Di dalam mobil sport yang mewah itu terlihat amat sepi karena sedari tadi dua perempuan yang ada di dalamnya setia bungkam. Yang satu fokus dan sibuk menyetir sedangkan yang satu lagi terlalu ternggelam dengan bayangan pohon yang dilihatnya dari jendela mobil.
Orang yang melihat tak akan mengira kalau dua perempuan itu merupakan kakak beradik.
Jane mencuri lirik ketika ia menekan rem karena lampu lalu lintas yang ada didepan sana sudah memerah.
Belum tau harus memulai kecanggungan ini dengan kata apa.
Semalam. Serin langsung kembali ke hotel begitu juga dengan Jane. Mereka pergi bersama, hanya saja tidak ada kata yang terucap dari mulut keduanya kendati mereka ada di kamar yang sama.
Dan sekarang.
Menuruti apa yang diinginkan oleh Serin semalam, dua kakak beradik itu sedang menuju ke rumah nenek mereka.
Kendati jarak antara hotel dan juga rumah nenek tidaklah jauh dan hanya beberapa kilo meter saja, waktu yang dilewati serasa a
Jika tak salah ingat, tujuan utama Jane pergi ke kota istimewa ini bukanlah hanya untuk berbelanja, berlibur atau sekedar mengunjungi sanak saudara, Jane punya tujuan yang lebih penting. Kalau lupa, Jane kemari untuk melihat tempat usaha milik ibunya dulu. Liburan dan segala dramanya ini hanyalah pelengkap. Jane tidak akan pulang sebelum pergi ke tempat utamanya. Jane sudah membicarakan ini dengan Serin sebelumnya. Namun, adik perempuannya itu justru terlalu bersemangat bercerita dengan sepupu mereka, saling bertanya bagaimana rasanya menjadi istri atau bagaimana sakitnya mengeluarkan awak kecil bernyawa dari dalam perut. Wajar, tak lama lagi Serin akan menyusul. Dia akan jadi ibu rumah tangga juga. Tak akan lama lagi. Jane tidak akan mengatakan hal-hal seperti ‘waktu berjalan cepat sekali, tak terasa salah satu dari mereka akan menikah’, karena Jane tidak merasakan waktu berjalan secepat itu. Jane merasakan lambatnya masa bergulir, dan sa
Tak terasa. Rencana lima hari liburan mereka di Jogja sudah terpenuhi dan terlaksana dengan mulus. Berbeda dengan keberangkatan dengan mobil dan menyetir sendiri. Karena telah merasakan seberapa lelahnya menyetir dalam jarak yang jauh, empat orang wanita itu memutuskan untuk tidak mengulangnya, mereka memilih menaiki pesawat untuk pergi pulang. Dan mobil serta semua oleh-oleh dan juga belanjaan yang mereka beli akan dikirim ke rumah. Simple. Dan tidak ribet. Enaknya punya teman yang bisa melakukan semua itu tanpa susah memang merupakan hal nyata. Tidak kaleng-kaleng sultan-nya. Setelah tak berapa lama duduk di kursi pesawat monitor dari atas sana akhirnya memberikan kabar bahwa penerbangan domestic dari pesawat yang mereka tunggangi akan segera landing. Lili yang duduk tepat di sebelah Jane itu melemaskan tubuh, tangan wanita itu tiba-tiba hadir di depan mulut Jane seperti seorang reporter mewawancarai orang lewat. “Ceritakan kesan-kesan libur
Jika kalian berada di posisi Jane apa yang akan kalian lakukan? Bagaimana sikap kalian untuk merespon keadaan serupa itu? Menangis? Karena tidak ingin disalahkan? Dan mencoba membuktikan sebuah kebenaran dengan pembuktian-pembuktian rumit? Jane akan memberikan putaran mata muak khas dirinya jika kalian benar-benar menjawab begitu. Memangnya ini sinetron yang tayang setiap hari di tv. Perempuan itu tidak seharusnya sedikit-sedikit menangis. Mengumpat saja kalau dirasa itu bisa menyalurkan kemarahan, maki-maki saja kalau itu bisa mengurangi sedikit beban. Seperti Jane. Dimuka umum tadi di bandara, ia tidak lagi memikirkan seberapa banyak pasang mata yang melihat kearahnya, menikmati panggung kecil yang tak sengaja Jane ciptakan. Dan jangan lupa bahwa tiga orang wanita yang datang bersamanya juga menyaksikan itu. Maria, Lili serta Serin berada cukup jauh dari tempatnya berdebat dengan Juni jadi mereka tidak tau betul apa yang diributkan.
