'Jadi, selama ini ... selama ini kamu cuma menganggap aku seolah Kak Nao?'Nardo kembali meraup wajahnya dengan kasar ketika ucapan Chiara lagi-lagi berputar di kepalanya. Mengingat wajah pilu kekasihnya membuat pria itu memaki dirinya sendiri, sebab dia sadar bahwa dirinya lah orang yang telah menorehkan luka. Tentu Nardo tidak pernah bermaksud seperti apa yang kekasihnya tuduhkan, meskipun sebenarnya dia pun terkejut kenapa bisa salah menyebut nama. Mungkin saja karena malam itu dia sempat menonton pertunjukan tarian ballet sehingga kilasan memori tentang Naomi kembali menyeruak ke permukaan. Atau mungkin ... jauh di dalam lubuk hati pria itu masih menyimpan rasa cinta pada sang mendiang?Nardo meremas rambutnya, lalu menutup notebook dengan keras. Napasnya memburu. Nyatanya dia tidak mampu sedikit pun fokus pada pekerjaan. Dia masih merasa syok dengan fakta yang Chiara ungkapkan, bahkan hingga detik ini. Selama ini dia sudah begitu ikhlas melepaskan kepergian Naomi, meskipun itu
Jarum jam berbentuk hello kitty di atas meja belajar Chiara berdetak konstan, menimbulkan suara yang terdengar mendominasi ruangan kamar sunyi. Meskipun buku modul itu terlihat terbuka lebar, namun gadis itu sekali pun tidak menghiraukannya. Kedua tangannya justru sibuk dengan ponsel, menggeser foto-foto mesra dirinya dan Nardo yang berada di folder galeri. Chiara merindukan Nardo, jelas terlihat di kedua matanya."Sedang apa, Kak? Chia kangen," ucapnya dengan suara parau sambil membelai wajah tampan kekasihnya di dalam foto. Air mata yang kembali mengalir, dia seka dengan cepat."Kalau kangen, ya ditemuin, Sayang."Ucapan yang tiba-tiba terdengar membuat Chiara tersentak, lalu menoleh ke arah pintu kamarnya yang kini terbuka. Ah, sang ibu masuk tanpa mengetuk pintu rupanya."M-mama? Kenapa masuk ke kamar tidak bilang-bilang? Mama membuat Chia terkejut saja."Ambar terkekeh mendengar gerutuan putrinya. Tanpa menanggapi lagi ucapan Chiara, beliau melangkah menghampirinya. "Sedang apa?"
"Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi, silakan melakukan panggilan beberapa saat lagi.""Shit!" Umpatan itu lolos seiring dengan cengkeraman tangannya yang menguat pada ponsel pintar di genggaman. Nardo berdecak kesal. Lagi-lagi hanya suara operator yang menjawab panggilan teleponnya ke nomor Chiara, entah sudah kali ke berapa. Waktu istirahatnya dia habiskan hanya untuk semakin merasa gundah. Rasa bersalah itu selalu saja menghantuinya. Sudah puluhan pesan yang dia kirimkan ke Chiara, namun satu pun tidak mendapatkan balasan. Hanya terlihat centang dua, tanda pesannya hanya dibaca.'Sedalam itukah aku menyakitimu, Chia?' sorot mata biru itu kian menyendu ketika meratap dalam angan. Rasa sedih itu tidak mampu dia sembunyikan. "Kusut sekali mukanya. Kenapa lagi sekarang? Masalahmu belum selesai juga?" Rendy datang menghampiri dengan menjinjing sebuah kantung plastik di tangan kiri.Nardo tersentak saat pertanyaan tiba-tiba dari si asisten sutradara memasuki telinga. Dia mendong
