Dalam perjalanan pun Chiara menjadi lebih sering diam, padahal biasanya gadis manis itu tidak akan pernah kehilangan topik pembicaraan. Dia hanya menatapi jalanan dengan hampa, seraya berusaha mengenyahkan keraguan di dalam hatinya. Entahlah, mendengar ucapan Nardo yang berkata jika dia menyukai tarian ballet sedikit mengganggu pikirannya. Karena ... yang menyukai tari ballet itu Naomi, bukan Chiara. 'Kak Nardo ... benar-benar mencintai aku, kan?' Chiara bertanya-tanya dalam angan. "Mau ganti baju di rumah atau mau aku belikan baju baru saja, Sayang?"Sedikit tersentak, Chiara segera menoleh pada Nardo yang sedang mengemudi di sisinya. Setelah dipikir sekali lagi, gadis itu mencoba melupakan kejadian tadi. Dia percaya Nardo, pria itu mencintai dirinya, begitu pula sebaliknya."Sok iya banget kamu. Ganti di rumah saja, sekalian kamu minta izin ke Mama. Mengajak anak gadis orang harus dengan persetujuan orang tuanya, tahu!" Chiara mencebikkan bibirnya, pura-pura kesal. Berbanding lurus
Waktu menunjukkan pukul lima sore saat Nardo memarkirkan mobilnya di halaman rumah Chiara. Setelah sedikit berbincang dengan ibunya, gadis itu langsung melesat ke kamar untuk mandi dan berganti pakaian, meninggalkan Nardo di ruang tamu bersama sang ibu. Suasana canggung sudah tidak lagi Nardo rasakan ketika berhadapan dengan orang tua gadis itu, terlebih pada Ambar, ibunda Chiara, sebab dirinya sudah terlalu terbiasa. Sebelum ini pun pria itu sudah hampir menyandang status sebagai menantu di dalam keluarga itu.Dengan secangkir kopi hitam dan beberapa makanan ringan yang Ambar sajikan untuknya, mereka terlihat santai mengobrol ringan. Banyak hal yang mereka bicarakan, terutama tentang status hubungan Nardo yang kini sudah menjadi kekasih putri bungsunya.Ya, Nardo dan Chiara baru mengakui hubungan asmara keduanya pada sang ibunda setelah hubungan itu berjalan lebih dari tiga bulan lamanya.Ambar tidak terkejut sama sekali, sebab dia memang sudah menduganya sejak awal, tepatnya setela
"Selamat datang di apartemen sederhana aku, Sayang," ucap Nardo sesaat setelah membukakan pintu apartemennya untuk sang kekasih yang berdiri di sisinya. Kenyataannya tidak sesuai perkataan pria itu. Apartemen mewah bergaya bohemian adalah pemandangan yang Chiara tangkap, tidak ada kesan sederhananya sama sekali. Gaya yang cukup populer di kalangan milenial karena mencerminkan gaya hidup tanpa beban, bebas aturan. "Merendah untuk ditabok, ya? Apartemen semewah ini kamu sebut sederhana?" Chiara memasuki hunian sang kekasih lebih dalam, dengan menyapukan tatapan mata ke segala penjuru. Apartemen itu dihias dengan perabotan antik disertai aneka dekorasi berupa permadani, lampu, dan berbagai barang antik yang penuh kemewahan. Ada bantal kain tepat di tengah ruang duduk yang nyaman, ditambah dengan lampu gantung mewah dan furnitur tua yang menambah kesan unik."Aku kan orangnya rendah hati, Chia." Nardo melebarkan senyum, lalu menunjuk pada sofa di sisi kanan dengan dagu seraya melepas t
