Arka berdiri di balkon lantai tertinggi kantor cabang Surabaya, memandangi langit senja yang mulai meredup. Suara langkah kaki Damar mendekat dari belakang.
“Aku sudah siapkan seluruh struktur organisasi cabang ini. Sistem keuangan, SDM, dan semua divisi sudah aku rapikan,” ujar Damar mantap. Arka mengangguk pelan. “Mulai hari ini, kau kepala cabang Surabaya. Kawal setiap proyek sosial dan energi terbarukan dengan integritas. Keluarga besar sudah mendukung, jangan buat mereka ragu lagi.” “Siap!” Damar mengepalkan tangan. “Aku tak akan mengecewakanmu.” Beberapa hari berikutnya, geliat perusahaan mulai terasa stabil. Investasi dari pengusaha elit Surabaya terus mengalir. Dukungan dari para tokoh penting kota semakin memperkuat posisi Wijaya Corporation di wilayah surabaya.. Arka, Raka, dan Genta kemudian kembali ke Jakarta. Namun ketenangan itu tak bertahan lamaPagi hari di Jakarta dimulai dengan kabut tipis yang menyelimuti langit. Di dalam ruang rapat utama Wijaya Corporation, Arka berdiri tegak memandangi layar besar berisi data serangan siber yang baru saja dipetakan Kiara. “Ini bukan serangan biasa. Mereka tahu titik lemah sistem, dan ini hanya awal,” kata Kiara sambil mengetik cepat di laptopnya. Arka mengangguk pelan. “Berapa lama kita bisa bertahan dengan firewall saat ini?” “Empat jam, paling lama. Tapi aku sedang mengaktifkan protokol lapis tiga. Kita butuh tim IT cadangan.” “Panggil semua yang pernah bekerja dalam misi darurat. Termasuk yang dari proyek militer,” perintah Arka tegas. Di sudut ruangan, Raka memperhatikan pola-pola enkripsi asing yang muncul. “Ini gaya Tokyo. Mereka pernah memakai algoritma ini saat kita menangkap agen mereka di perbatasan.” “Berarti mereka ingin me
Kilatan cahaya malam menyinari wajah Arka yang tegap berdiri di tengah lokasi pertarungan yang telah dipersiapkan. Asap tipis mengepul dari reruntuhan bangunan tua yang dijadikan arena, jauh dari permukiman warga. "Aku bisa mencium niat kalian dari kejauhan," kata Arka dengan mata tajam menatap dua sosok berpakaian gelap di hadapannya. Salah satu dari mereka melangkah maju. "Kau tak berubah sejak terakhir kali kita bertemu, Arka." "Dan kau justru berubah terlalu banyak, sampai lupa caramu kalah," jawab Arka dengan tenang. Sementara itu, dari balik bangunan rusak, Genta mengamati pergerakan mereka sambil memberi isyarat kepada tim militer yang bertugas. Mereka memastikan perimeter tetap steril. "Sinyal semua bersih, tidak ada penyusup lain," bisik salah satu anggota tim ke Genta. Genta mengangguk. "Biarkan mereka bertarung. Tapi tetap siaga. Kalau Arka memberi isyarat, kita masuk."
