Makan malam itu berakhir sangat lama karena Tante Icha dan Rissa banyak bertanya tentang hubungan mereka, terutama tentang diri Saga sendiri. Mereka seakan mengorek semua informasi untuk memuaskan keingintahuannya.
Obrolan itu berlanjut dari ruang makan ke ruang keluarga. Saga berusaha menjawab sopan tanpa harus membeberkan semuanya. Ia cukup tahu apa yang harus dikatakan, dan apa yang tidak perlu.
Val sedikit lega karena Saga memahaminya. Ia bukannya benci pada tante dan sepupunya itu. Ia hanya tidak menyukai cara mereka menatap Saga, padahal suami Rissa sendiri juga cukup tampan dan mapan.
Jam jam sudah berada di angka sebelas, tapi perbincangan itu belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Val sudah bosan mendengar cerita yang sama dari Tante Icha yang membanggakan putri dan menantu yang tinggal bersamanya. Tak lupa, ia juga bercerita tentang kakak Rissa dan istrinya yang sudah lama tinggal di luar negeri.
Pembicaraan ini tidak akan berakhir jika ti
“Aku mencintaimu, Val.” Saga mengucapkannya lagi dengan sungguh-sungguh dan membuat rona merah di wajah Val. Entah mengapa, ia sekarang jadi suka mengatakannya.“Aku juga mencintaimu, Saga.” Gadis itu tersenyum.Percakapan intim itu berakhir dengan Saga yang menyatukan bibir mereka. Val pun menyambutnya dengan melingkarkan lengan di leher Saga. Ciuman pria itu selalu mampu membuatnya mabuk kepayang.Didorong oleh suasana yang mendukung, pikiran Saga beraksi kembali. Ia tidak hanya mencium bibir itu dengan lembut dan perlahan seperti biasanya. Kali ini, ia melahap habis bibir merah yang sudah menjadi favoritnya. Menyesap, melumat, dan memagutnya dengan menggebu.Val dibuat kewalahan oleh cumbuan yang ia terima. Ini berbeda dengan ciuman mereka terakhir kalinya yang cukup panas. Ini bahkan lebih panas. Ciuman itu semakin dalam dan mendorong Val rebah di tempat tidur. Gadis itu tidak bisa berkutik dengan tubuh Saga di atas dan lengan
Cahaya keemasan yang menerobos masuk melalui celah gorden menggantikan rona kelabu dalam kamar hotel itu. Di tempat tidur, sepasang manusia masih terlelap dengan saling berpelukan seolah tidak ingin berpisah satu sama lain.Cuitan burung di depan jendela memaksa Val membuka mata. Dalam keadaan setengah sadar, ia memandang dada bidang di depannya. Ia juga merasakan embusan napas teratur dari pria yang sedang memeluknya.Seketika otak Val bekerja dan mengirim sinyal bahaya. Terkejut, sang gadis mendorong tubuh itu sekuat tenaga hingga jatuh ke lantai dengan bunyi debum keras dan rintihan.“Val! Kenapa kau mendorongku?!”Teriakan dari bawah kasur membuat Val melongok. Saga berusaha duduk sambil mengusap punggungnya yang membentur lantai.“Oh, maaf!” Val menutup mulut karena terkejut. “Kamu ngapain?”Saga berdiri dan berdecak kesal. “Apa kau amnesia? Kenapa kau bisa lupa kalau aku tidur di sampingmu? Sem
“Kalian sudah pulang rupanya.” Robby menyapa dari sofa tempat ia duduk bersama Diana sambil minum teh.Saga langsung menghampiri orang tuanya dan bertanya, “Kenapa dimajukan secara mendadak? Kenapa nggak bilang dulu? Aku jadi seperti orang bodoh di depan mereka.”Val yang masih diam mematung di tengah ruang tamu yang besar, perlahan mendekat. Ia baru pertama kali mengunjungi rumah calon mertuanya.“Val sayang, ayo, ke mari. Jangan sungkan.” Diana membawa Val duduk di sebelah Saga.“Pi, Mi, apa ada alasannya mendadak dimajukan?” Saga mengulang pertanyaannya.Robby mengalihkan tatapannya dari tablet di tangan. “Papi ada urusan dan nggak yakin bisa kembali tepat waktu. Lebih baik dimajukan saja. Harusnya kamu senang.”“Ta-tapi, kenapa nggak bilang padaku dulu?”“Kau ‘kan sedang sibuk kemarin. Kami pikir, nggak ada masalah. Toh, untuk kebaikan semuanya.&rd
