Mataku membelalak, ternyata Bang Udin sedang marah-marah. Terlihat dari matanya yang mengkilat dan wajahnya yang memerah. Gobang di tangannya diangkat tinggi-tinggi ke udara. Detak jantung semakin berdegup kencang, saat lelaki berambut gondrong itu berjalan menyeberang jalan dan menatapku tajam. Aku bingung harus bagaimana menghadapinya.
"Aku pamit dulu, bye semua!" Pamit Kak Mira dengan suara ketakutan dan buru-buru menuju mobil.
Rara yang sudah bangun ia dudukkan di samping kursi kemudi. Kak Mira sudah duduk dan menekan klakson sambil melambaikan tangan. Kemudian mobil berwarna gold itu melaju dengan kencang.
"Belum sempat mendengar penjelasan tentang laki-laki sangar serta kata 'bung' yang belum ia lanjutkan tadi. Tapi Kak Mira udah pamit duluan," gumamku sambil menatap ke arah jalan.
Kini Bang Udin sudah berada tepat di hadapanku. Orang-orang yang lewat hanya bisa melihat sekilas dengan tatapan bingung, heran, ngeri, ketakutan. Mungkin karena mereka buru-buru akan bekerja sehingga enggan untuk berhenti.
"Ada apa, Bang?" Aku berusaha berbicara setenang mungkin. Padahal jujur, rasa khawatir takut bila sewaktu-waktu gobang itu akan mengenaiku.
"Aku tadi melihat kamu belanja di pasar, mau jualan `kan?!" tanyanya dengan suara menggelegar. Matanya melotot, posisinya sudah bersiap hendak menyerangku.
"Iya, kenapa Bang?" tanyaku ramah.
Lantas Ani sengaja aku suruh membawa Adel masuk ke dalam rumah, takut mereka kena imbas dari kemarahan si penjual nasi uduk. Istriku bergegas berjalan memasuki rumah dan menutup pintu lekas menguncinya dari dalam.
"Berani kamu, ya! Di saat warung kamu sudah buka, warungku menjadi sepi, tapi ketika warungmu sudah tutup warungku ramai lagi," pungkasnya dengan nada penuh emosi.
"Rejeki sudah ada yang mengatur. Kenapa Abang nggak terima. Kita sebagai manusia hanya bisa berusaha," jawabku santai walaupun sekali lagi ada rasa was-was di dada.
"Sekarang aku tanya, kamu masih mau jualan apa nggak?!" teriak Bang Udin bengis. Kini gobang yang dipegangnya sepertinya akan diarahkan ke leherku.
Seketika beberapa warga yang kebetulan sedang lewat di depan rumah kontrakanku mendadak berhenti dan hanya berani melihat kami. Mereka bergedik ngeri tidak berani untuk mencoba menolongku.
"Harus bisa tenang, kasihan anak istri bila aku mati di tangannya," batinku. Kami--aku dan si penjual nasi uduk--saling bertatapan.
Tiba-tiba di belakang Bang Udin ada Bang Deni. Ia memberi isyarat dengan tangan telunjuk menyentuh bibir sebagai pertanda aku harus diam. Di saat Bang Udin akan mengayunkan gobangnya ke arah leherku---dengan gerakan cepat dan sigap ia menjegal gobang dan mengunci gerakan Bang Udin.
Seketika gobang itu terlempar jauh dari posisi Bang Udin berdiri. Alhamdulillah tidak sampai mengenai siapapun. Dan langsung diamankan oleh warga. Sudah pasti lelaki itu sengaja mengarahkan di tempat yang jauh dari tempat warga berdiri.
Ia menjegal gobang itu dengan gerakan kilat. Gegas dikunci badan Bang Udin dengan posisi kedua tangannya ditekuk ke belakang. Laki-laki kekar itu langsung menjegal kaki Bang Udin sehingga si penjual nasi uduk reflek tertunduk duduk bersimpuh.
