"Selamat datang di apartemen sederhana aku, Sayang," ucap Nardo sesaat setelah membukakan pintu apartemennya untuk sang kekasih yang berdiri di sisinya. Kenyataannya tidak sesuai perkataan pria itu. Apartemen mewah bergaya bohemian adalah pemandangan yang Chiara tangkap, tidak ada kesan sederhananya sama sekali. Gaya yang cukup populer di kalangan milenial karena mencerminkan gaya hidup tanpa beban, bebas aturan. "Merendah untuk ditabok, ya? Apartemen semewah ini kamu sebut sederhana?" Chiara memasuki hunian sang kekasih lebih dalam, dengan menyapukan tatapan mata ke segala penjuru. Apartemen itu dihias dengan perabotan antik disertai aneka dekorasi berupa permadani, lampu, dan berbagai barang antik yang penuh kemewahan. Ada bantal kain tepat di tengah ruang duduk yang nyaman, ditambah dengan lampu gantung mewah dan furnitur tua yang menambah kesan unik."Aku kan orangnya rendah hati, Chia." Nardo melebarkan senyum, lalu menunjuk pada sofa di sisi kanan dengan dagu seraya melepas t
Perkiraan Nardo nyatanya memang tepat. Setelah dia berhasil memarkirkan mobilnya secepat kilat, jarum pendek pada arloji miliknya sudah menyentuh angka delapan, lebih sedikit. Mereka terlambat hampir lima menit dari jadwal pertunjukan dimulai.Dengan bergandengan tangan mesra, pria itu melangkah beriringan bersama Chiara dengan sedikit tergesa menuju pintu gedung Dirgantara. Dan ternyata Evan beserta Selena masih ada di pelataran sana, sepertinya pasangan itu sengaja menunggu mereka."Van, Sel ... maaf ya, kami telat," ungkap Chiara dengan wajah bersalahnya. Napasnya memburu, mungkin lelah karena berjalan terlalu terburu-buru tadi.Evan yang awalnya berdiri bersandar pada pilar, kini menegakkan tubuhnya dengan tangan bersedekap. Pemuda itu tampak sedikit kesal. "Ke mana saja, sih? Untung pertunjukannya belum dimulai," gerutunya. Sedangkan secara otomatis kedua pipi Chiara merona atas pertanyaan Evan, dia kembali mengingat 'momen' bersama pria jangkung yang berdiri menjulang di sisiny
Di saat sosok Nardo sudah tidak lagi terlihat karena menghilang di kelokan menuju toilet pria, saat itulah Evan bangkit berdiri secara tiba-tiba. "Mau ke mana, Van?" tanya Selena, gadis itulah yang pertama kali melihat pergerakan Evan. Sedangkan Chiara turut menatap si pemuda, sejenak mengabaikan ponsel di tangannya."Toilet." Evan menjawab singkat, sesuatu yang memancing kerut hadir di kening Chiara."Jangan bilang kalau kamu berniat menyusul Kak Nardo?!" ucap gadis manis itu, penuh selidik.Dan si pemuda yang dituduh tampak memutar bola matanya. Dari raut wajahnya, dia tampak cukup kesal. "Untuk apa? Aku mendapatkan panggilan alam," jawabnya. 'Panggilan alam' yang dirinya maksud adalah rasa mulas karena ingin buang air besar."Ya sudah, jangan lama-lama." Selena terkikik sejenak setelahnya."Bertelur yang banyak, ya?" tambah Chiara. Dia memang sengaja memberikan pancingan candaan, namun ternyata Evan sepertinya enggan menanggapi. "Hm." Pemuda itu hanya memberikan gumaman sebelum
"N-naomi?" kedua mata indah Chiara yang semula berbinar ceria, kini mulai berembun.Dia tidak salah mendengar kalau Nardo memanggil dirinya dengan menyebut nama mendiang kakaknya, kan?Sungguh, hatinya seakan ditusuk duri. Sakit sekali."Astaga! Bukan!" seakan baru tersadar dengan apa yang dia ucapkan, sesaat Nardo mengacak rambut pirangnya menjadi berantakan. Dia ... sudah melakukan kesalahan besar! "Maksud aku Chiara, kamu," koreksinya, "Maaf, Sayang ... aku tidak bermaksud—""Jadi, selama ini ... selama ini kamu cuma menganggap aku seolah Kak Nao?" Chiara menatap pedih pada Nardo. Pertanyaan yang sebenarnya tidak memerlukan jawaban, karena gadis itu tahu pasti bahwa jawabannya adalah 'iya'. "Chia, bukan begitu!"Tanpa perlu berkedip pun, air mata itu luruh, jatuh berhamburan seperti perasaannya. Chiara menyentak tangan besar sang kekasih yang mencoba kembali menggapai kedua tanganya di atas meja. "Jangan sentuh aku!""Chia ..." desah Nardo. Ada berbagai macam emosi dalam pancaran
