“Kedengarannya jadi aneh kalo nama kembangnya disambungkan sama status gue,” ujar Digo santai sembari menggaruk kepala bagian belakangnya. Lalu tanpa jaga image sedikitpun pria itu menguap lebar di depan Jane, tetapi beruntung mulutnya ditutup dengan dua tangan.
Jane tidak perduli itu.
Fakta bahwa chef yang berkarisma di dapur ini ternyata bisa juga pakai kaos oblong yang kerahnya sudah mulur, ada belek dan juga sisa Iler disekitar sudut bibirnya dan juga, duda?
Jane menggeleng tak percaya. “Wow. Dunia emang sempit.”
Kekehan bernada rendah diserukan oleh Digo, suaranya jadi deep begini karena efek baru bangun tidur. Bukan karena sok cool. Karena, Digo sekarang ini tidak ada cool-cool nya sama sekali.
“Udah sembuh Lo galaunya?” tanya Digo kemudian, mengingat waktu itu mereka bertemu di club’ dalam keadaan kurang baik dan kemarin Digo juga tidak mungkin mengungkit selama sesi kelas berlangsung.
Jane mengangkat bahu. Keadaannya sekarang,
Sadar sesuatu? Ritual Jane ke tetangga baru; kasih makanan. Dulu ke Theo juga gitu. Jadi?... Theo? Digo?
Ingat kalau kemarin Jane menanyakan perihal interior designer pada Maria?Sore harinya teman yang sudah seperti saudara bagi Jane itu baru mengirim sebuah nomor kontak kepada Jane, mulur seharian, yang katanya 'nanti siang' justru berakhir sore-sore. Dan berhubung Jane ini memang tidak tau sopan santun, meski sudah sore pun, meski sudah tau kalau jam kerja sudah rampung, Jane tetap mengirimi chat kepada kontak itu.Tidak langsung dibalas tentunya. Orang sibuk.Keesokan paginya Jane baru mendapatkan balasan dari si interior designer itu. Dan tentunya, balasan pesan yang sangat singkat. Padahal Jane sudah bilang kalau ia teman Maria, yang mana seorang customer kelas atas, bukankah biasanya diperlakukan lebih ramah?Pokoknya, melalui chat yang singkat itu Jane akhirnya berhasil membuat janji dengan sang interior designer itu, disebuah cafe yang memakan waktu lima belas menit dari rumahnya.Maka bersama jasa ojek online akhirnya Jane sampai di cafe itu
Setelah pertemuan dengan Jay yang cukup menguras kesebalan, Jane memutuskan untuk tidak pulang, karena sudah terlanjur ada diluar ia menghubungi Maria dan meminta jemputan, ingin berkunjung kerumah ibu satu anak itu. Mengingat Jane juga sudah lama sekali tidak pergi kesana, bertemu ibu Maria dan juga bermain bersama Ares. Maria tentunya cukup mengangkat tangan memerintahkan supirnya untuk menjemput Jane. Karena ibu satu anak itu pastinya baru bangun dari tidur. Jane juga hanya tinggal duduk disupiri maka ia baik-baik saja. Juga cukup mengenal supir Maria yang sudah beberapa kali menjemputnya. Tidak lama, mungkin hanya memakan waktu sepuluh menit Jane akhirnya sampai di rumah besar milik Maria. Besar. Secara harfiah. Yang berarti sangat besar untuk ukuran rumah keluarga yang punya anggota berjumlah lima jiwa. Jane menganggukkan kepala satu kali sebagai tanda terima kasih kepada supir yang menjemputnya tadi, ia memasuki rumah Maria dan disambut
--Pagi dari hari yang lain telah datang. Tidak seperti hari-hari kemarin dimana Jane kebingungan harus melakukan apa, hari ini tepat setelah gadis itu membuka mata, Jane langsung tau apa yang akan ia lakukan. Olahraga rutin yang seminggu ini belum bisa dilakukan Jane, Jane berniat menunaikannya pagi ini. Jadi setelah membawa diri ke kamar mandi untuk membersihkan wajah dari sisa mimpi tadi malam, Jane berganti dengan setelan olahraga yang ia punya di lemari besar miliknya. Memakai sneakers berwarna putih dan membawa dirinya untuk menuruni tangga. Jane tak perlu repot-repot membangunkan Serin untuk ikut dengannya karena dari sejak jaman dulu pun, Serin bukan penikmat sport seperti Jane, sebenarnya Jane juga bukan penikmat sport, Jane cuma salah satu dari ribuan orang yang ada kesadaran untuk menjaga kesehatan dan bentuk tubuh. Saat sudah sampai di teras rumah, Jane menjumpai ayahnya yang sedang memanasi mobil sembari memeriksa bonsai-bonsai milikny