“Bodoh! Bodoh! Saga, kau bodoh!”“Aku sudah kehilangannya. Dia sudah membenciku. Tidak ada harapan lagi. Mungkin, seharusnya aku langsung mengatakannya. Sial!”Val ingat kejadian di malam perpisahan itu. Rupanya Saga benar-benar terpuruk setelah kejadian itu. Mungkin itulah alasan mengapa halaman berikutnya tidak ada lagi tulisan tangan Saga.Kosong.Benar-benar kosong.Lelaki itu berhenti menulis tentang isi hatinya karena sudah tidak ada lagi yang perlu dituliskan. Ia sudah tidak bertemu lagi dengan seseorang yang telah membuatnya seperti ini. Ketika mereka bertemu lagi, masa-masa menulis buku harian itu sudah berlalu.Val beralih pada lembaran foto yang terselip di sana. Semuanya adalah foto semasa SMA dengan wajah-wajah yang masih ceria. Perlombaan mading, pertandingan olahraga, pentas seni, dan tampilan-tampilan saat acara sekolah. Gadis itu seolah mengenang kembali masa sekolahnya.Beber
“Ga!” panggil Val saat keduanya dalam perjalanan ke kantor esok harinya.Saga bergeming. Matanya fokus ke depan.“Saga!” ulang Val lebih keras. “Kamu masih marah soal kemarin?”“Nggak kok,” jawab Saga tanpa menoleh. Rahangnya berkedut seperti menahan emosi.“Nggak marah gimana? Mukamu saja masih ditekuk sejak kita pulang kemarin.”“Bukannya mukaku memang begini, ya? Kau sendiri yang bilang, aku galak dan pemarah.”Val terkekeh. “Idih! Ngambek beneran ternyata.”Disebut begitu, wajah Saga memerah. Namun, ia memang tidak bisa berlama-lama mendiamkan gadis itu. Meskipun dari luar ia menampakkan wajah tegas, tapi hatinya tidak sanggup. Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak mencubit pipi Val.“Kau ini, ya! Sekarang sudah berani godain aku!” ujar Saga gemas.“Sakit, tahu!” Val mengusap pipinya.“Salah sendi
“Rion! Saga kenapa?” Val bertanya panik. Ia bergegas ke rumah sakit ketika Arion mengabarinya.Tubuh Saga yang tergolek di tempat tidur dengan wajah pucat membuat Val cemas. Gadis itu segera duduk di sampingnya dan menggenggam erat jemari Saga. “Ga, Saga. Kamu bisa dengar aku?”Saga masih bergeming.“Rion, dia kenapa? Kenapa bisa begini?” Val mulai panik. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.Arion yang sejak tadi menungguinya, memberi penjelasan singkat pada Val. “Aku juga nggak tahu. Dia tiba-tiba pingsan. Kata dokter, sepertinya karena stres dan kecapekan.”Val memikirkan jawaban Arion. Memang benar, beberapa waktu terakhir ini mereka cukup sibuk mempersiapkan pernikahan. Setiap pulang bekerja dan di hari libur, mereka akan menyempatkan waktu mengurus detail yang dibutuhkan untuk pernikahan yang tinggal sebentar lagi.“Makasih, Rion. Kamu pasti lelah. Aku yang akan menung
VVal menatap wajah Saga yang tidur seperti bayi. Kepalanya masih penuh tanda tanya tentang siapa wanita yang menelepon kekasihnya barusan. Dari pesan yang dikirim wanita itu, sepertinya mereka saling mengenal dan bukan dalam waktu singkat. Jelas mereka telah terlibat dalam hubungan yang cukup dalam, bahkan intim.Hati Val terasa sesak memikirkannya. Cairan bening mulai menggenang di pelupuk matanya. Kemungkinan terbesar telah terbersit di benaknya.Apa Saga selingkuh?Tidak! Jelas tidak! Itu tidak mungkin.Val menggeleng keras. Waktu yang mereka habiskan selama ini tidak memungkinkan Saga bertemu wanita lain selain Kaira dan ibunya.Jangan-jangan … mantan Saga? Dahi Val berkerut. Rasa sesak dalam dadanya bertambah besar hingga ia harus mengambil napas dalam-dalam. Tapi, Saga bilang, mereka sudah putus. Lalu, apa maksud pesan tadi?Val tidak bisa berpikir lagi. ia beranjak dari duduknya dan berjalan ke jendela
Saga terkekeh melihat sosok Arion yang muncul dengan tawanya. Lalu ekspresinya berubah ketika melihat dua tas kerja di tangan Arion yang kemudian diletakkan di lantai. “Ah, sori, Ri. Aku jadi bikin masalah lagi, ya,” ujarnya. Arion tersenyum dan menyeret kursi di seberang Val. “Makanya itu, sebagai hukuman, kamu harus bantu aku menyelesaikan ini,” katanya sambil duduk. “Nggak apa-apa, ‘kan? Toh, kulihat kamu baik-baik aja sekarang.” “Dasar!” Saga ikut tertawa. Ganti Arion menatap Val. “Val, bener-bener sori, ya, Val. Aku harus ganggu istirahat Saga. Ini penting soalnya.” Val berdiri. “Oh, iya, nggak apa-apa. Aku ngerti kok. Aku memang berencana pulang setelah kamu datang.” “Lho? Kau nggak menginap di sini?” Saga terkejut hingga bangkit dari tidurnya. Tangannya meraih Val. “Kau nggak menemaniku di sini?” Wajah Val memerah, apalagi Arion melihatnya. Meskipun mereka bersahabat baik, tetap saja tidak etis menunjukkan kemesr