Wajah laki-laki berambut gondrong itu nampak menahan rasa sakit dan tak bisa berkutik. Sesaat kemudian Bang Deni menyiku perutnya, bersamaan memberi tekanan kejutan yang kuat pada kuncian di pergelangan tangannya. Sontak Bang Udin mengerang kesakitan, mungkin tangannya hampir patah. Namun, Bang Deni cukup hati-hati tidak ingin melukainya. Hanya ingin membuatnya jera.
"Ampun, Bang ...! Saya janji tidak akan mengulangi lagi," pintanya sambil memelas menangkupkan kedua tangan di dada. Sesaat setelah Bang Deni melepaskan gerakan kunciannya. Kulihat ia kesakitan sambil memegangi perutnya serta bergantian memegangi pergelangan tangannya.
Laki-laki berpakaian pendekar berwarna hijau itu menyunggingkan senyum. "Iya, Bang, kalau hanya masalah rezeki tak usah risau Bang, sudah diatur sama Allah," ujarnya sumringah kepada penjual nasi uduk.
Beberapa warga mencoba membantu Bang Udin dan mengantarnya kembali ke warungnya yang terletak di seberang jalan. Gobang tadi tak lupa sambil dibawanya meskipun tangannya sedang kram. Gobang itu biasa dipakainya untuk membelah buah kelapa yang dijualnya.
"Terimakasih, Bang Deni ..., " ucapku penuh rasa syukur. "Kalau tidak ada Bang Deni entahlah apa yang akan terjadi," imbuhku.
"Iya, Bang. Udah qodarnya Abang selamat dan diriku hanyalah perantara," jawabnya merendah sambil tersenyum.
"Aku tadi sebenarnya buru-buru mau pergi, tapi aku penasaran kenapa di depan kontrakan Bang Andi ramai. Banyak orang berkerumun dan akhirnya aku berhenti,"
Aku menyimak ucapannya.
"Ya sudah Bang, aku ada acara mau ke arah Tasikmadu ke Masjid At-Taqwa. Aku mau melatih silat dulu," imbuhnya. Ia menaiki motornya yang ternyata sedari tadi terparkir di dekat pohon asem. Kemudian memakai jaket hitamnya.
"Iya, Bang, hati-hati .... " ucapku.
"Assalamu'alaikum, Bang Andi!"
"Wa'alaikumsalam ...."
Aku berniat segera masuk ke rumah untuk menemui Ani. Orang-orang yang tadi melihatku hampir dibacok sudah pada bubar. Setelah kepergian Bang Deni, aku kembali ke dalam rumah dan langsung menuju ke kamar. Melihat Ani yang sedang mengeloni Adel, akupun tak ingin mengganggunya, karena semalam hanya tidur beberapa jam saja.
"Alhamdulillah, mereka selamat," gumamku dan melangkah ke dapur, menyiapkan segala hal kebutuhan jualan.
Saat sedang mencuci sayur cesim, tiba-tiba ada suara dari atap rumah.
"Ah, paling hanya tikus atau kucing," pikirku. Kemudian melanjutkan kegiatanku lagi.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul 16:00 sudah waktunya untuk membuka warung. Sebelum mempersiapkan semua hal di warung, aku terlebih dahulu menyapu halaman. Ketika hendak menyapu, ada beberapa pincuk daun pisang berisi bunga-bunga yang biasa untuk menyekar itu. Bahkan di halaman depan kontrakanku juga bertebaran bunga-bunga seperti disengaja disebar.
Entah apa maksud dari semua ini dan tidak mau berprasangka buruk, aku lekas menyapunya dan mengumpulkan semua sampah dalam keranjang yang sudah aku siapkan lalu membakarnya di halaman rumah kontrakan. Aku segera kembali ke warung untuk mempersiapkan barang daganganku dan berharap banyak rezeki untuk hari ini.
***
Jam sudah menunjukkan pukul 21:00 alhamdulillah daganganku sudah habis. Aku lekas beberes menutup warung lalu bergegas masuk ke rumah. Setelah mengunci pintu dan hendak melangkah ... terdengar suara rintihan dari dalam kamar ....
Note: Gunakan ilmumu solatmu jika memang di saat genting, bukan untuk bergaya atau sombong-sombongan. Gagah-gagahan.
