"Woiii ... kamu jualan apa?!Berani-beraninya, ya, jualan di sini!" Kudengar ada seseorang berbicara dengan volume yang begitu keras dari seberang jalan. Aku hendak melihat, tapi hanya mengangkat muka. Tidak menghiraukan karena sedang sibuk.
Lagi-lagi ada suara orang berteriak, aku mencari suara itu, ternyata si abang penjual nasi uduk. Ia menyeberang jalan berdiri di atas pembatas jalan raya yang ditanami pohon palem sambil berkacak pinggang.
"Kamu, jualan apa?! Dengar nggak, sih, kamu?!" Matanya melotot, rambutnya yang gondrong melambai-lambai tertiup angin yang terhempas akibat kendaraan yang sedang lalu-lalang di jalan raya tepat di depan warungku.
“Kamu nggak tau apa aku juga jualan nasi! Ngapain kamu ikut-ikutan!" sambungnya lagi.
Aku masih berkutat dengan pekerjaan. Pelangganku sudah lama mengantri, kasihan kalau tidak segera dilayani. Bang Udin yang kuketahui namanya semenjak menyewa kontrakan ini, tiba tiba menghampiri dan menggebrak meja. Reflek aku menoleh hingga harus menghentikan aktivitasku menggoreng nasi.
Bang Udin langsung jadi pusat perhatian para pelanggan yang menunggu. Semua yang tertata rapi di meja ia obrak-abrik. Sendok, garpu, sedotan, tisu, serbet bahkan kerupuk porak poranda jatuh berhamburan di lantai. Semua pembeli melihat ke arahnya, beberapa dari mereka menatapnya dengan tatapan kesal. Sejenak aku berhenti dengan pekerjaan yang sedari tadi menyibukkan. Lalu bergegas menghampiri Bang Udin.
"Kenapa, Bang? Apakah ada yang salah denganku?" Dengan ramah aku bertanya, raut wajahnya sedang tidak bersahabat. Tiba-tiba saja jantung ini berdegup.
"Gara-gara kamu pembeliku jadi berkurang!" Semua pada lari ke sini!" jawabnya penuh emosi. Aku mematung, lalu memperhatikannya yang tengah berkacak pinggang dan menatapku dengan api yang membara. Berusaha tenang, agar diri ini juga tak tersulut emosi.
"Pembeli yang datang ke sini sendiri ... kok, Abang yang sewot?" ujarku pelan sambil menatapnya dengan raut yang sedemikian rupa kubuat manis. Namun tak disangka, detik itu juga Bang Udin meludahiku, hampir mengenai kaki. Sebagai balasan, aku hanya mengulum senyum.
"Udah, ya, Bang! Kasian pelangganku dari tadi nungguin." Aku berlalu meninggalkannya dan memutuskan untuk segera menyelesaikan pesanan pelanggan.
Abang penjual nasi uduk itu menggerutu kesal. Lalu melenggang pergi begitu saja seraya melempar sendok ke meja. Benar-benar tidak ada sopan santun. Aku diam saja. Tak ingin menanggapi lebih lanjut nanti ia akan berhenti sendiri juga pikirku.
"Yang sopan napa, Bang!" seru ibu-ibu salah satu pelanggan setiaku. Aku tersenyum kecut melihat kepergian Bang Udin, para pelanggan pasti merasa sedikit tidak nyaman. Nampak beberapa orang memandang kesal ke arah penjual nasi uduk itu.
"Apa ini, Bang?! seru istriku yang baru saja datang. Kedua netranya mengamati Dengan seksama ke segala arah. Adel pun hanya bengong sembari menarik-narik rambut panjang mamanya yang tergerai.
Ia berjalan mendekati meja, sebentar-sebentar melihat ke arahku. Aku pun masih tetap fokus melayani pembeli. Ia lalu memindahkan gendonganku Adel ke belakang dengan memakai kain jarik.
"Kok berantakan banget emang barusan ada apa, Bang?" tanya wanita yang sudah kunikahi selama lima tahun itu menatapku tajam meminta sebuah kejelasan.
