Home / Historical / Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris / Bab 181 Bayangan di Langit Timur

Share

Bab 181 Bayangan di Langit Timur

Author: Caesar Azka
last update Last Updated: 2025-04-10 07:49:23

Langit Makassar belum sepenuhnya terang ketika Arka berdiri di puncak menara observasi milik keluarga Karaeng. Angin berhembus membawa aroma garam laut dan debu pegunungan yang kering. Di kejauhan, laut Sulawesi terlihat tenang. Tapi hati Arka tidak demikian.

"Menurut laporan terakhir, sinyal energi aneh terdeteksi di atas Selat Makassar," ujar Raka sambil menatap layar tablet. "Itu bukan fenomena alam biasa."

"Dan pola gelombangnya cocok dengan spike elektromagnetik yang pernah kita temui," tambah Genta dari sisi lain ruangan. "Tapi skala ini... jauh lebih besar."

"Jauh lebih berbahaya," gumam Arka.

Pintu ruang observasi terbuka. Seorang utusan dari keluarga Baso masuk, membawa gulungan laporan dari pusat deteksi mereka.

"Kita tangkap pola orbit dari sebuah proyek yang disebut Eclipse. Ini bukan hanya alat pengacau, ini semacam senjata pemutus koordinasi regional."

"Siapa yang memicunya?" tany
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 182 Gerbang di Langit

    Langit Makassar dipenuhi kabut elektromagnetik yang bergulung seperti awan badai. Di tengah kegelapan itu, bayangan raksasa menggantung tak bergerak. Bentuknya seperti stasiun, tapi tak ada sudut logis dalam konstruksinya. Setiap lekukannya menyerupai sisik, setiap sudutnya berdenyut pelan seperti jantung hidup. "Itu bukan stasiun biasa," bisik Arka dari atas bukit pengamatan. "Itu makhluk... atau entitas yang hidup." "Aku juga melihat denyutannya," ujar Genta dari pusat kendali. "Itu bergerak. Perlahan. Seperti makhluk yang baru terbangun dari tidur panjang." "Apa mungkin ini teknologi kuno yang dikatakan Arsip Kuno?" tanya Raka dengan suara pelan. "Lebih dari itu," jawab Arka. "Kita mungkin sedang melihat gabungan antara mesin dan makhluk hidup kuno." Suara bising dari udara mulai meningkat. Petir kecil bermunculan di sekitar tubuh raksasa itu. Beberapa menara komunikasi di kota meledak dalam sekejap.

    Last Updated : 2025-04-11
  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 183 Suara dari Dalam

    Tubuh Arka melayang perlahan dalam kehampaan putih yang berdenyut. Setiap detak terasa seperti gema dari masa lalu yang tak dikenal. Cahaya di sekelilingnya bukan sekadar cahaya—ia hidup, bernafas, mengamati. “...arka...” Sebuah bisikan menggema, datang dari segala arah. Bukan hanya suara, tapi perasaan. Seperti makhluk itu sedang menanamkan sesuatu ke dalam pikirannya. “Aku mendengarnya,” gumam Arka lirih. “Siapa kau…?” “Pewaris,” balas suara itu, kali ini lebih jelas. “Kau membawa darah dan ingatan. Kau diundang, bukan ditangkap.” “Diundang untuk apa?” tanya Arka, mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi tak ada otot yang menuruti. “Untuk mendengar. Untuk memilih,” jawab makhluk itu. “Kami pernah hidup di bawah tanahmu. Kami menciptakan, mengajar, menjaga. Tapi manusia melupakan kami.” “Dan sekarang kalian ingin kembali?” bisik Arka, matanya masih kabur. “Bukan kami y

    Last Updated : 2025-04-11
  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 184 Tujuh Bayang di Langit