Tendengar rintihan itu, aku tergesa-gesa menuju kamar dan betapa terkejutnya saat melihat sosok yang terkapar di lantai ….Tampak Ani sedang merintih kesakitan. Tanpa berpikir panjang, aku segera membopong dan merebahkannya di kasur."Adek kenapa? yang mana yang sakit, Dek?" tanyaku dengan mata berkaca-kaca sambil memegangi badannya."Ba–badan A–dek sakit se–mua, Bang," jawab Ani dengan terbata-bata. Air matanya mengalir deras. Ia terus menggelinjang seakan seluruh badannya ada yang menghujam.Aku baru menyadari keberadaan Adel saat terdengar suara tangisnya di atas kasur, mungkin saja ia juga ikut merasakan apa yang terjadi dengan mamanya. Kini aku beralih pada putri kecilku, menggendong dan segera membawanya ke luar rumah. Berniat menitipkan Adel pada tetangga sebelah rumah.Setelah menitipkan Adel, aku berlari kembali ke kamar. Aku tidak tahu harus berbuat apa, kuputuskan langsung membopong Ani menuju rumah sakit yang be
"Bang, ini ada apa? Kenapa berantakan sekali seperti kapal pecah?” tanya Ani kepadaku. Ia bergantian menatapku dan menatap Bang Deni penuh tanya. Sebelumnya aku sudah merebahkan Ani di ranjang dengan menggendongnya. Lama menunggunya sadarkan diri, akhirnya istriku tersadar juga dari kesurupan. Ia tampak kebingungan dengan apa yang dilihatnya. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan kamar rumah sakit. Pecahan piring berserakan di lantai, hordeng jendela robek-robek, kasur yang sudah semrawut letaknya, juga kukunya yang berdarah karena habis mencakar-cakar tembok. Wanita berkulit putih di hadapanku masih keheranan, sebab ia merasa tidak melakukan apa-apa. "Bang ... adek kenapa, Bang? Badan Adek berasa sakit semua, tulang hampir mau patah rasanya. Ini kuku juga, kok, hampir patah begini? Itu piring siapa yang mecahin, Bang?" tanyanya bertubi-tubi seraya celingak-celinguk netranya menyusuri setiap udut ruangan dan memandangi kukunya yang berdarah. “A-
Ani hanya diam saja ketika diberi saran untuk pergi ke orang pintar. Tak mengiyakan ataupun menolak, tapi ia terus saja melirikku. "Oia, Mbak, Adel gimana rewel nggak?" tanyaku kepada Mbak berbaju tosca yang bernama Mbak Erlin. Sengaja untuk mengalihkan pembicaraan. "Pasti sekarang Adel haus belum nyusu dari semalam," Ani menyela. Sesaat menatapku lalu menatap wajah satu per satu tetangga yang sedang menjenguknya. Tampak kegelisahan menggelayuti dari wajahnya yang cantik. "Ya, udah nanti minta pulang sama dokter semoga aja diperbolehkan, kan adek udah nggak kenapa-napa," ucapku. "Mumpung kami masih ada di sini ayo sekalian kami bantuin, Bang Andi!" sela Mbak Erlin. Setelah beberapa menit Andi berbicara dengan dokter, akhirnya Ani diperbolehkan pulang, Ani pulang bersama rombongan tetangga dengan berjalan kaki. Aku pun mengekor di belakang mereka. Ketika hendak menyeberang jalan aku berpapasan dengan Bang Udin, ia melirikku. Tapi penjual nasi u