Ia membungkuk, tangannya meraih semua barang-barang yang berhamburan di lantai lalu diletakkan kembali ke meja. Sesekali ia membenarkan letak gendongan yang miring.
"Penjual nasi uduk di depan itu, Dek, barusan ngamuk di sini. Katanya gegara Abang warungnya jadi sepi,” jelasku seraya meletakkan nasi di atas kertas nasi.
Aku sembari membungkus lalu memasukkan lima bungkus nasi goreng ke dalam kantong kresek dan mengangsurkan kepada pembeli.
"Berapa, Bang?" tanya sang pembeli seraya merogoh lembaran uang dari dalam dompet.
"Total enam puluh ribu, Pak," jawabku ramah.
"Ini, ya, Bang," ucap pembeli seraya menyerahkan uang kepadaku.
"Abang gondrong yang tadi kasar sekali, sepertinya dia iri pada keramaian warung Abang," celetuk pembeli kemudian menaiki motornya.
"Makasih, Pak," ucapku ramah sambil melengkungkan bibir.
***
Tepat pukul 22.00 daganganku sudah habis.
Ketika hendak mengunci warung, tiba-tiba saja ada sebuah bungkusan di dekatku. Sepertinya ada yang sengaja melempar ke sini. Aku segera menoleh ke belakang. Sekilas terlihat seseorang berlalu dari pembatas jalan. Netra ini mengamati ternyata dia adalah si Abang penjual nasi uduk.Entah kenapa aku mengambilnya lalu membawa masuk ke dalam rumah. Mengunci pintu lalu berjalan ke kamar.
"Itu apa, Bang?" tanya istriku yang sedang menggendong putri kecil kami. Ia melirik bungkusan yang ada di tangan ini.
"Nggak tau, nih, Dek! Ini Abang baru mau membukanya. Tadi Bang Udin yang melempar," jawabku seraya duduk menyelonjorkan kaki.
Kuletakkan bungkusan itu di kasur dan berniat membukanya. Sungguh, betapa terkejutnya ketika aku membukanya ternyata ....
Tatkala Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam menikah dan membawa istrinya ke rumah, beliau mengadakan suatu walimah yang dihadiri oleh beberapa sahabat. Dalam walimah itu sambil menikmati hidangan yang terbatas, para sahabat berbincang-bincang, sementara Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam sedang salat.Setelah selesai dari salatnya, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam bertanya kepada para sahabatnya, "Tentang apa yang kalian bicarakan?" Para sahabat pun menjawab, "Soal rezeki Ya Rasulullah."
Lalu, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam menceritakan kepada para sahabatnya, suatu cerita yang diceritakan Malaikat Jibril Alaihi Salam kepadanya, yaitu :
Pada suatu ketika, Nabi Sulaiman Alaihi Salam sedang melaksanakan salat di tepi laut, setelah selesai salat, beliau melihat seekor semut melata yang menggigit di mulutnya selembar daun hijau. Dilihatnya semut itu berteriak, sewaktu sudah sampai di tepi air keluarlah seekor katak, kemudian membawanya menyelam ke dasar laut.
Setelah satu jam lewat, keluarlah si semut terapung di atas air, kemudian dengan rasa penasaran Nabi Sulaiman Alaihi Salam pun bertanya kepada semut kecil itu, "Apa yang kamu lakukan di dasar laut?"
"Di bawah dasar laut terdapat sebuah batu besar yang di tengah-tengahnya hidup seekor ulat yang aku diperintahkan untuk memberikannya makan. Pada tiap hari aku membawa makanannya dua kali, diantar oleh Malaikat yang menjelma sebagai katak yang membawaku ke dasar laut, kemudian setelah aku memberi makan ulat tersebut, dibawanya aku kembali ke permukaan laut. Dan tiap kali sehabis makan rezeki yang kubawakan, si ulat bersyukur kepada Allah Subhanahu Wata Ala dan berkata, "Maha Besar Allah yang telah menciptakanku serta mentakdirkanku hidup di dasar laut ini, tetapi tidaklah melupakan rezekiku," jawab si semut.
Adakah Allah Subhanahu Wata Ala akan melupakan umat Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam dari pemberian rezeki dan Rahmat-Nya?
