Kamar mendiang Naomi tidak berubah sama sekali, selalu bersih dan tertata rapi seperti sedia kala seakan tak pernah ditinggal pergi oleh pemiliknya sebab Chiara dan ibunya memang selalu membersihkan kamar itu setiap hari. Menjaga dan merawat semua barang-barang di dalamnya merupakan sebuah kewajiban, agar kenangan tentang si mendiang tidak akan pernah hilang.Chiara menghela napas panjang di sana, lalu duduk pada pinggiran ranjang. Ada sebuah album foto lama di dalam dekapan tangan gadis itu. Album foto yang berisi segala momen kehidupan Naomi, potret sang mendiang semenjak bayi hingga potret terakhirnya ketika bertunangan.Gadis itu menyentuh potret itu dalam diam dengan senyum terkembang. Kakaknya terlihat begitu cantik di sana, berdiri dengan senyuman menawan sambil menunjukkan cincin di jari manis tangan kiri. Ada sosok Nardo di sisinya. Pria itu tampak menjulang tinggi, memamerkan senyum tipis nan memesona ke arah kamera. Atensi Chiara jatuh pada sosok sang pria. Tanpa sadar jar
Menu makan siang di depannya telah habis tak bersisa, menyisakan secangkir kopi yang isinya tinggal seperempat. Nardo kembali menatap arloji yang melingkari pergelangan tangan kiri, dan embusan napas berat keluar dari mulutnya, entah untuk yang ke berapa kalinya hari ini.'Sial!''Kenapa malamnya lama sekali, sih!'Ya, Nardo tidak sabar menantikan acara makan malam bersama keluarga Chiara nanti malam. Dia ingin berbicara berdua dengan gadis itu secepatnya. Menahan perasaan ternyata rasanya begitu menyiksa, seakan jarum pendek di dalam arlojinya tidak bergerak sama sekali.Dari sisi kanan muncullah sosok Rendy, pria itu baru saja keluar dari toilet. Pria itu geleng-geleng kepala saat lagi-lagi melihat Nardo kedapatan memeriksa arlojinya."Kamu kenapa, Nar? Mentang-mentang jam tangan mahal, kuperhatikan dari tadi kamu sering sekali melihatnya." Setelah berucap, Rendy mendudukkan diri pada kursinya. Mereka memang sedang makan siang bersama di kafe yang letaknya tidak jauh dari lokasi syu
Langkah kaki keduanya seiring sejalan meskipun hening masih mendominasi keadaan, hanya suara gemercik air dari kolam ikan sejauh telinga mereka mampu mendengar. Mereka berjalan santai menuju taman belakang, melewati paving jalan setapak pula lampu-lampu taman yang sedikit redup di sisi kiri dan kanan."Bagaimana kabar kamu, Chia?" tanya Nardo, membuka percakapan."B-baik." Chiara menjawab dengan sedikit terbata, lalu dia balik bertanya. "Kakak sendiri?""Seperti yang kamu lihat." Nardo menoleh sejenak, membuat mereka bertemu pandang beberapa saat. Dan Chiara kembali tersenyum canggung di tempatnya."Kakak terlihat baik.""Yah, hanya sedikit pusing kepala.""K-kenapa?" Chiara mengangkat dagu. Di detik itu juga Nardo menghentikan langkah kaki, menatap mata indah gadis itu dalam-dalam."Kamu."Kedua mata Chiara membola mendengarnya. Jantungnya sudah sangat ricuh di dalam rongga dadanya. "Eh? A-aku?""Kamu menghindari Kakak, jangan kira Kakak tidak merasa.""Ah! I-itu-"Sebelum Chiara sem
Semua terlihat begitu indah kala sedang dimabuk cinta. Senyuman bahagia tidak pernah pudar menghiasi raut jelita Chiara, mengiringi setiap langkahnya menapaki koridor kampus menuju kelasnya di lantai dua. Hati gadis itu serasa diisi berbagai bunga-bunga setiap kali mengingat wajah tampan itu. Iya, wajah Nardo.Jujur saja Chiara masih merasa seperti mimpi saat menyadari jika dirinya sudah tidak jomblo lagi. Dia masih tidak menyangka jika pria berdarah Jerman itu adalah benar kekasihnya sekarang. Ah, dia jadi membayangkan bagaimana rupa anak mereka nanti seandainya mereka menikah. Pastinya mereka akan memiliki putra dan putri yang lucu dan menggemaskan. Iya, kan?Dan setelah pemikiran tersebut terbersit di kepala, langkah gadis itu berhenti mendadak lalu menggeleng kencang dengan wajah merah padam.'Astaga! Pikiranmu kejauhan, Chia!' gadis itu merutuk dalam hati.Namun, hal itu cuma sesaat. Setelahnya senyuman Chiara kembali terkembang. Dia melanjutkan langkahnya memasuki ruang kelas. D