Ketika kelas telah usai, Nardo sudah bersiaga di sisi gerbang Universitas Nusa Bangsa, menunggu Chiara dengan bersandar pada kap mobilnya. Ya, pria itu memutuskan untuk menemui kekasihnya secara langsung, dia tidak tahan jika harus berlama-lama membiarkan masalah semakin berlarut-larut di dalam hubungan asmara keduanya.Dan tak lama sosok yang ditunggu itu sudah menampakkan diri. Chiara berjalan pelan dengan wajah muram, di sisi kanan ada Selena yang menggandeng tangannya, dan di belakang punggungnya ada sosok Evan. Sepasang kekasih itu terlihat seperti bodyguard yang siap siaga menjaga sang gadis jelita.Ketika tatapan mereka bertiga menangkap presensi dirinya, tak perlu berpikir panjang, Nardo segera melangkah menghampiri, meraih lengan kiri kekasihnya sebelum gadis itu berhasil menghindar."Chia, tunggu!" cegahnya. Nardo bisa melihat jika kedua bola mata gadis manis itu bergerak gusar saat menatapnya. "Lepaskan aku, Kak!" lirih Chiara. Getar lemah suara kekasihnya semakin mencabik
Jarum jam yang berdetak konstan menjadi satu-satunya suara yang terdengar. Jarum pendeknya berada di tengah-tengah antara angka 11 dan 12, waktu hampir menunjukkan tengah malam. Meski sudah menuju dini hari, namun pria itu masih belum mampu terlelap. Mata biru itu menatap menerawang pada langit-langit kamarnya, dengan posisi terbaring di atas ranjang, dengan kedua lengan sebagai bantalan. Ya, hanya berbaring saja. Sebab pikiran Nardo sedang melanglang buana ke mana-mana, tentu yang paling mendominasi adalah pada kejadian siang tadi.'Setidaknya ANAK KECIL ini berusaha melindungi gadis yang dia sayangi. Bukan seperti pria dewasa yang satu ini, bisanya hanya membuat kekasihnya menangis!'Ucapan penuh emosi Evan kembali menggema di kepala, membuat sanubari si pria terasa nyeri."Sejahat itukah aku?" dia bertanya pada sunyi. Selanjutnya Nardo tampak memejamkan mata pedih.'Kalau Kakak tidak bisa membuat Chia bahagia, setidaknya jangan menyakiti dia.'Lagi-lagi kalimat yang Evan ucap tadi
"Mau bilang apa?" Chiara melipat tangan di depan dada, tanpa sedikit pun melihat padanya.Ya, pada akhirnya Nardo benar-benar berhasil menemui sang kekasih, hanya berdua, bersandar pada kap mobilnya di depan gerbang rumah si gadis jelita."Aku minta maaf," ungkap pria itu seraya menundukkan kepala."Untuk?""Karena aku salah menyebut nama perempuan lain saat melamar kamu. Tapi, aku tidak ada maksud apa-apa, Sayang. Aku berani bersumpah!" Nardo kembali mengangkat kepala, menatap sisi wajah Chiara yang berdiri di sisinya."Kamu pikir aku akan percaya?" Chiara balas menatapnya, lengkap dengan tawa sinis. Pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban karena memang Nardo sudah tahu jawabannya. Dia memang bersalah, dan dia mengakuinya. Dan Chiara tidak akan mudah percaya."Oke. Aku akan jujur padamu." Ucapan Nardo sukses memancing perhatian Chiara. Gadis itu menatap lekat pada mata biru kekasihnya, menanti kalimat selanjutnya. "Aku teringat Naomi, cuma sekilas. Momen yang kita lalui malam itu
Pertengkaran merupakan bumbu sebuah hubungan percintaan. Biasanya setelah konflik itu usai, hubungan akan terasa lebih hangat dan semakin kuat. Kejujuran dan saling terbuka adalah kunci dari langgengnya ikatan asmara, dan hal tersebut sudah Nardo dan Chiara lakukan bersama. Saling memahami, saling mengerti perasaan masing-masing, dan tidak lagi menyimpan sesuatu yang terasa mengganjal di hati seorang diri.Mobil yang Nardo kendarai sudah berhenti tidak jauh dari gerbang kampus sang kekasih, sudah lebih dari lima menit lalu. Namun, kepala dengan surai lurus berkilauan gadis itu masih saja betah berlama-lama menempel di dada bidang kekasihnya, menikmati sentuhan lembut jari-jari Nardo di sela-sela helai rambutnya."Nyaman. Dada kamu memang sandarable sekali ya, Kak?" Chiara semakin menyamankan diri dalam dekapan hangat Nardo. Hidung mungil nan mancung itu sesekali tampak mengendus aroma parfum pria di permukaan kemeja bagian dada."Nanti lagi, ya? Sepertinya kamu harus masuk ke dalam sa
