Dalam perjalanan pulang, Saga masih terus tertawa mengingat kejadian konyol tadi, sedangkan Val memajukan bibirnya dengan kesal.
“Sampai kapan kamu mau mentertawakanku?” protesnya.
“Habisnya kau lucu. Masalah sepele saja kau sampai mau kita putus? Yang benar saja! Lagi pula, apa kau benar-benar bisa melepaskanku begitu saja?”
Val memalingkan muka ke jendela.
“Aku juga nggak mungkin membiarkan kau pergi. Sepuluh tahun, Val. Sepuluh tahun aku hidup dalam penyesalan. Nggak akan kubiarkan kau pergi lagi.”
Gadis itu kini menatap Saga. Sorot mata itu telah mengatakan semuanya. Tidak ada lagi yang perlu ia ragukan tentang perasaannya. Saga benar-benar mencintainya.
“Kamu sih, kenapa nggak melakukannya sejak dulu. Kan, nggak perlu kayak tadi. Arion saja bilang kalau dia ….” Val buru-buru menutup mulutnya. “Sori ….”
Saga tidak bereaksi apa pun selain menghela napas panja
Makan malam itu berakhir sangat lama karena Tante Icha dan Rissa banyak bertanya tentang hubungan mereka, terutama tentang diri Saga sendiri. Mereka seakan mengorek semua informasi untuk memuaskan keingintahuannya.Obrolan itu berlanjut dari ruang makan ke ruang keluarga. Saga berusaha menjawab sopan tanpa harus membeberkan semuanya. Ia cukup tahu apa yang harus dikatakan, dan apa yang tidak perlu.Val sedikit lega karena Saga memahaminya. Ia bukannya benci pada tante dan sepupunya itu. Ia hanya tidak menyukai cara mereka menatap Saga, padahal suami Rissa sendiri juga cukup tampan dan mapan.Jam jam sudah berada di angka sebelas, tapi perbincangan itu belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Val sudah bosan mendengar cerita yang sama dari Tante Icha yang membanggakan putri dan menantu yang tinggal bersamanya. Tak lupa, ia juga bercerita tentang kakak Rissa dan istrinya yang sudah lama tinggal di luar negeri.Pembicaraan ini tidak akan berakhir jika ti
“Aku mencintaimu, Val.” Saga mengucapkannya lagi dengan sungguh-sungguh dan membuat rona merah di wajah Val. Entah mengapa, ia sekarang jadi suka mengatakannya.“Aku juga mencintaimu, Saga.” Gadis itu tersenyum.Percakapan intim itu berakhir dengan Saga yang menyatukan bibir mereka. Val pun menyambutnya dengan melingkarkan lengan di leher Saga. Ciuman pria itu selalu mampu membuatnya mabuk kepayang.Didorong oleh suasana yang mendukung, pikiran Saga beraksi kembali. Ia tidak hanya mencium bibir itu dengan lembut dan perlahan seperti biasanya. Kali ini, ia melahap habis bibir merah yang sudah menjadi favoritnya. Menyesap, melumat, dan memagutnya dengan menggebu.Val dibuat kewalahan oleh cumbuan yang ia terima. Ini berbeda dengan ciuman mereka terakhir kalinya yang cukup panas. Ini bahkan lebih panas. Ciuman itu semakin dalam dan mendorong Val rebah di tempat tidur. Gadis itu tidak bisa berkutik dengan tubuh Saga di atas dan lengan
Cahaya keemasan yang menerobos masuk melalui celah gorden menggantikan rona kelabu dalam kamar hotel itu. Di tempat tidur, sepasang manusia masih terlelap dengan saling berpelukan seolah tidak ingin berpisah satu sama lain.Cuitan burung di depan jendela memaksa Val membuka mata. Dalam keadaan setengah sadar, ia memandang dada bidang di depannya. Ia juga merasakan embusan napas teratur dari pria yang sedang memeluknya.Seketika otak Val bekerja dan mengirim sinyal bahaya. Terkejut, sang gadis mendorong tubuh itu sekuat tenaga hingga jatuh ke lantai dengan bunyi debum keras dan rintihan.“Val! Kenapa kau mendorongku?!”Teriakan dari bawah kasur membuat Val melongok. Saga berusaha duduk sambil mengusap punggungnya yang membentur lantai.“Oh, maaf!” Val menutup mulut karena terkejut. “Kamu ngapain?”Saga berdiri dan berdecak kesal. “Apa kau amnesia? Kenapa kau bisa lupa kalau aku tidur di sampingmu? Sem
