"Yap, sudah oke. Syuting untuk hari ini cukup sampai di sini." Nardo tersenyum puas menatap layar periksa kamera di depannya. Para pemain sudah mulai membubarkan diri, namun dia memilih untuk tetap bertahan di kursi sutradara miliknya."K-kak ...."Secara otomatis Nardo menoleh saat seseorang memanggilnya. Dan pria itu mengernyit saat tahu jika orang itu adalah salah satu aktrisnya; Almera. Gadis itu kembali memerankan peran utama wanita di film garapannya."Ya, Am. Kenapa?"Gadis berparas ayu itu tampak gelisah, bola matanya bergerak-gerak. Almera sedang menyusun kalimat di dalam angan. "Anu ... bisa tidak scene yang tadi diulang? Saya merasa kalau acting saya kurang maksimal tadi."Tidak sepenuhnya berbohong, Almera memang pandai melakonkan peran. Sebagian besar dari film yang dia bintangi, rata-rata menjadi film laris yang meledak di pasaran. Namun, alasan paling utama dirinya berbicara dengan Nardo adalah ... yah, karena dia menaruh rasa spesial pada si pria, sehingga sebisa mungk
Waktu bergulir dengan cepat. Tanpa terasa mentari sudah beranjak menuju ufuk barat. Senja telah menyapa, jarum pendek pada jam tangan Chiara sudah melewati angka empat, yang artinya jam sekolah telah usai dari beberapa menit lalu.Dengan memainkan ponselnya, Chiara mencoba membunuh waktu dengan men-scroll beranda sosial media miliknya. Dia sedang menunggu Nardo di sisi gerbang kampusnya sekarang. Dan nyatanya dia tak perlu menunggu waktu lama, sebuah mobil hitam perlahan melambat, lalu berhenti tidak jauh dari posisi gadis itu."Hai ..." ketika kaca pintu samping terbuka, sang pengemudi mobil menyapanya. Senyuman pria itu tetap saja memesona meskipun lelah tampak jelas terbaca pada gurat wajah tampannya. Chiara tersenyum senang. Dia bergegas menaiki jok penumpang bagian depan tanpa perlu dipersilakan. Memberikan ciuman sekilas pada permukaan bibir kekasihnya, dia balas menyapa. "Hai juga, Sayang."Ah, Chiara mulai agresif sekarang. Gadis polos itu sudah hilang. Sedangkan Nardo tentu
Meskipun selama ini hanya diam, bukan berarti Chiara tidak menyadari perubahan sikap Evan padanya. Terhitung sejak dia memberitahukan tentang hubungannya dengan mantan calon suami kakaknya, sejak saat itu pula pemuda itu seakan membangun tembok tebal di antara mereka. Jujur saja, Chiara merasa kehilangan. Mereka bersahabat sejak masih sama-sama memakai popok, dia ... sudah terlalu terbiasa dengan kehadiran Evan.Sedikit menghela napas panjang, gadis itu mencoba melengkungkan sebuah senyuman saat sudah semakin dekat dengan sosok sang sahabat. Chiara masih berharap jika apa yang dia rasakan hanya perasaannya saja, dia berusaha berpikir positif."Loh, Van, Sel ... kalian ke sini juga?" tanya Chiara. Dia sudah berdiri di sisi meja Evan beserta Selena sekarang."Iya. Memangnya kenapa?" Yang terjadi nyatanya tidak sesuai ekspektasi Chiara. Evan menjawab dengan enggan, tidak terlihat terkejut sama sekali. Pemuda itu hanya meliriknya sekilas, lalu kembali menyedot segelas jus di atas meja me