Keesokan paginya sepulang dari pasar, aku hendak pergi ke warung untuk membeli saos. Saking pusingnya mikirin warung jadi kelupaan tidak membeli ketika di pasar tadi. "Bang, mau ke mana?" tanya Ani. "Mau ke warung Cik Lisa beli saos, Dek!" jawabku sambil meletakkan belanjaan di meja makan. Wanita yang kucintai itu sedang sibuk mencuci piring. Dapur dan ruang makan plong tanpa sekat sehingga aku bisa melihatnya dari sini. Kuhenyakkan bokongku di kursi kayu tua peninggalan pemilik kontrakan ini. "Abang istirahat aja dulu!" Ani menghampiriku dan membawakan secangkir teh panas. "Iya, Dek Ani Sayang ...," Aku mengecup pipinya kemudian merangkulnya dan mengajaknya duduk. "Bang, sebenarnya apa yang salah dengan keluarga kita, ya? Akhir-akhir ini banyak kejadian aneh yang Adek rasakan," keluh Ani. Ia berbicara sembari meletakkan cangkir di meja makan. Kami duduk bersisian. "Abang juga merasakan hal yang sama, Dek," ungkapku. "A
Mataku langsung tertuju pada mobil berwarna gold itu. "Itu kan mobil yang Kak Mira bawa beberapa hari yang lalu," batinku sambil masih sibuk menyiapkan pesanan Mas Hendi. Hari ini cuaca tidak mendung, tidak pula cerah. Mobil berhenti, tak lama mesin mobil dimatikan. Ketika pintunya dibuka kulihat dari sepatunya, lalu berpindah melihat bajunya, ternyata benar seperti dugaanku, ia adalah Kak Mira. Wanita berdandan wah itu langsung berjalan mendekatiku. "Andi, ayo ikut aku!" ajaknya ketus. "Ke mana, Kak?" Andi lagi jualan, ini sedang melayani pembeli," sahutku sambil menumis bumbu. Padahal warung sedang ramai-ramainya. Masih ada beberapa pelanggan yang mengantri. "Tutup warung lebih cepat, ajak serta Ani dan juga Adel!" titahnya. Menaikkan dagu dan melirik ke arah Mas Hendi dengan sinis. "Ya, udah kakak tunggu di mobil dulu, di sini gerah!" ucapnya angkuh kemudian melenggang masuk ke mobil barunya. Mobil berada tepat di samping pohon asem, dan sedikit memakai ba
Saat berbelanja di Pasar Jaten, aku mengeluh atas warung yang sepi dan dengan segala keanehannya kepada pedagang sayur langgananku. Tak disangka keluhanku didengarkan oleh Mbak Erlin yang kebetulan sedang berbelanja. Ia mulai mendekat. "Yaudah, Bang Andi, ayo aku antar ke rumah orang pintar!" tawarnya sumringah. Mbak Erlin terus menatapku. Aku pura-pura kelilipan dan mengusap mata. "Em, gimana, ya?" Dalam hati aku masih ragu, karena sebelumnya aku disuruh ke rumah laki-laki pesilat itu. Akan tetapi, sangat disayangkan ia sedang berada di Kediri. "Ayolah, Bang ...," ajaknya setengah memaksa. Ia hendak menyenggol lenganku. "Ya, sudah ... besok anterin ke sana, ya, Mbak," ucapku lesu seraya menjatuhkan pandangan pada sayuran-sayuran hijau yang berjejer rapi di meja penjual sayur di belakang Mbak Erlin. Menit kemudian aku berpamitan kepada pedagang langgananku dan bergegas pulang menaiki motor RX-King berwarna toska yang gagah. Sepanjang perjalanan tak he
Andi! Meja serta kursi yang ada di ruang makan tolong digeser dipepetin ke sudut tembok! Kursi meja yang ada di warung tolong segera dikeluarkan semua. Sukmaku tidak bisa masuk ke sana karena tempatnya kurang lega!" teriak Mbah Dukun dari dalam ruangan yang gelap dan tertutup itu. "Iya, Mbah, sebentar aku telfon istriku dulu!" Aku langsung mengambil ponsel di saku baju. "Hallo, Dek! Assalamu'alaikum, Dek tolong kursi meja yang ada di warung tolong dikeluarin dulu, ya! Pindahin aja ke halaman dulu, Dek!" Kursi meja di ruang makan juga dipepetin ke tembok aja!" ucapku lirih. Mas Bagas yang berada di samping nampak menyimak ucapanku di telepon. "W*'alaikumsalam ... untuk apa, Bang?" tanya Ani menginterogasi. "Udah, Dek, turuti saja nanti Abang jelasin," ucapku penuh penekanan tetapi dengan volume yang pelan. "Iya, Bang, baiklah!" Ani mendesah kasar, terdengar tangisan Adel dari balik telepon. Sepertinya Ani bergegas menghampiri bu