“Kalian sudah pulang rupanya.” Robby menyapa dari sofa tempat ia duduk bersama Diana sambil minum teh.Saga langsung menghampiri orang tuanya dan bertanya, “Kenapa dimajukan secara mendadak? Kenapa nggak bilang dulu? Aku jadi seperti orang bodoh di depan mereka.”Val yang masih diam mematung di tengah ruang tamu yang besar, perlahan mendekat. Ia baru pertama kali mengunjungi rumah calon mertuanya.“Val sayang, ayo, ke mari. Jangan sungkan.” Diana membawa Val duduk di sebelah Saga.“Pi, Mi, apa ada alasannya mendadak dimajukan?” Saga mengulang pertanyaannya.Robby mengalihkan tatapannya dari tablet di tangan. “Papi ada urusan dan nggak yakin bisa kembali tepat waktu. Lebih baik dimajukan saja. Harusnya kamu senang.”“Ta-tapi, kenapa nggak bilang padaku dulu?”“Kau ‘kan sedang sibuk kemarin. Kami pikir, nggak ada masalah. Toh, untuk kebaikan semuanya.&rd
“Bodoh! Bodoh! Saga, kau bodoh!”“Aku sudah kehilangannya. Dia sudah membenciku. Tidak ada harapan lagi. Mungkin, seharusnya aku langsung mengatakannya. Sial!”Val ingat kejadian di malam perpisahan itu. Rupanya Saga benar-benar terpuruk setelah kejadian itu. Mungkin itulah alasan mengapa halaman berikutnya tidak ada lagi tulisan tangan Saga.Kosong.Benar-benar kosong.Lelaki itu berhenti menulis tentang isi hatinya karena sudah tidak ada lagi yang perlu dituliskan. Ia sudah tidak bertemu lagi dengan seseorang yang telah membuatnya seperti ini. Ketika mereka bertemu lagi, masa-masa menulis buku harian itu sudah berlalu.Val beralih pada lembaran foto yang terselip di sana. Semuanya adalah foto semasa SMA dengan wajah-wajah yang masih ceria. Perlombaan mading, pertandingan olahraga, pentas seni, dan tampilan-tampilan saat acara sekolah. Gadis itu seolah mengenang kembali masa sekolahnya.Beber
“Ga!” panggil Val saat keduanya dalam perjalanan ke kantor esok harinya.Saga bergeming. Matanya fokus ke depan.“Saga!” ulang Val lebih keras. “Kamu masih marah soal kemarin?”“Nggak kok,” jawab Saga tanpa menoleh. Rahangnya berkedut seperti menahan emosi.“Nggak marah gimana? Mukamu saja masih ditekuk sejak kita pulang kemarin.”“Bukannya mukaku memang begini, ya? Kau sendiri yang bilang, aku galak dan pemarah.”Val terkekeh. “Idih! Ngambek beneran ternyata.”Disebut begitu, wajah Saga memerah. Namun, ia memang tidak bisa berlama-lama mendiamkan gadis itu. Meskipun dari luar ia menampakkan wajah tegas, tapi hatinya tidak sanggup. Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak mencubit pipi Val.“Kau ini, ya! Sekarang sudah berani godain aku!” ujar Saga gemas.“Sakit, tahu!” Val mengusap pipinya.“Salah sendi
“Rion! Saga kenapa?” Val bertanya panik. Ia bergegas ke rumah sakit ketika Arion mengabarinya.Tubuh Saga yang tergolek di tempat tidur dengan wajah pucat membuat Val cemas. Gadis itu segera duduk di sampingnya dan menggenggam erat jemari Saga. “Ga, Saga. Kamu bisa dengar aku?”Saga masih bergeming.“Rion, dia kenapa? Kenapa bisa begini?” Val mulai panik. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.Arion yang sejak tadi menungguinya, memberi penjelasan singkat pada Val. “Aku juga nggak tahu. Dia tiba-tiba pingsan. Kata dokter, sepertinya karena stres dan kecapekan.”Val memikirkan jawaban Arion. Memang benar, beberapa waktu terakhir ini mereka cukup sibuk mempersiapkan pernikahan. Setiap pulang bekerja dan di hari libur, mereka akan menyempatkan waktu mengurus detail yang dibutuhkan untuk pernikahan yang tinggal sebentar lagi.“Makasih, Rion. Kamu pasti lelah. Aku yang akan menung