Perkiraan Nardo nyatanya memang tepat. Setelah dia berhasil memarkirkan mobilnya secepat kilat, jarum pendek pada arloji miliknya sudah menyentuh angka delapan, lebih sedikit. Mereka terlambat hampir lima menit dari jadwal pertunjukan dimulai.Dengan bergandengan tangan mesra, pria itu melangkah beriringan bersama Chiara dengan sedikit tergesa menuju pintu gedung Dirgantara. Dan ternyata Evan beserta Selena masih ada di pelataran sana, sepertinya pasangan itu sengaja menunggu mereka."Van, Sel ... maaf ya, kami telat," ungkap Chiara dengan wajah bersalahnya. Napasnya memburu, mungkin lelah karena berjalan terlalu terburu-buru tadi.Evan yang awalnya berdiri bersandar pada pilar, kini menegakkan tubuhnya dengan tangan bersedekap. Pemuda itu tampak sedikit kesal. "Ke mana saja, sih? Untung pertunjukannya belum dimulai," gerutunya. Sedangkan secara otomatis kedua pipi Chiara merona atas pertanyaan Evan, dia kembali mengingat 'momen' bersama pria jangkung yang berdiri menjulang di sisiny
Di saat sosok Nardo sudah tidak lagi terlihat karena menghilang di kelokan menuju toilet pria, saat itulah Evan bangkit berdiri secara tiba-tiba. "Mau ke mana, Van?" tanya Selena, gadis itulah yang pertama kali melihat pergerakan Evan. Sedangkan Chiara turut menatap si pemuda, sejenak mengabaikan ponsel di tangannya."Toilet." Evan menjawab singkat, sesuatu yang memancing kerut hadir di kening Chiara."Jangan bilang kalau kamu berniat menyusul Kak Nardo?!" ucap gadis manis itu, penuh selidik.Dan si pemuda yang dituduh tampak memutar bola matanya. Dari raut wajahnya, dia tampak cukup kesal. "Untuk apa? Aku mendapatkan panggilan alam," jawabnya. 'Panggilan alam' yang dirinya maksud adalah rasa mulas karena ingin buang air besar."Ya sudah, jangan lama-lama." Selena terkikik sejenak setelahnya."Bertelur yang banyak, ya?" tambah Chiara. Dia memang sengaja memberikan pancingan candaan, namun ternyata Evan sepertinya enggan menanggapi. "Hm." Pemuda itu hanya memberikan gumaman sebelum
"N-naomi?" kedua mata indah Chiara yang semula berbinar ceria, kini mulai berembun.Dia tidak salah mendengar kalau Nardo memanggil dirinya dengan menyebut nama mendiang kakaknya, kan?Sungguh, hatinya seakan ditusuk duri. Sakit sekali."Astaga! Bukan!" seakan baru tersadar dengan apa yang dia ucapkan, sesaat Nardo mengacak rambut pirangnya menjadi berantakan. Dia ... sudah melakukan kesalahan besar! "Maksud aku Chiara, kamu," koreksinya, "Maaf, Sayang ... aku tidak bermaksud—""Jadi, selama ini ... selama ini kamu cuma menganggap aku seolah Kak Nao?" Chiara menatap pedih pada Nardo. Pertanyaan yang sebenarnya tidak memerlukan jawaban, karena gadis itu tahu pasti bahwa jawabannya adalah 'iya'. "Chia, bukan begitu!"Tanpa perlu berkedip pun, air mata itu luruh, jatuh berhamburan seperti perasaannya. Chiara menyentak tangan besar sang kekasih yang mencoba kembali menggapai kedua tanganya di atas meja. "Jangan sentuh aku!""Chia ..." desah Nardo. Ada berbagai macam emosi dalam pancaran
Evan berlari tunggang langgang keluar dari restoran, mencari sosok Chiara yang barangkali masih berada di parkiran. Namun, motor miliknya sudah tidak ada di tempat semula, yang artinya gadis itu sudah tancap gas dan pergi. "Sialan!" pemuda itu mengumpat kasar, entah pada siapa. Dan di detik selanjutnya, ekor matanya sempat menangkap sosok gadis manis itu sedang mengendarai motornya menuju jalan raya, melajukannya sangat kencang. Rasa khawatirnya semakin tidak terkira. Ingin berlari menyusul, tetapi dirinya sudah terlambat, sosok Chiara beserta motornya sudah melaju membelah jalanan."Taksi!" tanpa buang waktu, Evan segera mencegat taksi yang kebetulan lewat di depannya untuk membuntuti Chiara. Dia masuk pada jok belakang kendaraan itu dengan tergesa-gesa."Pak, tolong ikuti gadis yang mengendarai motor di depan sana. Jangan sampai kehilangan jejak!"Kepala sopir taksi itu mengangguk. "Baik, Mas."Ketika taksi yang dia naiki melaju dengan cukup kencang, secara spontan kedua tangan Evan
