarin-kemarin disuruh cepat memilih, giliran sudah kupilih, malah nggak sesua
“Kamu kenapa, Ga? Suntuk banget kelihatannya.” Arion melihat sahabatnya itu tampak pucat dan lelah. Makanan di depannya hanya berkurang sedikit.Saga menghela napas dan menyandarkan tubuh ke kursi kayu. Mereka berdua sedang menghabiskan waktu istirahat di rumah makan pilihan Arion.“Mau menikah saja, urusannya ribet, ya? Padahal cuma nikah doang,” keluhnya. “Mesti urus surat-surat, jadwal temu vendor, dan tetek bengek lainnya.”“Ya, iya lah, Ga. Mau gampang, ya, kawin saja,” gurau Arion sambil tertawa.Saga mendengus. “Nggak juga. Habis kawin, kalau ada hasil, ya, tetap ribet juga. Tapi … memang harus dijalani.”Arion tersenyum. Ia membayangkan dua sahabatnya berjalan berdampingan di altar. Dalam hati, ia mengucap doa tulus untuk mereka.“Nggak kerasa, ya … sebentar lagi kalian akan menikah,” ujar Arion pelan seperti ditujukan pada dirinya sendiri.&
“Kenapa? Bukannya kau lapar? Dulu kau bisa menghabiskannya sendirian, ‘kan?” Saga menyodorkan piring itu.Seketika wajah Val memerah mengingat ia pernah melakukannya saat bersama Arion. Entah apa karena memang nasi goreng ini enak sekali, atau ada lubang besar di lambungnya sehingga bisa menerima makanan begitu banyak.“Kamu sengaja ingin membuatku gendut? Apa kamu mau memilih baju lagi gara-gara nggak muat?” semprot Val kesal, tapi ia tetap menyendok nasi itu ke mulutnya. Bukan hanya aromanya saja yang menggelitik hidung, tapi rasanya juga memanjakan lidah. Tidak perlu waktu lama, makanan itu sudah berkurang separuhnya.Senyum Saga kembali mengembang. Ia mengedarkan pandang ke sekeliling lalu menghela napas panjang.“Sudah lama aku nggak ke sini. Tempat ini masih sama seperti dulu. Bedanya, sekarang aku sama kamu. Bukannya sama Arion.”Perkataan itu membuat Val tertawa. Saga senang melihat gadisnya sudah k
Dalam perjalanan pulang, Saga masih terus tertawa mengingat kejadian konyol tadi, sedangkan Val memajukan bibirnya dengan kesal.“Sampai kapan kamu mau mentertawakanku?” protesnya.“Habisnya kau lucu. Masalah sepele saja kau sampai mau kita putus? Yang benar saja! Lagi pula, apa kau benar-benar bisa melepaskanku begitu saja?”Val memalingkan muka ke jendela.“Aku juga nggak mungkin membiarkan kau pergi. Sepuluh tahun, Val. Sepuluh tahun aku hidup dalam penyesalan. Nggak akan kubiarkan kau pergi lagi.”Gadis itu kini menatap Saga. Sorot mata itu telah mengatakan semuanya. Tidak ada lagi yang perlu ia ragukan tentang perasaannya. Saga benar-benar mencintainya.“Kamu sih, kenapa nggak melakukannya sejak dulu. Kan, nggak perlu kayak tadi. Arion saja bilang kalau dia ….” Val buru-buru menutup mulutnya. “Sori ….”Saga tidak bereaksi apa pun selain menghela napas panja
“Ga …?” “Ah, apa …?” Saga baru tersadar ketika Val menggoyang-goyangkan lengan jasnya. Val menatap pria yang kini sudah menjadi suaminya. Ia lalu memandang arah yang tadi dilihat Saga, tetapi tidak menemukan ada yang aneh di sana. “Kenapa lihat ke sana terus? Sudah waktunya kita turun,” katanya. “Oh, ayo.” Saga menggandeng tangan Val dan membantunya turun dari panggung. Tak lama, Val dan Saga duduk bersama keluarga mereka. Menikmati jamuan makan malam yang disediakan. Obrolan ringan juga turut mewarnai kehangatan keluarga baru itu. Beberapa jam kemudian, acara selesai. Seluruh tamu undangan sudah meninggalkan gedung. Para keluarga sebagian meninggalkan gedung, sebagian lagi menginap di hotel yang sama dengan Val dan Saga. Mereka memang sengaja menyediakan kamar kosong untuk beberapa keluarga yang tinggal di luar kora, seperti Tante Icha dan Riska. Val dan Saga diantar Kaira dan Arion ke kamar hotel mereka. Kaira tampak bahagia dengan senyum yang tak pernah hilang dari wajahnya.