Sesampainya di masjid kusandarkan punggung di dinding masjid. Kini aku duduk di depan masjid tepatnya di luar dekat tempat wudhu. Kupejamkan netra ini sambil memikirkan apa yang sedang aku lakukan saat ini. Kenapa sampai sejauh ini aku melangkah. Dosakah? Ah, sudahlah lebih baik patuhi saja ucapan dukun itu. Jam di dalam masjid sudah menunjukkan pukul 14:00 aku harus segera pulang untuk bersiap-siap. Saat melangkah menuju pulang sembari kuperhatikan warung dari jalan nampak biasa saja tidak ada yang aneh. Lalu kenapa para pelanggan mengira warungku sudah tidak jualan lagi. Namun, ekor mataku menangkap sepertinya ada sesuatu di atap asbes. Karena sangat penasaran, aku menggunakan sebuah galah sebagai alat untuk mengambilnya. Aku menarik-narik lumayan agak lama dan ... tetiba ada kain putih yang terjatuh. Gegas kuletakkan galah di tempat semula dan segera mengambil kain putih agak kusam tersebut. Sungguh terkejut diri ini ketika aku me
Sesampainya di masjid kusandarkan punggung di dinding masjid. Kini aku duduk di depan masjid tepatnya di luar dekat tempat wudhu. Kupejamkan netra ini sambil memikirkan apa yang sedang aku lakukan saat ini. Kenapa sampai sejauh ini aku melangkah. Dosakah? Ah, sudahlah lebih baik patuhi saja ucapan dukun itu. Jam di dalam masjid sudah menunjukkan pukul 14:00 aku harus segera pulang untuk bersiap-siap. Saat melangkah menuju pulang sembari kuperhatikan warung dari jalan nampak biasa saja tidak ada yang aneh. Lalu kenapa para pelanggan mengira warungku sudah tidak jualan lagi. Namun, ekor mataku menangkap sepertinya ada sesuatu di atap asbes. Karena sangat penasaran, aku menggunakan sebuah galah sebagai alat untuk mengambilnya. Aku menarik-narik lumayan agak lama dan ... tetiba ada kain putih yang terjatuh. Gegas kuletakkan galah di tempat semula dan segera mengambil kain putih agak kusam tersebut. Sungguh terkejut diri ini ketika aku me
Andi! Meja serta kursi yang ada di ruang makan tolong digeser dipepetin ke sudut tembok! Kursi meja yang ada di warung tolong segera dikeluarkan semua. Sukmaku tidak bisa masuk ke sana karena tempatnya kurang lega!" teriak Mbah Dukun dari dalam ruangan yang gelap dan tertutup itu. "Iya, Mbah, sebentar aku telfon istriku dulu!" Aku langsung mengambil ponsel di saku baju. "Hallo, Dek! Assalamu'alaikum, Dek tolong kursi meja yang ada di warung tolong dikeluarin dulu, ya! Pindahin aja ke halaman dulu, Dek!" Kursi meja di ruang makan juga dipepetin ke tembok aja!" ucapku lirih. Mas Bagas yang berada di samping nampak menyimak ucapanku di telepon. "W*'alaikumsalam ... untuk apa, Bang?" tanya Ani menginterogasi. "Udah, Dek, turuti saja nanti Abang jelasin," ucapku penuh penekanan tetapi dengan volume yang pelan. "Iya, Bang, baiklah!" Ani mendesah kasar, terdengar tangisan Adel dari balik telepon. Sepertinya Ani bergegas menghampiri bu