Malam itu, di ruang rapat Wijaya Corporation, Arka duduk dengan ekspresi serius. Raka, Genta, Kiara, dan beberapa anggota tim inti berkumpul, menunggu penjelasan lebih lanjut. Ia membuka pembicaraan mengenai serangkaian transaksi mencurigakan yang baru terdeteksi. Raka membuka laptop dan menampilkan grafik serta data transfer dana yang mencurigakan. Ia menjelaskan bahwa selama dua minggu terakhir, sejumlah besar uang telah dikirim ke rekening asing tanpa persetujuan resmi dari manajemen pusat. Genta tampak terkejut dan bertanya siapa saja yang memiliki akses untuk melakukan transaksi semacam itu. Raka menjawab bahwa akses berasal dari level manajemen atas, namun identitas pelakunya masih belum dapat dipastikan karena pelaku menggunakan metode penyamaran yang canggih. Kiara menyela dan menambahkan bahwa tim IT sedang melacak jejak digital, tetapi pelaku cukup lihai menyembunyikan langkah-langkahnya. Arka lalu menyimpulkan bahwa ada kemungk
Angin malam berdesir tajam saat Arka berdiri di balkon lantai tertinggi kantor pusat Wijaya Corporation. Sorot lampu kota Jakarta berkilauan di kejauhan, seakan menyimpan rahasia dalam setiap sudut gelapnya. “Ada yang janggal dengan sistem jaringan sejak pukul dua pagi,” ucap Taka sambil menyerahkan tablet ke Arka. Taka adalah kepala tim IT Wijaya Corporation yang dipercayakan oleh Arka dan Raka untuk memimpin tim tersebut. “Serangan lagi?” tanya Arka tanpa memalingkan pandangan dari kota. “Bukan serangan biasa. Ini seperti ada tangan dalam yang membuka jalan buat mereka dari luar,” jawab Taka tegas. Kiara melangkah masuk ke ruangan dengan wajah tegang. “Aku sudah memetakan jejak digitalnya. Tapi pola enkripsinya asing. Seperti... bukan buatan manusia.” “AI?” Arka menoleh cepat. “Lebih buruk. Kombinasi antara AI dan teknologi militer mutakhir. Mereka tidak hanya ingin meretas, m
Langit Jakarta mulai diselimuti mendung ketika Arka menatap layar besar di ruang kendali keamanan digital Wijaya Corporation. Suara tombol-tombol ditekan cepat, monitor berganti-ganti menampilkan data. "Kiara, bagaimana status jaringan cadangan kita?" tanya Arka, matanya tajam menelusuri statistik lalu lintas data. "Masih stabil, Arka. Tapi ada sinyal ganjil dari wilayah utara, tepatnya dari server bayangan yang pernah kita bongkar tahun lalu," jawab Kiara cepat. Raka mendekat, membawa tablet dengan grafik aneh. "Aku juga menangkap spike elektromagnetik yang tidak biasa. Sepertinya ada teknologi baru yang sedang diuji dari luar negeri." "Tapi kenapa dari arah utara?" gumam Genta, bersandar di meja. "Bukankah server Tokyo mereka terpantau dari tim siber militer?" "Justru itu, mereka sedang mengalihkan serangan," ujar Arka. "Kita dijadikan umpan. Pusatnya bukan lagi Tokyo. Ada kekuatan lain yang sedang menggera
Kabut tebal turun menyelimuti area sekitar bunker, seolah menambah tekanan dari aura Kazuo yang kini berdiri tak jauh dari Arka. Udara menjadi berat, sepi, dan mencekam. Bahkan pepohonan di sekitar tempat itu tampak seperti menunduk dalam ketakutan. Arka menatap sosok pria bermata merah yang berdiri dengan tenang, namun dalam diamnya menyimpan ancaman besar. Kazuo bukan sekadar ahli bela diri. Ia adalah eksperimen hidup dari program gabungan kekuatan bela diri dan teknologi neural Jepang—proyek gelap yang bahkan oleh pemerintah mereka sendiri pernah dibubarkan karena dianggap terlalu berbahaya. Kazuo tersenyum tipis. “Kau terlihat lebih kuat dari terakhir kali kita bertemu, Arka.” “Kau juga masih suka membuat entrance dramatis rupanya,” balas Arka datar. “Dulu kau pengusaha yang minati bantuan oleh negara. Tapi sekarang... lihat dirimu. Patriot yang jadi batu sandungan dunia.” “Dan kau masih pengecut yang ber