Evan berlari tunggang langgang keluar dari restoran, mencari sosok Chiara yang barangkali masih berada di parkiran. Namun, motor miliknya sudah tidak ada di tempat semula, yang artinya gadis itu sudah tancap gas dan pergi. "Sialan!" pemuda itu mengumpat kasar, entah pada siapa. Dan di detik selanjutnya, ekor matanya sempat menangkap sosok gadis manis itu sedang mengendarai motornya menuju jalan raya, melajukannya sangat kencang. Rasa khawatirnya semakin tidak terkira. Ingin berlari menyusul, tetapi dirinya sudah terlambat, sosok Chiara beserta motornya sudah melaju membelah jalanan."Taksi!" tanpa buang waktu, Evan segera mencegat taksi yang kebetulan lewat di depannya untuk membuntuti Chiara. Dia masuk pada jok belakang kendaraan itu dengan tergesa-gesa."Pak, tolong ikuti gadis yang mengendarai motor di depan sana. Jangan sampai kehilangan jejak!"Kepala sopir taksi itu mengangguk. "Baik, Mas."Ketika taksi yang dia naiki melaju dengan cukup kencang, secara spontan kedua tangan Evan
Menyiapkan sarapan adalah rutinitas yang selalu Ambar lakukan setiap pagi. Jika biasanya dia dibantu oleh sang putri, sekarang dia hanya melakukannya seorang diri. Chiara, putri bungsunya sedang patah hati. Semalaman penuh gadis manis itu menangis memeluknya, namun sedikit pun tidak mengeluarkan kata. Namun, Harumi tahu jika perasaan anak gadisnya tengah hancur berkeping-keping. Ya, setelah Evan pulang semalam, Ambar berhasil membujuk putrinya untuk membukakan pintu. Dia menemani putrinya, mencoba untuk mengerti apa yang Chiara tengah rasakan saat itu.Sebagai seorang ibu, tentu Ambar mencoba untuk menenangkan semampunya. Bahunya harus selalu siap sedia untuk menjadi sandaran sang putri yang sedang beranjak dewasa. Dia paham betul jika Chiara masih belum siap untuk menceritakan permasalahannya, dan dia tidak akan memaksa putrinya untuk bercerita. "Pagi." Ambar sedikit terkejut saat suara lirih nan lembut yang sangat dia hafal menyentuh pendengarannya. Ketika dia menoleh ke asal suar
Bunyi bel lagi-lagi membuat Ambar menghentikan kegiatannya. Dia yang pada awalnya sedang mencuci peralatan makan segera mencuci tangan, lalu bergegas menuju pintu depan untuk melihat siapa yang datang.Dan ternyata sosok pria berdarah Jerman sudah berdiri di muka pintu saat wanita baya itu membukanya."Nak Nardo?""Selamat pagi, Ma. Chia-nya ada?" tanya pria bertubuh jangkung itu."Wah, Chia baru saja berangkat ke kampus bersama Evan.""Oh, begitu." Raut wajah pria itu berubah kecewa, namun tidak melunturkan gurat kekhawatirannya. "Tapi ... dia baik-baik saja, kan?"Seakan paham, Ambar merekahkan senyuman mencoba menenangkan. "Dia baik-baik saja, jangan terlalu khawatir begitu. Chia memang sengaja menonaktifkan ponselnya sejak semalam, tapi dia benar-benar tidak apa-apa," hiburnya."Syukurlah." Desah napas lega mengakhiri ucapan si pria."Mau masuk dulu?" Ambar memberikan tawaran. Dan anggukan Nardo adalah sebagai jawaban."Iya. Sekalian saya ingin melepas rindu dengan Naomi."Ambar s
'Jadi, selama ini ... selama ini kamu cuma menganggap aku seolah Kak Nao?'Nardo kembali meraup wajahnya dengan kasar ketika ucapan Chiara lagi-lagi berputar di kepalanya. Mengingat wajah pilu kekasihnya membuat pria itu memaki dirinya sendiri, sebab dia sadar bahwa dirinya lah orang yang telah menorehkan luka. Tentu Nardo tidak pernah bermaksud seperti apa yang kekasihnya tuduhkan, meskipun sebenarnya dia pun terkejut kenapa bisa salah menyebut nama. Mungkin saja karena malam itu dia sempat menonton pertunjukan tarian ballet sehingga kilasan memori tentang Naomi kembali menyeruak ke permukaan. Atau mungkin ... jauh di dalam lubuk hati pria itu masih menyimpan rasa cinta pada sang mendiang?Nardo meremas rambutnya, lalu menutup notebook dengan keras. Napasnya memburu. Nyatanya dia tidak mampu sedikit pun fokus pada pekerjaan. Dia masih merasa syok dengan fakta yang Chiara ungkapkan, bahkan hingga detik ini. Selama ini dia sudah begitu ikhlas melepaskan kepergian Naomi, meskipun itu