Pagi itu Val yang sudah rapi dengan pakaian kerjanya mematut-matutkan diri di depan cermin sebelum turun ke lobi. Penampilannya terlihat sempurna dengan rambut yang tergerai di bahu, riasan tipis, dan bibir berwarna peach.
Seperti biasa Arion akan menunggunya di depan. Namun, bukan mobil Arion yang terlihat di depan hidungnya, melainkan sedan putih beserta pemiliknya yang bersandar di sana.
Kalimat yang dilontarkan Saga ketika melihat Val datang dengan sorot mata yang penuh tanda tanya, menunjukkan bahwa ia sudah menunggu sejak tadi.
“Cepat masuk! Aku nggak mau terlambat!” perintahnya sambil membukakan pintu untuk Val yang masih bengong.
Begitu tersadar dari lamunan, Val memutuskan untuk menurut dan masuk ke dalam. Saga segera menyusul dan menyalakan mesin. Kendaraan itu pun melaju ke arah jalan raya.
Sebelum Val sempat membuka mulut untuk bertanya, Saga sudah terlebih dulu menjawab, “Arion sedang ada urusan pagi-pagi sek
Arion menatap lurus pada Saga yang sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. Namun, sahabatnya itu kemudian tertawa. “Lalu, apa kau akan menyerahkannya padaku? Jangan bodoh! Val sangat membenciku, kau tahu itu. Dan jelas, dia lebih memujamu daripada aku,” katanya. “Yang kamu jawab barusan itu, tentang Val. Aku bertanya tentang perasaanmu.” Saga menggeleng. “Nope. She’s not my type.” “Yang kukhawatirkan bukan Val, tapi kamu yang akan jatuh cinta padanya.” Saga tertawa lagi. Kali ini dengan cukup keras hingga terdengar berlebihan. “Seriously? No, no, no!” Arion hanya tersenyum tipis menanggapi perkataan Saga. Ia membiarkan Saga mengemudi dalam diam, sementara dia juga memikirkan sesuatu dalam kepalanya. Arion berpikir, apa pun yang terjadi, sebaiknya dia mempersiapkan diri. Seperti yang terjadi di malam ini. Hujan deras mengguyur kota saat Arion berhenti di depan apartemen Val. Buru-buru ia keluar setelah mengambi
“Taraaa!”Val terkejut ketika sebuah buket bunga berisi mawar merah dan putih disodorkan di depan hidungnya. Arion telah menunggunya di depan lobi sambil menyembunyikan bunga di balik punggung.“Apa ini?” Val terkejut sekaligus tersipu menerima pemberian Arion yang manis. Baru kali ini ia mendapat perlakuan istimewa dari seorang pria. Namun, hal itu membuatnya mengingat kembali perdebatan kecil dengan Saga. Seketika bibirnya cemberut. Kenapa dia bisa tahu sih kalau aku belum pernah?“Kenapa? Kamu nggak suka?” tanya Arion melihat perubahan ekspresi Val yang tiba-tiba.“Ah, apa?” Val terkejut. “Enggak kok. Aku suka! Terima kasih!” tambahnya sambil tersenyum. Ia mencium harum bunga itu.“Duh, pagi-pagi sudah pamer kemesraan saja!”Suara dari samping lobi apartemen Val membuatnya menoleh. Arion tersenyum melihat siapa yang datang. Saga bersama seorang gadis cantik b
Seratusan kilometer dari Saga, Arion membawa kendaraannya melaju ke suatu tempat di luar kota yang sejuk seperti permintaan Val. Suasana perkotaan yang sibuk membuat gadis itu ingin istirahat sejenak dengan bepergian ke tempat lain, dan Arion akan melakukan apa saja yang Val minta. Tentunya dengan harapan, setelah semua yang ia lakukan, dirinya akan memperoleh jawaban yang pasti dari Val.Di sinilah mereka sekarang di daerah pegunungan berhawa sejuk menyegarkan dan berkabut tipis. Val dan Arion sedang berdiri menatap pemandangan kota dan alam di bawah sana. Sebuah vila besar dan mewah milik keluarga Arion berdiri kokoh dan anggun di belakang mereka.“Bagaimana?” tanya Arion melihat sang gadis begitu menikmati suasana baru ini.Val tampak memejamkan mata dan menghirup dalam-dalam udara segar di sekelilingnya. Harum pepohonan dan rumput basah membawa suasana damai dalam hati dan menenangkan pikirannya yang jenuh.“Menyegarkan!” seru