Angin malam Kalimantan Timur berhembus kencang ketika Arka berdiri di hadapan Kazuo, pria bermata merah yang baru keluar dari bunker bawah tanah. Atmosfer di sekitar mereka berubah drastis, terasa berat dan menyesakkan. “Kau tampak lelah, Arka,” kata Kazuo dengan nada tenang. “Padahal ini baru permulaan.” “Aku belum menggunakan semua yang kupunya,” balas Arka dengan mata yang tak berkedip. Kazuo tersenyum dingin. “Bagus. Aku tak ingin pertarungan yang membosankan.” Tiba-tiba, Kazuo menghilang dari pandangan. Arka menoleh cepat ke kiri, tepat sebelum sebuah tinju menghantam tempat dia berdiri. Tanah meledak, menciptakan kawah kecil. “Cepat sekali gerakannya…” gumam Arka sambil melompat mundur. Kazuo muncul kembali, berdiri dengan santai. “Aku bukan lagi manusia biasa. Teknologi dan tubuhku sudah menyatu.” “Dan kau pikir itu membuatmu tak terkalahkan?” tanya Arka sambil menarik nap
Langit Jakarta tampak cerah saat helikopter hitam mendarat perlahan di rooftop gedung Wijaya Corporation. Baling-balingnya menebarkan angin yang membuat debu-debu beterbangan di sekeliling. Arka turun dengan langkah mantap, tatapannya lurus ke depan, namun tubuhnya masih menyisakan aroma pertempuran. “Selamat datang kembali, Arka,” sambut Kiara dari samping pintu lift, senyumnya hangat, meski mata menunjukkan kecemasan yang belum sepenuhnya reda. “Terima kasih, Kiara. Bagaimana keadaan di sini?” tanya Arka sambil berjalan menuju ruang kendali. “Sistem sudah kembali normal sejak spike dihancurkan. Tapi aku masih belum tenang,” ujar Kiara, mengikuti langkahnya. Raka dan Genta sudah menunggu di ruang utama. Taka duduk di depan monitor, tangannya sibuk mengetik kode-kode baru. “Bungker berhasil dikuasai?” tanya Raka tanpa basa-basi. “Ya,” jawab Arka singkat. “Kazuo sudah dikalahkan. Dan spike elekt
Langit di atas gunung mulai berubah kelabu. Kabut tebal turun cepat, menyelimuti lereng dan menutupi jalur turun dari gua spiral. Udara membawa aroma besi dan tanah basah, seperti pertanda akan datangnya sesuatu yang tak wajar. Jejak mereka tertinggal samar di batu-batu lembap. Arka melangkah paling depan, tubuhnya masih memancarkan sisa kilau dari pertempuran sebelumnya. Tapi sorot matanya tak tenang. “Apa kau merasa... kita sedang diikuti?” Kiara memecah keheningan dengan suara pelan. Arka menoleh ringan, lalu mengangguk. “Bukan sekadar diikuti. Kita sedang diuji.” Genta memeriksa alat pelacak dari Adikara. Layar kecilnya menampilkan gelombang aneh yang berdenyut tak menentu. “Ada sesuatu dalam radius lima puluh meter. Tapi tak bisa diidentifikasi.” Raka mendekat, menarik jubahnya rapat. “Ini bukan makhluk biasa. Energinya seperti sisa dari masa lalu yang dipaksa hidup kembali.” Tiba-tiba, da
Langit di luar gua sudah gelap. Bintang-bintang memancar tajam di antara awan tipis, seakan dunia tahu sesuatu telah pecah dan menyisakan retakan tak kasatmata. Langkah Arka menggema pelan di antara batu-batu dingin, tubuhnya masih terasa bergetar dari benturan energi sebelumnya. “Bayangan tadi... kau juga melihatnya, kan?” tanya Kiara pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh desir angin malam. “Matanya merah, tubuhnya kecil... tapi aura kekuatannya bukan main,” gumam Raka sambil menoleh ke arah bayangan tempat sosok itu tadi berdiri. Arka menghentikan langkah. Ia menutup matanya, membiarkan sisa spiral dalam tubuhnya berdenyut ringan, berusaha menangkap sisa getaran dari makhluk misterius itu. Tapi udara hanya membawa dingin. “Dia tidak berasal dari sini,” ujar Arka akhirnya. “Getaran auranya bukan dari jalur waktu yang kita kenal.” Genta mengernyit. “Apa maksudmu? Dia melintasi waktu?” “Bukan. D