“Kamu sudah yakin, Val?” Rima bertanya pada putrinya karena sedikit khawatir. Val mengangguk dan tersenyum. “Iya. Masa sudah begini, masih ditanya lagi sih?” Rima tersenyum sedikit. “Kamu bisa bilang ke Mama, Val. Nanti Mama yang akan cari cara.” Kali ini Val menggeleng. “Nggak usah, Ma. Memangnya Mama berani bilang sama Tante Diana? Dia teman baik Mama, ‘kan?” Rima diam sejenak lalu menjawab, “Iya, tapi … Mama rasa dia akan mengerti, Val.” “Nggak usah, Ma. Val baik-baik saja kok. Mama juga sudah lihat sendiri, ‘kan?” Val memamerkan senyum terbaik dan tercantiknya. “Saga pasti juga begitu.” Rima menatap putrinya sekali lagi. Val pun mengangguk untuk meyakinkan sang ibu. “Baiklah kalau begitu. Mama keluar dulu. Tamu-tamu sudah banyak yang datang.” Rima berdiri lalu keluar dari ruangan itu. Val mengantarnya dengan senyum bahagia. Ketika pintu di depannya tertutup, senyumnya memudar. Sungguh merupakan keputusan yang sulit baginya, tapi ia harus melakukannya. Sementara itu, di rua
“Aaah … capek juga ternyata bikin kue!” keluh Val sambil mengempaskan tubuh ke tempat tidur. Ia baru saja memasukkan dua loyang kue ke oven dan mengatur waktunya. Sambil menunggu, ia berniat beristirahat sebentar. Dari luar, Val bisa saja tertawa lepas seolah tidak ada yang mengusiknya. Namun, hatinya menjeritkan rindu yang sama pada seseorang. Berbagai kenangan bersama Saga mulai bermunculan, menggoda dirinya, dan membawanya kembali ke masa lalu yang jauh. Masa-masa di mana ia sama sekali tidak menyadari perhatian-perhatian kecil Saga padanya. “Aku mau ke kantin! Ada yang titip?” tanya Nita sambil berdiri. Saat itu, tim mading yang terdiri dari Saga, Val, Nita, Noah, dan Andi, sedang mengerjakan proyek minggu ini. Mereka berkumpul di ruang OSIS sepulang sekolah. Segera anak-anak menyebutkan pesanannya dan Nita pun berlalu. Val tidak pernah mengetahui bahwa saat itu Saga selalu memperhatikan gerak-geriknya. Apa pun yang ia lakukan, selalu mampu membuat senyum Saga mengembang. Namun
Val terbangun di Minggu pagi yang cerah. Sinar matahari sudah masuk dari jendela yang terbuka lebar. Kehangatannya memenuhi kamar dan tubuh Val yang masih memeluk guling, sambil mengejap-ngejapkan mata untuk menyesuaikan perubahan yang mendadak. Beberapa detik kemudian tubuh Val tegak di tempat tidur dengan rambut kusut dan wajah kusam. Samar-samar telinganya menangkap percakapan di luar. Ada suara ibunya dan suara lain yang tidak ia kenal. “Maaf, Bu Rima, sudah ganggu pagi-pagi.” “Oh, nggak apa-apa, Bu. Saya yang terima kasih karena sudah diberi ini.” “Itu cuma hasil kebun dari kampung, Bu. Kebetulan kemarin baru pulang dari sana.” “Pantesan kelihatan segar ini. Terima kasih banyak, Bu Nuri.” “Sama-sama, Bu. Baiklah, saya permisi dulu.” “Silakan.” “Siapa itu? Tetangga?” gumam Val lalu beringsut turun dari tempat tidur dan keluar. Baru saja ia menutup pintu di belakangnya, sang ibu muncul sambil membawa dua sisir pisang ambon di tangan. “Sudah bangun, Val?” sapa Rima. Val men
Hari pun berganti. Biasanya di akhir pekan banyak pasangan menghabiskan waktu bersama, termasuk Val dan Saga. Namun, kali ini berbeda. Pasangan yang dalam satu minggu ke depan akan melangsungkan pernikahan itu sedang ditimpa masalah. Masing-masing menghabiskan waktu di tempat yang berbeda dengan sikap yang berbeda pula. Saga seperti orang gila yang kehilangan sesuatu yang teramat berharga baginya. Telepon dari calon mertuanya membuatnya tersiksa sepanjang malam hingga tidak bisa tidur. Hari yang seharusnya cerah ini terasa begitu buruk bagi Saga. Sedari pagi, pria itu mondar-mandir di apartemennya. Seluruh penampilannya tampak berantakan. Botol-botol minuman berserak di meja dan lantai membuat ruangan itu sudah seperti kapal pecah. Bel pintu berbunyi. Buru-buru Saga membukanya dan langsung membentak. “Kai! Arion! kenapa kalian lama sekali?! Kenapa baru datang?!” Arion dan Kaira saling berpandangan lalu mengembuskan napas kesal. “Gimana bisa cepat kalau baru setengah jam lalu kau
Di ruang kerjanya, Arion mengamati layar ponsel yang berisi panggilan dari Val. Beberapa waktu lalu, gadis itu meneleponnya. Meminta izin tidak masuk hari ini. Ia sudah menduga ada sesuatu yang terjadi dengan dua sahabatnya itu. Tanpa mendapat jawaban yang sebenarnya, ia malah mendengar sesuatu yang tidak disangkanya sama sekali. Bentakan Saga, jeritan Val, ia mendengar semuanya dari ponsel yang tidak dimatikan dengan benar. Tidak tahan membayangkan apa yang terjadi di sana, Arion menekan tombol merah. “Apa yang kamu lakukan, Ga? Kenapa kamu begitu? Kenapa kalian seperti ini?” Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepala Arion. Andai saja ia bisa merebut gadis itu kembali, ia akan melarang Saga berbuat sesukanya. Sekarang ini, ia tidak berdaya untuk membantu apa pun. Itu sudah di luar kendalinya, bukan haknya. Arion mengangkat kepala ketika Saga muncul di ambang pintu ruangannya. Wajahnya tampak kacau dan ia sangat gugup. “Rion …,” katanya lirih. Arion berdiri dan mendekati Saga.