VVal menatap wajah Saga yang tidur seperti bayi. Kepalanya masih penuh tanda tanya tentang siapa wanita yang menelepon kekasihnya barusan. Dari pesan yang dikirim wanita itu, sepertinya mereka saling mengenal dan bukan dalam waktu singkat. Jelas mereka telah terlibat dalam hubungan yang cukup dalam, bahkan intim.Hati Val terasa sesak memikirkannya. Cairan bening mulai menggenang di pelupuk matanya. Kemungkinan terbesar telah terbersit di benaknya.Apa Saga selingkuh?Tidak! Jelas tidak! Itu tidak mungkin.Val menggeleng keras. Waktu yang mereka habiskan selama ini tidak memungkinkan Saga bertemu wanita lain selain Kaira dan ibunya.Jangan-jangan … mantan Saga? Dahi Val berkerut. Rasa sesak dalam dadanya bertambah besar hingga ia harus mengambil napas dalam-dalam. Tapi, Saga bilang, mereka sudah putus. Lalu, apa maksud pesan tadi?Val tidak bisa berpikir lagi. ia beranjak dari duduknya dan berjalan ke jendela
“Ga …?” “Ah, apa …?” Saga baru tersadar ketika Val menggoyang-goyangkan lengan jasnya. Val menatap pria yang kini sudah menjadi suaminya. Ia lalu memandang arah yang tadi dilihat Saga, tetapi tidak menemukan ada yang aneh di sana. “Kenapa lihat ke sana terus? Sudah waktunya kita turun,” katanya. “Oh, ayo.” Saga menggandeng tangan Val dan membantunya turun dari panggung. Tak lama, Val dan Saga duduk bersama keluarga mereka. Menikmati jamuan makan malam yang disediakan. Obrolan ringan juga turut mewarnai kehangatan keluarga baru itu. Beberapa jam kemudian, acara selesai. Seluruh tamu undangan sudah meninggalkan gedung. Para keluarga sebagian meninggalkan gedung, sebagian lagi menginap di hotel yang sama dengan Val dan Saga. Mereka memang sengaja menyediakan kamar kosong untuk beberapa keluarga yang tinggal di luar kora, seperti Tante Icha dan Riska. Val dan Saga diantar Kaira dan Arion ke kamar hotel mereka. Kaira tampak bahagia dengan senyum yang tak pernah hilang dari wajahnya.
“Kamu sudah yakin, Val?” Rima bertanya pada putrinya karena sedikit khawatir. Val mengangguk dan tersenyum. “Iya. Masa sudah begini, masih ditanya lagi sih?” Rima tersenyum sedikit. “Kamu bisa bilang ke Mama, Val. Nanti Mama yang akan cari cara.” Kali ini Val menggeleng. “Nggak usah, Ma. Memangnya Mama berani bilang sama Tante Diana? Dia teman baik Mama, ‘kan?” Rima diam sejenak lalu menjawab, “Iya, tapi … Mama rasa dia akan mengerti, Val.” “Nggak usah, Ma. Val baik-baik saja kok. Mama juga sudah lihat sendiri, ‘kan?” Val memamerkan senyum terbaik dan tercantiknya. “Saga pasti juga begitu.” Rima menatap putrinya sekali lagi. Val pun mengangguk untuk meyakinkan sang ibu. “Baiklah kalau begitu. Mama keluar dulu. Tamu-tamu sudah banyak yang datang.” Rima berdiri lalu keluar dari ruangan itu. Val mengantarnya dengan senyum bahagia. Ketika pintu di depannya tertutup, senyumnya memudar. Sungguh merupakan keputusan yang sulit baginya, tapi ia harus melakukannya. Sementara itu, di rua