Sebuah plastik putih besar berlogo minimarket yang berjarak cukup dekat dengan rumah Chiara tampak dalam jinjingan tangan kiri Nardo. Pria jangkung itu baru saja kembali dari berbelanja, untuk mengisi stok makanan di kulkas milik keluarga sang kekasih. Sesuai permintaan ibunda si gadis, Nardo benar-benar berniat untuk menginap.Memasuki area dapur, pria itu meletakkan barang bawaannya pada meja makan. Mengabaikan barang lainnya, dia memilih untuk mengambil kardus-kardus susu terlebih dahulu. Rencananya dia akan menata belanjaannya nanti setelah membuatkan segelas susu hangat untuk gadis yang dia cintai."Kira-kira Chia lebih suka rasa Vanila atau Cokelat?" Nardo mengguman bertanya pada udara, tengah menimbang-nimbang keputusan seraya memperhatikan bungkus produk susu di kedua tangannya.Jujur saja, Nardo memang belum tahu susu rasa apa yang menjadi kesukaan sang kekasih, dia hanya tahu bahwa Chiara menyukai es krim cokelat. Gadis itu selalu memesan itu jika pergi bersamanya.Ah, cokel
Chiara keluar dari kamar mandinya dengan mengenakan bathrobe berwarna biru muda. Rambutnya masih terlihat lembab, menguarkan wangi sampo favoritnya. Setelah mengguyur seluruh tubuhnya dengan air hangat, rasa lelahnya semakin berkurang secara signifikan. Ah, dia ingin tidur cepat malam ini.Wanita itu segera melangkah menuju lemari pakaiannya. Tepat ketika dia menyentuh gagang lemari, di detik itu sosok Nardo baru saja memasuki kamar mereka, membuat pergerakan Chiara sejenak terhenti dengan kepala menoleh ke arah suaminya."Kyra sudah tidur?""Sudah. Baru saja aku tidurkan." Nardo menutup pintu kamar, menguncinya sekalian. Dia tersenyum jahil saat pandangan mereka bertemu. "Sekarang giliran Mamanya yang harus aku tiduri.""Dasar!" Chiara terkekeh kecil menanggapi godaan sang suami. Dia kembali menghadap lemari pakaiannya, membukanya untuk mencari baju tidur. Sedangkan sosok Nardo terlihat mendekat ke arahnya dari pantulan kaca di daun pintu lemarinya. "Sudah selesai mandi?" tanya pria
Baju couple berbahan batik warna marun membalut tubuh keduanya. Pasangan itu tampak sangat serasi dan terlihat enak dipandang. Yah, meskipun sebenarnya si wanita masih belum mandi, sebab Chiara memang belum sempat pulang ke rumah. Bahkan dia berganti pakaian dan retouch make up di dalam mobil.Chiara dan Nardo memang baru pulang dari resepsi pernikahan Evan dan Selena. Mereka mampir ke pesta setelah Chiara pulang kuliah. Ya, pada akhirnya Chiara memutuskan untuk kembali berkuliah, untuk mengejar gelar magister, sesuai impiannya. "Aku benar-benar tidak menyangka kalau Evan benar-benar sudah menikah!" Chiara berucap begitu seraya menatap menerawang ke depan, pada mobil dan motor yang sama-sama sedang melaju di jalan raya menuju arah pulang."Kamu senang?" sembari mengemudi Nardo menyempatkan diri untuk melirik ke sisinya, tempat Chiara berada."Tentu saja! Apalagi dia menikah dengan Selena. Demi apapun! Gadis itu begitu sempurna, cantik dan baik hati secara bersamaan. Sangat cocok bers