“Lo minta dijemput, udah gue turutin sekarang malah diem aja.” Kalimat itulah yang keluar dari mulut seseorang yang tengah sibuk menjaga putaran setir. Dia Edgar. Setelah tadi panggilan telepon dari Edgar ditanggapi sebuah perintah yang amat absurd lelaki putih itu justru malah melakukan saja apa yang Jane katakan. Ia bergegas pergi ke rumah Jane dengan mobil hitam miliknya. Kebetulan Edgar sedang ada di daerah yang dekat dengan rumah Jane. Khawatir kalau entah-entah gadis itu sedang kesulitan, karena dari genangan suaranya tadi Jane terdengar sedikit marah namun ada percikan lelah juga. Namun siapa sangka. Niat baiknya dibalas dengan tatapan datar, Hela napas yang memburu karena sudah berusaha cepat-cepat datang itu malah direspon dengan decak sebal. Namun tak urung, Jane ikut dengan Edgar. Meski dengan raut wajah yang belum pernah dilihat Edgar dari wajah Jane sebelumnya. Ia tau sesuatu telah terjadi, mood atau mungkin pikira
It's a brand new day. Kalimat penyemangat itu adalah kalimat yang pertama kali Jane serukan untuk memulai hari. Berharap dan meyakinkan diri sendiri kalau hari ini setidaknya bisa lebih baik dari hari kemarin. Setelah melakukan sesi galau seharian penuh, memikirkan apa yang terjadi mencangkup semua positif maupun negatif, Jane sudah memutuskan. Ia tidak lagi ingin mengingat atau mengungkit hal itu. Menjauh dari subjek juga merupakan hal yang Jane lakukan dalam proses melupakan. Jane tetap akan pindah. Tentu saja. Ia sudah bilang pada Serin kemarin, tidak, meski Jane tidak bilang pun, adiknya itu sudah tau kalau Jane berniat pulang dengan adanya kardus-kardus dan juga koper yang sudah tersiapkan di rumahnya. Dan tentu saja. Serin cukup senang mendengar kabar itu, memingat sudah entah berapa kali mereka ingin Jane hidup bersama mereka saja. Tetapi si sulung ini memang amat sulit diyakinkan. Dan sekarang, entah ada angin apa, Jane b
Sebenarnya jika memang sudah jadi pengangguran, mau di perumahan sana ataupun di rumah orangtuanya Jane sama-sama tidak punya pekerjaan untuk mengisi hari. Alias nganggur. Karena sebelumnya, yang ia lakukan hanyalah terbang, terbang, dan terbang, setelah itu Jane hanya akan kembali ke rumah untuk tidur. Hari ini juga sama. Jane membalikan badan agar tengkurap, dirinya masih digulung selimut, meski jam di atas nakas sudah menunjukan bahwa dirinya ada pada pukul tujuh lebih sedikit, Jane agak enggan untuk meninggalkan kasur. Jane memutar tubuhnya kembali, dan itu terulang sampai beberapa kali hingga gadis itu teringat akan satu hal. Dia lupa belum membuat janji dengan interior design. Jane langsung memanjangkan tangannya dan meraih ponsel yang berada diatas nakas. Menyalakan ponsel itu lalu kemudian memanggil nomor Maria segera, karena mereka sudah pernah membicarakan ini, Maria tentu punya kenalan interior design yang bagus. Tid
“Kedengarannya jadi aneh kalo nama kembangnya disambungkan sama status gue,” ujar Digo santai sembari menggaruk kepala bagian belakangnya. Lalu tanpa jaga image sedikitpun pria itu menguap lebar di depan Jane, tetapi beruntung mulutnya ditutup dengan dua tangan. Jane tidak perduli itu. Fakta bahwa chef yang berkarisma di dapur ini ternyata bisa juga pakai kaos oblong yang kerahnya sudah mulur, ada belek dan juga sisa Iler disekitar sudut bibirnya dan juga, duda? Jane menggeleng tak percaya. “Wow. Dunia emang sempit.” Kekehan bernada rendah diserukan oleh Digo, suaranya jadi deep begini karena efek baru bangun tidur. Bukan karena sok cool. Karena, Digo sekarang ini tidak ada cool-cool nya sama sekali. “Udah sembuh Lo galaunya?” tanya Digo kemudian, mengingat waktu itu mereka bertemu di club’ dalam keadaan kurang baik dan kemarin Digo juga tidak mungkin mengungkit selama sesi kelas berlangsung. Jane mengangkat bahu. Keadaannya sekarang,
