Angin malam Kalimantan Timur berhembus kencang ketika Arka berdiri di hadapan Kazuo, pria bermata merah yang baru keluar dari bunker bawah tanah. Atmosfer di sekitar mereka berubah drastis, terasa berat dan menyesakkan.
“Kau tampak lelah, Arka,” kata Kazuo dengan nada tenang. “Padahal ini baru permulaan.” “Aku belum menggunakan semua yang kupunya,” balas Arka dengan mata yang tak berkedip. Kazuo tersenyum dingin. “Bagus. Aku tak ingin pertarungan yang membosankan.” Tiba-tiba, Kazuo menghilang dari pandangan. Arka menoleh cepat ke kiri, tepat sebelum sebuah tinju menghantam tempat dia berdiri. Tanah meledak, menciptakan kawah kecil. “Cepat sekali gerakannya…” gumam Arka sambil melompat mundur. Kazuo muncul kembali, berdiri dengan santai. “Aku bukan lagi manusia biasa. Teknologi dan tubuhku sudah menyatu.” “Dan kau pikir itu membuatmu tak terkalahkan?” tanya Arka sambil menarik napLangit Jakarta tampak cerah saat helikopter hitam mendarat perlahan di rooftop gedung Wijaya Corporation. Baling-balingnya menebarkan angin yang membuat debu-debu beterbangan di sekeliling. Arka turun dengan langkah mantap, tatapannya lurus ke depan, namun tubuhnya masih menyisakan aroma pertempuran. “Selamat datang kembali, Arka,” sambut Kiara dari samping pintu lift, senyumnya hangat, meski mata menunjukkan kecemasan yang belum sepenuhnya reda. “Terima kasih, Kiara. Bagaimana keadaan di sini?” tanya Arka sambil berjalan menuju ruang kendali. “Sistem sudah kembali normal sejak spike dihancurkan. Tapi aku masih belum tenang,” ujar Kiara, mengikuti langkahnya. Raka dan Genta sudah menunggu di ruang utama. Taka duduk di depan monitor, tangannya sibuk mengetik kode-kode baru. “Bungker berhasil dikuasai?” tanya Raka tanpa basa-basi. “Ya,” jawab Arka singkat. “Kazuo sudah dikalahkan. Dan spike elekt
Hujan rintik membasahi pelabuhan Tanjung Priok malam itu. Lampu-lampu kontainer menyala redup, menciptakan siluet gelap di antara deretan peti kemas raksasa. Arka berdiri di atas salah satu peti, tubuhnya diam, matanya menelusuri area dengan ketegangan yang terjaga. “Ada tiga titik pancaran sinyal. Satu di selatan, dua di dekat dermaga barat,” suara Genta terdengar dari alat komunikasi di telinga. “Fokuskan tim ke titik selatan. Aku akan tangani yang di dermaga barat,” jawab Arka tanpa ragu. Kiara yang mengawasi dari pusat kendali menyela, “Arka, aku menangkap pola data yang mirip dengan spike Kalimantan. Tapi ini lebih kuat, frekuensinya ganda.” “Berarti mereka tak main-main kali ini,” gumam Arka sambil melompat turun dari peti, menapaki lorong-lorong antara kontainer. Genta bergerak cepat di sisi lain pelabuhan. “Aku temukan satu perangkat. Dalam proses penonaktifan.” “Bagus. Aku hampir sampa
Udara pagi di Jakarta berhembus ringan saat Arka menatap jendela ruang rapat utama Wijaya Corporation. Pagi itu terasa berbeda. Hening, namun dipenuhi firasat. Ia tahu, musuh dari luar telah berhasil ditundukkan. Namun kini, ada bayangan dalam rumah sendiri yang harus dibongkar. "Kiara, bagaimana hasil audit sistem internal yang kamu jalankan minggu lalu?" tanya Arka dengan nada tenang. Kiara membuka tablet dan menyajikan laporan di layar. "Ada satu akun akses khusus yang tidak seharusnya aktif. Kode penggunanya berasal dari jalur dewan direksi lama." Raka mengernyitkan dahi. "Dewan lama? Siapa yang masih punya akses itu selain kamu dan paman Dirga?" "Itulah yang mengejutkan," sahut Kiara. "Akun itu bukan milik Dirga, tapi atas nama Galang." "Galang?" ulang Genta pelan. "Bukankah dia—" "Sepupumu yang menghilang setelah Arka menjadi direktur utama," potong Raka cepat. Arka berdiri