“Aaah … capek juga ternyata bikin kue!” keluh Val sambil mengempaskan tubuh ke tempat tidur. Ia baru saja memasukkan dua loyang kue ke oven dan mengatur waktunya. Sambil menunggu, ia berniat beristirahat sebentar. Dari luar, Val bisa saja tertawa lepas seolah tidak ada yang mengusiknya. Namun, hatinya menjeritkan rindu yang sama pada seseorang. Berbagai kenangan bersama Saga mulai bermunculan, menggoda dirinya, dan membawanya kembali ke masa lalu yang jauh. Masa-masa di mana ia sama sekali tidak menyadari perhatian-perhatian kecil Saga padanya. “Aku mau ke kantin! Ada yang titip?” tanya Nita sambil berdiri. Saat itu, tim mading yang terdiri dari Saga, Val, Nita, Noah, dan Andi, sedang mengerjakan proyek minggu ini. Mereka berkumpul di ruang OSIS sepulang sekolah. Segera anak-anak menyebutkan pesanannya dan Nita pun berlalu. Val tidak pernah mengetahui bahwa saat itu Saga selalu memperhatikan gerak-geriknya. Apa pun yang ia lakukan, selalu mampu membuat senyum Saga mengembang. Namun
Val terbangun di Minggu pagi yang cerah. Sinar matahari sudah masuk dari jendela yang terbuka lebar. Kehangatannya memenuhi kamar dan tubuh Val yang masih memeluk guling, sambil mengejap-ngejapkan mata untuk menyesuaikan perubahan yang mendadak. Beberapa detik kemudian tubuh Val tegak di tempat tidur dengan rambut kusut dan wajah kusam. Samar-samar telinganya menangkap percakapan di luar. Ada suara ibunya dan suara lain yang tidak ia kenal. “Maaf, Bu Rima, sudah ganggu pagi-pagi.” “Oh, nggak apa-apa, Bu. Saya yang terima kasih karena sudah diberi ini.” “Itu cuma hasil kebun dari kampung, Bu. Kebetulan kemarin baru pulang dari sana.” “Pantesan kelihatan segar ini. Terima kasih banyak, Bu Nuri.” “Sama-sama, Bu. Baiklah, saya permisi dulu.” “Silakan.” “Siapa itu? Tetangga?” gumam Val lalu beringsut turun dari tempat tidur dan keluar. Baru saja ia menutup pintu di belakangnya, sang ibu muncul sambil membawa dua sisir pisang ambon di tangan. “Sudah bangun, Val?” sapa Rima. Val men
Hari pun berganti. Biasanya di akhir pekan banyak pasangan menghabiskan waktu bersama, termasuk Val dan Saga. Namun, kali ini berbeda. Pasangan yang dalam satu minggu ke depan akan melangsungkan pernikahan itu sedang ditimpa masalah. Masing-masing menghabiskan waktu di tempat yang berbeda dengan sikap yang berbeda pula. Saga seperti orang gila yang kehilangan sesuatu yang teramat berharga baginya. Telepon dari calon mertuanya membuatnya tersiksa sepanjang malam hingga tidak bisa tidur. Hari yang seharusnya cerah ini terasa begitu buruk bagi Saga. Sedari pagi, pria itu mondar-mandir di apartemennya. Seluruh penampilannya tampak berantakan. Botol-botol minuman berserak di meja dan lantai membuat ruangan itu sudah seperti kapal pecah. Bel pintu berbunyi. Buru-buru Saga membukanya dan langsung membentak. “Kai! Arion! kenapa kalian lama sekali?! Kenapa baru datang?!” Arion dan Kaira saling berpandangan lalu mengembuskan napas kesal. “Gimana bisa cepat kalau baru setengah jam lalu kau
Di ruang kerjanya, Arion mengamati layar ponsel yang berisi panggilan dari Val. Beberapa waktu lalu, gadis itu meneleponnya. Meminta izin tidak masuk hari ini. Ia sudah menduga ada sesuatu yang terjadi dengan dua sahabatnya itu. Tanpa mendapat jawaban yang sebenarnya, ia malah mendengar sesuatu yang tidak disangkanya sama sekali. Bentakan Saga, jeritan Val, ia mendengar semuanya dari ponsel yang tidak dimatikan dengan benar. Tidak tahan membayangkan apa yang terjadi di sana, Arion menekan tombol merah. “Apa yang kamu lakukan, Ga? Kenapa kamu begitu? Kenapa kalian seperti ini?” Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepala Arion. Andai saja ia bisa merebut gadis itu kembali, ia akan melarang Saga berbuat sesukanya. Sekarang ini, ia tidak berdaya untuk membantu apa pun. Itu sudah di luar kendalinya, bukan haknya. Arion mengangkat kepala ketika Saga muncul di ambang pintu ruangannya. Wajahnya tampak kacau dan ia sangat gugup. “Rion …,” katanya lirih. Arion berdiri dan mendekati Saga.