Ingat kalau kemarin Jane menanyakan perihal interior designer pada Maria?Sore harinya teman yang sudah seperti saudara bagi Jane itu baru mengirim sebuah nomor kontak kepada Jane, mulur seharian, yang katanya 'nanti siang' justru berakhir sore-sore. Dan berhubung Jane ini memang tidak tau sopan santun, meski sudah sore pun, meski sudah tau kalau jam kerja sudah rampung, Jane tetap mengirimi chat kepada kontak itu.Tidak langsung dibalas tentunya. Orang sibuk.Keesokan paginya Jane baru mendapatkan balasan dari si interior designer itu. Dan tentunya, balasan pesan yang sangat singkat. Padahal Jane sudah bilang kalau ia teman Maria, yang mana seorang customer kelas atas, bukankah biasanya diperlakukan lebih ramah?Pokoknya, melalui chat yang singkat itu Jane akhirnya berhasil membuat janji dengan sang interior designer itu, disebuah cafe yang memakan waktu lima belas menit dari rumahnya.Maka bersama jasa ojek online akhirnya Jane sampai di cafe itu
7 tahun kemudian.- “What the hell!” Umpatan itu terdengar dari mulut anak laki-laki yang tengah duduk dikursi penumpang mobil, mengudara jelas saat hening tengah melanda, ponsel lipat baru pemberian kakeknya yang sedang ia gunakan untuk bermain games tiba-tiba saja berbunyi mengacaukan permainannya. Menampilkan notifikasi panggilan. Theo yang duduk di kursi kemudi menoleh, matanya menyorot sang putra sulung berusia tujuh tahun yang baru saja mengumpat di depan hidungnya. “Siapa yang ngajarin kamu kata itu?” tanya Theo. Anak laki-laki yang memiliki wajah perpaduan apik dari ayah dan ibunya itu menoleh, memerkan raut muka acuh. “Sam sering dengar mommy bilang begitu.” Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Kata orang begitu. Dan Theo sudah membuktikannya sendiri. Bagaimana Samuel memiliki sifat acuh yang diturunkan darinya namun juga memiliki sisi nakal Jane yang sulit diatur. “Dad,” panggil bocah tampan itu, mata
--Suara detik jarum jam mengisi kekosongan dalam hampanya ruang hening yang diputari dinding berwarna putih itu. Ruang yang besar dan berisi satu ranjang lengkap dengan sofa dan meja disana. Ada satu wanita yang tengah berbaring dengan mata menutup diatas brangkar itu, memakai pakaian berwarna biru khas pasien rumah sakit sementara pada tangan kanannya terdapat selang menjuntai yang terhubung dengan satu kantong infus menggantung. Jane bergerak kecil, wajahnya yang cantik megerut tipis kala merasa pilu disetiap sendi tubuh. Bahkan untuk melakukan gerakan kecil saja Jane harus menahan pegal. Wanita dua puluh delapan tahun itu akhirnya membuka mata, menatap segenap putih langit-langit ruangan, sebelum kemudian menggerakan kepala sedikit, Jane sadar betul ia sedang berada dimana jadi tak perlu lagi drama seperti aku dimana, aku siapa. Dan Jane tidak menemukan siapapun kecuali presesi adik perempuannya yang tengah duduk disana. Serin yang semu