Mentari pagi menyinari halaman utama rumah keluarga Wijaya di kawasan Puncak. Udara segar bercampur dengan aroma teh hangat yang disuguhkan para pelayan kepada keluarga yang berkumpul. Arka berdiri di sisi kanan Kakek Wijaya, mengenakan setelan sederhana berwarna hitam dengan lencana kecil berbentuk naga langit di dadanya. “Aku merasa aneh berdiri di sini dengan semua perhatian ini,” gumam Arka pelan. “Karena ini memang hari penting,” jawab Genta dari sisi kirinya. “Bukan setiap hari seorang pewaris resmi dinobatkan.” Di tengah halaman, Kakek Wijaya berdiri tegap, suara dan sorot matanya kembali seperti saat beliau masih memimpin perusahaan. “Mulai hari ini,” ujar Kakek Wijaya lantang, “aku, Wijaya Utama, secara resmi menegaskan bahwa Arka Wijaya adalah satu-satunya ahli waris utama keluarga ini.” Beberapa kerabat terlihat terdiam, ada yang mengangguk setuju, ada pula yang tertunduk, menyadari
Kilatan cahaya menghantam lantai beton dengan keras. Tubuh penyusup terpental dan menghantam dinding bunker bawah tanah. Arka berdiri tegak, napasnya teratur, namun aura di sekelilingnya masih menyala seperti bara api yang belum padam. "Aku... tidak percaya kau... bisa menembus teknik bayangan keempat," erang penyusup sambil bangkit perlahan. "Karena kau belum mengenal batas sebenarnya dari teknik warisan naga langit," balas Arka dengan dingin. "Aku murid dari orang yang menyelamatkan Sura murid Raksa saat hampir mati di Surabaya... Guruku adalah adik seperguruan Raksa!" teriak penyusup dengan amarah dan kebencian yang menumpuk. "Itu menjelaskan aura gelap yang kurasakan darimu," ujar Arka sembari melangkah maju. "Tapi kau datang terlambat. Raksa sudah dikalahkan. Dan pengkhianatan tak akan pernah menang." Tiba-tiba penyusup berteriak sambil menghantamkan kedua tangannya ke tanah
Langit Makassar terlihat cerah ketika pesawat pribadi Wijaya Corporation mendarat di landasan privat Bandara Sultan Hasanuddin. Arka melangkah turun lebih dulu, diikuti Raka dan Genta. Di balik sinar matahari yang menyambut mereka, tersimpan aura ancaman yang masih menggantung sejak telepon misterius diterima Arka malam sebelumnya. "Kau yakin kita harus tetap lanjut?" tanya Genta sambil mengenakan kacamata hitamnya. "Ancaman adalah bagian dari setiap langkah besar," jawab Arka tenang. "Dan langkah kita kali ini akan mengubah peta energi dan sosial di wilayah timur." Raka menambahkan, "Aku sudah menjadwalkan pertemuan dengan tiga tokoh bisnis lokal sore ini. Mereka adalah orang-orang kepercayaan lama Wijaya Corporation yang pernah ikut proyek di era awal kakek." "Aku ingin mendengar sendiri bagaimana kekuatan tersembunyi di Makassar bergerak," kata Arka sambil membuka file digital di tabletnya. Pertemuan perta
Langit Makassar masih kelam ketika Arka berdiri di pelataran vila yang dikepung. Asap tipis dari ledakan kecil masih membumbung, sementara suara benturan senjata dan teriakan pendek bergema dari arah barat. "Raka, koordinasikan pergerakan di sisi kanan. Genta, amankan jalur mundur. Aku akan menghadapi pemimpinnya," ujar Arka, matanya menatap tajam ke arah sosok berjubah hitam yang berdiri di atas gerbang batu. "Siap, Arka. Mereka menggunakan pola serangan dari Bayangan Utara," kata Raka sambil melompat ke arah kanan bangunan. "Aku sudah pasang ranjau getar di jalur belakang. Kalau mereka mundur, mereka akan kaget," ucap Genta sambil menarik pedangnya. Sosok berjubah itu turun perlahan. Gerakannya seperti bayangan, tenang namun mematikan. "Aku Murai," katanya datar. "Murid dari adik Raksa, dan pewaris terakhir dari doktrin bayangan sejati." "Raksa sudah tumbang. Kau datang terlambat," jawab Arka