Nardo menghentikan laju mobilnya tepat di depan gerbang rumah Chiara. Dia tidak begitu fokus mengemudi tadi. Berkali-kali dia menoleh ke sisinya, memperhatikan wajah sang kekasih yang semakin pasi. Dia cemas, sangat cemas. Gadisnya tidak berhenti menangis sejak tadi. Dari raut yang terbaca, Chiara terlihat kesulitan bernapas.Kekasihnya sedang berduka, Nardo tahu itu. Sangat menyakitkan saat sahabat terbaikmu tiba-tiba memutuskan hubungan pertemanan, bukan? Apalagi jika kamu tidak tahu di mana letak kesalahanmu. Yah, Nardo tidak bisa melakukan apa-apa selain mencoba menenangkan.Pria itu bergegas turun dari mobil, melesat ke sisi pintu tempat di mana Chiara berada kemudian membukanya. Tatapan mata biru itu semakin tampak khawatir."Apa tidak sebaiknya kita ke dokter saja, Chia?"Gadis manis itu menggeleng, menolak tawaran Nardo. Dia mencoba mengukir senyum lemah dengan susah payah. "Tidak perlu. Chia cuma perlu istirahat, Kak."Dan Nardo hanya bisa mengembusan napas berat, menuruti ke
Seakan baru saja menaiki roller coaster, kepala Chiara terasa berputar-putar. Pusing sekali. Susah payah dia membuka matanya yang terasa begitu berat, dan ruangan yang sudah tidak asing lah yang menyambut pandangannya. Rumah sakit, gadis itu sudah sangat hafal suasana dan aromanya karena dulu dia pernah dirawat di sana dalam waktu yang cukup lama.Si gadis menyipitkan mata saat cahaya lampu membuatnya sedikit silau. Salah satu tangan rapuh itu naik perlahan, mengurut keningnya yang pening. Dan dia menangkap presensi kekasihnya, pria yang dia cintai itu tersentak saat tahu dirinya sudah tersadar dan membuka mata."Mmhhh ... Kak?" Chiara melenguh, sangat lirih hingga nyaris tak terdengar."Kamu sudah bangun? Apa yang kamu rasakan, Sayang? Apakah ada yang sakit?" Nardo menegakkan posisi duduknya, memberikan atensi penuh pada Chiara. Pria itu segera meneliti raut muka, kedua mata, bahkan mengecek kedua tangan kekasihnya. Dia terlalu cemas, membuat si gadis sedikit terkikik tanda bahagia.
Menunggu sudah bukan lagi menjadi sesuatu yang menyebalkan bagi Chiara, sebab kali ini dia ditemani oleh sang sahabat terbaik dan juga kekasih si pemuda. Gadis itu tersenyum menatap pasangan baru di depannya. Bersatunya Evan dengan Selena membuat dia turut merasakan kegembiraan tersendiri. Sebagai informasi, Evan sudah menerima cinta gadis paling teladan di kampusnya itu tepat setelah Chiara keluar dari rumah sakit tempo hari.Mereka bertiga sudah bersiaga berdiri di sisi gerbang, berpayungkan rimbunnya dedaunan pohon beringin yang masih tumbuh di dalam pagar, masih di area universitas Nusa Bangsa. Evan dan Selena memang sengaja menemani Chiara menunggu kedatangan Nardo untuk menjemput gadis manis itu seperti biasanya. Semenjak Selena resmi menjadi kekasih Evan, gadis itu memang menjadi semakin akrab dengan Chiara. Mereka bertiga menjadi teman karib pada akhirnya. Cuaca sore ini sangat bersahabat, mentari tidak terlalu terik sehingga membuat ketiga manusia yang beranjak dewasa terseb
Dalam perjalanan pun Chiara menjadi lebih sering diam, padahal biasanya gadis manis itu tidak akan pernah kehilangan topik pembicaraan. Dia hanya menatapi jalanan dengan hampa, seraya berusaha mengenyahkan keraguan di dalam hatinya. Entahlah, mendengar ucapan Nardo yang berkata jika dia menyukai tarian ballet sedikit mengganggu pikirannya. Karena ... yang menyukai tari ballet itu Naomi, bukan Chiara. 'Kak Nardo ... benar-benar mencintai aku, kan?' Chiara bertanya-tanya dalam angan. "Mau ganti baju di rumah atau mau aku belikan baju baru saja, Sayang?"Sedikit tersentak, Chiara segera menoleh pada Nardo yang sedang mengemudi di sisinya. Setelah dipikir sekali lagi, gadis itu mencoba melupakan kejadian tadi. Dia percaya Nardo, pria itu mencintai dirinya, begitu pula sebaliknya."Sok iya banget kamu. Ganti di rumah saja, sekalian kamu minta izin ke Mama. Mengajak anak gadis orang harus dengan persetujuan orang tuanya, tahu!" Chiara mencebikkan bibirnya, pura-pura kesal. Berbanding lurus
