"Bang, ini ada apa? Kenapa berantakan sekali seperti kapal pecah?” tanya Ani kepadaku. Ia bergantian menatapku dan menatap Bang Deni penuh tanya.
Sebelumnya aku sudah merebahkan Ani di ranjang dengan menggendongnya. Lama menunggunya sadarkan diri, akhirnya istriku tersadar juga dari kesurupan. Ia tampak kebingungan dengan apa yang dilihatnya. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan kamar rumah sakit. Pecahan piring berserakan di lantai, hordeng jendela robek-robek, kasur yang sudah semrawut letaknya, juga kukunya yang berdarah karena habis mencakar-cakar tembok. Wanita berkulit putih di hadapanku masih keheranan, sebab ia merasa tidak melakukan apa-apa.
"Bang ... adek kenapa, Bang? Badan Adek berasa sakit semua, tulang hampir mau patah rasanya. Ini kuku juga, kok, hampir patah begini? Itu piring siapa yang mecahin, Bang?" tanyanya bertubi-tubi seraya celingak-celinguk netranya menyusuri setiap udut ruangan dan memandangi kukunya yang berdarah.
“A--dek kesurupan,” kataku sambil menggaruk kepala yang tidak gatal. Padahal tadi jantung rasanya hampir copot seakan hendak melompat ketika melihatnya mengamuk. Wajah ini pun nyaris terkena lemparan piring.
“Hah?! Kesurupan, Bang? Bagaimana ceritanya, kok, adek bisa kesurupan, sih, Bang?” tanya istriku yang tampak kebingungan. Kedua alisnya hampir saling bertautan.
Wanita berambut panjang itu masih berusaha mengingat yang baru saja terjadi. Bola matanya sesekali melirik ke atas juga ke bawah.
“Adek nggak ingat sama sekali dengan apa yang barusan adek alami?” tanyaku serius seraya menggenggam kedua tangannya, lalu duduk di tepi ranjang bersisian dengannya.
"Nggak, Bang," jawabnya lemah seraya menggelengkan kepala.
Bang Deni yang sedari tadi hanya diam melihat percakapan kami, beranjak dari kursi yang berada di samping pintu, perlahan ia berjalan menghampiri kami---aku dan Ani.
“Bang, namanya juga kesurupan jelas nggak ingatlah, Bang," ucap laki-laki pesilat yang berada di dekatku.
"Orang yang mudah kesurupan itu biasanya suka melamun, pikirannya kosong sehingga mudah dirasuki jin," ucapnya lagi menambahi.
"Terus gimana caranya supaya nggak gampang kesurupan?" tanyaku serius dan fokus melihat manik matanya.
"Begini, Bang. Yang pertama, karena jika pikiran kosong atau banyak pikiran orang itu mudah dirasuki, sebaiknya jika sedang ada masalah segeralah diungkapkan.
"Kedua, jangan sering marah-marah, sering-seringlah membaca istighfar lafalnya astaghfirullah al'adzim. Karena kalimat istighfar itu paling dibenci oleh setan.
"Ketiga, ketika marah ucapkan a'udzubillahiminassyaitonirrojim. Berlindung dari godaan setan yang diranjam.
"Keempat, sering-seringlah berzikir mengingat Allah.
"Kelima, setiap pagi dan sore bacalah tiga surat perlindungan yaitu: Al Ikhlas, Al Falaq, An Naas dibaca tiga kali." Dengan jelas Bang Deni menjawab pertanyaan kami. Aku dan Ani menyimak dan sesekali manggut-manggut mendengar ucapannya.
"Diganggu Jin? maksud Abang, diganggu jin ... kerasukan begitu?" tanya istri tercinta kepada Bang Deni.
"Wallahu a'lam, hanya saja ciri-cirinya hampir mirip seperti apa yang tadi Mbak alami," jawab laki-laki berjaket hitam itu dengan mantap.
"Be-benar begitu, Bang?" Ani membalikkan badan ke arahku dan kini tatapannya beralih kepadaku.
"Iya, Dek," jawabku pelan.