Menyiapkan sarapan adalah rutinitas yang selalu Ambar lakukan setiap pagi. Jika biasanya dia dibantu oleh sang putri, sekarang dia hanya melakukannya seorang diri. Chiara, putri bungsunya sedang patah hati. Semalaman penuh gadis manis itu menangis memeluknya, namun sedikit pun tidak mengeluarkan kata. Namun, Harumi tahu jika perasaan anak gadisnya tengah hancur berkeping-keping. Ya, setelah Evan pulang semalam, Ambar berhasil membujuk putrinya untuk membukakan pintu. Dia menemani putrinya, mencoba untuk mengerti apa yang Chiara tengah rasakan saat itu.Sebagai seorang ibu, tentu Ambar mencoba untuk menenangkan semampunya. Bahunya harus selalu siap sedia untuk menjadi sandaran sang putri yang sedang beranjak dewasa. Dia paham betul jika Chiara masih belum siap untuk menceritakan permasalahannya, dan dia tidak akan memaksa putrinya untuk bercerita. "Pagi." Ambar sedikit terkejut saat suara lirih nan lembut yang sangat dia hafal menyentuh pendengarannya. Ketika dia menoleh ke asal suar
Chiara keluar dari kamar mandinya dengan mengenakan bathrobe berwarna biru muda. Rambutnya masih terlihat lembab, menguarkan wangi sampo favoritnya. Setelah mengguyur seluruh tubuhnya dengan air hangat, rasa lelahnya semakin berkurang secara signifikan. Ah, dia ingin tidur cepat malam ini.Wanita itu segera melangkah menuju lemari pakaiannya. Tepat ketika dia menyentuh gagang lemari, di detik itu sosok Nardo baru saja memasuki kamar mereka, membuat pergerakan Chiara sejenak terhenti dengan kepala menoleh ke arah suaminya."Kyra sudah tidur?""Sudah. Baru saja aku tidurkan." Nardo menutup pintu kamar, menguncinya sekalian. Dia tersenyum jahil saat pandangan mereka bertemu. "Sekarang giliran Mamanya yang harus aku tiduri.""Dasar!" Chiara terkekeh kecil menanggapi godaan sang suami. Dia kembali menghadap lemari pakaiannya, membukanya untuk mencari baju tidur. Sedangkan sosok Nardo terlihat mendekat ke arahnya dari pantulan kaca di daun pintu lemarinya. "Sudah selesai mandi?" tanya pria
Baju couple berbahan batik warna marun membalut tubuh keduanya. Pasangan itu tampak sangat serasi dan terlihat enak dipandang. Yah, meskipun sebenarnya si wanita masih belum mandi, sebab Chiara memang belum sempat pulang ke rumah. Bahkan dia berganti pakaian dan retouch make up di dalam mobil.Chiara dan Nardo memang baru pulang dari resepsi pernikahan Evan dan Selena. Mereka mampir ke pesta setelah Chiara pulang kuliah. Ya, pada akhirnya Chiara memutuskan untuk kembali berkuliah, untuk mengejar gelar magister, sesuai impiannya. "Aku benar-benar tidak menyangka kalau Evan benar-benar sudah menikah!" Chiara berucap begitu seraya menatap menerawang ke depan, pada mobil dan motor yang sama-sama sedang melaju di jalan raya menuju arah pulang."Kamu senang?" sembari mengemudi Nardo menyempatkan diri untuk melirik ke sisinya, tempat Chiara berada."Tentu saja! Apalagi dia menikah dengan Selena. Demi apapun! Gadis itu begitu sempurna, cantik dan baik hati secara bersamaan. Sangat cocok bers