Angin dingin menusuk dari retakan spiral saat gelombang kegelapan melesat menuju Arka. Udara di dalam gua bergetar, menekan dada seperti ribuan tangan tak terlihat. Cahaya dari tubuh Arka semakin terang, membentuk pola spiral sempurna yang berputar cepat di sekelilingnya. Gelombang itu menghantam—namun tak menembus. Sebuah dinding cahaya terbentuk, membelokkan energi hitam itu ke dinding gua, membuat batu meledak dan debu menguar. “Cahaya itu…” Raka menatap takjub. “Bukan sekadar energi. Itu... ingatan hidup.” Arka menggertakkan gigi. Tubuhnya bergetar menahan tekanan. “Aku bukan hanya pewaris Wijaya Corporation. Aku juga pewaris penjaga waktu ini!” Pemutus Spiral menggeram. Suaranya seperti serpihan besi yang saling bergesekan. “Tidak ada warisan yang bisa kau jaga bila semua spiral terputus.” Ia melompat ke udara, melayang di tengah gua dengan jubah yang mengembang seperti sayap bayangan. Dari kedua tangann
Langit di atas Pulau Adikara perlahan kembali cerah, namun gema dari apa yang mereka bangkitkan masih terasa di dalam dada masing-masing. Di dalam pesawat, Arka duduk diam menatap laut lepas. Pikirannya berputar, mencoba memahami makna dari suara misterius yang mengaku sebagai Penjaga Awal. “Aku merasa... kita baru menyentuh permukaan,” kata Genta sambil melihat ke arah Arka. “Kau dengar sendiri, Genta,” balas Arka. “Mereka menyebut diri mereka penjaga sebelum Bayangan diciptakan. Itu berarti ada tatanan yang lebih tua dari semua konflik kita.” Raka mengangguk pelan. “Dan tatanan itu sedang bangkit. Entah karena kita, atau karena sesuatu yang lebih besar dari kita semua.” Pesawat mendarat kembali di markas utama Wijaya Corporation. Mereka langsung menuju ruang strategi, tempat Kiara dan beberapa analis keamanan menunggu. “Kami menerima gelombang energi tinggi dari Pulau Adikara,” ujar Kiara. “Tapi sinyalnya b
Pagi itu, ruang kontrol pusat Wijaya Corporation dipenuhi cahaya biru dari layar-layar monitor. Di tengah ruangan, Raka berdiri sambil menunjuk satu titik berkedip di layar utama. “Titik merah ini muncul dua kali dalam tiga puluh jam terakhir,” katanya. “Lokasinya di sebuah pulau kecil yang tidak tercatat dalam peta resmi.” Arka menyipitkan mata. “Itu bukan pulau biasa. Aku pernah mendengar nama lamanya disebut dalam dokumen tua: Pulau Adikara.” Genta, berdiri di samping mereka dengan tangan bersedekap, bergumam, “Adikara… bukan itu lokasi tempat eksperimen spiral pernah dipindahkan setelah proyek Bayangan Utara dihentikan?” “Benar,” jawab Raka sambil mengetik cepat. “Data lama dari proyek Eclipse menyebutkan adanya stasiun penelitian bawah tanah di sana. Tapi dokumen itu dihentikan tanpa penjelasan.” Arka menatap layar. “Kalau sinyalnya aktif lagi, berarti ada yang menghidupkan sistem itu.” “D
Pesawat mendarat mulus di Bandara Halim. Arka, Raka, dan Genta melangkah keluar, menyambut udara Jakarta yang hangat dan padat oleh hiruk pikuk kota. Langit senja menggantung di atas jalan raya yang sibuk, seakan tak menyadari bahwa tiga sosok yang baru kembali membawa kabar penting dari timur. “Ibu akan senang melihatmu lagi,” kata Raka sambil tersenyum kecil. Arka mengangguk, matanya menyapu langit Jakarta. “Dan ayah pasti sudah menyiapkan segudang pertanyaan tentang laporan Makassar.” Genta tertawa pendek. “Pertanyaan, atau tantangan baru? Kita lihat saja nanti.” Mereka tiba di rumah keluarga Wijaya saat malam mulai turun. Lampu-lampu taman menyala hangat, memandikan bangunan klasik itu dengan cahaya lembut. Saat Arka membuka pintu, suara langkah cepat menyambut. “Arka!” suara ibunya terdengar, penuh emosi. Perempuan paruh baya itu memeluknya erat, seolah menahan waktu yang sempat terlewat.