Val yang sangat merindukan kekasihnya itu membalas cumbuan Saga di bibirnya. Namun, beberapa detik kemudian ia mendorong pria itu menjauh. Wajahnya merah. “Kenapa?” Saga heran. “Ini nggak benar,” jawab Val. “Apanya yang nggak benar?” “Masalah ini, nggak semudah itu selesai.” Saga membawa wajah Val menatapnya. “Apanya yang belum selesai?” “Apa buktinya kalau wanita itu nggak akan menganggumu lagi?” “Aku sudah melarangnya. Aku sudah memintanya untuk nggak ganggu aku, kita. Apa lagi?” “Kamu yakin dia akan menurut begitu saja? Kulihat, dia orang yang selalu bisa mendapatkan keinginannya. Dia nggak semudah itu menyerah.” “Lalu, apa maumu, Val? Aku sudah nggak mau lagi berurusan dengannya.” Val masih menatap Saga mencari kebenaran di sana. “Begini saja, kalau sampai dia menghubungiku lagi, aku akan melaporkannya ke polisi. Bagaimana?” “Apa akan berhasil?” “Aku nggak tahu, tapi nggak ada
Setelah Erin pergi dengan wajah tak percaya dan tidak terima diperlakukan begitu, Saga terduduk di sofa dengan kepala sakit. Semua tampak berputar-putar di depan matanya. Bayangan wajah Val yang menangis membuatnya merasa jadi manusia paling bodoh di dunia. Ia merasa bersalah dan rasa itu lebih menyakitkan daripada saat Erin meninggalkannya. Tidak punya pilihan lain, Saga menghubungi seseorang yang ia percaya. “Aku butuh bantuanmu.” Sementara itu, Val menangis dalam diam di kamarnya. Ia ingin memercayai ucapan Saga, tapi apa yang dilihatnya tadi begitu menyakitkan. Sungguh ia tidak bisa membayangkan perjalanan cintanya akan sesulit ini. Pernikahan yang sudah di depan mata, bagaimana nasibnya, ia tidak tahu. Ponsel Val yang bergetar menghentikan isak tangisnya begitu melihat nama peneleponnya. Buru-buru ia menghapus sisa-sisa kesedihan dan mengatur napasnya, sebelum menjawab. “Val, kamu belum tidur?” Rima, ibunya menyapa. “Ah, Mama. Be
Val menatap gedung apartemen yang menjulang tinggi di depannya. Rasanya baru sebentar lalu ia berlari ke gedung sebelah ketika mendengar Saga sakit. Kini, menatapnya hanya menambah garam di atas lukanya. Ia teringat perkataan Noah bahwa Saga butuh waktu.Meski begitu, Val benar-benar merindukan Saga. Ia ingin bertemu dengannya. Ia juga telah membuat sebuah keputusan, dengan harapan itu akan membantu Saga menyelesaikan masalah ini.Kaki Val melangkah dengan mantap ke apartemen Saga. Ia sudah mempunyai kuncinya, jadi tidak ada masalah bila langsung mendatanginya, ‘kan? Ia akan menunggu jika Saga belum pulang dari urusannya, entah apa itu.Niat seringkali bertolak belakang dengan keberanian. Tangan Val bergetar ketika hendak memindai nomor kartu di pintu. Jantungnya berdegup kencang. Ia kemudian bimbang, apakah ini tindakan yang tepat? Namun, tekadnya sudah bulat. Ia pun membuka pintu itu. Sayangnya, apa yang ia lihat di dalam sana tidak sesuai dengan keingin