Nardo benar-benar menepati janjinya. Malam itu juga dia datang bersama kedua orang tuanya, tentu tujuan pria itu adalah untuk melamar sang pujaan hati secara resmi. Kedua keluarga mereka sudah berkumpul di ruang tamu keluarga Chiara sekarang, menunggu waktunya tiba untuk membahas perihal kedatangan keluarga si pria.Ada Manfredo Austerlitz dan Karina yang duduk mengapit putra semata wayang mereka di sofa sebelah kanan, berseberangan dengan Indra Wardhana dan Ambar yang terlihat duduk bersisihan di sisi kiri, mengapit sang putri. Dua keluarga yang akan segera menyatu itu duduk bersama bersekatkan meja oval berbahan kaca tebal, yang di atasnya terdapat berbagai macam hidangan spesial. Raut bahagia terpancar di setiap wajah, terutama pada si pasangan muda di setiap kali mereka kedapatan mencuri pandang."Jadi, maksud kedatangan kami malam ini adalah untuk melamar Chiara secara resmi untuk Nardo, putra kami. Saya sebagai seorang ayah, mewakili anak kami untuk meminta Chiara pada keluarga
"Oke. Kita break dulu. Terima kasih atas kerja keras kalian." Atas instruksi sang sutradara, semua pemain beserta kru yang bertugas di sana segera membubarkan diri untuk beristirahat. Sedangkan si sutradara muda mulai memeriksa layar periksa kamera dengan senyum puas, melihat hasil syuting yang baru saja diambil.Sempurna, sesuai apa yang dia bayangkan di dalam kepala.Ketika pria itu masih fokus menatap layar, dia tersentak. Dua telapak tangan halus yang menutupi kelopak matanya membuat dia terkejut bukan main."Coba tebak, aku siapa?"Tetapi, setelah mendengar suara halus yang begitu akrab di telinganya, garis bibir pria itu melengkung ke atas. Jelas dia tahu siapa pelakunya."Siapa, ya?" Nardo terkekeh, pura-pura tidak tahu."Calon istri kamu." Setelah menjawab begitu, Chiara menjauhkan telapak tangannya, berganti memeluk leher Nardo dari belakang. "Aku rindu kamu!"Senyum pria blasteran itu melebar, dia menoleh ke kanan seraya meraih tengkuk kekasihnya, lalu ... kedua bibir merek
Hening adalah bagian dari sebuah kedamaian. Hal itulah yang Nardo dan Chiara dapati ketika memasuki pintu Paradise columbarium sore ini. Tenang, setenang jiwa-jiwa yang beristirahat di sana.Mereka berdua sudah berdiri bersisian di depan laci penyimpanan abu Naomi sekarang. Chiara melepas genggaman tangannya yang semula bertaut di tangan besar Nardo, hanya untuk meletakkan sebuket bunga anyelir merah di depan foto mendiang kakaknya."Kami datang, Kak. Bagaimana kabar Kakak di sana?" gadis itu bertanya pada udara, dengan senyuman yang dia buat ceria. Sedangkan tatapan mata itu lurus pada potret sang mendiang, seakan Chiara sedang bertatap muka secara langsung dengan mendiang kakaknya. Sedangkan Nardo tampak memperhatikannya tanpa jeda. "Chia yakin Kakak sudah bahagia di Surga sekarang." Setelah dia berkata begitu, kedua matanya memanas secara tiba-tiba. Namun, ketika telapak tangan besar nan hangat itu kembali menggenggam tangannya, Chiara mulai merasa lebih baik. Dia tidak lagi send
"Tidak bisakah kita mulai siang saja?"Chiara menghentikan langkah kaki di ambang pintu ruang keluarga saat mendengar Nardo sedang berbincang dengan seseorang di telepon genggam. Posisi pria itu sedang duduk di sofa, dengan notebook yang menyala."Oh, begitu." Entah jawaban apa yang Nardo dapatkan dari ujung telepon, kepala dengan rambut pirang itu mengangguk pelan. "Tapi, aku sedang tidak di rumah," lanjut pria itu.Chiara menyandarkan punggungnya di sisi pintu, menunggu sang kekasih menyelesaikan panggilannya. Tangannya dia simpan di dada seraya terus mencuri dengar percakapan pria itu dengan entah siapa."Hahhh, apa boleh buat? Kemungkinan setengah jam lagi aku akan sampai di sana."Dan ketika telepon sudah dimatikan kemudian Nardo terlihat menyimpan ponselnya di atas meja, barulah Chiara berjalan mendekatinya."Telepon dari siapa?" tanya gadis itu sembari memutus jarak di antara mereka. Dia tampak segar dengan rambut yang terlihat masih lembab, sebab Chiara baru saja selesai mandi
