“Kamu kenapa, Ga? Suntuk banget kelihatannya.” Arion melihat sahabatnya itu tampak pucat dan lelah. Makanan di depannya hanya berkurang sedikit.
Saga menghela napas dan menyandarkan tubuh ke kursi kayu. Mereka berdua sedang menghabiskan waktu istirahat di rumah makan pilihan Arion.
“Mau menikah saja, urusannya ribet, ya? Padahal cuma nikah doang,” keluhnya. “Mesti urus surat-surat, jadwal temu vendor, dan tetek bengek lainnya.”
“Ya, iya lah, Ga. Mau gampang, ya, kawin saja,” gurau Arion sambil tertawa.
Saga mendengus. “Nggak juga. Habis kawin, kalau ada hasil, ya, tetap ribet juga. Tapi … memang harus dijalani.”
Arion tersenyum. Ia membayangkan dua sahabatnya berjalan berdampingan di altar. Dalam hati, ia mengucap doa tulus untuk mereka.
“Nggak kerasa, ya … sebentar lagi kalian akan menikah,” ujar Arion pelan seperti ditujukan pada dirinya sendiri.
&
“Kenapa? Bukannya kau lapar? Dulu kau bisa menghabiskannya sendirian, ‘kan?” Saga menyodorkan piring itu.Seketika wajah Val memerah mengingat ia pernah melakukannya saat bersama Arion. Entah apa karena memang nasi goreng ini enak sekali, atau ada lubang besar di lambungnya sehingga bisa menerima makanan begitu banyak.“Kamu sengaja ingin membuatku gendut? Apa kamu mau memilih baju lagi gara-gara nggak muat?” semprot Val kesal, tapi ia tetap menyendok nasi itu ke mulutnya. Bukan hanya aromanya saja yang menggelitik hidung, tapi rasanya juga memanjakan lidah. Tidak perlu waktu lama, makanan itu sudah berkurang separuhnya.Senyum Saga kembali mengembang. Ia mengedarkan pandang ke sekeliling lalu menghela napas panjang.“Sudah lama aku nggak ke sini. Tempat ini masih sama seperti dulu. Bedanya, sekarang aku sama kamu. Bukannya sama Arion.”Perkataan itu membuat Val tertawa. Saga senang melihat gadisnya sudah k
Dalam perjalanan pulang, Saga masih terus tertawa mengingat kejadian konyol tadi, sedangkan Val memajukan bibirnya dengan kesal.“Sampai kapan kamu mau mentertawakanku?” protesnya.“Habisnya kau lucu. Masalah sepele saja kau sampai mau kita putus? Yang benar saja! Lagi pula, apa kau benar-benar bisa melepaskanku begitu saja?”Val memalingkan muka ke jendela.“Aku juga nggak mungkin membiarkan kau pergi. Sepuluh tahun, Val. Sepuluh tahun aku hidup dalam penyesalan. Nggak akan kubiarkan kau pergi lagi.”Gadis itu kini menatap Saga. Sorot mata itu telah mengatakan semuanya. Tidak ada lagi yang perlu ia ragukan tentang perasaannya. Saga benar-benar mencintainya.“Kamu sih, kenapa nggak melakukannya sejak dulu. Kan, nggak perlu kayak tadi. Arion saja bilang kalau dia ….” Val buru-buru menutup mulutnya. “Sori ….”Saga tidak bereaksi apa pun selain menghela napas panja
Makan malam itu berakhir sangat lama karena Tante Icha dan Rissa banyak bertanya tentang hubungan mereka, terutama tentang diri Saga sendiri. Mereka seakan mengorek semua informasi untuk memuaskan keingintahuannya.Obrolan itu berlanjut dari ruang makan ke ruang keluarga. Saga berusaha menjawab sopan tanpa harus membeberkan semuanya. Ia cukup tahu apa yang harus dikatakan, dan apa yang tidak perlu.Val sedikit lega karena Saga memahaminya. Ia bukannya benci pada tante dan sepupunya itu. Ia hanya tidak menyukai cara mereka menatap Saga, padahal suami Rissa sendiri juga cukup tampan dan mapan.Jam jam sudah berada di angka sebelas, tapi perbincangan itu belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Val sudah bosan mendengar cerita yang sama dari Tante Icha yang membanggakan putri dan menantu yang tinggal bersamanya. Tak lupa, ia juga bercerita tentang kakak Rissa dan istrinya yang sudah lama tinggal di luar negeri.Pembicaraan ini tidak akan berakhir jika ti