Malam itu, udara di gunung terasa padat. Kabut menggantung di sekitar puncak, menyembunyikan siluet batu besar yang bersinar samar. “Sinyalnya berasal dari balik batu ini,” ujar Raka, matanya menatap layar tablet dengan gelisah. Genta berjongkok, telapak tangannya menyentuh tanah. “Aku bisa merasakan vibrasinya. Ini sisa teknologi spiral dari Bayangan Utara. Tapi ada sesuatu yang hidup di dalamnya.” Arka mengangguk. “Kita tak bisa menunda. Kalau ini pemicu dorman terakhir, kita harus nonaktifkan malam ini.” Tiba-tiba, suara berat menggetarkan udara. “Kau datang tanpa warisan, tapi membawa cahaya yang membakar jejak kami.” Sosok berjubah hitam muncul perlahan dari balik batu. Matanya bersinar perak. Di tangannya tergenggam tabung energi berputar. “Penjaga Kedua?” tanya Arka, menahan napas. “Aku adalah penjaga kehormatan terakhir Bayangan U
Langit di atas pegunungan Sulawesi Selatan tampak kelabu. Helikopter hitam Wijaya Corporation melaju di antara kabut tipis, membawa Arka, Raka, dan Genta menuju titik merah yang muncul di peta sebelumnya. Tak ada jalan darat ke lokasi itu—hanya lembah sunyi yang dikelilingi tebing terjal dan pohon-pohon purba. “Tempat ini bukan sembarangan,” gumam Arka, matanya menatap tanah luas di bawah yang dipenuhi puing logam dan antena berkarat. Raka menarik napas panjang. “Seolah ini markas rahasia yang sudah lama ditinggalkan… tapi tetap hidup.” “Teknologi Bayangan Lama tidak pernah benar-benar mati,” sahut Genta sambil memeriksa layar tablet yang mendeteksi sisa-sisa sinyal aneh. Mereka mendarat di pinggir lereng. Angin terasa lebih dingin, dan bau logam tercium dari bawah tanah. Begitu menjejakkan kaki di tanah lembah, mereka melihat bangunan setengah runtuh dengan lambang samar A.R.C. di dindingnya. Di dalamnya, si
Dinding gua bergetar saat cahaya merah menyembur dari celah altar. Sosok berbalut energi hitam muncul perlahan, mata ketiganya menyala laksana bara. Bayangan tubuhnya tak menyentuh tanah, melayang dengan aura membara yang membuat udara membeku. "Akhirnya, kau datang juga, pewaris darah kuno," bisik Mata Ketiga, suaranya bergema di dalam kepala Arka. Arka melangkah maju. Jubahnya berkibar pelan, dan matanya menyala biru kehijauan. Aura Klan Naga Langit membungkus tubuhnya, berpadu dengan denyut halus kekuatan warisan Jiwa Abadi. "Aku tidak datang untuk tunduk. Aku datang untuk mengakhiri semuanya," jawab Arka tenang. Seketika udara di ruang itu meledak. Mata Ketiga menyerang lebih dulu, tangannya memanjang seperti bayangan dan menebas udara. Arka melompat ke udara, lalu memutar tubuh dan menghantamkan telapak tangan ke tanah. Ledakan cahaya biru mengguncang ruang batu itu. Genta dan Raka menyingkir, berdiri di