Nardo benar-benar menepati janjinya. Malam itu juga dia datang bersama kedua orang tuanya, tentu tujuan pria itu adalah untuk melamar sang pujaan hati secara resmi. Kedua keluarga mereka sudah berkumpul di ruang tamu keluarga Chiara sekarang, menunggu waktunya tiba untuk membahas perihal kedatangan keluarga si pria.Ada Manfredo Austerlitz dan Karina yang duduk mengapit putra semata wayang mereka di sofa sebelah kanan, berseberangan dengan Indra Wardhana dan Ambar yang terlihat duduk bersisihan di sisi kiri, mengapit sang putri. Dua keluarga yang akan segera menyatu itu duduk bersama bersekatkan meja oval berbahan kaca tebal, yang di atasnya terdapat berbagai macam hidangan spesial. Raut bahagia terpancar di setiap wajah, terutama pada si pasangan muda di setiap kali mereka kedapatan mencuri pandang."Jadi, maksud kedatangan kami malam ini adalah untuk melamar Chiara secara resmi untuk Nardo, putra kami. Saya sebagai seorang ayah, mewakili anak kami untuk meminta Chiara pada keluarga
"Oke. Kita break dulu. Terima kasih atas kerja keras kalian." Atas instruksi sang sutradara, semua pemain beserta kru yang bertugas di sana segera membubarkan diri untuk beristirahat. Sedangkan si sutradara muda mulai memeriksa layar periksa kamera dengan senyum puas, melihat hasil syuting yang baru saja diambil.Sempurna, sesuai apa yang dia bayangkan di dalam kepala.Ketika pria itu masih fokus menatap layar, dia tersentak. Dua telapak tangan halus yang menutupi kelopak matanya membuat dia terkejut bukan main."Coba tebak, aku siapa?"Tetapi, setelah mendengar suara halus yang begitu akrab di telinganya, garis bibir pria itu melengkung ke atas. Jelas dia tahu siapa pelakunya."Siapa, ya?" Nardo terkekeh, pura-pura tidak tahu."Calon istri kamu." Setelah menjawab begitu, Chiara menjauhkan telapak tangannya, berganti memeluk leher Nardo dari belakang. "Aku rindu kamu!"Senyum pria blasteran itu melebar, dia menoleh ke kanan seraya meraih tengkuk kekasihnya, lalu ... kedua bibir merek
Hening adalah bagian dari sebuah kedamaian. Hal itulah yang Nardo dan Chiara dapati ketika memasuki pintu Paradise columbarium sore ini. Tenang, setenang jiwa-jiwa yang beristirahat di sana.Mereka berdua sudah berdiri bersisian di depan laci penyimpanan abu Naomi sekarang. Chiara melepas genggaman tangannya yang semula bertaut di tangan besar Nardo, hanya untuk meletakkan sebuket bunga anyelir merah di depan foto mendiang kakaknya."Kami datang, Kak. Bagaimana kabar Kakak di sana?" gadis itu bertanya pada udara, dengan senyuman yang dia buat ceria. Sedangkan tatapan mata itu lurus pada potret sang mendiang, seakan Chiara sedang bertatap muka secara langsung dengan mendiang kakaknya. Sedangkan Nardo tampak memperhatikannya tanpa jeda. "Chia yakin Kakak sudah bahagia di Surga sekarang." Setelah dia berkata begitu, kedua matanya memanas secara tiba-tiba. Namun, ketika telapak tangan besar nan hangat itu kembali menggenggam tangannya, Chiara mulai merasa lebih baik. Dia tidak lagi send
"Tidak bisakah kita mulai siang saja?"Chiara menghentikan langkah kaki di ambang pintu ruang keluarga saat mendengar Nardo sedang berbincang dengan seseorang di telepon genggam. Posisi pria itu sedang duduk di sofa, dengan notebook yang menyala."Oh, begitu." Entah jawaban apa yang Nardo dapatkan dari ujung telepon, kepala dengan rambut pirang itu mengangguk pelan. "Tapi, aku sedang tidak di rumah," lanjut pria itu.Chiara menyandarkan punggungnya di sisi pintu, menunggu sang kekasih menyelesaikan panggilannya. Tangannya dia simpan di dada seraya terus mencuri dengar percakapan pria itu dengan entah siapa."Hahhh, apa boleh buat? Kemungkinan setengah jam lagi aku akan sampai di sana."Dan ketika telepon sudah dimatikan kemudian Nardo terlihat menyimpan ponselnya di atas meja, barulah Chiara berjalan mendekatinya."Telepon dari siapa?" tanya gadis itu sembari memutus jarak di antara mereka. Dia tampak segar dengan rambut yang terlihat masih lembab, sebab Chiara baru saja selesai mandi