    Di layar pusat kendali, gambar dari drone keluarga Baso terpatri jelas. Di atas atmosfer bumi, tujuh siluet raksasa melayang dalam formasi setengah lingkaran. Masing-masing berdenyut pelan, dengan warna berbeda di jantung energinya. "Ini... bukan hanya Eclipse," gumam Genta, matanya tak berkedip. "Ada enam lainnya," bisik Raka. "Dan mereka... seolah menunggu." Arka menatap layar itu dalam diam. Di dalam dadanya, gema suara dari makhluk sebelumnya masih bergetar. Seolah jalinan tak kasatmata menghubungkannya ke para entitas di langit. "Makhluk yang barusan kuhadapi," kata Arka pelan, "menyebut dirinya sebagai Gerbang. Tapi kini jelas, itu hanya satu dari tujuh." "Dan kalau mereka semua bangkit seperti Eclipse," ujar Raka, "dunia mungkin tidak siap." "Tidak," sahut Arka. "Tapi ini bukan tentang kesiapan kita. Ini tentang keputusan mereka." "Keputusan?" tanya Genta. "

    Last Updated : 2025-04-11
  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 185 Ruang Penguji

    Cahaya menyilaukan menelan tubuh Arka, Raka, dan Genta. Tidak ada rasa panas, tidak juga rasa tertarik seperti gravitasi. Rasanya seperti melayang dalam kesadaran murni, di antara detak waktu dan denyut gelombang pikiran. “Aku tidak bisa merasakan kakiku,” kata Genta. “Bukan karena tubuhmu hilang,” balas Arka. “Kita... sedang berada di antara ruang.” “Transisi menuju ruang penguji,” ujar Raka. “Kita sedang diurai dan dibaca.” Tiba-tiba, cahaya itu menyusut, dan mereka bertiga berdiri di dalam ruangan bundar. Dindingnya seperti cermin cair, namun tak memantulkan apa pun selain bentuk kabur. “Sistem ini dibentuk dari pikiran,” ucap Arka. “Apa pun yang kita bawa dalam hati... akan dibaca.” “Jadi ini bukan ujian biasa,” gumam Genta. “Tidak pernah ada yang biasa sejak Eclipse muncul,” tukas Raka. Tiba-tiba, cermin cair di dinding mulai menampilkan gambar. Pertama: kerus

    Last Updated : 2025-04-11
  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 186: Menjelang Keputusan

    Langit di atas mereka terus berubah warna, seperti mencerminkan pergolakan pikiran yang belum selesai. Jalan cahaya yang terbentuk dari cermin padat kini melengkung menuju ruang melingkar lain di ujung. Arka menatap ke arah cahaya. "Kalau mereka sudah memilihku, maka aku harus tahu seluruh kebenaran sebelum memutuskan." "Dan kita akan tetap bersamamu," ucap Raka tegas. "Kau tidak harus memikul ini sendiri, Arka," tambah Genta. "Apa pun yang terjadi, kami bagian dari keputusan itu." Mereka melangkah mengikuti jalur yang disediakan. Setiap langkah seolah membuka lapisan ingatan, seakan ruangan itu membaca sejarah manusia dalam diam. Raka melirik ke sekeliling. "Kau merasakan itu? Tempat ini... seperti mengupas kita." "Ya," jawab Arka. "Ini bukan hanya ruang fisik. Ini ruang pemahaman." Tiba-tiba, mereka tiba di sebuah balkon melengkung, menghadap hamparan bintang. Tapi bintang-bint

    Last Updated : 2025-04-12
  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 187 Tujuh Hari Menjelang Retakan

    Portal yang dibuka oleh makhluk cahaya membawa mereka kembali ke ruang observasi bawah tanah di Makassar. Tubuh mereka mendarat perlahan di lantai logam, seolah bumi belum siap melepaskan jejak kosmis yang tertanam di dalam diri mereka. "Berapa lama kita pergi?" tanya Genta sambil berdiri. "Tiga menit dua puluh satu detik," jawab sistem otomatis di dinding. "Waktu lokal tidak mengalami distorsi." "Padahal rasanya seperti berhari-hari," gumam Raka. Arka menatap ke layar utama yang menampilkan rotasi bumi dan lalu lintas satelit. "Kita hanya punya tujuh hari. Dan dunia belum tahu apa pun." "Lalu apa langkah pertama?" tanya Genta. "Kita beri tahu orang-orang," jawab Arka. "Mulai dari mereka yang masih punya nurani. Ilmuwan, pemimpin komunitas, jurnalis, siapa pun yang bisa bantu menyebarkan pesan." Raka mengangguk. "Aku akan kontak jaringan bawah tanah yang pernah bantu waktu invasi

    Last Updated : 2025-04-12
  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 188 Gerbang Kesadaran di Tanah Leluhur