Saat berbelanja di Pasar Jaten, aku mengeluh atas warung yang sepi dan dengan segala keanehannya kepada pedagang sayur langgananku. Tak disangka keluhanku didengarkan oleh Mbak Erlin yang kebetulan sedang berbelanja. Ia mulai mendekat. "Yaudah, Bang Andi, ayo aku antar ke rumah orang pintar!" tawarnya sumringah. Mbak Erlin terus menatapku. Aku pura-pura kelilipan dan mengusap mata. "Em, gimana, ya?" Dalam hati aku masih ragu, karena sebelumnya aku disuruh ke rumah laki-laki pesilat itu. Akan tetapi, sangat disayangkan ia sedang berada di Kediri. "Ayolah, Bang ...," ajaknya setengah memaksa. Ia hendak menyenggol lenganku. "Ya, sudah ... besok anterin ke sana, ya, Mbak," ucapku lesu seraya menjatuhkan pandangan pada sayuran-sayuran hijau yang berjejer rapi di meja penjual sayur di belakang Mbak Erlin. Menit kemudian aku berpamitan kepada pedagang langgananku dan bergegas pulang menaiki motor RX-King berwarna toska yang gagah. Sepanjang perjalanan tak he
Mataku langsung tertuju pada mobil berwarna gold itu. "Itu kan mobil yang Kak Mira bawa beberapa hari yang lalu," batinku sambil masih sibuk menyiapkan pesanan Mas Hendi. Hari ini cuaca tidak mendung, tidak pula cerah. Mobil berhenti, tak lama mesin mobil dimatikan. Ketika pintunya dibuka kulihat dari sepatunya, lalu berpindah melihat bajunya, ternyata benar seperti dugaanku, ia adalah Kak Mira. Wanita berdandan wah itu langsung berjalan mendekatiku. "Andi, ayo ikut aku!" ajaknya ketus. "Ke mana, Kak?" Andi lagi jualan, ini sedang melayani pembeli," sahutku sambil menumis bumbu. Padahal warung sedang ramai-ramainya. Masih ada beberapa pelanggan yang mengantri. "Tutup warung lebih cepat, ajak serta Ani dan juga Adel!" titahnya. Menaikkan dagu dan melirik ke arah Mas Hendi dengan sinis. "Ya, udah kakak tunggu di mobil dulu, di sini gerah!" ucapnya angkuh kemudian melenggang masuk ke mobil barunya. Mobil berada tepat di samping pohon asem, dan sedikit memakai ba
Keesokan paginya sepulang dari pasar, aku hendak pergi ke warung untuk membeli saos. Saking pusingnya mikirin warung jadi kelupaan tidak membeli ketika di pasar tadi. "Bang, mau ke mana?" tanya Ani. "Mau ke warung Cik Lisa beli saos, Dek!" jawabku sambil meletakkan belanjaan di meja makan. Wanita yang kucintai itu sedang sibuk mencuci piring. Dapur dan ruang makan plong tanpa sekat sehingga aku bisa melihatnya dari sini. Kuhenyakkan bokongku di kursi kayu tua peninggalan pemilik kontrakan ini. "Abang istirahat aja dulu!" Ani menghampiriku dan membawakan secangkir teh panas. "Iya, Dek Ani Sayang ...," Aku mengecup pipinya kemudian merangkulnya dan mengajaknya duduk. "Bang, sebenarnya apa yang salah dengan keluarga kita, ya? Akhir-akhir ini banyak kejadian aneh yang Adek rasakan," keluh Ani. Ia berbicara sembari meletakkan cangkir di meja makan. Kami duduk bersisian. "Abang juga merasakan hal yang sama, Dek," ungkapku. "A
Ani hanya diam saja ketika diberi saran untuk pergi ke orang pintar. Tak mengiyakan ataupun menolak, tapi ia terus saja melirikku. "Oia, Mbak, Adel gimana rewel nggak?" tanyaku kepada Mbak berbaju tosca yang bernama Mbak Erlin. Sengaja untuk mengalihkan pembicaraan. "Pasti sekarang Adel haus belum nyusu dari semalam," Ani menyela. Sesaat menatapku lalu menatap wajah satu per satu tetangga yang sedang menjenguknya. Tampak kegelisahan menggelayuti dari wajahnya yang cantik. "Ya, udah nanti minta pulang sama dokter semoga aja diperbolehkan, kan adek udah nggak kenapa-napa," ucapku. "Mumpung kami masih ada di sini ayo sekalian kami bantuin, Bang Andi!" sela Mbak Erlin. Setelah beberapa menit Andi berbicara dengan dokter, akhirnya Ani diperbolehkan pulang, Ani pulang bersama rombongan tetangga dengan berjalan kaki. Aku pun mengekor di belakang mereka. Ketika hendak menyeberang jalan aku berpapasan dengan Bang Udin, ia melirikku. Tapi penjual nasi u