Kabut tebal mengurung Arka, Raka, dan Genta ketika tanah di bawah mereka retak lebih lebar. Asap hitam menyebar, menggulung seperti naga purba yang terbangun dari tidur panjang. “Arka… kau akhirnya datang… Pewaris darah langit dan tanah…” suara itu menggema, berat dan penuh gema dari dalam bumi. Arka berdiri tegak, meskipun tanah di bawahnya bergetar. “Siapa kau? Mengapa memanggil namaku?” tanya Arka dengan suara lantang. Dari dalam celah, muncul sosok tinggi besar, kulitnya seperti batu lahar, dan matanya menyala merah seperti bara api. Dia mengenakan jubah logam yang berdesir setiap kali dia bergerak. “Aku adalah Kawi, Penjaga Segel Bumi Timur. Aku telah menjaga kekuatan kuno selama tujuh generasi,” jawab makhluk itu. “Kekuatan apa yang kau maksud?” tanya Genta dengan gugup, tangannya menggenggam gagang pedang. “Kekuatan yang dahulu hampir menghancurkan nusantara… kekuatan yang
Langit di atas gunung mulai berubah kelabu. Kabut tebal turun cepat, menyelimuti lereng dan menutupi jalur turun dari gua spiral. Udara membawa aroma besi dan tanah basah, seperti pertanda akan datangnya sesuatu yang tak wajar. Jejak mereka tertinggal samar di batu-batu lembap. Arka melangkah paling depan, tubuhnya masih memancarkan sisa kilau dari pertempuran sebelumnya. Tapi sorot matanya tak tenang. “Apa kau merasa... kita sedang diikuti?” Kiara memecah keheningan dengan suara pelan. Arka menoleh ringan, lalu mengangguk. “Bukan sekadar diikuti. Kita sedang diuji.” Genta memeriksa alat pelacak dari Adikara. Layar kecilnya menampilkan gelombang aneh yang berdenyut tak menentu. “Ada sesuatu dalam radius lima puluh meter. Tapi tak bisa diidentifikasi.” Raka mendekat, menarik jubahnya rapat. “Ini bukan makhluk biasa. Energinya seperti sisa dari masa lalu yang dipaksa hidup kembali.” Tiba-tiba, da
Langit di luar gua sudah gelap. Bintang-bintang memancar tajam di antara awan tipis, seakan dunia tahu sesuatu telah pecah dan menyisakan retakan tak kasatmata. Langkah Arka menggema pelan di antara batu-batu dingin, tubuhnya masih terasa bergetar dari benturan energi sebelumnya. “Bayangan tadi... kau juga melihatnya, kan?” tanya Kiara pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh desir angin malam. “Matanya merah, tubuhnya kecil... tapi aura kekuatannya bukan main,” gumam Raka sambil menoleh ke arah bayangan tempat sosok itu tadi berdiri. Arka menghentikan langkah. Ia menutup matanya, membiarkan sisa spiral dalam tubuhnya berdenyut ringan, berusaha menangkap sisa getaran dari makhluk misterius itu. Tapi udara hanya membawa dingin. “Dia tidak berasal dari sini,” ujar Arka akhirnya. “Getaran auranya bukan dari jalur waktu yang kita kenal.” Genta mengernyit. “Apa maksudmu? Dia melintasi waktu?” “Bukan. D