    Langit Makassar tampak mendung ketika Arka, Raka, dan Genta berdiri di atas puncak bukit tua yang dikelilingi reruntuhan batu megalit. Di bawah kaki mereka, simbol-simbol purba terukir di batu seperti nadi kuno yang baru saja terbangun. “Tempat ini tidak tercatat di peta mana pun,” gumam Genta sambil memeriksa pemindai medan. “Tapi energi di bawah tanah... sangat aktif.” Raka menatap sekeliling. “Tak ada jaringan, tak ada sinyal. Seolah-olah tempat ini memutus kita dari dunia luar.” Arka berjongkok, menyentuh batu yang hangat. “Karena tempat ini bukan dari dunia yang sama.” Tiba-tiba tanah bergetar ringan. Sebuah gema terdengar dari dalam tanah, seperti suara yang mencoba menembus realitas. Mereka bertiga saling berpandangan. “Gerbangnya terbuka,” ujar Arka lirih. “Gerbang ke mana?” tanya Genta. “Ke kesadaran yang lebih tua dari sejarah,”

    Last Updated : 2025-04-12
  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 189 Kembali ke Permukaan

    Udara pagi di Makassar terasa lebih segar dari biasanya. Langit bersih tanpa gangguan elektromagnetik. Setelah hari-hari yang terasa seperti melintasi dimensi lain, Arka, Raka, dan Genta akhirnya menginjakkan kaki kembali di bumi yang stabil. “Rasanya seperti... hidup lagi,” ucap Raka sambil menatap laut dari dermaga. “Padahal kita nggak benar-benar mati,” jawab Genta. “Tapi entah kenapa, dunia terasa berbeda sekarang.” Arka tersenyum kecil. “Karena kita yang berbeda.” Setelah keberhasilan mereka menghentikan kebangkitan makhluk kuno dan menutup monolit energi di bawah tanah Makassar, ketiganya kembali ke markas sementara Wijaya Corporation yang berada di dekat Fort Rotterdam. Di sana, tim telah menanti laporan akhir mereka. “Kita berhasil,” ujar Arka dalam rapat kecil bersama tim. “Gerbang dimensi itu sudah tertutup. Dan lebih penting lagi, kita tidak kehilangan siapa pun.” “Dan tidak kehilang

    Last Updated : 2025-04-12

Latest chapter

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 223 Kembali ke Akar

    Langit Jakarta diguyur cahaya senja yang lembut saat helikopter hitam mendarat di atap gedung utama Wijaya Corporation. Bilah-bilah rotor melambat, meniupkan debu dan kenangan di udara. Dari dalam kabin, Arka turun lebih dulu, mengenakan jaket hitam bertuliskan WJ Core di lengannya. “Masih terasa aneh ya,” gumam Kiara di belakangnya. “Kita barusan keluar dari altar kehendak… dan sekarang berdiri di atap kantor pusat.” Genta menyeringai sambil menenteng tas data. “Aneh itu kalau kita tiba-tiba bangun di kebun belakang dengan piyama.” Raka menepuk bahunya. “Jangan beri semesta ide aneh, Gen.” Mereka berempat berdiri berjejer, menatap siluet kota yang perlahan berubah warna. Di bawah mereka, gedung-gedung menjulang seperti urat nadi dari ambisi yang pernah hampir dibajak oleh kehendak jahat. Arka menarik napas panjang. “Kita berhasil. Dunia masih berdiri.” “Dan kita masih satu,” Kiara menambahkan,

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 222 Jejak yang Tertinggal

    Altar kehendak bergema dengan getaran lembut, seolah menghela napas terakhir setelah ribuan tahun terbungkam. Dinding kubah yang retak menyala dengan pola cahaya yang bergerak pelan, membentuk simbol-simbol purba yang tak dikenali, tapi terasa akrab bagi Arka dan yang lain. “Tempat ini hidup,” bisik Genta, mengamati garis cahaya yang menjalar di sepanjang lantai. “Tapi bukan seperti teknologi. Ini… sesuatu yang lain.” Kiara menyentuh salah satu simbol, dan cahaya melesat cepat, menyusuri lengannya tanpa melukai. “Seolah-olah tempat ini mengenali kita.” Raka melangkah mendekati pusat altar, di mana sebuah pilar kristal muncul perlahan dari bawah tanah. Di dalamnya, pusaran kehendak berwarna emas berdenyut pelan seperti jantung. “Tunggu,” ucap Arka sambil menatap sekeliling. “Kalian dengar itu?” Detak. Lembut, tapi dalam. Seperti jantung raksasa yang berdetak dari dalam dunia itu sendiri. Kiara m