Semoga bermanfaat.وَ الـلَّــــهُ اَعْــلَـــمْ بِالصَّــــوَابِ
Note: Jangan mengotori hati dengan rasa iri pada rezeki orang lain. Setiap manusia sudah ada takaran rezekinya masing-masing. Bahkan, seekor ulat yang hidup di dasar lautpun Allah tidak pernah melupakan rezekinya.Ternyata bungkusan ini isinya tanah sama bunga, Dek," ucapku sembari merapikannya kembali. Saking isinya kepenuhan jadi berantakan ketika dibuka. Buru-buru aku membungkusnya kembali."Kenapa juga tadi aku membukanya di kasur?" gumamku dalam hati sambil menepuk jidat. Tanganku mengambil pasir dan bunga yang sempat berserakan di kasur.Ani yang sedari tadi duduk di sebelahku menjadi penasaran sampai memajukan sedikit kepalanya ke arah bungkusan, Adel yang dalam gendongannya sambil sesekali ditepuk-tepuknya pelan karena belum begitu pulas tidurnya."Astaghfirullah, Bang Andi! Itu maksudnya apa coba!" seru Ani. Matanya membulat sempurna, tangannya sambil mengelus dada. Matanya tak lepas memandangi bungkusan yang sedang kupegang."Nggak tau, Dek," Aku mengerutkan dahi menatap penuh tanya seraya memasukkan ke dalam kantong kresek."Sepertinya ini ... apakah ... ah ...." Lagi-lagi aku hanya membatin."Besok pagi aja, Dek, akan Abang bakar di depan
Tolong siapkan segelas air dong, Bang!" pinta Bang Deni. Adel masih menangis, anehnya ia menangis, tapi tidak mengeluarkan air mata. Tatapannya fokus pada satu tempat."Iya, Bang," jawabku singkat.Lekas aku ke dapur mengambil gelas di rak piring lalu menuangkan air dari teko. Napasku ngos-ngosan karena sangat panik."Ini, Bang!" ucapku seraya menyodorkan segelas air putih kepada Bang Deni.Sambil memegang gelas Bang Deni menggendong Adel yang masih menangis kejang-kejang dan mulutnya mulai komat-kamit seperti membaca ayat Al-Quran. Entah apa yang dibacanya akupun tak mengetahuinya.Ani gemetaran, buliran-buliran kristal meluncur dari netranya. Sambil menyeka air matanya dengan kain jarik yang masih disampirkan di bahunya. Setelah selesai membaca Bang Deni meniup juga sedikit meludah ke dalam gelas lalu segera meminumkan kepada Adel. Laki-laki kekar itu menuangkan air di tangannya kemudian membasuh wajah Adel.Tak berselang lama putri
"Dek tadi denger nggak Kak Mira ngomong apa?" tanyaku serius.Ani mengambil kain jarik di dalam lipatan keranjang. Lalu menggendong Adel. Ia menatapku dengan wajah kebingungan."Nggak, Bang. Tadi Adek fokus nyusuin, jadi nggak begitu dengar," jawabnya datar sembari mengambil uang yang semalam diletakkan di bawah kasur, memasukkannya ke dompet lalu dimasukkan lagi ke dalam saku bajunya. Aku menggaruk kepala yang tidak gatal."Coba inget-inget lagi, Dek," pintaku sambil terus menatapnya."Enggak, Bang. Emang Kak Mira ngomong apa, Bang?" Ani berbalik tanya. Kini ia sudah berdiri di balik pintu."Eeem, eh, nggak papa, Dek." Sepertinya aku diam saja tidak ingin membuatnya kepikiran. Kasihan semalam kurang tidur kurang istirahat."Ih, Abang gitu!" ucap Ani agak sedikit manyun, tapi tampak menggemaskan dan tambah cantik."Ya udah, Adek ke depan dulu ya, Bang." ucapnya agak kesal, tapi suaranya masih terdengar lembut. Ani melangkah ke luar da