Kembali pada Saga dan Kaira di kota. Mereka sudah sampai di sebuah tempat yang menyediakan venue untuk pesta dan semacamnya. Tempat itu sudah didekorasi sedemikian rupa untuk acara ulang tahun teman Kaira hari ini sejak di pintu masuk.“Ini acara ulang tahun atau pernikahan sih? Mewah sekali.” Saga memberi komentar. Ia juga memperhatikan orang-orang yang datang berpakaian sangat bagus dan elegan untuk sebuah acara ulang tahun. Untung saja, ia memakai kemeja dan jas kasual yang pantas. Kaira pun tampak anggun dengan gaun tosca selutut yang membalut tubuh rampingnya.“Kenapa kau memakai gaun seseksi itu? Dadamu hampir terlihat.” Saga mendengus kecil setelah menyadari potongan gaun yang dikenakan Kaira terlalu terbuka di bagian dada. “Seharusnya kau memakai scraf untuk menutupinya.”Kaira tertawa kecil. “Jangan terlalu kolot. Lihat dia.” Ia menunjuk gadis yang lewat di depannya. “Dia m
Val terbangun dengan rasa nyeri di kepala. Ia membuka mata perlahan, tapi pandangannya kabur oleh asap dan sorot senter yang ada di luar. Samar-samar telinganya menangkap suara panik dan perintah dari petugas di depan mobil yang ia naiki. Ia ingat tadi sedang mengobrol dengan Arion.“Arion ….” Val menoleh ke samping. Kepala Arion tergeletak di atas kemudi. Pelipisnya berdarah.Perlahan Val melepas sabuk pengamannya dan mendekati Arion. “Rion! Arion!” panggil Val sembari menepuk-nepuk pipi Arion. Laki-laki itu bergeming.Di saat rasa panik melanda, kaca jendela penumpang diketuk dari luar. Val segera membukanya dan berkata lemah,” To-tolong … dia berdarah ….”Petugas itu mengangguk paham dan segera memanggil rekannya untuk membantu mengeluarkan Val dan Arion dari dalam mobil.Suasana di luar mobil lebih riuh daripada yang Val lihat dari dalam. Para petugas berlalu-lalang mengatur lalu lintas y
Pagi-pagi sekali Val sudah terbangun. Langit bahkan masih gelap saat ia membuka tirai jendela. Pemandangan gedung apartemen Saga ada di depan matanya. Suasananya tampak suram dengan lampu-lampu yang masih menyala, menandakan bahwa penghuninya masih berada di alam mimpi.Netranya yang terasa berat menoleh pada jam mungil di atas nakas yang masih menunjukkan pukul lima kurang sedikit. Kembali ia duduk di tempat tidur, merenungi apa yang telah terjadi hari sebelumnya. Sesungguhnya ia tidak benar-benar bisa tidur semalaman. Pikirannya kacau oleh kecelakaan yang membuat Arion harus dirawat di rumah sakit. Perasaan bersalah itu kembali menyusupi hatinya.“Kalau saja aku nggak menolak ajakannya ….” Ingatannya kembali saat Arion menyarankan untuk menginap saja di vila dan beristirahat di sana. Val menolak dengan alasan tidak membawa baju ganti. Alasan sepele memang, karena Arion bisa saja mencari atau membelikannya, tidak hanya sekadar pakaian, tapi semua ke
“Hah? Apa?” Kaira menoleh kaget.“Ah, maaf, nggak usah dijawab kalau nggak berkenan,” ucap Val buru-buru. Ia jadi salah tingkah karena sudah mengajukan pertanyaan bodoh. Oh, sial! Kenapa aku nggak bisa menahan diri? Kenapa aku harus menanyakannya terang-terangan?Kaira lalu tertawa dan membuat Val semakin heran.“Kelihatan seperti itu, ya?” Kaira balas bertanya setelah tawanya berhenti.Kedua alis Val saling bertaut menandakan tanda tanya cukup besar dalam kepalanya. Kenapa dia malah bertanya padaku? Bukannya tinggal menjawab ‘iya’ kalau memang pacarnya?Sekali lagi Kaira hanya tersenyum sebelum berkata lagi, “Aku sudah lama mengenalnya, jauh sebelum ini.”“Oh.” Hanya itu yang keluar dari bibir Val dan membuat kesimpulan sendiri terhadap kalimat Kaira. Teman masa kecil rupanya.“Kenapa?” Kaira menatap Val. Pandangannya menyel