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 221 Inti dari Segalanya

    Kilatan pertama menyambar seperti tombak cahaya yang mengoyak udara. Arka dan yang lain menembus pusaran badai, tubuh mereka melayang bebas di antara fragmen waktu dan kehendak yang saling bertabrakan. Setiap helai udara terasa tajam, seolah menolak keberadaan mereka. Arka menggertakkan gigi, tubuhnya tertarik ke dalam spiral cahaya keperakan. “Tahan formasi! Jangan terpisah!” “Aku kehilangan gravitasi!” teriak Genta, tubuhnya terpental ke arah fragmentasi kota yang hancur di kejauhan. Kiara melompat, menyambar tangan Genta. “Aku dapat dia! Tapi ini… bukan ruang biasa. Waktunya loncat-loncat!” Raka berputar di udara, kakinya menjejak sebongkah memori masa depan yang padat, lalu meluncur ke arah Arka. “Kita harus sampai ke pusat! Di sanalah kehendak disimpul jadi satu!” Di tengah pusaran, sosok bertopeng perak berdiri kokoh, tubuhnya membesar menjadi kolosus setinggi gedung. Di dadanya, mata yang berputar kini

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 220 Lapisan Ketiga

    Arka mendarat di permukaan yang tak padat, seolah pijakan itu terbuat dari bayangan air. Setiap langkah meninggalkan riak yang memantulkan kenangan. Langit di atasnya merah kelam, bergemuruh seperti dada yang menahan napas terlalu lama. “Tempat ini… terasa seperti dalam mimpiku,” gumamnya, memandang sekitar. Kiara mendarat tak jauh darinya, tangannya terangkat, menjaga keseimbangan. “Tapi ini bukan mimpi. Ini ruang kehendak terdalam. Lapisan ketiga.” Dari balik kabut, siluet Raka muncul, tubuhnya bersimbah cahaya kehendak yang belum sepenuhnya stabil. “Aku lihat bayangan Ayah tadi… seperti nyata.” “Bukan bayangan,” sahut Genta yang menyusul, napasnya memburu. “Tempat ini menyerap ingatan paling kuat dalam diri kita. Dan memutarnya jadi senjata.” Angin bertiup pelan, namun membawa aroma darah dan logam. Lalu satu demi satu sosok muncul dari balik kabut—wajah-wajah yang seharusnya sudah mati. Ayah Raka. Saudara

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 219 Pusaran Kehendak

    Genta melompat ke panel darurat, jarinya menari di atas tombol manual. Sinyal listrik masih lumpuh, tapi ia berhasil mengaktifkan suplai cadangan untuk server utama. Layar menyala kembali dalam kilatan biru redup, menampilkan grafik-grafik kacau dan sinyal spiral dari dasar laut. “Gelombangnya meningkat,” gumamnya. “Ini bukan hanya sinyal… ini panggilan.” Arka berjalan perlahan ke tengah ruangan, di mana wajah digital bertopeng perak masih menatap mereka dari layar. Cahaya dari monitor memantul di matanya yang membara, menciptakan siluet tajam di balik bahunya. “Kau siapa sebenarnya?” tanya Arka, suaranya pelan tapi tegas. “Pertanyaan yang salah, Arka Wijaya,” suara itu mengalun seperti gema di dalam tengkorak. “Pertanyaannya adalah: berapa lama lagi kehendak manusia bisa menolak evolusi yang sudah kutawarkan?” Kiara menatap layar dengan rahang mengeras. “Kau menyebut dirimu ide. Tapi ide tidak lahir sendiri.