Mataku membelalak, ternyata Bang Udin sedang marah-marah. Terlihat dari matanya yang mengkilat dan wajahnya yang memerah. Gobang di tangannya diangkat tinggi-tinggi ke udara. Detak jantung semakin berdegup kencang, saat lelaki berambut gondrong itu berjalan menyeberang jalan dan menatapku tajam. Aku bingung harus bagaimana menghadapinya."Aku pamit dulu, bye semua!" Pamit Kak Mira dengan suara ketakutan dan buru-buru menuju mobil.Rara yang sudah bangun ia dudukkan di samping kursi kemudi. Kak Mira sudah duduk dan menekan klakson sambil melambaikan tangan. Kemudian mobil berwarna gold itu melaju dengan kencang."Belum sempat mendengar penjelasan tentang laki-laki sangar serta kata 'bung' yang belum ia lanjutkan tadi. Tapi Kak Mira udah pamit duluan," gumamku sambil menatap ke arah jalan.Kini Bang Udin sudah berada tepat di hadapanku. Orang-orang yang lewat hanya bisa melihat sekilas dengan tatapan bingung, heran, ngeri, ketakutan. Mungkin karena me
Tendengar rintihan itu, aku tergesa-gesa menuju kamar dan betapa terkejutnya saat melihat sosok yang terkapar di lantai ….Tampak Ani sedang merintih kesakitan. Tanpa berpikir panjang, aku segera membopong dan merebahkannya di kasur."Adek kenapa? yang mana yang sakit, Dek?" tanyaku dengan mata berkaca-kaca sambil memegangi badannya."Ba–badan A–dek sakit se–mua, Bang," jawab Ani dengan terbata-bata. Air matanya mengalir deras. Ia terus menggelinjang seakan seluruh badannya ada yang menghujam.Aku baru menyadari keberadaan Adel saat terdengar suara tangisnya di atas kasur, mungkin saja ia juga ikut merasakan apa yang terjadi dengan mamanya. Kini aku beralih pada putri kecilku, menggendong dan segera membawanya ke luar rumah. Berniat menitipkan Adel pada tetangga sebelah rumah.Setelah menitipkan Adel, aku berlari kembali ke kamar. Aku tidak tahu harus berbuat apa, kuputuskan langsung membopong Ani menuju rumah sakit yang be
"Bang, ini ada apa? Kenapa berantakan sekali seperti kapal pecah?” tanya Ani kepadaku. Ia bergantian menatapku dan menatap Bang Deni penuh tanya. Sebelumnya aku sudah merebahkan Ani di ranjang dengan menggendongnya. Lama menunggunya sadarkan diri, akhirnya istriku tersadar juga dari kesurupan. Ia tampak kebingungan dengan apa yang dilihatnya. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan kamar rumah sakit. Pecahan piring berserakan di lantai, hordeng jendela robek-robek, kasur yang sudah semrawut letaknya, juga kukunya yang berdarah karena habis mencakar-cakar tembok. Wanita berkulit putih di hadapanku masih keheranan, sebab ia merasa tidak melakukan apa-apa. "Bang ... adek kenapa, Bang? Badan Adek berasa sakit semua, tulang hampir mau patah rasanya. Ini kuku juga, kok, hampir patah begini? Itu piring siapa yang mecahin, Bang?" tanyanya bertubi-tubi seraya celingak-celinguk netranya menyusuri setiap udut ruangan dan memandangi kukunya yang berdarah. “A-
Ani hanya diam saja ketika diberi saran untuk pergi ke orang pintar. Tak mengiyakan ataupun menolak, tapi ia terus saja melirikku. "Oia, Mbak, Adel gimana rewel nggak?" tanyaku kepada Mbak berbaju tosca yang bernama Mbak Erlin. Sengaja untuk mengalihkan pembicaraan. "Pasti sekarang Adel haus belum nyusu dari semalam," Ani menyela. Sesaat menatapku lalu menatap wajah satu per satu tetangga yang sedang menjenguknya. Tampak kegelisahan menggelayuti dari wajahnya yang cantik. "Ya, udah nanti minta pulang sama dokter semoga aja diperbolehkan, kan adek udah nggak kenapa-napa," ucapku. "Mumpung kami masih ada di sini ayo sekalian kami bantuin, Bang Andi!" sela Mbak Erlin. Setelah beberapa menit Andi berbicara dengan dokter, akhirnya Ani diperbolehkan pulang, Ani pulang bersama rombongan tetangga dengan berjalan kaki. Aku pun mengekor di belakang mereka. Ketika hendak menyeberang jalan aku berpapasan dengan Bang Udin, ia melirikku. Tapi penjual nasi u