"Jika masih kurang jelas atau belum tahu doanya datang saja ke rumahku, nanti aku ajarin doanya dan mangkuli doanya," imbuhnya.
Menit kemudian ada yang mengetuk pintu. Kami bertiga saling melihat ke arah pintu secara bersamaan.
"Assalamu'alaikum!" terdengar beberapa orang mengucapkan salam secara serempak dari luar kamar. Aku segera menjawab salam seraya membukakan pintu dengan perlahan.
"W*'alaikum--salam," suaraku agak terbata-bata karena ternyata yang ke sini rombongan tetangga. Mereka melempar senyum kepada kami. Aku tak mengira banyak tetangga yang peduli dengan keluargaku.
"Silakan masuk ibu-ibu," ucapku seraya mempersilakan mereka untuk mendekati Ani yang sedang duduk di ranjang.
Ada sekitar sepuluh orang yang menjenguk Ani, mereka berdesak-desakan di dalam ruangan kamar pasien kelas dua. Kebetulan ada dua bed sedang kosong, jadi masih agak lega tempatnya.
"Mbak Ani kesurupan, ya, Bang?" tanya mbak-mbak berbaju tosca. Kutafsir ia seumuran dengan istriku.
"Iya, Mbak," jawabku singkat dengan menyunggingkan senyum.
"Bang Andi, Mbak Ani, aku pamit pulang dulu, ya!" sela Bang Deni tiba-tiba. Ia yang sedari tadi hampir aku lupakan kehadirannya di sini.
"Eh, iya, Bang. Makasih banget udah bantuin aku dan keluargaku berkali-kali. Maafkan dianggurin nggak dijamu apa-apa," ucapku dengan rasa malu dan syukur seraya menjabat tangannya.
"Makasih, Bang. Udah peduli dengan kami," sahut Ani yang berusaha bangkit dari bed.
"Iya, sama-sama. Jangan lupa hubungi aku ke nomor W******p-ku—"
"Eh, iya, aku belum ngasih nomornya. Nomor Bang Andi berapa sini aku miscall!" pintanya seraya mengeluarkan ponsel dari dalam saku jaket hitamnya.
Aku menyebutkan nomor dan sesaat kemudian ponselku berdering, lalu aku menyimpannya.
"Udah aku save ya, Bang. Baiklah aku pulang dulu! Assalamu'alaikum!"
"W*'alaikummussalam!" Kami semua yang berada di sini termasuk para tetangga yang sedang menjenguk hampir bersamaan menjawab salam Bang Deni. Aku segera mengantarkannya sampai depan pintu.
"Kasihan, ya, waktu itu Adel yang kesurupan, sekarang Mbak Ani. Besok siapa lagi, ya?" celetuk salah satu tetanggaku berambut sebahu.
"Sepertinya karena pohon asem itu. Sepertinya ... ada penunggunya," ucapnya lagi.
"Iya, kah?" sahut tetanggaku yang lain. Mbak berkacamata berhijab merah.
Mbak yang berbaju tosca tadi mendekati Ani.
"Sebaiknya Mbak ke orang pintar saja! Aku kasihan dengan keluarga Mbak Ani," Wanita itu berbisik kepada istriku sambil membenarkan posisi duduknya. Meskipun begitu aku tetap masih bisa jelas mendengarnya.
"Iya, Mbak Ani ke orang pintar saja!" sahut Mbak berambut sebahu. Aku belum mengetahui semua nama mereka---para tetangga.
"Em ... gimana, ya?" jawab Ani bingung. Ia melirikku.
"Ke sana saja, Mbak ... kalau mau ke sana nanti datang ke rumahku. Aku tau rumah orang pintar itu," sahut Mbak berbaju tosca yang bernama Mbak Erlin dengan bangga.