Waktu menunjukkan pukul lima sore saat Nardo memarkirkan mobilnya di halaman rumah Chiara. Setelah sedikit berbincang dengan ibunya, gadis itu langsung melesat ke kamar untuk mandi dan berganti pakaian, meninggalkan Nardo di ruang tamu bersama sang ibu. Suasana canggung sudah tidak lagi Nardo rasakan ketika berhadapan dengan orang tua gadis itu, terlebih pada Ambar, ibunda Chiara, sebab dirinya sudah terlalu terbiasa. Sebelum ini pun pria itu sudah hampir menyandang status sebagai menantu di dalam keluarga itu.Dengan secangkir kopi hitam dan beberapa makanan ringan yang Ambar sajikan untuknya, mereka terlihat santai mengobrol ringan. Banyak hal yang mereka bicarakan, terutama tentang status hubungan Nardo yang kini sudah menjadi kekasih putri bungsunya.Ya, Nardo dan Chiara baru mengakui hubungan asmara keduanya pada sang ibunda setelah hubungan itu berjalan lebih dari tiga bulan lamanya.Ambar tidak terkejut sama sekali, sebab dia memang sudah menduganya sejak awal, tepatnya setela
Chiara keluar dari kamar mandinya dengan mengenakan bathrobe berwarna biru muda. Rambutnya masih terlihat lembab, menguarkan wangi sampo favoritnya. Setelah mengguyur seluruh tubuhnya dengan air hangat, rasa lelahnya semakin berkurang secara signifikan. Ah, dia ingin tidur cepat malam ini.Wanita itu segera melangkah menuju lemari pakaiannya. Tepat ketika dia menyentuh gagang lemari, di detik itu sosok Nardo baru saja memasuki kamar mereka, membuat pergerakan Chiara sejenak terhenti dengan kepala menoleh ke arah suaminya."Kyra sudah tidur?""Sudah. Baru saja aku tidurkan." Nardo menutup pintu kamar, menguncinya sekalian. Dia tersenyum jahil saat pandangan mereka bertemu. "Sekarang giliran Mamanya yang harus aku tiduri.""Dasar!" Chiara terkekeh kecil menanggapi godaan sang suami. Dia kembali menghadap lemari pakaiannya, membukanya untuk mencari baju tidur. Sedangkan sosok Nardo terlihat mendekat ke arahnya dari pantulan kaca di daun pintu lemarinya. "Sudah selesai mandi?" tanya pria
Baju couple berbahan batik warna marun membalut tubuh keduanya. Pasangan itu tampak sangat serasi dan terlihat enak dipandang. Yah, meskipun sebenarnya si wanita masih belum mandi, sebab Chiara memang belum sempat pulang ke rumah. Bahkan dia berganti pakaian dan retouch make up di dalam mobil.Chiara dan Nardo memang baru pulang dari resepsi pernikahan Evan dan Selena. Mereka mampir ke pesta setelah Chiara pulang kuliah. Ya, pada akhirnya Chiara memutuskan untuk kembali berkuliah, untuk mengejar gelar magister, sesuai impiannya. "Aku benar-benar tidak menyangka kalau Evan benar-benar sudah menikah!" Chiara berucap begitu seraya menatap menerawang ke depan, pada mobil dan motor yang sama-sama sedang melaju di jalan raya menuju arah pulang."Kamu senang?" sembari mengemudi Nardo menyempatkan diri untuk melirik ke sisinya, tempat Chiara berada."Tentu saja! Apalagi dia menikah dengan Selena. Demi apapun! Gadis itu begitu sempurna, cantik dan baik hati secara bersamaan. Sangat cocok bers