Setelah sesi pesan suaranya dengan Theo tadi pagi selesai. Jane memutuskan untuk kembali masuk ke dalam rumah dan tidak jadi melakukan olahraga pagi. Perubahan suasana hati yang terjadi secara tiba-tiba semacam ini sangat jarang mempengaruhi kegiatan Jane. Jane memutuskan unttuk menghabiskan sedikit waktu merenung dari atas ranjang dalam kamar tidurnya, telungkup di atas bantal bersama mata yang terbuka dan juga pikiran melalang buana. Memikirkan apa yang sebenarnya perasaan dan dirinya inginkan, apa yang harus dilakukan Jane agar tidak ada sesal dikemudian hari. Jane tidak pernah mengalami dilemma sebesar ini sebelumnya, ini kali pertama dan semua bersebab pada Theo. Beberapa lama setelah berdiam diri, Jane memutuskan untuk bangun kembali dan berjalan membuka pintu balkon membawa dirinya keluar. Menikmati sedikit angin menerpanya. Menghembuskan napas kecil seraya sesekali menunduk sebelum kembali melempar pandangan kearah jalanan depan ru
Jane jadi mengikuti kelas kursus bersama Digo lagi, menggunakan blouse berwarna biru laut dipadukan dengan celana kulot panjang, sementara rambut hitamnya yang lurus dibiarkan tergerai indah, jika dilihat oleh mata asing Jane benar-benar terlihat seperti seorang wanit karir. Untuk yang bertanya seperti keadaan kelas, seperti biasa, kelas dihadiri oleh orang-orang yang sama, dengan step-step pembelajaran yang sama, dan seperti biasa juga Jane selesai dengan hasil praktek yang memuaskan. Yang berbeda hari ini adalah, meski Jane sudah selesai lebih dahulu, ia tidak bisa langsung pulang karena harus menunggu Digo selesai. Jane melambaikan tangan ketika teman kursusnya sudah ada yang pulang, ia pun kembali menaruh atensi pada ponsel sembari menunggu Digo yang tak kunjung keluar. Menunggu memang melelahkan. Hari ini, tidak ada murid yang terlambat, hanya tiga yang mengikuti sesi pembelajaran kali ini, iya, Karina tidak terlihat batang hidungnya. Jane juga b
“Maaf ya mbak Jane malah harus datang kesini waktu lagi sibuk.” Jane membuat senyum terpaksa hadir di wajahnya. Ya bagaimana tidak jadi terpaksa. Bayangkan saja jika kalian ada diposisi Jane, ketika ia sudah mendapat driver dari aplikasi, sebuah panggilan pemberitahuan yang mewajibkannya datang justru tiba-tiba saja membuat tujuan Jane yang hendak pulang harus berubah. Jane mengubah tujuannya dan menyuruh driver ojek yang sudah sampai didepannya itu untuk menuju perumahan tempat Jane tinggal sebelumnya. Memenuhi panggilan dari ibu rukun tetangga untuk urusan yang katanya penting itu. “Enggak papa, bu RT.” Jane mengatakannya dengan separuh hati. “Saya yang makasih, udah dikabarin kabar penting soal info listrik gratis ini. Tapi berhubung saya nggak tinggal disini lagi, jadi ya gratisannya nggak saya pake.” Penting sekali bukan? Sosialisasi listrik gratis? Hah? Kenapa Jane harus kemari walau ia sudah tidak tinggal di ling
Ditengah gelap dan juga panas yang dirasakannya, laki-laki berusia tiga puluh tahun yang tengah terbaring lemah dengan satu selang tersambung pada punggung tangan kanannya itu membuka mata perlahan, sebentar sekali, sebelum kembali memejam ketika merasakan panas mengarungi bola mata. Theo menghembuskan napas kecil, kening laki-laki itu menyirit pening sebelum ia memutuskan untuk kembali membuka mata. Melihat dengan samar langit-langit kamarnya yang memantul cahaya kekuningan. Theo lalu menggerakan kepala, menghadap samping. Lalu terdiam. Berpikir bahwasanya ia telah terlalu demam parah hingga berhalusinasi. Namun tak urung tetap menatapi wajah seorang gadis yang tengah tertidur di samping ranjangnya itu. Menikmati pemandangan langka dimana wajah Jane terlihat begitu tentram, tidak ada kerutan marah atau delikan mata tajam seperti biasanya. Theo memejam sekilas, ia merasa enggan bernapas ketika merasakan helaan napasnya yang kelewat panas.