Note: Dengarkan nasehat dari orang yang alim juga faqih agama. Kita harus saling ingat mengingatkan, saling nasehat menasehati sesama.Tinggalkan rate dan komen, yuk, agar aku semangat nulisnya. Terima kasih 🙏
Ani hanya diam saja ketika diberi saran untuk pergi ke orang pintar. Tak mengiyakan ataupun menolak, tapi ia terus saja melirikku. "Oia, Mbak, Adel gimana rewel nggak?" tanyaku kepada Mbak berbaju tosca yang bernama Mbak Erlin. Sengaja untuk mengalihkan pembicaraan. "Pasti sekarang Adel haus belum nyusu dari semalam," Ani menyela. Sesaat menatapku lalu menatap wajah satu per satu tetangga yang sedang menjenguknya. Tampak kegelisahan menggelayuti dari wajahnya yang cantik. "Ya, udah nanti minta pulang sama dokter semoga aja diperbolehkan, kan adek udah nggak kenapa-napa," ucapku. "Mumpung kami masih ada di sini ayo sekalian kami bantuin, Bang Andi!" sela Mbak Erlin. Setelah beberapa menit Andi berbicara dengan dokter, akhirnya Ani diperbolehkan pulang, Ani pulang bersama rombongan tetangga dengan berjalan kaki. Aku pun mengekor di belakang mereka. Ketika hendak menyeberang jalan aku berpapasan dengan Bang Udin, ia melirikku. Tapi penjual nasi u
Keesokan paginya sepulang dari pasar, aku hendak pergi ke warung untuk membeli saos. Saking pusingnya mikirin warung jadi kelupaan tidak membeli ketika di pasar tadi. "Bang, mau ke mana?" tanya Ani. "Mau ke warung Cik Lisa beli saos, Dek!" jawabku sambil meletakkan belanjaan di meja makan. Wanita yang kucintai itu sedang sibuk mencuci piring. Dapur dan ruang makan plong tanpa sekat sehingga aku bisa melihatnya dari sini. Kuhenyakkan bokongku di kursi kayu tua peninggalan pemilik kontrakan ini. "Abang istirahat aja dulu!" Ani menghampiriku dan membawakan secangkir teh panas. "Iya, Dek Ani Sayang ...," Aku mengecup pipinya kemudian merangkulnya dan mengajaknya duduk. "Bang, sebenarnya apa yang salah dengan keluarga kita, ya? Akhir-akhir ini banyak kejadian aneh yang Adek rasakan," keluh Ani. Ia berbicara sembari meletakkan cangkir di meja makan. Kami duduk bersisian. "Abang juga merasakan hal yang sama, Dek," ungkapku. "A
Mataku langsung tertuju pada mobil berwarna gold itu. "Itu kan mobil yang Kak Mira bawa beberapa hari yang lalu," batinku sambil masih sibuk menyiapkan pesanan Mas Hendi. Hari ini cuaca tidak mendung, tidak pula cerah. Mobil berhenti, tak lama mesin mobil dimatikan. Ketika pintunya dibuka kulihat dari sepatunya, lalu berpindah melihat bajunya, ternyata benar seperti dugaanku, ia adalah Kak Mira. Wanita berdandan wah itu langsung berjalan mendekatiku. "Andi, ayo ikut aku!" ajaknya ketus. "Ke mana, Kak?" Andi lagi jualan, ini sedang melayani pembeli," sahutku sambil menumis bumbu. Padahal warung sedang ramai-ramainya. Masih ada beberapa pelanggan yang mengantri. "Tutup warung lebih cepat, ajak serta Ani dan juga Adel!" titahnya. Menaikkan dagu dan melirik ke arah Mas Hendi dengan sinis. "Ya, udah kakak tunggu di mobil dulu, di sini gerah!" ucapnya angkuh kemudian melenggang masuk ke mobil barunya. Mobil berada tepat di samping pohon asem, dan sedikit memakai ba