Kaira melirik Saga yang tertidur di samping tempat duduknya. Sudut bibirnya tertarik ke samping sambil tetap fokus mengemudi.“Dasar bodoh!” gumamnya. Ia membiarkan laki-laki itu tidur hingga tiba di area parkir Tower B.“Sudah sampai?” tanya Saga sambil membuka mata perlahan. Ia meregangkan tubuh dan memijat-mijat lehernya. “Sudah dari tadi?”Kaira yang sedang memainkan ponselnya, melirik sekilas. “Nggak juga. Aku sengaja nggak bangunin. Kau terlihat lelah sekali,” jawab Kaira.“Oh. Thank’s.” Saga merapikan pakaiannya lalu bersiap turun.“Kau naik dulu. Aku akan membeli bahan makanan untukmu,” kata Kaira yang dijawab dengan anggukan pelan Saga.Yang laki-laki itu inginkan saat ini hanyalah tidur, sehingga ia langsung merebahkan diri ketika sampai di kamarnya. Saga sudah terlelap dengan dengkuran pelan ketika Kaira masuk ke kamarnya.“Untung s
“Ga …?” “Ah, apa …?” Saga baru tersadar ketika Val menggoyang-goyangkan lengan jasnya. Val menatap pria yang kini sudah menjadi suaminya. Ia lalu memandang arah yang tadi dilihat Saga, tetapi tidak menemukan ada yang aneh di sana. “Kenapa lihat ke sana terus? Sudah waktunya kita turun,” katanya. “Oh, ayo.” Saga menggandeng tangan Val dan membantunya turun dari panggung. Tak lama, Val dan Saga duduk bersama keluarga mereka. Menikmati jamuan makan malam yang disediakan. Obrolan ringan juga turut mewarnai kehangatan keluarga baru itu. Beberapa jam kemudian, acara selesai. Seluruh tamu undangan sudah meninggalkan gedung. Para keluarga sebagian meninggalkan gedung, sebagian lagi menginap di hotel yang sama dengan Val dan Saga. Mereka memang sengaja menyediakan kamar kosong untuk beberapa keluarga yang tinggal di luar kora, seperti Tante Icha dan Riska. Val dan Saga diantar Kaira dan Arion ke kamar hotel mereka. Kaira tampak bahagia dengan senyum yang tak pernah hilang dari wajahnya.
“Kamu sudah yakin, Val?” Rima bertanya pada putrinya karena sedikit khawatir. Val mengangguk dan tersenyum. “Iya. Masa sudah begini, masih ditanya lagi sih?” Rima tersenyum sedikit. “Kamu bisa bilang ke Mama, Val. Nanti Mama yang akan cari cara.” Kali ini Val menggeleng. “Nggak usah, Ma. Memangnya Mama berani bilang sama Tante Diana? Dia teman baik Mama, ‘kan?” Rima diam sejenak lalu menjawab, “Iya, tapi … Mama rasa dia akan mengerti, Val.” “Nggak usah, Ma. Val baik-baik saja kok. Mama juga sudah lihat sendiri, ‘kan?” Val memamerkan senyum terbaik dan tercantiknya. “Saga pasti juga begitu.” Rima menatap putrinya sekali lagi. Val pun mengangguk untuk meyakinkan sang ibu. “Baiklah kalau begitu. Mama keluar dulu. Tamu-tamu sudah banyak yang datang.” Rima berdiri lalu keluar dari ruangan itu. Val mengantarnya dengan senyum bahagia. Ketika pintu di depannya tertutup, senyumnya memudar. Sungguh merupakan keputusan yang sulit baginya, tapi ia harus melakukannya. Sementara itu, di rua