Setelah sibuk mencuci piring dan juga membereskan semua kekacauan yang terlihat oleh mata Jane akhirnya punya waktu untuk duduk dan beristirahat sebentar, bersandar pada punggung sofa kemudian menatap dengan mata terbuka langit-langit ruang santai rumah Theo, tanpa memikirkan apapun. Jane menolehkan kepala, tepat pada benda yang berdetik, menilik bahwa sekarang sudah tengah malam. Merasakan kantuk dan juga lelah mulai hadir mendera tubuh. Jane memejamkan mata sejenak. Sebelum gadis itu mengedarkan padangan. Mencari sesuatu yang bisa digunakan untuk meredam sejuk. Namun ketika dia tidak menemukan apapun, Jane memutuskan untuk berdiri lagi, berjalan dengan kaki telanjangnya menuju satu kamar dirumah Theo yang terlihat tidak ditempati. Membuka lemari yang ternyata kosong, di ranjang pun tidak ada kasur. Dengan kata lain, ruangan ini benar-benar tidak terpakai. Tak tunggu lama, Jane keluar dari kamar itu, dan mulai mendekati kamar Theo. Sa
7 tahun kemudian.- “What the hell!” Umpatan itu terdengar dari mulut anak laki-laki yang tengah duduk dikursi penumpang mobil, mengudara jelas saat hening tengah melanda, ponsel lipat baru pemberian kakeknya yang sedang ia gunakan untuk bermain games tiba-tiba saja berbunyi mengacaukan permainannya. Menampilkan notifikasi panggilan. Theo yang duduk di kursi kemudi menoleh, matanya menyorot sang putra sulung berusia tujuh tahun yang baru saja mengumpat di depan hidungnya. “Siapa yang ngajarin kamu kata itu?” tanya Theo. Anak laki-laki yang memiliki wajah perpaduan apik dari ayah dan ibunya itu menoleh, memerkan raut muka acuh. “Sam sering dengar mommy bilang begitu.” Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Kata orang begitu. Dan Theo sudah membuktikannya sendiri. Bagaimana Samuel memiliki sifat acuh yang diturunkan darinya namun juga memiliki sisi nakal Jane yang sulit diatur. “Dad,” panggil bocah tampan itu, mata
--Suara detik jarum jam mengisi kekosongan dalam hampanya ruang hening yang diputari dinding berwarna putih itu. Ruang yang besar dan berisi satu ranjang lengkap dengan sofa dan meja disana. Ada satu wanita yang tengah berbaring dengan mata menutup diatas brangkar itu, memakai pakaian berwarna biru khas pasien rumah sakit sementara pada tangan kanannya terdapat selang menjuntai yang terhubung dengan satu kantong infus menggantung. Jane bergerak kecil, wajahnya yang cantik megerut tipis kala merasa pilu disetiap sendi tubuh. Bahkan untuk melakukan gerakan kecil saja Jane harus menahan pegal. Wanita dua puluh delapan tahun itu akhirnya membuka mata, menatap segenap putih langit-langit ruangan, sebelum kemudian menggerakan kepala sedikit, Jane sadar betul ia sedang berada dimana jadi tak perlu lagi drama seperti aku dimana, aku siapa. Dan Jane tidak menemukan siapapun kecuali presesi adik perempuannya yang tengah duduk disana. Serin yang semu