Keesokan paginya sepulang dari pasar, aku hendak pergi ke warung untuk membeli saos. Saking pusingnya mikirin warung jadi kelupaan tidak membeli ketika di pasar tadi. "Bang, mau ke mana?" tanya Ani. "Mau ke warung Cik Lisa beli saos, Dek!" jawabku sambil meletakkan belanjaan di meja makan. Wanita yang kucintai itu sedang sibuk mencuci piring. Dapur dan ruang makan plong tanpa sekat sehingga aku bisa melihatnya dari sini. Kuhenyakkan bokongku di kursi kayu tua peninggalan pemilik kontrakan ini. "Abang istirahat aja dulu!" Ani menghampiriku dan membawakan secangkir teh panas. "Iya, Dek Ani Sayang ...," Aku mengecup pipinya kemudian merangkulnya dan mengajaknya duduk. "Bang, sebenarnya apa yang salah dengan keluarga kita, ya? Akhir-akhir ini banyak kejadian aneh yang Adek rasakan," keluh Ani. Ia berbicara sembari meletakkan cangkir di meja makan. Kami duduk bersisian. "Abang juga merasakan hal yang sama, Dek," ungkapku. "A
Sesampainya di masjid kusandarkan punggung di dinding masjid. Kini aku duduk di depan masjid tepatnya di luar dekat tempat wudhu. Kupejamkan netra ini sambil memikirkan apa yang sedang aku lakukan saat ini. Kenapa sampai sejauh ini aku melangkah. Dosakah? Ah, sudahlah lebih baik patuhi saja ucapan dukun itu. Jam di dalam masjid sudah menunjukkan pukul 14:00 aku harus segera pulang untuk bersiap-siap. Saat melangkah menuju pulang sembari kuperhatikan warung dari jalan nampak biasa saja tidak ada yang aneh. Lalu kenapa para pelanggan mengira warungku sudah tidak jualan lagi. Namun, ekor mataku menangkap sepertinya ada sesuatu di atap asbes. Karena sangat penasaran, aku menggunakan sebuah galah sebagai alat untuk mengambilnya. Aku menarik-narik lumayan agak lama dan ... tetiba ada kain putih yang terjatuh. Gegas kuletakkan galah di tempat semula dan segera mengambil kain putih agak kusam tersebut. Sungguh terkejut diri ini ketika aku me
Andi! Meja serta kursi yang ada di ruang makan tolong digeser dipepetin ke sudut tembok! Kursi meja yang ada di warung tolong segera dikeluarkan semua. Sukmaku tidak bisa masuk ke sana karena tempatnya kurang lega!" teriak Mbah Dukun dari dalam ruangan yang gelap dan tertutup itu. "Iya, Mbah, sebentar aku telfon istriku dulu!" Aku langsung mengambil ponsel di saku baju. "Hallo, Dek! Assalamu'alaikum, Dek tolong kursi meja yang ada di warung tolong dikeluarin dulu, ya! Pindahin aja ke halaman dulu, Dek!" Kursi meja di ruang makan juga dipepetin ke tembok aja!" ucapku lirih. Mas Bagas yang berada di samping nampak menyimak ucapanku di telepon. "W*'alaikumsalam ... untuk apa, Bang?" tanya Ani menginterogasi. "Udah, Dek, turuti saja nanti Abang jelasin," ucapku penuh penekanan tetapi dengan volume yang pelan. "Iya, Bang, baiklah!" Ani mendesah kasar, terdengar tangisan Adel dari balik telepon. Sepertinya Ani bergegas menghampiri bu