Val yang sangat merindukan kekasihnya itu membalas cumbuan Saga di bibirnya. Namun, beberapa detik kemudian ia mendorong pria itu menjauh. Wajahnya merah. “Kenapa?” Saga heran. “Ini nggak benar,” jawab Val. “Apanya yang nggak benar?” “Masalah ini, nggak semudah itu selesai.” Saga membawa wajah Val menatapnya. “Apanya yang belum selesai?” “Apa buktinya kalau wanita itu nggak akan menganggumu lagi?” “Aku sudah melarangnya. Aku sudah memintanya untuk nggak ganggu aku, kita. Apa lagi?” “Kamu yakin dia akan menurut begitu saja? Kulihat, dia orang yang selalu bisa mendapatkan keinginannya. Dia nggak semudah itu menyerah.” “Lalu, apa maumu, Val? Aku sudah nggak mau lagi berurusan dengannya.” Val masih menatap Saga mencari kebenaran di sana. “Begini saja, kalau sampai dia menghubungiku lagi, aku akan melaporkannya ke polisi. Bagaimana?” “Apa akan berhasil?” “Aku nggak tahu, tapi nggak ada
Setelah Erin pergi dengan wajah tak percaya dan tidak terima diperlakukan begitu, Saga terduduk di sofa dengan kepala sakit. Semua tampak berputar-putar di depan matanya. Bayangan wajah Val yang menangis membuatnya merasa jadi manusia paling bodoh di dunia. Ia merasa bersalah dan rasa itu lebih menyakitkan daripada saat Erin meninggalkannya. Tidak punya pilihan lain, Saga menghubungi seseorang yang ia percaya. “Aku butuh bantuanmu.” Sementara itu, Val menangis dalam diam di kamarnya. Ia ingin memercayai ucapan Saga, tapi apa yang dilihatnya tadi begitu menyakitkan. Sungguh ia tidak bisa membayangkan perjalanan cintanya akan sesulit ini. Pernikahan yang sudah di depan mata, bagaimana nasibnya, ia tidak tahu. Ponsel Val yang bergetar menghentikan isak tangisnya begitu melihat nama peneleponnya. Buru-buru ia menghapus sisa-sisa kesedihan dan mengatur napasnya, sebelum menjawab. “Val, kamu belum tidur?” Rima, ibunya menyapa. “Ah, Mama. Be
Val menatap gedung apartemen yang menjulang tinggi di depannya. Rasanya baru sebentar lalu ia berlari ke gedung sebelah ketika mendengar Saga sakit. Kini, menatapnya hanya menambah garam di atas lukanya. Ia teringat perkataan Noah bahwa Saga butuh waktu.Meski begitu, Val benar-benar merindukan Saga. Ia ingin bertemu dengannya. Ia juga telah membuat sebuah keputusan, dengan harapan itu akan membantu Saga menyelesaikan masalah ini.Kaki Val melangkah dengan mantap ke apartemen Saga. Ia sudah mempunyai kuncinya, jadi tidak ada masalah bila langsung mendatanginya, ‘kan? Ia akan menunggu jika Saga belum pulang dari urusannya, entah apa itu.Niat seringkali bertolak belakang dengan keberanian. Tangan Val bergetar ketika hendak memindai nomor kartu di pintu. Jantungnya berdegup kencang. Ia kemudian bimbang, apakah ini tindakan yang tepat? Namun, tekadnya sudah bulat. Ia pun membuka pintu itu. Sayangnya, apa yang ia lihat di dalam sana tidak sesuai dengan keingin