Suara gemercik air mengalir masih terdengar deras dari kamar mandi yang pintunya tertutup rapat itu. Hari sudah melewati fajar, jarum jam menunjuk angka tujuh, sementara satu onggok tubuh kecil wanita yang berbalut selimut disana seakan tidak punya niatan untuk membuka mata. Theo sudah selesai dengan ritual mandinya, jelas kalau ia sudah terlambat untuk berangkat ke kantor tetapi meski begitu, Theo dengan santai berpakaian, sesekali melirik istrinya yang masih terlelap tentram tanpa usik kendati Theo bolak-balik diruang tidur mereka. Rampung berpakaian Theo mulai melangkahkan kaki mendekati ranjang, duduk ditepian kasur. Matanya memandangi bagaimana cara oksigen dihirup dengan ritme tenang oleh Jane, melihat cantik dari wajah istrinya yang entah kapan luntur itu. Theo tidak berniat untuk membangunkan Jane sama sekali. Ia cukup tau diri. Setelah semalam dan subuh tadi Jane memenuhi keinginan batinnya, Theo tentunya tidak tega kalau harus membuat Jane d
Siang yang cerah diakhir pekan ini Jane memutuskan untuk menghabiskan waktu dirumah, bermain bersama anjing-anjingnya serta merebah guna menonton serial televisi.Benar. Akhir pekan, yang artinya Theo sedang ada dirumah.Namun dimana pria itu sekarang? Jane pernah bilang kalau Theo itu punya penyakit akut perfeksionis menyangkut pekerjaan bukan? Iya, hari ini pun, bahkan saat akhir pekan yang harusnya digunakan untuk liburan ini Theo masih menerima telfon dari orang kantor, menganggurkan istrinya yang cantik dan seksi, membuatnya menonton sendirian.Untung suami sendiri, rutuk Jane dalam hati. Kalau tidak, sudah Jane tukar tambah.Jane mendesah bosan. Ia meraih remote dimeja dengan ujung kakinya dan segera mengganti saluran televisi yang tengah menyajikan pertengkaran ala anak muda yang sangat iyuh untuk ditonton. Mengganti channel ke acara pergosipan luar negeri.Memeriksa berita panas apa saja yang sempat ia lewatkan selama satu pek
"Apa-apaan kamu? Jangan bercanda, Karin!" Suara keras itu menggema di setiap sudut ruang rumah yang besar ini. Amarah wanita anggun itu sepertinya sudah tak mampu dibendung lagi setelah telinganya mendengar berita yang terlampau mengejutkan. Semburan kalimat yang keras kian lancar mengalir dengan segala raut kecewa yang tak lagi ragu disembunyikan. "Maaf, Mah." sang anak yang matanya sembab dan masih setia menangis itu kembali merisak, menunduk dalam-dalam di sofa dengan jari bertaut, tak mempu menatap mata sang ibu. Jane dan Theo masih terduduk bersebelahan ditempat mereka yang sama. Pada kursi paling jauh dari dua ibu dan anak itu. Menyimak saja, setelah diawal tadi tak disuguhi satu percik ramah pun Jane dan Theo tentunya tidak mau mengatakan hal yang panjang lebar. Jane merestui niat baik Theo yang teringin menuruti kemauan Karin, duduk mendengarkan, menemani wanita itu mengungkapkan kebenaran, dan itu sudah cukup. Jane tidak mau Theo ikut
"Lu amatiran ya?" Jane menoleh cepat ketika telinganya mendengar suara Maria berbicara demikian. Dengan badan yang masih bergerak karena ada Ares dipangkuannya Jane menaikan alis kebingungan, ia bahkan menoleh ke sekeliling, mengira kalau Maria berbicara bukan padanya. "Apaan?" jawab Jane dengan pertanyaan juga ketika ia yakin kalau pertanyaan tentang amatir itu memang ditujukan untuknya. Wanita cantik yang rambutnya blonde itu mendecak-decak sembari menggelengkan kepala, dia kemudian mengukurkan tangan dan menyentuh sekitaran leher Jane. Jane mendelik kecil. "Nanti kakak ajarin adek cara menutup hickey dengan baik dan benar ya." Jangan lupa dengan nada suara Maria saat mengatakan itu. Jane bahkan sampai harus memicing sebal. Kalian tau kalau orang sedang mengejek sambil sok-sok mengajari? Seperti itulah Maria tadi. Tapi Jane juga tidak menyangka kalau tato yang Theo buat tadi pagi tidak tersamarkan dengan benar. Padaha