Nardo benar-benar menepati janjinya. Malam itu juga dia datang bersama kedua orang tuanya, tentu tujuan pria itu adalah untuk melamar sang pujaan hati secara resmi. Kedua keluarga mereka sudah berkumpul di ruang tamu keluarga Chiara sekarang, menunggu waktunya tiba untuk membahas perihal kedatangan keluarga si pria.Ada Manfredo Austerlitz dan Karina yang duduk mengapit putra semata wayang mereka di sofa sebelah kanan, berseberangan dengan Indra Wardhana dan Ambar yang terlihat duduk bersisihan di sisi kiri, mengapit sang putri. Dua keluarga yang akan segera menyatu itu duduk bersama bersekatkan meja oval berbahan kaca tebal, yang di atasnya terdapat berbagai macam hidangan spesial. Raut bahagia terpancar di setiap wajah, terutama pada si pasangan muda di setiap kali mereka kedapatan mencuri pandang."Jadi, maksud kedatangan kami malam ini adalah untuk melamar Chiara secara resmi untuk Nardo, putra kami. Saya sebagai seorang ayah, mewakili anak kami untuk meminta Chiara pada keluarga
"Oke. Kita break dulu. Terima kasih atas kerja keras kalian." Atas instruksi sang sutradara, semua pemain beserta kru yang bertugas di sana segera membubarkan diri untuk beristirahat. Sedangkan si sutradara muda mulai memeriksa layar periksa kamera dengan senyum puas, melihat hasil syuting yang baru saja diambil.Sempurna, sesuai apa yang dia bayangkan di dalam kepala.Ketika pria itu masih fokus menatap layar, dia tersentak. Dua telapak tangan halus yang menutupi kelopak matanya membuat dia terkejut bukan main."Coba tebak, aku siapa?"Tetapi, setelah mendengar suara halus yang begitu akrab di telinganya, garis bibir pria itu melengkung ke atas. Jelas dia tahu siapa pelakunya."Siapa, ya?" Nardo terkekeh, pura-pura tidak tahu."Calon istri kamu." Setelah menjawab begitu, Chiara menjauhkan telapak tangannya, berganti memeluk leher Nardo dari belakang. "Aku rindu kamu!"Senyum pria blasteran itu melebar, dia menoleh ke kanan seraya meraih tengkuk kekasihnya, lalu ... kedua bibir merek
Hening adalah bagian dari sebuah kedamaian. Hal itulah yang Nardo dan Chiara dapati ketika memasuki pintu Paradise columbarium sore ini. Tenang, setenang jiwa-jiwa yang beristirahat di sana.Mereka berdua sudah berdiri bersisian di depan laci penyimpanan abu Naomi sekarang. Chiara melepas genggaman tangannya yang semula bertaut di tangan besar Nardo, hanya untuk meletakkan sebuket bunga anyelir merah di depan foto mendiang kakaknya."Kami datang, Kak. Bagaimana kabar Kakak di sana?" gadis itu bertanya pada udara, dengan senyuman yang dia buat ceria. Sedangkan tatapan mata itu lurus pada potret sang mendiang, seakan Chiara sedang bertatap muka secara langsung dengan mendiang kakaknya. Sedangkan Nardo tampak memperhatikannya tanpa jeda. "Chia yakin Kakak sudah bahagia di Surga sekarang." Setelah dia berkata begitu, kedua matanya memanas secara tiba-tiba. Namun, ketika telapak tangan besar nan hangat itu kembali menggenggam tangannya, Chiara mulai merasa lebih baik. Dia tidak lagi send
"Tidak bisakah kita mulai siang saja?"Chiara menghentikan langkah kaki di ambang pintu ruang keluarga saat mendengar Nardo sedang berbincang dengan seseorang di telepon genggam. Posisi pria itu sedang duduk di sofa, dengan notebook yang menyala."Oh, begitu." Entah jawaban apa yang Nardo dapatkan dari ujung telepon, kepala dengan rambut pirang itu mengangguk pelan. "Tapi, aku sedang tidak di rumah," lanjut pria itu.Chiara menyandarkan punggungnya di sisi pintu, menunggu sang kekasih menyelesaikan panggilannya. Tangannya dia simpan di dada seraya terus mencuri dengar percakapan pria itu dengan entah siapa."Hahhh, apa boleh buat? Kemungkinan setengah jam lagi aku akan sampai di sana."Dan ketika telepon sudah dimatikan kemudian Nardo terlihat menyimpan ponselnya di atas meja, barulah Chiara berjalan mendekatinya."Telepon dari siapa?" tanya gadis itu sembari memutus jarak di antara mereka. Dia tampak segar dengan rambut yang terlihat masih lembab, sebab Chiara baru saja selesai mandi