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 218 Kehendak di Balik Layar

    Asap tipis mengepul dari sudut-sudut ruangan. Cahaya darurat berpendar merah, melemparkan bayangan bergerigi di wajah-wajah tegang. Di tengahnya, wajah bertopeng perak masih terpampang di layar utama, menatap semua yang hadir tanpa berkedip. Suara itu terdengar lagi, serak tapi stabil. “Divisi Kehendak? Nama yang indah. Tapi sia-sia.” Raka maju dua langkah, belatinya bergetar oleh listrik statis dari medan proteksi yang belum sepenuhnya mati. “Kalau kau hanya bisa bicara dari balik layar, kau pengecut.” “Justru karena aku di balik layar, aku hidup lebih lama dari kalian semua,” jawab suara itu. “Aku bukan tubuh. Aku adalah algoritma keserakahan, rumus dominasi, strategi kolonialisme yang kalian warisi diam-diam.” Kiara menoleh ke Genta. “Apakah ini AI yang kita deteksi dari dasar laut?” Genta mengetik cepat, matanya tak lepas dari data baru yang masuk. “Tidak sepenuhnya. Ini semacam antarmuka. Tapi energinya…

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 217 Bayangan di Langit

    Bayangan hitam yang mengambang di atas cakrawala makin jelas. Bukan retakan dimensi, bukan pula makhluk seperti Zerah—melainkan armada. Puluhan—tidak, ratusan kapal udara taktis melayang membentuk formasi setengah lingkaran di langit senja. Baling-baling rotor mereka tak menimbulkan suara, hanya getaran halus yang merambat ke tanah, seperti denyut jantung dunia yang baru bangkit. “Ini bukan invasi, kan?” bisik Raka sambil meraih senjata di pinggang. Genta menatap hasil pemindaian di alatnya. “Bukan. Ini… pasukan militer. Tanda pengenal mereka sah. Tapi mereka dalam mode siaga tinggi.” Beberapa pesawat turun perlahan, melepaskan platform logam yang terhampar rapi di tanah. Dari sana, pasukan berseragam hitam-hijau turun, berbaris dalam diam. Seorang pria berambut putih dan berseragam panglima berdiri di tengah mereka, mengenakan lencana khusus bertuliskan SATGAS ARDHA GARDA NASIONAL. Arka maju beberapa langkah

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 216 – Kehendak yang Bangkit

    Cahaya biru menyelimuti medan pertempuran. Pilar-pilar energi yang sebelumnya mencabik langit kini membeku di udara, seolah diperintah oleh kehendak yang lebih tua dari waktu. Sosok asing yang muncul dari celah realitas itu melayang perlahan, jubah panjangnya berpendar lembut, dan matanya memancarkan cahaya keemasan yang menembus jiwa siapa pun yang menatapnya. Arka berdiri membeku di tengah pusaran penyegelan. Energi di sekeliling tubuhnya masih berkobar, tapi kini tertahan—seolah sebuah tangan tak kasatmata menggenggamnya. “Siapa… kau sebenarnya?” tanya Arka pelan. Sosok itu turun menyentuh tanah. “Aku adalah bagian dari darahmu. Dan engkau adalah bagian dari kehendakku yang tertinggal di dunia ini.” Raka terhuyung, menahan luka di lengannya, matanya terpaku pada simbol bercahaya di udara—tiga garis spiral yang saling berpotongan membentuk mata ketiga di tengah kehampaan. Kiara berbisik, “Simbol itu… mengik

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 215 Warisan di Ujung Darah

    Tanah terbelah. Awan menghitam. Dari tubuh Sakarat, sosok Zerah melayang perlahan—gerakannya anggun seperti kabut, tapi tekanan kehadirannya menekan dada semua orang. Di sekelilingnya, waktu bergetar. Suara-suara dari masa lalu bergema lirih, menciptakan irama aneh yang menyesakkan telinga. Kiara mundur beberapa langkah. “Itu… bukan makhluk biasa.” “Bukan,” desis Arka. “Dia bukan makhluk. Dia… adalah kehendak yang ditolak oleh alam semesta.” Zerah menatap ke arah mereka, topengnya berganti-ganti bentuk—wajah-wajah yang familiar muncul sekilas: wajah Raksa, wajah Nadira, bahkan wajah Reza. Setiap wajah muncul hanya untuk digantikan oleh kekosongan tanpa ekspresi. “Arka Wijaya,” suaranya terdengar seperti ribuan orang berbicara bersamaan. “Darahmu adalah kunci. Warisanmu adalah pengikat. Maka, akulah yang berhak menuntutnya.” Tubuh Arka bergetar saat aliran energi dari dalam dadanya berdenyut semakin kuat. Simb

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status