Pagi ini adalah jadwal rutin Jane untuk berolahraga. Memakai setelan ketat berwarna abu-abu tua dan juga rambut diikat satu Jane masih semangat melakukan gerakan-gerakan yang dilakukan instruktur di televisi sana. Lili memang niat sekali membantu Jane. Bumil itu bahkan memberikan CD senam yang lain, ada yoga, aerobik dan juga senam SKJ. Jane tinggal pilih mau olahraga jenis apa yang sedang ia inginkan. Padahal dari pada sendirian dirumah, Jane inginnya olahraga bersama dengan dua temannya itu. Tapi apalah daya, yang lain sedang sok sibuk dan Jane jadi satu-satunya orang yang kesepian.Jane menyeka sedikit keringat yang mulai muncul di dahinya. Menghela napas panjang sementara ia duduk guna menetralkan lelah, setelah dirasa cukup Jane segera berdiri, mematikan televisi dan menggulung matras berwarna merah muda yang ia gunakan tadi.Beralih melangkahkan kaki menuju dapur, mengambil satu gelas air putih kemudian diteguknya sembari berjalan menuju kamar.
Jika Jane selalu mengagum-agumkan kelebihan Theo pada setiap kesempatan, entah itu fisik atau kemampuannya, kali ini sebuah kejutan mendatanginya, sebuah pembuktian akan kalimat terkenal yang berbunyi ‘Tuhan itu maha adil’. Karena jika sebelumnya Jane pikir Theo sempurna dengan semua kelebihannya, kini Jane tau satu hal, bahwa Theo takut ketinggian. Dan tentunya Jane memang istri yang laknat karena bukannya khawatir ia justru tertawa terbahak-bahak sembari mengabadikan video dan foto wajah Theo yang pucat ketika berada di puncak. Bahkan Jane mengunggah video singkat saat Theo melakukan lepas landas ke beranda social medianya. ‘Kalo takut tinggi harusnya bilang dari awal dong, babe, denial teross sampe semaput.’ Padahal Theo tidak pingsan, hanya gemetaran dan pucat. Jane tidak henti menggoda Jane akan hal itu bahkan saat mereka sudah sampai di rumah dengan baik hari ini. Setelah pulang dari paralayang, Jane dan Theo langsung pulang ke Tangerang karena
Jane pernah mendengar nasihat ini dari seseorang. ‘Hiduplah dalam kebahagiaan, bersyukur, jangan terjun bebas hanya karena sebuah masalah, kalau ada masalah besar anggap kecil. Ada masalah kecil? Anggap tidak ada.’ Dan setuju serratus persen dengan itu. Kalian tau? Hidup tidak selalu harus berpikir atau tentang nelangsa. Meski, tentu saja tidak akan selalu bahagia, sedih juga bagian dari indahnya hidup, namun amat penting untuk manusia bisa menyikapi dengan benar kesedihan itu. Sebab beberapa kali angin menyampaikan, manusia-manusia terlampau frustasi dan menyalahkan masalah yang tengah dihadapi. Kanapa bicara panjang lebar sih, Je. Apa intinya? Jadi intinya, Jane tidak telalu memikirkan hasutan-hasutan negative yang Bu RT dan juga Serin berikan padanya. Jane memikirkannya tentu, hanya saja ia memilih untuk menunggu Theo menjelaskan. Terbukti dengan hari ini. Setelah berkeliling melawat dan berbelanja di Malioboro siang tadi, Jane dan Theo lan