Saat berbelanja di Pasar Jaten, aku mengeluh atas warung yang sepi dan dengan segala keanehannya kepada pedagang sayur langgananku. Tak disangka keluhanku didengarkan oleh Mbak Erlin yang kebetulan sedang berbelanja. Ia mulai mendekat. "Yaudah, Bang Andi, ayo aku antar ke rumah orang pintar!" tawarnya sumringah. Mbak Erlin terus menatapku. Aku pura-pura kelilipan dan mengusap mata. "Em, gimana, ya?" Dalam hati aku masih ragu, karena sebelumnya aku disuruh ke rumah laki-laki pesilat itu. Akan tetapi, sangat disayangkan ia sedang berada di Kediri. "Ayolah, Bang ...," ajaknya setengah memaksa. Ia hendak menyenggol lenganku. "Ya, sudah ... besok anterin ke sana, ya, Mbak," ucapku lesu seraya menjatuhkan pandangan pada sayuran-sayuran hijau yang berjejer rapi di meja penjual sayur di belakang Mbak Erlin. Menit kemudian aku berpamitan kepada pedagang langgananku dan bergegas pulang menaiki motor RX-King berwarna toska yang gagah. Sepanjang perjalanan tak he
Mataku langsung tertuju pada mobil berwarna gold itu. "Itu kan mobil yang Kak Mira bawa beberapa hari yang lalu," batinku sambil masih sibuk menyiapkan pesanan Mas Hendi. Hari ini cuaca tidak mendung, tidak pula cerah. Mobil berhenti, tak lama mesin mobil dimatikan. Ketika pintunya dibuka kulihat dari sepatunya, lalu berpindah melihat bajunya, ternyata benar seperti dugaanku, ia adalah Kak Mira. Wanita berdandan wah itu langsung berjalan mendekatiku. "Andi, ayo ikut aku!" ajaknya ketus. "Ke mana, Kak?" Andi lagi jualan, ini sedang melayani pembeli," sahutku sambil menumis bumbu. Padahal warung sedang ramai-ramainya. Masih ada beberapa pelanggan yang mengantri. "Tutup warung lebih cepat, ajak serta Ani dan juga Adel!" titahnya. Menaikkan dagu dan melirik ke arah Mas Hendi dengan sinis. "Ya, udah kakak tunggu di mobil dulu, di sini gerah!" ucapnya angkuh kemudian melenggang masuk ke mobil barunya. Mobil berada tepat di samping pohon asem, dan sedikit memakai ba
Keesokan paginya sepulang dari pasar, aku hendak pergi ke warung untuk membeli saos. Saking pusingnya mikirin warung jadi kelupaan tidak membeli ketika di pasar tadi. "Bang, mau ke mana?" tanya Ani. "Mau ke warung Cik Lisa beli saos, Dek!" jawabku sambil meletakkan belanjaan di meja makan. Wanita yang kucintai itu sedang sibuk mencuci piring. Dapur dan ruang makan plong tanpa sekat sehingga aku bisa melihatnya dari sini. Kuhenyakkan bokongku di kursi kayu tua peninggalan pemilik kontrakan ini. "Abang istirahat aja dulu!" Ani menghampiriku dan membawakan secangkir teh panas. "Iya, Dek Ani Sayang ...," Aku mengecup pipinya kemudian merangkulnya dan mengajaknya duduk. "Bang, sebenarnya apa yang salah dengan keluarga kita, ya? Akhir-akhir ini banyak kejadian aneh yang Adek rasakan," keluh Ani. Ia berbicara sembari meletakkan cangkir di meja makan. Kami duduk bersisian. "Abang juga merasakan hal yang sama, Dek," ungkapku. "A
Ani hanya diam saja ketika diberi saran untuk pergi ke orang pintar. Tak mengiyakan ataupun menolak, tapi ia terus saja melirikku. "Oia, Mbak, Adel gimana rewel nggak?" tanyaku kepada Mbak berbaju tosca yang bernama Mbak Erlin. Sengaja untuk mengalihkan pembicaraan. "Pasti sekarang Adel haus belum nyusu dari semalam," Ani menyela. Sesaat menatapku lalu menatap wajah satu per satu tetangga yang sedang menjenguknya. Tampak kegelisahan menggelayuti dari wajahnya yang cantik. "Ya, udah nanti minta pulang sama dokter semoga aja diperbolehkan, kan adek udah nggak kenapa-napa," ucapku. "Mumpung kami masih ada di sini ayo sekalian kami bantuin, Bang Andi!" sela Mbak Erlin. Setelah beberapa menit Andi berbicara dengan dokter, akhirnya Ani diperbolehkan pulang, Ani pulang bersama rombongan tetangga dengan berjalan kaki. Aku pun mengekor di belakang mereka. Ketika hendak menyeberang jalan aku berpapasan dengan Bang Udin, ia melirikku. Tapi penjual nasi u