“Aku mencintaimu, Val.” Saga mengucapkannya lagi dengan sungguh-sungguh dan membuat rona merah di wajah Val. Entah mengapa, ia sekarang jadi suka mengatakannya.“Aku juga mencintaimu, Saga.” Gadis itu tersenyum.Percakapan intim itu berakhir dengan Saga yang menyatukan bibir mereka. Val pun menyambutnya dengan melingkarkan lengan di leher Saga. Ciuman pria itu selalu mampu membuatnya mabuk kepayang.Didorong oleh suasana yang mendukung, pikiran Saga beraksi kembali. Ia tidak hanya mencium bibir itu dengan lembut dan perlahan seperti biasanya. Kali ini, ia melahap habis bibir merah yang sudah menjadi favoritnya. Menyesap, melumat, dan memagutnya dengan menggebu.Val dibuat kewalahan oleh cumbuan yang ia terima. Ini berbeda dengan ciuman mereka terakhir kalinya yang cukup panas. Ini bahkan lebih panas. Ciuman itu semakin dalam dan mendorong Val rebah di tempat tidur. Gadis itu tidak bisa berkutik dengan tubuh Saga di atas dan lengan
Cahaya keemasan yang menerobos masuk melalui celah gorden menggantikan rona kelabu dalam kamar hotel itu. Di tempat tidur, sepasang manusia masih terlelap dengan saling berpelukan seolah tidak ingin berpisah satu sama lain.Cuitan burung di depan jendela memaksa Val membuka mata. Dalam keadaan setengah sadar, ia memandang dada bidang di depannya. Ia juga merasakan embusan napas teratur dari pria yang sedang memeluknya.Seketika otak Val bekerja dan mengirim sinyal bahaya. Terkejut, sang gadis mendorong tubuh itu sekuat tenaga hingga jatuh ke lantai dengan bunyi debum keras dan rintihan.“Val! Kenapa kau mendorongku?!”Teriakan dari bawah kasur membuat Val melongok. Saga berusaha duduk sambil mengusap punggungnya yang membentur lantai.“Oh, maaf!” Val menutup mulut karena terkejut. “Kamu ngapain?”Saga berdiri dan berdecak kesal. “Apa kau amnesia? Kenapa kau bisa lupa kalau aku tidur di sampingmu? Sem
“Kalian sudah pulang rupanya.” Robby menyapa dari sofa tempat ia duduk bersama Diana sambil minum teh.Saga langsung menghampiri orang tuanya dan bertanya, “Kenapa dimajukan secara mendadak? Kenapa nggak bilang dulu? Aku jadi seperti orang bodoh di depan mereka.”Val yang masih diam mematung di tengah ruang tamu yang besar, perlahan mendekat. Ia baru pertama kali mengunjungi rumah calon mertuanya.“Val sayang, ayo, ke mari. Jangan sungkan.” Diana membawa Val duduk di sebelah Saga.“Pi, Mi, apa ada alasannya mendadak dimajukan?” Saga mengulang pertanyaannya.Robby mengalihkan tatapannya dari tablet di tangan. “Papi ada urusan dan nggak yakin bisa kembali tepat waktu. Lebih baik dimajukan saja. Harusnya kamu senang.”“Ta-tapi, kenapa nggak bilang padaku dulu?”“Kau ‘kan sedang sibuk kemarin. Kami pikir, nggak ada masalah. Toh, untuk kebaikan semuanya.&rd
“Bodoh! Bodoh! Saga, kau bodoh!”“Aku sudah kehilangannya. Dia sudah membenciku. Tidak ada harapan lagi. Mungkin, seharusnya aku langsung mengatakannya. Sial!”Val ingat kejadian di malam perpisahan itu. Rupanya Saga benar-benar terpuruk setelah kejadian itu. Mungkin itulah alasan mengapa halaman berikutnya tidak ada lagi tulisan tangan Saga.Kosong.Benar-benar kosong.Lelaki itu berhenti menulis tentang isi hatinya karena sudah tidak ada lagi yang perlu dituliskan. Ia sudah tidak bertemu lagi dengan seseorang yang telah membuatnya seperti ini. Ketika mereka bertemu lagi, masa-masa menulis buku harian itu sudah berlalu.Val beralih pada lembaran foto yang terselip di sana. Semuanya adalah foto semasa SMA dengan wajah-wajah yang masih ceria. Perlombaan mading, pertandingan olahraga, pentas seni, dan tampilan-tampilan saat acara sekolah. Gadis itu seolah mengenang kembali masa sekolahnya.Beber
“Ga!” panggil Val saat keduanya dalam perjalanan ke kantor esok harinya.Saga bergeming. Matanya fokus ke depan.“Saga!” ulang Val lebih keras. “Kamu masih marah soal kemarin?”“Nggak kok,” jawab Saga tanpa menoleh. Rahangnya berkedut seperti menahan emosi.“Nggak marah gimana? Mukamu saja masih ditekuk sejak kita pulang kemarin.”“Bukannya mukaku memang begini, ya? Kau sendiri yang bilang, aku galak dan pemarah.”Val terkekeh. “Idih! Ngambek beneran ternyata.”Disebut begitu, wajah Saga memerah. Namun, ia memang tidak bisa berlama-lama mendiamkan gadis itu. Meskipun dari luar ia menampakkan wajah tegas, tapi hatinya tidak sanggup. Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak mencubit pipi Val.“Kau ini, ya! Sekarang sudah berani godain aku!” ujar Saga gemas.“Sakit, tahu!” Val mengusap pipinya.“Salah sendi