Saat berbelanja di Pasar Jaten, aku mengeluh atas warung yang sepi dan dengan segala keanehannya kepada pedagang sayur langgananku. Tak disangka keluhanku didengarkan oleh Mbak Erlin yang kebetulan sedang berbelanja. Ia mulai mendekat. "Yaudah, Bang Andi, ayo aku antar ke rumah orang pintar!" tawarnya sumringah. Mbak Erlin terus menatapku. Aku pura-pura kelilipan dan mengusap mata. "Em, gimana, ya?" Dalam hati aku masih ragu, karena sebelumnya aku disuruh ke rumah laki-laki pesilat itu. Akan tetapi, sangat disayangkan ia sedang berada di Kediri. "Ayolah, Bang ...," ajaknya setengah memaksa. Ia hendak menyenggol lenganku. "Ya, sudah ... besok anterin ke sana, ya, Mbak," ucapku lesu seraya menjatuhkan pandangan pada sayuran-sayuran hijau yang berjejer rapi di meja penjual sayur di belakang Mbak Erlin. Menit kemudian aku berpamitan kepada pedagang langgananku dan bergegas pulang menaiki motor RX-King berwarna toska yang gagah. Sepanjang perjalanan tak he
Andi! Meja serta kursi yang ada di ruang makan tolong digeser dipepetin ke sudut tembok! Kursi meja yang ada di warung tolong segera dikeluarkan semua. Sukmaku tidak bisa masuk ke sana karena tempatnya kurang lega!" teriak Mbah Dukun dari dalam ruangan yang gelap dan tertutup itu. "Iya, Mbah, sebentar aku telfon istriku dulu!" Aku langsung mengambil ponsel di saku baju. "Hallo, Dek! Assalamu'alaikum, Dek tolong kursi meja yang ada di warung tolong dikeluarin dulu, ya! Pindahin aja ke halaman dulu, Dek!" Kursi meja di ruang makan juga dipepetin ke tembok aja!" ucapku lirih. Mas Bagas yang berada di samping nampak menyimak ucapanku di telepon. "W*'alaikumsalam ... untuk apa, Bang?" tanya Ani menginterogasi. "Udah, Dek, turuti saja nanti Abang jelasin," ucapku penuh penekanan tetapi dengan volume yang pelan. "Iya, Bang, baiklah!" Ani mendesah kasar, terdengar tangisan Adel dari balik telepon. Sepertinya Ani bergegas menghampiri bu
Sesampainya di masjid kusandarkan punggung di dinding masjid. Kini aku duduk di depan masjid tepatnya di luar dekat tempat wudhu. Kupejamkan netra ini sambil memikirkan apa yang sedang aku lakukan saat ini. Kenapa sampai sejauh ini aku melangkah. Dosakah? Ah, sudahlah lebih baik patuhi saja ucapan dukun itu. Jam di dalam masjid sudah menunjukkan pukul 14:00 aku harus segera pulang untuk bersiap-siap. Saat melangkah menuju pulang sembari kuperhatikan warung dari jalan nampak biasa saja tidak ada yang aneh. Lalu kenapa para pelanggan mengira warungku sudah tidak jualan lagi. Namun, ekor mataku menangkap sepertinya ada sesuatu di atap asbes. Karena sangat penasaran, aku menggunakan sebuah galah sebagai alat untuk mengambilnya. Aku menarik-narik lumayan agak lama dan ... tetiba ada kain putih yang terjatuh. Gegas kuletakkan galah di tempat semula dan segera mengambil kain putih agak kusam tersebut. Sungguh terkejut diri ini ketika aku me
"Woiii ... kamu jualan apa?!Berani-beraninya, ya, jualan di sini!" Kudengar ada seseorang berbicara dengan volume yang begitu keras dari seberang jalan. Aku hendak melihat, tapi hanya mengangkat muka. Tidak menghiraukan karena sedang sibuk.Lagi-lagi ada suara orang berteriak, aku mencari suara itu, ternyata si abang penjual nasi uduk. Ia menyeberang jalan berdiri di atas pembatas jalan raya yang ditanami pohon palem sambil berkacak pinggang."Kamu, jualan apa?! Dengar nggak, sih, kamu?!" Matanya melotot, rambutnya yang gondrong melambai-lambai tertiup angin yang terhempas akibat kendaraan yang sedang lalu-lalang di jalan raya tepat di depan warungku.“Kamu nggak tau apa aku juga jualan nasi! Ngapain kamu ikut-ikutan!" sambungnya lagi.Aku masih berkutat dengan pekerjaan. Pelangganku sudah lama mengantri, kasihan kalau tidak segera dilayani. Bang Udin yang kuketahui namanya semenjak menyewa kontrakan ini, tiba tiba menghampiri dan menggebrak meja. R