Angin dingin menusuk dari retakan spiral saat gelombang kegelapan melesat menuju Arka. Udara di dalam gua bergetar, menekan dada seperti ribuan tangan tak terlihat. Cahaya dari tubuh Arka semakin terang, membentuk pola spiral sempurna yang berputar cepat di sekelilingnya. Gelombang itu menghantam—namun tak menembus. Sebuah dinding cahaya terbentuk, membelokkan energi hitam itu ke dinding gua, membuat batu meledak dan debu menguar. “Cahaya itu…” Raka menatap takjub. “Bukan sekadar energi. Itu... ingatan hidup.” Arka menggertakkan gigi. Tubuhnya bergetar menahan tekanan. “Aku bukan hanya pewaris Wijaya Corporation. Aku juga pewaris penjaga waktu ini!” Pemutus Spiral menggeram. Suaranya seperti serpihan besi yang saling bergesekan. “Tidak ada warisan yang bisa kau jaga bila semua spiral terputus.” Ia melompat ke udara, melayang di tengah gua dengan jubah yang mengembang seperti sayap bayangan. Dari kedua tangann
Langit di atas Pulau Adikara perlahan kembali cerah, namun gema dari apa yang mereka bangkitkan masih terasa di dalam dada masing-masing. Di dalam pesawat, Arka duduk diam menatap laut lepas. Pikirannya berputar, mencoba memahami makna dari suara misterius yang mengaku sebagai Penjaga Awal. “Aku merasa... kita baru menyentuh permukaan,” kata Genta sambil melihat ke arah Arka. “Kau dengar sendiri, Genta,” balas Arka. “Mereka menyebut diri mereka penjaga sebelum Bayangan diciptakan. Itu berarti ada tatanan yang lebih tua dari semua konflik kita.” Raka mengangguk pelan. “Dan tatanan itu sedang bangkit. Entah karena kita, atau karena sesuatu yang lebih besar dari kita semua.” Pesawat mendarat kembali di markas utama Wijaya Corporation. Mereka langsung menuju ruang strategi, tempat Kiara dan beberapa analis keamanan menunggu. “Kami menerima gelombang energi tinggi dari Pulau Adikara,” ujar Kiara. “Tapi sinyalnya b
Pagi itu, ruang kontrol pusat Wijaya Corporation dipenuhi cahaya biru dari layar-layar monitor. Di tengah ruangan, Raka berdiri sambil menunjuk satu titik berkedip di layar utama. “Titik merah ini muncul dua kali dalam tiga puluh jam terakhir,” katanya. “Lokasinya di sebuah pulau kecil yang tidak tercatat dalam peta resmi.” Arka menyipitkan mata. “Itu bukan pulau biasa. Aku pernah mendengar nama lamanya disebut dalam dokumen tua: Pulau Adikara.” Genta, berdiri di samping mereka dengan tangan bersedekap, bergumam, “Adikara… bukan itu lokasi tempat eksperimen spiral pernah dipindahkan setelah proyek Bayangan Utara dihentikan?” “Benar,” jawab Raka sambil mengetik cepat. “Data lama dari proyek Eclipse menyebutkan adanya stasiun penelitian bawah tanah di sana. Tapi dokumen itu dihentikan tanpa penjelasan.” Arka menatap layar. “Kalau sinyalnya aktif lagi, berarti ada yang menghidupkan sistem itu.” “D
Pesawat mendarat mulus di Bandara Halim. Arka, Raka, dan Genta melangkah keluar, menyambut udara Jakarta yang hangat dan padat oleh hiruk pikuk kota. Langit senja menggantung di atas jalan raya yang sibuk, seakan tak menyadari bahwa tiga sosok yang baru kembali membawa kabar penting dari timur. “Ibu akan senang melihatmu lagi,” kata Raka sambil tersenyum kecil. Arka mengangguk, matanya menyapu langit Jakarta. “Dan ayah pasti sudah menyiapkan segudang pertanyaan tentang laporan Makassar.” Genta tertawa pendek. “Pertanyaan, atau tantangan baru? Kita lihat saja nanti.” Mereka tiba di rumah keluarga Wijaya saat malam mulai turun. Lampu-lampu taman menyala hangat, memandikan bangunan klasik itu dengan cahaya lembut. Saat Arka membuka pintu, suara langkah cepat menyambut. “Arka!” suara ibunya terdengar, penuh emosi. Perempuan paruh baya itu memeluknya erat, seolah menahan waktu yang sempat terlewat.