Chiara sudah berdiri di sisi gerbang kampusnya sejak lima menit lalu. Dengan tas selempang yang dia sandang pada salah satu bahu, gadis itu berulang-ulang memeriksa jam tangannya. Dia sedang menunggu Nardo menjemputnya, sesuai janji pria itu tadi pagi.Saat Chiara sekali lagi menoleh ke kiri, akhirnya kedua mata indah gadis itu menemukan mobil milik Sang kekasih sedang melaju, semakin pelan lalu berhenti tidak jauh di depannya. Chiara tersenyum saat melihat kekasihnya itu turun dari mobil kemudian berjalan tergesa menghampirinya. "Maaf, sudah lama menunggu?" tanya Nardo setelah berdiri menjulang tepat di depan Chiara."Tidak kok, Chia baru saja keluar beberapa menit yang lalu." Gadis manis itu membagi senyumnya. Jantungnya ricuh, tapi dia menikmatinya. Dia bahagia."Untuk kamu." Nardo mengukir senyuman lega, lalu menyerahkan sebuah es krim cone yang baru dia beli di minimarket terdekat pada Chiara. "Sebagai permintaan maaf karena sedikit telat.""Permintaan maaf diterima." Chiara mera
Semenjak Nardo menjadi kekasihnya, dunia Chiara semakin terasa berwarna. Pria itu datang memberinya warna pelangi, menghapus kelabu yang menyelubungi hidupnya semenjak kepergian Naomi, kakaknya. Kini, senyum Chiara bukan lagi sebuah topeng untuk menyembunyikan kesedihan, senyuman itu benar-benar tulus dari dalam lubuk hati. Gadis itu benar-benar merasa bahagia.Memang benar, tampan itu relatif. Tapi bagi Chiara, Nardo adalah pria tertampan di seluruh dunia. Tampan paras dan juga hatinya. Sebuah paket komplit yang membuat gadis itu selalu bersyukur karena pria itu adalah miliknya. Dia tidak akan pernah merasa bosan untuk terus menatapinya seperti ini, Nardo semakin terlihat menarik saat sedang serius mengemudi."Nah, sudah sampai ...."Chiara menengok ke kaca pintu di sampingnya, sedikit cemberut saat sadar mobil yang mereka naiki sudah sampai di sisi pagar gedung sekolahnya. "Kenapa cepat sekali?""Nanti kita bisa bertemu lagi, Schnucki." Ah, panggilan baru. Senyuman gadis itu melebar
Suasana di kantin cukup ramai siang itu. Selena memesankan segelas coklat panas untuk Evan. Kebetulan tengah hari ini sedang turun hujan, gadis itu pikir jika minuman hangat adalah yang paling tepat untuk menemani mereka menghabiskan waktu bersama. "Minumlah. Katanya di dalam coklat ada zat phenylethylamine yang bisa membuat seseorang yang mengonsumsinya merasa bahagia. Kamu akan merasa lebih baik, Van." Selena meletakkan gelas panjang berisi minuman yang tadi dia pesanan dari ibu kantin di hadapan Evan dengan sebuah senyum manis, lalu duduk pada kursi lain di depan pemuda itu. Meja panjang berisi menu makan siang pesanan mereka menjadi penghalang keduanya."Kelihatan sekali ya, kalau aku sedang patah hati?" Evan menatap Selena, terkekeh miris, kemudian menyentuh sisi gelas dengan telapak tangannya. Hangat minuman di dalamnya tak sehangat perasaan yang dia miliki. "Terima kasih minumannya, Sel. Kamu baik sekali.""Sama-sama.""Maaf karena tiba-tiba aku membawa kamu ke kantin begini,
"Yap, sudah oke. Syuting untuk hari ini cukup sampai di sini." Nardo tersenyum puas menatap layar periksa kamera di depannya. Para pemain sudah mulai membubarkan diri, namun dia memilih untuk tetap bertahan di kursi sutradara miliknya."K-kak ...."Secara otomatis Nardo menoleh saat seseorang memanggilnya. Dan pria itu mengernyit saat tahu jika orang itu adalah salah satu aktrisnya; Almera. Gadis itu kembali memerankan peran utama wanita di film garapannya."Ya, Am. Kenapa?"Gadis berparas ayu itu tampak gelisah, bola matanya bergerak-gerak. Almera sedang menyusun kalimat di dalam angan. "Anu ... bisa tidak scene yang tadi diulang? Saya merasa kalau acting saya kurang maksimal tadi."Tidak sepenuhnya berbohong, Almera memang pandai melakonkan peran. Sebagian besar dari film yang dia bintangi, rata-rata menjadi film laris yang meledak di pasaran. Namun, alasan paling utama dirinya berbicara dengan Nardo adalah ... yah, karena dia menaruh rasa spesial pada si pria, sehingga sebisa mungk