Ternyata bungkusan ini isinya tanah sama bunga, Dek," ucapku sembari merapikannya kembali. Saking isinya kepenuhan jadi berantakan ketika dibuka. Buru-buru aku membungkusnya kembali."Kenapa juga tadi aku membukanya di kasur?" gumamku dalam hati sambil menepuk jidat. Tanganku mengambil pasir dan bunga yang sempat berserakan di kasur.Ani yang sedari tadi duduk di sebelahku menjadi penasaran sampai memajukan sedikit kepalanya ke arah bungkusan, Adel yang dalam gendongannya sambil sesekali ditepuk-tepuknya pelan karena belum begitu pulas tidurnya."Astaghfirullah, Bang Andi! Itu maksudnya apa coba!" seru Ani. Matanya membulat sempurna, tangannya sambil mengelus dada. Matanya tak lepas memandangi bungkusan yang sedang kupegang."Nggak tau, Dek," Aku mengerutkan dahi menatap penuh tanya seraya memasukkan ke dalam kantong kresek."Sepertinya ini ... apakah ... ah ...." Lagi-lagi aku hanya membatin."Besok pagi aja, Dek, akan Abang bakar di depan
Sesampainya di masjid kusandarkan punggung di dinding masjid. Kini aku duduk di depan masjid tepatnya di luar dekat tempat wudhu. Kupejamkan netra ini sambil memikirkan apa yang sedang aku lakukan saat ini. Kenapa sampai sejauh ini aku melangkah. Dosakah? Ah, sudahlah lebih baik patuhi saja ucapan dukun itu. Jam di dalam masjid sudah menunjukkan pukul 14:00 aku harus segera pulang untuk bersiap-siap. Saat melangkah menuju pulang sembari kuperhatikan warung dari jalan nampak biasa saja tidak ada yang aneh. Lalu kenapa para pelanggan mengira warungku sudah tidak jualan lagi. Namun, ekor mataku menangkap sepertinya ada sesuatu di atap asbes. Karena sangat penasaran, aku menggunakan sebuah galah sebagai alat untuk mengambilnya. Aku menarik-narik lumayan agak lama dan ... tetiba ada kain putih yang terjatuh. Gegas kuletakkan galah di tempat semula dan segera mengambil kain putih agak kusam tersebut. Sungguh terkejut diri ini ketika aku me
Andi! Meja serta kursi yang ada di ruang makan tolong digeser dipepetin ke sudut tembok! Kursi meja yang ada di warung tolong segera dikeluarkan semua. Sukmaku tidak bisa masuk ke sana karena tempatnya kurang lega!" teriak Mbah Dukun dari dalam ruangan yang gelap dan tertutup itu. "Iya, Mbah, sebentar aku telfon istriku dulu!" Aku langsung mengambil ponsel di saku baju. "Hallo, Dek! Assalamu'alaikum, Dek tolong kursi meja yang ada di warung tolong dikeluarin dulu, ya! Pindahin aja ke halaman dulu, Dek!" Kursi meja di ruang makan juga dipepetin ke tembok aja!" ucapku lirih. Mas Bagas yang berada di samping nampak menyimak ucapanku di telepon. "W*'alaikumsalam ... untuk apa, Bang?" tanya Ani menginterogasi. "Udah, Dek, turuti saja nanti Abang jelasin," ucapku penuh penekanan tetapi dengan volume yang pelan. "Iya, Bang, baiklah!" Ani mendesah kasar, terdengar tangisan Adel dari balik telepon. Sepertinya Ani bergegas menghampiri bu