Malam itu, udara di gunung terasa padat. Kabut menggantung di sekitar puncak, menyembunyikan siluet batu besar yang bersinar samar. “Sinyalnya berasal dari balik batu ini,” ujar Raka, matanya menatap layar tablet dengan gelisah. Genta berjongkok, telapak tangannya menyentuh tanah. “Aku bisa merasakan vibrasinya. Ini sisa teknologi spiral dari Bayangan Utara. Tapi ada sesuatu yang hidup di dalamnya.” Arka mengangguk. “Kita tak bisa menunda. Kalau ini pemicu dorman terakhir, kita harus nonaktifkan malam ini.” Tiba-tiba, suara berat menggetarkan udara. “Kau datang tanpa warisan, tapi membawa cahaya yang membakar jejak kami.” Sosok berjubah hitam muncul perlahan dari balik batu. Matanya bersinar perak. Di tangannya tergenggam tabung energi berputar. “Penjaga Kedua?” tanya Arka, menahan napas. “Aku adalah penjaga kehormatan terakhir Bayangan U
Langit di atas pegunungan Sulawesi Selatan tampak kelabu. Helikopter hitam Wijaya Corporation melaju di antara kabut tipis, membawa Arka, Raka, dan Genta menuju titik merah yang muncul di peta sebelumnya. Tak ada jalan darat ke lokasi itu—hanya lembah sunyi yang dikelilingi tebing terjal dan pohon-pohon purba. “Tempat ini bukan sembarangan,” gumam Arka, matanya menatap tanah luas di bawah yang dipenuhi puing logam dan antena berkarat. Raka menarik napas panjang. “Seolah ini markas rahasia yang sudah lama ditinggalkan… tapi tetap hidup.” “Teknologi Bayangan Lama tidak pernah benar-benar mati,” sahut Genta sambil memeriksa layar tablet yang mendeteksi sisa-sisa sinyal aneh. Mereka mendarat di pinggir lereng. Angin terasa lebih dingin, dan bau logam tercium dari bawah tanah. Begitu menjejakkan kaki di tanah lembah, mereka melihat bangunan setengah runtuh dengan lambang samar A.R.C. di dindingnya. Di dalamnya, si
Dinding gua bergetar saat cahaya merah menyembur dari celah altar. Sosok berbalut energi hitam muncul perlahan, mata ketiganya menyala laksana bara. Bayangan tubuhnya tak menyentuh tanah, melayang dengan aura membara yang membuat udara membeku. "Akhirnya, kau datang juga, pewaris darah kuno," bisik Mata Ketiga, suaranya bergema di dalam kepala Arka. Arka melangkah maju. Jubahnya berkibar pelan, dan matanya menyala biru kehijauan. Aura Klan Naga Langit membungkus tubuhnya, berpadu dengan denyut halus kekuatan warisan Jiwa Abadi. "Aku tidak datang untuk tunduk. Aku datang untuk mengakhiri semuanya," jawab Arka tenang. Seketika udara di ruang itu meledak. Mata Ketiga menyerang lebih dulu, tangannya memanjang seperti bayangan dan menebas udara. Arka melompat ke udara, lalu memutar tubuh dan menghantamkan telapak tangan ke tanah. Ledakan cahaya biru mengguncang ruang batu itu. Genta dan Raka menyingkir, berdiri di