"Bang, ini ada apa? Kenapa berantakan sekali seperti kapal pecah?” tanya Ani kepadaku. Ia bergantian menatapku dan menatap Bang Deni penuh tanya. Sebelumnya aku sudah merebahkan Ani di ranjang dengan menggendongnya. Lama menunggunya sadarkan diri, akhirnya istriku tersadar juga dari kesurupan. Ia tampak kebingungan dengan apa yang dilihatnya. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan kamar rumah sakit. Pecahan piring berserakan di lantai, hordeng jendela robek-robek, kasur yang sudah semrawut letaknya, juga kukunya yang berdarah karena habis mencakar-cakar tembok. Wanita berkulit putih di hadapanku masih keheranan, sebab ia merasa tidak melakukan apa-apa. "Bang ... adek kenapa, Bang? Badan Adek berasa sakit semua, tulang hampir mau patah rasanya. Ini kuku juga, kok, hampir patah begini? Itu piring siapa yang mecahin, Bang?" tanyanya bertubi-tubi seraya celingak-celinguk netranya menyusuri setiap udut ruangan dan memandangi kukunya yang berdarah. “A-
Tendengar rintihan itu, aku tergesa-gesa menuju kamar dan betapa terkejutnya saat melihat sosok yang terkapar di lantai ….Tampak Ani sedang merintih kesakitan. Tanpa berpikir panjang, aku segera membopong dan merebahkannya di kasur."Adek kenapa? yang mana yang sakit, Dek?" tanyaku dengan mata berkaca-kaca sambil memegangi badannya."Ba–badan A–dek sakit se–mua, Bang," jawab Ani dengan terbata-bata. Air matanya mengalir deras. Ia terus menggelinjang seakan seluruh badannya ada yang menghujam.Aku baru menyadari keberadaan Adel saat terdengar suara tangisnya di atas kasur, mungkin saja ia juga ikut merasakan apa yang terjadi dengan mamanya. Kini aku beralih pada putri kecilku, menggendong dan segera membawanya ke luar rumah. Berniat menitipkan Adel pada tetangga sebelah rumah.Setelah menitipkan Adel, aku berlari kembali ke kamar. Aku tidak tahu harus berbuat apa, kuputuskan langsung membopong Ani menuju rumah sakit yang be
Mataku membelalak, ternyata Bang Udin sedang marah-marah. Terlihat dari matanya yang mengkilat dan wajahnya yang memerah. Gobang di tangannya diangkat tinggi-tinggi ke udara. Detak jantung semakin berdegup kencang, saat lelaki berambut gondrong itu berjalan menyeberang jalan dan menatapku tajam. Aku bingung harus bagaimana menghadapinya."Aku pamit dulu, bye semua!" Pamit Kak Mira dengan suara ketakutan dan buru-buru menuju mobil.Rara yang sudah bangun ia dudukkan di samping kursi kemudi. Kak Mira sudah duduk dan menekan klakson sambil melambaikan tangan. Kemudian mobil berwarna gold itu melaju dengan kencang."Belum sempat mendengar penjelasan tentang laki-laki sangar serta kata 'bung' yang belum ia lanjutkan tadi. Tapi Kak Mira udah pamit duluan," gumamku sambil menatap ke arah jalan.Kini Bang Udin sudah berada tepat di hadapanku. Orang-orang yang lewat hanya bisa melihat sekilas dengan tatapan bingung, heran, ngeri, ketakutan. Mungkin karena me