Suara gemercik air mengalir masih terdengar deras dari kamar mandi yang pintunya tertutup rapat itu. Hari sudah melewati fajar, jarum jam menunjuk angka tujuh, sementara satu onggok tubuh kecil wanita yang berbalut selimut disana seakan tidak punya niatan untuk membuka mata. Theo sudah selesai dengan ritual mandinya, jelas kalau ia sudah terlambat untuk berangkat ke kantor tetapi meski begitu, Theo dengan santai berpakaian, sesekali melirik istrinya yang masih terlelap tentram tanpa usik kendati Theo bolak-balik diruang tidur mereka. Rampung berpakaian Theo mulai melangkahkan kaki mendekati ranjang, duduk ditepian kasur. Matanya memandangi bagaimana cara oksigen dihirup dengan ritme tenang oleh Jane, melihat cantik dari wajah istrinya yang entah kapan luntur itu. Theo tidak berniat untuk membangunkan Jane sama sekali. Ia cukup tau diri. Setelah semalam dan subuh tadi Jane memenuhi keinginan batinnya, Theo tentunya tidak tega kalau harus membuat Jane d
Siang yang cerah diakhir pekan ini Jane memutuskan untuk menghabiskan waktu dirumah, bermain bersama anjing-anjingnya serta merebah guna menonton serial televisi.Benar. Akhir pekan, yang artinya Theo sedang ada dirumah.Namun dimana pria itu sekarang? Jane pernah bilang kalau Theo itu punya penyakit akut perfeksionis menyangkut pekerjaan bukan? Iya, hari ini pun, bahkan saat akhir pekan yang harusnya digunakan untuk liburan ini Theo masih menerima telfon dari orang kantor, menganggurkan istrinya yang cantik dan seksi, membuatnya menonton sendirian.Untung suami sendiri, rutuk Jane dalam hati. Kalau tidak, sudah Jane tukar tambah.Jane mendesah bosan. Ia meraih remote dimeja dengan ujung kakinya dan segera mengganti saluran televisi yang tengah menyajikan pertengkaran ala anak muda yang sangat iyuh untuk ditonton. Mengganti channel ke acara pergosipan luar negeri.Memeriksa berita panas apa saja yang sempat ia lewatkan selama satu pek
"Apa-apaan kamu? Jangan bercanda, Karin!" Suara keras itu menggema di setiap sudut ruang rumah yang besar ini. Amarah wanita anggun itu sepertinya sudah tak mampu dibendung lagi setelah telinganya mendengar berita yang terlampau mengejutkan. Semburan kalimat yang keras kian lancar mengalir dengan segala raut kecewa yang tak lagi ragu disembunyikan. "Maaf, Mah." sang anak yang matanya sembab dan masih setia menangis itu kembali merisak, menunduk dalam-dalam di sofa dengan jari bertaut, tak mempu menatap mata sang ibu. Jane dan Theo masih terduduk bersebelahan ditempat mereka yang sama. Pada kursi paling jauh dari dua ibu dan anak itu. Menyimak saja, setelah diawal tadi tak disuguhi satu percik ramah pun Jane dan Theo tentunya tidak mau mengatakan hal yang panjang lebar. Jane merestui niat baik Theo yang teringin menuruti kemauan Karin, duduk mendengarkan, menemani wanita itu mengungkapkan kebenaran, dan itu sudah cukup. Jane tidak mau Theo ikut
"Lu amatiran ya?" Jane menoleh cepat ketika telinganya mendengar suara Maria berbicara demikian. Dengan badan yang masih bergerak karena ada Ares dipangkuannya Jane menaikan alis kebingungan, ia bahkan menoleh ke sekeliling, mengira kalau Maria berbicara bukan padanya. "Apaan?" jawab Jane dengan pertanyaan juga ketika ia yakin kalau pertanyaan tentang amatir itu memang ditujukan untuknya. Wanita cantik yang rambutnya blonde itu mendecak-decak sembari menggelengkan kepala, dia kemudian mengukurkan tangan dan menyentuh sekitaran leher Jane. Jane mendelik kecil. "Nanti kakak ajarin adek cara menutup hickey dengan baik dan benar ya." Jangan lupa dengan nada suara Maria saat mengatakan itu. Jane bahkan sampai harus memicing sebal. Kalian tau kalau orang sedang mengejek sambil sok-sok mengajari? Seperti itulah Maria tadi. Tapi Jane juga tidak menyangka kalau tato yang Theo buat tadi pagi tidak tersamarkan dengan benar. Padaha