Bibir yang saling bertaut membuat keduanya terlena. Waktu menjadi berjalan lebih cepat dari seharusnya. Dan ketika Nardo hendak menyudahi ciumannya, Chiara justru mendorong tubuh kekar pria itu sehingga jatuh ke atas permukaan ranjang. Chiara yang mendominasi kali ini. Dia berada di atas tubuh kekar itu, kembali mencari mulut kekasihnya untuk kembali menciumnya, membuat rambutnya jatuh menutupi wajah mereka. Napasnya terdengar tak beraturan, terengah-engah. Hal itu sukses membangkitkan sesuatu di satu bagian tubuh Nardo, tanpa sepengetahuannya. Chiara benar-benar berhasil memancing gairah terpendam miliknya."Chia?" sesaat setelah Chiara menjauhkan wajah demi memasok oksigen untuk tetap bernapas, Nardo menatap intens wajah merahnya. Jenis tatapan bertanya, meskipun sejujurnya Nardo tahu persis apa yang Chiara inginkan, dia hanya memastikan."Berikan aku suntikan semangat untuk mengerjakan kuis besok." Setelah berucap begitu, tanpa menunggu persetujuan, Chiara kembali menyatukan bibir
Sebuah plastik putih besar berlogo minimarket yang berjarak cukup dekat dengan rumah Chiara tampak dalam jinjingan tangan kiri Nardo. Pria jangkung itu baru saja kembali dari berbelanja, untuk mengisi stok makanan di kulkas milik keluarga sang kekasih. Sesuai permintaan ibunda si gadis, Nardo benar-benar berniat untuk menginap.Memasuki area dapur, pria itu meletakkan barang bawaannya pada meja makan. Mengabaikan barang lainnya, dia memilih untuk mengambil kardus-kardus susu terlebih dahulu. Rencananya dia akan menata belanjaannya nanti setelah membuatkan segelas susu hangat untuk gadis yang dia cintai."Kira-kira Chia lebih suka rasa Vanila atau Cokelat?" Nardo mengguman bertanya pada udara, tengah menimbang-nimbang keputusan seraya memperhatikan bungkus produk susu di kedua tangannya.Jujur saja, Nardo memang belum tahu susu rasa apa yang menjadi kesukaan sang kekasih, dia hanya tahu bahwa Chiara menyukai es krim cokelat. Gadis itu selalu memesan itu jika pergi bersamanya.Ah, cokel
Pertengkaran merupakan bumbu sebuah hubungan percintaan. Biasanya setelah konflik itu usai, hubungan akan terasa lebih hangat dan semakin kuat. Kejujuran dan saling terbuka adalah kunci dari langgengnya ikatan asmara, dan hal tersebut sudah Nardo dan Chiara lakukan bersama. Saling memahami, saling mengerti perasaan masing-masing, dan tidak lagi menyimpan sesuatu yang terasa mengganjal di hati seorang diri.Mobil yang Nardo kendarai sudah berhenti tidak jauh dari gerbang kampus sang kekasih, sudah lebih dari lima menit lalu. Namun, kepala dengan surai lurus berkilauan gadis itu masih saja betah berlama-lama menempel di dada bidang kekasihnya, menikmati sentuhan lembut jari-jari Nardo di sela-sela helai rambutnya."Nyaman. Dada kamu memang sandarable sekali ya, Kak?" Chiara semakin menyamankan diri dalam dekapan hangat Nardo. Hidung mungil nan mancung itu sesekali tampak mengendus aroma parfum pria di permukaan kemeja bagian dada."Nanti lagi, ya? Sepertinya kamu harus masuk ke dalam sa