"Bang, ini ada apa? Kenapa berantakan sekali seperti kapal pecah?” tanya Ani kepadaku. Ia bergantian menatapku dan menatap Bang Deni penuh tanya. Sebelumnya aku sudah merebahkan Ani di ranjang dengan menggendongnya. Lama menunggunya sadarkan diri, akhirnya istriku tersadar juga dari kesurupan. Ia tampak kebingungan dengan apa yang dilihatnya. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan kamar rumah sakit. Pecahan piring berserakan di lantai, hordeng jendela robek-robek, kasur yang sudah semrawut letaknya, juga kukunya yang berdarah karena habis mencakar-cakar tembok. Wanita berkulit putih di hadapanku masih keheranan, sebab ia merasa tidak melakukan apa-apa. "Bang ... adek kenapa, Bang? Badan Adek berasa sakit semua, tulang hampir mau patah rasanya. Ini kuku juga, kok, hampir patah begini? Itu piring siapa yang mecahin, Bang?" tanyanya bertubi-tubi seraya celingak-celinguk netranya menyusuri setiap udut ruangan dan memandangi kukunya yang berdarah. “A-
Tendengar rintihan itu, aku tergesa-gesa menuju kamar dan betapa terkejutnya saat melihat sosok yang terkapar di lantai ….Tampak Ani sedang merintih kesakitan. Tanpa berpikir panjang, aku segera membopong dan merebahkannya di kasur."Adek kenapa? yang mana yang sakit, Dek?" tanyaku dengan mata berkaca-kaca sambil memegangi badannya."Ba–badan A–dek sakit se–mua, Bang," jawab Ani dengan terbata-bata. Air matanya mengalir deras. Ia terus menggelinjang seakan seluruh badannya ada yang menghujam.Aku baru menyadari keberadaan Adel saat terdengar suara tangisnya di atas kasur, mungkin saja ia juga ikut merasakan apa yang terjadi dengan mamanya. Kini aku beralih pada putri kecilku, menggendong dan segera membawanya ke luar rumah. Berniat menitipkan Adel pada tetangga sebelah rumah.Setelah menitipkan Adel, aku berlari kembali ke kamar. Aku tidak tahu harus berbuat apa, kuputuskan langsung membopong Ani menuju rumah sakit yang be
Mataku membelalak, ternyata Bang Udin sedang marah-marah. Terlihat dari matanya yang mengkilat dan wajahnya yang memerah. Gobang di tangannya diangkat tinggi-tinggi ke udara. Detak jantung semakin berdegup kencang, saat lelaki berambut gondrong itu berjalan menyeberang jalan dan menatapku tajam. Aku bingung harus bagaimana menghadapinya."Aku pamit dulu, bye semua!" Pamit Kak Mira dengan suara ketakutan dan buru-buru menuju mobil.Rara yang sudah bangun ia dudukkan di samping kursi kemudi. Kak Mira sudah duduk dan menekan klakson sambil melambaikan tangan. Kemudian mobil berwarna gold itu melaju dengan kencang."Belum sempat mendengar penjelasan tentang laki-laki sangar serta kata 'bung' yang belum ia lanjutkan tadi. Tapi Kak Mira udah pamit duluan," gumamku sambil menatap ke arah jalan.Kini Bang Udin sudah berada tepat di hadapanku. Orang-orang yang lewat hanya bisa melihat sekilas dengan tatapan bingung, heran, ngeri, ketakutan. Mungkin karena me