Saat berbelanja di Pasar Jaten, aku mengeluh atas warung yang sepi dan dengan segala keanehannya kepada pedagang sayur langgananku. Tak disangka keluhanku didengarkan oleh Mbak Erlin yang kebetulan sedang berbelanja. Ia mulai mendekat. "Yaudah, Bang Andi, ayo aku antar ke rumah orang pintar!" tawarnya sumringah. Mbak Erlin terus menatapku. Aku pura-pura kelilipan dan mengusap mata. "Em, gimana, ya?" Dalam hati aku masih ragu, karena sebelumnya aku disuruh ke rumah laki-laki pesilat itu. Akan tetapi, sangat disayangkan ia sedang berada di Kediri. "Ayolah, Bang ...," ajaknya setengah memaksa. Ia hendak menyenggol lenganku. "Ya, sudah ... besok anterin ke sana, ya, Mbak," ucapku lesu seraya menjatuhkan pandangan pada sayuran-sayuran hijau yang berjejer rapi di meja penjual sayur di belakang Mbak Erlin. Menit kemudian aku berpamitan kepada pedagang langgananku dan bergegas pulang menaiki motor RX-King berwarna toska yang gagah. Sepanjang perjalanan tak he
Mataku langsung tertuju pada mobil berwarna gold itu. "Itu kan mobil yang Kak Mira bawa beberapa hari yang lalu," batinku sambil masih sibuk menyiapkan pesanan Mas Hendi. Hari ini cuaca tidak mendung, tidak pula cerah. Mobil berhenti, tak lama mesin mobil dimatikan. Ketika pintunya dibuka kulihat dari sepatunya, lalu berpindah melihat bajunya, ternyata benar seperti dugaanku, ia adalah Kak Mira. Wanita berdandan wah itu langsung berjalan mendekatiku. "Andi, ayo ikut aku!" ajaknya ketus. "Ke mana, Kak?" Andi lagi jualan, ini sedang melayani pembeli," sahutku sambil menumis bumbu. Padahal warung sedang ramai-ramainya. Masih ada beberapa pelanggan yang mengantri. "Tutup warung lebih cepat, ajak serta Ani dan juga Adel!" titahnya. Menaikkan dagu dan melirik ke arah Mas Hendi dengan sinis. "Ya, udah kakak tunggu di mobil dulu, di sini gerah!" ucapnya angkuh kemudian melenggang masuk ke mobil barunya. Mobil berada tepat di samping pohon asem, dan sedikit memakai ba
Keesokan paginya sepulang dari pasar, aku hendak pergi ke warung untuk membeli saos. Saking pusingnya mikirin warung jadi kelupaan tidak membeli ketika di pasar tadi. "Bang, mau ke mana?" tanya Ani. "Mau ke warung Cik Lisa beli saos, Dek!" jawabku sambil meletakkan belanjaan di meja makan. Wanita yang kucintai itu sedang sibuk mencuci piring. Dapur dan ruang makan plong tanpa sekat sehingga aku bisa melihatnya dari sini. Kuhenyakkan bokongku di kursi kayu tua peninggalan pemilik kontrakan ini. "Abang istirahat aja dulu!" Ani menghampiriku dan membawakan secangkir teh panas. "Iya, Dek Ani Sayang ...," Aku mengecup pipinya kemudian merangkulnya dan mengajaknya duduk. "Bang, sebenarnya apa yang salah dengan keluarga kita, ya? Akhir-akhir ini banyak kejadian aneh yang Adek rasakan," keluh Ani. Ia berbicara sembari meletakkan cangkir di meja makan. Kami duduk bersisian. "Abang juga merasakan hal yang sama, Dek," ungkapku. "A
Ani hanya diam saja ketika diberi saran untuk pergi ke orang pintar. Tak mengiyakan ataupun menolak, tapi ia terus saja melirikku. "Oia, Mbak, Adel gimana rewel nggak?" tanyaku kepada Mbak berbaju tosca yang bernama Mbak Erlin. Sengaja untuk mengalihkan pembicaraan. "Pasti sekarang Adel haus belum nyusu dari semalam," Ani menyela. Sesaat menatapku lalu menatap wajah satu per satu tetangga yang sedang menjenguknya. Tampak kegelisahan menggelayuti dari wajahnya yang cantik. "Ya, udah nanti minta pulang sama dokter semoga aja diperbolehkan, kan adek udah nggak kenapa-napa," ucapku. "Mumpung kami masih ada di sini ayo sekalian kami bantuin, Bang Andi!" sela Mbak Erlin. Setelah beberapa menit Andi berbicara dengan dokter, akhirnya Ani diperbolehkan pulang, Ani pulang bersama rombongan tetangga dengan berjalan kaki. Aku pun mengekor di belakang mereka. Ketika hendak menyeberang jalan aku berpapasan dengan Bang Udin, ia melirikku. Tapi penjual nasi u