Bibir yang saling bertaut membuat keduanya terlena. Waktu menjadi berjalan lebih cepat dari seharusnya. Dan ketika Nardo hendak menyudahi ciumannya, Chiara justru mendorong tubuh kekar pria itu sehingga jatuh ke atas permukaan ranjang. Chiara yang mendominasi kali ini. Dia berada di atas tubuh kekar itu, kembali mencari mulut kekasihnya untuk kembali menciumnya, membuat rambutnya jatuh menutupi wajah mereka. Napasnya terdengar tak beraturan, terengah-engah. Hal itu sukses membangkitkan sesuatu di satu bagian tubuh Nardo, tanpa sepengetahuannya. Chiara benar-benar berhasil memancing gairah terpendam miliknya."Chia?" sesaat setelah Chiara menjauhkan wajah demi memasok oksigen untuk tetap bernapas, Nardo menatap intens wajah merahnya. Jenis tatapan bertanya, meskipun sejujurnya Nardo tahu persis apa yang Chiara inginkan, dia hanya memastikan."Berikan aku suntikan semangat untuk mengerjakan kuis besok." Setelah berucap begitu, tanpa menunggu persetujuan, Chiara kembali menyatukan bibir
Sebuah plastik putih besar berlogo minimarket yang berjarak cukup dekat dengan rumah Chiara tampak dalam jinjingan tangan kiri Nardo. Pria jangkung itu baru saja kembali dari berbelanja, untuk mengisi stok makanan di kulkas milik keluarga sang kekasih. Sesuai permintaan ibunda si gadis, Nardo benar-benar berniat untuk menginap.Memasuki area dapur, pria itu meletakkan barang bawaannya pada meja makan. Mengabaikan barang lainnya, dia memilih untuk mengambil kardus-kardus susu terlebih dahulu. Rencananya dia akan menata belanjaannya nanti setelah membuatkan segelas susu hangat untuk gadis yang dia cintai."Kira-kira Chia lebih suka rasa Vanila atau Cokelat?" Nardo mengguman bertanya pada udara, tengah menimbang-nimbang keputusan seraya memperhatikan bungkus produk susu di kedua tangannya.Jujur saja, Nardo memang belum tahu susu rasa apa yang menjadi kesukaan sang kekasih, dia hanya tahu bahwa Chiara menyukai es krim cokelat. Gadis itu selalu memesan itu jika pergi bersamanya.Ah, cokel
Pertengkaran merupakan bumbu sebuah hubungan percintaan. Biasanya setelah konflik itu usai, hubungan akan terasa lebih hangat dan semakin kuat. Kejujuran dan saling terbuka adalah kunci dari langgengnya ikatan asmara, dan hal tersebut sudah Nardo dan Chiara lakukan bersama. Saling memahami, saling mengerti perasaan masing-masing, dan tidak lagi menyimpan sesuatu yang terasa mengganjal di hati seorang diri.Mobil yang Nardo kendarai sudah berhenti tidak jauh dari gerbang kampus sang kekasih, sudah lebih dari lima menit lalu. Namun, kepala dengan surai lurus berkilauan gadis itu masih saja betah berlama-lama menempel di dada bidang kekasihnya, menikmati sentuhan lembut jari-jari Nardo di sela-sela helai rambutnya."Nyaman. Dada kamu memang sandarable sekali ya, Kak?" Chiara semakin menyamankan diri dalam dekapan hangat Nardo. Hidung mungil nan mancung itu sesekali tampak mengendus aroma parfum pria di permukaan kemeja bagian dada."Nanti lagi, ya? Sepertinya kamu harus masuk ke dalam sa