Bibir yang saling bertaut membuat keduanya terlena. Waktu menjadi berjalan lebih cepat dari seharusnya. Dan ketika Nardo hendak menyudahi ciumannya, Chiara justru mendorong tubuh kekar pria itu sehingga jatuh ke atas permukaan ranjang. Chiara yang mendominasi kali ini. Dia berada di atas tubuh kekar itu, kembali mencari mulut kekasihnya untuk kembali menciumnya, membuat rambutnya jatuh menutupi wajah mereka. Napasnya terdengar tak beraturan, terengah-engah. Hal itu sukses membangkitkan sesuatu di satu bagian tubuh Nardo, tanpa sepengetahuannya. Chiara benar-benar berhasil memancing gairah terpendam miliknya."Chia?" sesaat setelah Chiara menjauhkan wajah demi memasok oksigen untuk tetap bernapas, Nardo menatap intens wajah merahnya. Jenis tatapan bertanya, meskipun sejujurnya Nardo tahu persis apa yang Chiara inginkan, dia hanya memastikan."Berikan aku suntikan semangat untuk mengerjakan kuis besok." Setelah berucap begitu, tanpa menunggu persetujuan, Chiara kembali menyatukan bibir
Sebuah plastik putih besar berlogo minimarket yang berjarak cukup dekat dengan rumah Chiara tampak dalam jinjingan tangan kiri Nardo. Pria jangkung itu baru saja kembali dari berbelanja, untuk mengisi stok makanan di kulkas milik keluarga sang kekasih. Sesuai permintaan ibunda si gadis, Nardo benar-benar berniat untuk menginap.Memasuki area dapur, pria itu meletakkan barang bawaannya pada meja makan. Mengabaikan barang lainnya, dia memilih untuk mengambil kardus-kardus susu terlebih dahulu. Rencananya dia akan menata belanjaannya nanti setelah membuatkan segelas susu hangat untuk gadis yang dia cintai."Kira-kira Chia lebih suka rasa Vanila atau Cokelat?" Nardo mengguman bertanya pada udara, tengah menimbang-nimbang keputusan seraya memperhatikan bungkus produk susu di kedua tangannya.Jujur saja, Nardo memang belum tahu susu rasa apa yang menjadi kesukaan sang kekasih, dia hanya tahu bahwa Chiara menyukai es krim cokelat. Gadis itu selalu memesan itu jika pergi bersamanya.Ah, cokel
Pertengkaran merupakan bumbu sebuah hubungan percintaan. Biasanya setelah konflik itu usai, hubungan akan terasa lebih hangat dan semakin kuat. Kejujuran dan saling terbuka adalah kunci dari langgengnya ikatan asmara, dan hal tersebut sudah Nardo dan Chiara lakukan bersama. Saling memahami, saling mengerti perasaan masing-masing, dan tidak lagi menyimpan sesuatu yang terasa mengganjal di hati seorang diri.Mobil yang Nardo kendarai sudah berhenti tidak jauh dari gerbang kampus sang kekasih, sudah lebih dari lima menit lalu. Namun, kepala dengan surai lurus berkilauan gadis itu masih saja betah berlama-lama menempel di dada bidang kekasihnya, menikmati sentuhan lembut jari-jari Nardo di sela-sela helai rambutnya."Nyaman. Dada kamu memang sandarable sekali ya, Kak?" Chiara semakin menyamankan diri dalam dekapan hangat Nardo. Hidung mungil nan mancung itu sesekali tampak mengendus aroma parfum pria di permukaan kemeja bagian dada."Nanti lagi, ya? Sepertinya kamu harus masuk ke dalam sa