"Bang, ini ada apa? Kenapa berantakan sekali seperti kapal pecah?” tanya Ani kepadaku. Ia bergantian menatapku dan menatap Bang Deni penuh tanya. Sebelumnya aku sudah merebahkan Ani di ranjang dengan menggendongnya. Lama menunggunya sadarkan diri, akhirnya istriku tersadar juga dari kesurupan. Ia tampak kebingungan dengan apa yang dilihatnya. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan kamar rumah sakit. Pecahan piring berserakan di lantai, hordeng jendela robek-robek, kasur yang sudah semrawut letaknya, juga kukunya yang berdarah karena habis mencakar-cakar tembok. Wanita berkulit putih di hadapanku masih keheranan, sebab ia merasa tidak melakukan apa-apa. "Bang ... adek kenapa, Bang? Badan Adek berasa sakit semua, tulang hampir mau patah rasanya. Ini kuku juga, kok, hampir patah begini? Itu piring siapa yang mecahin, Bang?" tanyanya bertubi-tubi seraya celingak-celinguk netranya menyusuri setiap udut ruangan dan memandangi kukunya yang berdarah. “A-
Tendengar rintihan itu, aku tergesa-gesa menuju kamar dan betapa terkejutnya saat melihat sosok yang terkapar di lantai ….Tampak Ani sedang merintih kesakitan. Tanpa berpikir panjang, aku segera membopong dan merebahkannya di kasur."Adek kenapa? yang mana yang sakit, Dek?" tanyaku dengan mata berkaca-kaca sambil memegangi badannya."Ba–badan A–dek sakit se–mua, Bang," jawab Ani dengan terbata-bata. Air matanya mengalir deras. Ia terus menggelinjang seakan seluruh badannya ada yang menghujam.Aku baru menyadari keberadaan Adel saat terdengar suara tangisnya di atas kasur, mungkin saja ia juga ikut merasakan apa yang terjadi dengan mamanya. Kini aku beralih pada putri kecilku, menggendong dan segera membawanya ke luar rumah. Berniat menitipkan Adel pada tetangga sebelah rumah.Setelah menitipkan Adel, aku berlari kembali ke kamar. Aku tidak tahu harus berbuat apa, kuputuskan langsung membopong Ani menuju rumah sakit yang be
Mataku membelalak, ternyata Bang Udin sedang marah-marah. Terlihat dari matanya yang mengkilat dan wajahnya yang memerah. Gobang di tangannya diangkat tinggi-tinggi ke udara. Detak jantung semakin berdegup kencang, saat lelaki berambut gondrong itu berjalan menyeberang jalan dan menatapku tajam. Aku bingung harus bagaimana menghadapinya."Aku pamit dulu, bye semua!" Pamit Kak Mira dengan suara ketakutan dan buru-buru menuju mobil.Rara yang sudah bangun ia dudukkan di samping kursi kemudi. Kak Mira sudah duduk dan menekan klakson sambil melambaikan tangan. Kemudian mobil berwarna gold itu melaju dengan kencang."Belum sempat mendengar penjelasan tentang laki-laki sangar serta kata 'bung' yang belum ia lanjutkan tadi. Tapi Kak Mira udah pamit duluan," gumamku sambil menatap ke arah jalan.Kini Bang Udin sudah berada tepat di hadapanku. Orang-orang yang lewat hanya bisa melihat sekilas dengan tatapan bingung, heran, ngeri, ketakutan. Mungkin karena me