“Aaah … capek juga ternyata bikin kue!” keluh Val sambil mengempaskan tubuh ke tempat tidur. Ia baru saja memasukkan dua loyang kue ke oven dan mengatur waktunya. Sambil menunggu, ia berniat beristirahat sebentar. Dari luar, Val bisa saja tertawa lepas seolah tidak ada yang mengusiknya. Namun, hatinya menjeritkan rindu yang sama pada seseorang. Berbagai kenangan bersama Saga mulai bermunculan, menggoda dirinya, dan membawanya kembali ke masa lalu yang jauh. Masa-masa di mana ia sama sekali tidak menyadari perhatian-perhatian kecil Saga padanya. “Aku mau ke kantin! Ada yang titip?” tanya Nita sambil berdiri. Saat itu, tim mading yang terdiri dari Saga, Val, Nita, Noah, dan Andi, sedang mengerjakan proyek minggu ini. Mereka berkumpul di ruang OSIS sepulang sekolah. Segera anak-anak menyebutkan pesanannya dan Nita pun berlalu. Val tidak pernah mengetahui bahwa saat itu Saga selalu memperhatikan gerak-geriknya. Apa pun yang ia lakukan, selalu mampu membuat senyum Saga mengembang. Namun
Val terbangun di Minggu pagi yang cerah. Sinar matahari sudah masuk dari jendela yang terbuka lebar. Kehangatannya memenuhi kamar dan tubuh Val yang masih memeluk guling, sambil mengejap-ngejapkan mata untuk menyesuaikan perubahan yang mendadak. Beberapa detik kemudian tubuh Val tegak di tempat tidur dengan rambut kusut dan wajah kusam. Samar-samar telinganya menangkap percakapan di luar. Ada suara ibunya dan suara lain yang tidak ia kenal. “Maaf, Bu Rima, sudah ganggu pagi-pagi.” “Oh, nggak apa-apa, Bu. Saya yang terima kasih karena sudah diberi ini.” “Itu cuma hasil kebun dari kampung, Bu. Kebetulan kemarin baru pulang dari sana.” “Pantesan kelihatan segar ini. Terima kasih banyak, Bu Nuri.” “Sama-sama, Bu. Baiklah, saya permisi dulu.” “Silakan.” “Siapa itu? Tetangga?” gumam Val lalu beringsut turun dari tempat tidur dan keluar. Baru saja ia menutup pintu di belakangnya, sang ibu muncul sambil membawa dua sisir pisang ambon di tangan. “Sudah bangun, Val?” sapa Rima. Val men
Hari pun berganti. Biasanya di akhir pekan banyak pasangan menghabiskan waktu bersama, termasuk Val dan Saga. Namun, kali ini berbeda. Pasangan yang dalam satu minggu ke depan akan melangsungkan pernikahan itu sedang ditimpa masalah. Masing-masing menghabiskan waktu di tempat yang berbeda dengan sikap yang berbeda pula. Saga seperti orang gila yang kehilangan sesuatu yang teramat berharga baginya. Telepon dari calon mertuanya membuatnya tersiksa sepanjang malam hingga tidak bisa tidur. Hari yang seharusnya cerah ini terasa begitu buruk bagi Saga. Sedari pagi, pria itu mondar-mandir di apartemennya. Seluruh penampilannya tampak berantakan. Botol-botol minuman berserak di meja dan lantai membuat ruangan itu sudah seperti kapal pecah. Bel pintu berbunyi. Buru-buru Saga membukanya dan langsung membentak. “Kai! Arion! kenapa kalian lama sekali?! Kenapa baru datang?!” Arion dan Kaira saling berpandangan lalu mengembuskan napas kesal. “Gimana bisa cepat kalau baru setengah jam lalu kau
Di ruang kerjanya, Arion mengamati layar ponsel yang berisi panggilan dari Val. Beberapa waktu lalu, gadis itu meneleponnya. Meminta izin tidak masuk hari ini. Ia sudah menduga ada sesuatu yang terjadi dengan dua sahabatnya itu. Tanpa mendapat jawaban yang sebenarnya, ia malah mendengar sesuatu yang tidak disangkanya sama sekali. Bentakan Saga, jeritan Val, ia mendengar semuanya dari ponsel yang tidak dimatikan dengan benar. Tidak tahan membayangkan apa yang terjadi di sana, Arion menekan tombol merah. “Apa yang kamu lakukan, Ga? Kenapa kamu begitu? Kenapa kalian seperti ini?” Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepala Arion. Andai saja ia bisa merebut gadis itu kembali, ia akan melarang Saga berbuat sesukanya. Sekarang ini, ia tidak berdaya untuk membantu apa pun. Itu sudah di luar kendalinya, bukan haknya. Arion mengangkat kepala ketika Saga muncul di ambang pintu ruangannya. Wajahnya tampak kacau dan ia sangat gugup. “Rion …,” katanya lirih. Arion berdiri dan mendekati Saga.