Pagi ini adalah jadwal rutin Jane untuk berolahraga. Memakai setelan ketat berwarna abu-abu tua dan juga rambut diikat satu Jane masih semangat melakukan gerakan-gerakan yang dilakukan instruktur di televisi sana. Lili memang niat sekali membantu Jane. Bumil itu bahkan memberikan CD senam yang lain, ada yoga, aerobik dan juga senam SKJ. Jane tinggal pilih mau olahraga jenis apa yang sedang ia inginkan. Padahal dari pada sendirian dirumah, Jane inginnya olahraga bersama dengan dua temannya itu. Tapi apalah daya, yang lain sedang sok sibuk dan Jane jadi satu-satunya orang yang kesepian.Jane menyeka sedikit keringat yang mulai muncul di dahinya. Menghela napas panjang sementara ia duduk guna menetralkan lelah, setelah dirasa cukup Jane segera berdiri, mematikan televisi dan menggulung matras berwarna merah muda yang ia gunakan tadi.Beralih melangkahkan kaki menuju dapur, mengambil satu gelas air putih kemudian diteguknya sembari berjalan menuju kamar.
Jika Jane selalu mengagum-agumkan kelebihan Theo pada setiap kesempatan, entah itu fisik atau kemampuannya, kali ini sebuah kejutan mendatanginya, sebuah pembuktian akan kalimat terkenal yang berbunyi ‘Tuhan itu maha adil’. Karena jika sebelumnya Jane pikir Theo sempurna dengan semua kelebihannya, kini Jane tau satu hal, bahwa Theo takut ketinggian. Dan tentunya Jane memang istri yang laknat karena bukannya khawatir ia justru tertawa terbahak-bahak sembari mengabadikan video dan foto wajah Theo yang pucat ketika berada di puncak. Bahkan Jane mengunggah video singkat saat Theo melakukan lepas landas ke beranda social medianya. ‘Kalo takut tinggi harusnya bilang dari awal dong, babe, denial teross sampe semaput.’ Padahal Theo tidak pingsan, hanya gemetaran dan pucat. Jane tidak henti menggoda Jane akan hal itu bahkan saat mereka sudah sampai di rumah dengan baik hari ini. Setelah pulang dari paralayang, Jane dan Theo langsung pulang ke Tangerang karena
Jane pernah mendengar nasihat ini dari seseorang. ‘Hiduplah dalam kebahagiaan, bersyukur, jangan terjun bebas hanya karena sebuah masalah, kalau ada masalah besar anggap kecil. Ada masalah kecil? Anggap tidak ada.’ Dan setuju serratus persen dengan itu. Kalian tau? Hidup tidak selalu harus berpikir atau tentang nelangsa. Meski, tentu saja tidak akan selalu bahagia, sedih juga bagian dari indahnya hidup, namun amat penting untuk manusia bisa menyikapi dengan benar kesedihan itu. Sebab beberapa kali angin menyampaikan, manusia-manusia terlampau frustasi dan menyalahkan masalah yang tengah dihadapi. Kanapa bicara panjang lebar sih, Je. Apa intinya? Jadi intinya, Jane tidak telalu memikirkan hasutan-hasutan negative yang Bu RT dan juga Serin berikan padanya. Jane memikirkannya tentu, hanya saja ia memilih untuk menunggu Theo menjelaskan. Terbukti dengan hari ini. Setelah berkeliling melawat dan berbelanja di Malioboro siang tadi, Jane dan Theo lan