Val yang sangat merindukan kekasihnya itu membalas cumbuan Saga di bibirnya. Namun, beberapa detik kemudian ia mendorong pria itu menjauh. Wajahnya merah. “Kenapa?” Saga heran. “Ini nggak benar,” jawab Val. “Apanya yang nggak benar?” “Masalah ini, nggak semudah itu selesai.” Saga membawa wajah Val menatapnya. “Apanya yang belum selesai?” “Apa buktinya kalau wanita itu nggak akan menganggumu lagi?” “Aku sudah melarangnya. Aku sudah memintanya untuk nggak ganggu aku, kita. Apa lagi?” “Kamu yakin dia akan menurut begitu saja? Kulihat, dia orang yang selalu bisa mendapatkan keinginannya. Dia nggak semudah itu menyerah.” “Lalu, apa maumu, Val? Aku sudah nggak mau lagi berurusan dengannya.” Val masih menatap Saga mencari kebenaran di sana. “Begini saja, kalau sampai dia menghubungiku lagi, aku akan melaporkannya ke polisi. Bagaimana?” “Apa akan berhasil?” “Aku nggak tahu, tapi nggak ada
Setelah Erin pergi dengan wajah tak percaya dan tidak terima diperlakukan begitu, Saga terduduk di sofa dengan kepala sakit. Semua tampak berputar-putar di depan matanya. Bayangan wajah Val yang menangis membuatnya merasa jadi manusia paling bodoh di dunia. Ia merasa bersalah dan rasa itu lebih menyakitkan daripada saat Erin meninggalkannya. Tidak punya pilihan lain, Saga menghubungi seseorang yang ia percaya. “Aku butuh bantuanmu.” Sementara itu, Val menangis dalam diam di kamarnya. Ia ingin memercayai ucapan Saga, tapi apa yang dilihatnya tadi begitu menyakitkan. Sungguh ia tidak bisa membayangkan perjalanan cintanya akan sesulit ini. Pernikahan yang sudah di depan mata, bagaimana nasibnya, ia tidak tahu. Ponsel Val yang bergetar menghentikan isak tangisnya begitu melihat nama peneleponnya. Buru-buru ia menghapus sisa-sisa kesedihan dan mengatur napasnya, sebelum menjawab. “Val, kamu belum tidur?” Rima, ibunya menyapa. “Ah, Mama. Be
Val menatap gedung apartemen yang menjulang tinggi di depannya. Rasanya baru sebentar lalu ia berlari ke gedung sebelah ketika mendengar Saga sakit. Kini, menatapnya hanya menambah garam di atas lukanya. Ia teringat perkataan Noah bahwa Saga butuh waktu.Meski begitu, Val benar-benar merindukan Saga. Ia ingin bertemu dengannya. Ia juga telah membuat sebuah keputusan, dengan harapan itu akan membantu Saga menyelesaikan masalah ini.Kaki Val melangkah dengan mantap ke apartemen Saga. Ia sudah mempunyai kuncinya, jadi tidak ada masalah bila langsung mendatanginya, ‘kan? Ia akan menunggu jika Saga belum pulang dari urusannya, entah apa itu.Niat seringkali bertolak belakang dengan keberanian. Tangan Val bergetar ketika hendak memindai nomor kartu di pintu. Jantungnya berdegup kencang. Ia kemudian bimbang, apakah ini tindakan yang tepat? Namun, tekadnya sudah bulat. Ia pun membuka pintu itu. Sayangnya, apa yang ia lihat di dalam sana tidak sesuai dengan keingin