Share

Bab 177 Jejak di Timur

Author: Caesar Azka
last update Last Updated: 2025-04-09 07:25:36

Kilatan cahaya menghantam lantai beton dengan keras. Tubuh penyusup terpental dan menghantam dinding bunker bawah tanah. Arka berdiri tegak, napasnya teratur, namun aura di sekelilingnya masih menyala seperti bara api yang belum padam.

"Aku... tidak percaya kau... bisa menembus teknik bayangan keempat," erang penyusup sambil bangkit perlahan.

"Karena kau belum mengenal batas sebenarnya dari teknik warisan naga langit," balas Arka dengan dingin.

"Aku murid dari orang yang menyelamatkan Sura murid Raksa saat hampir mati di Surabaya... Guruku adalah adik seperguruan Raksa!" teriak penyusup dengan amarah dan kebencian yang menumpuk.

"Itu menjelaskan aura gelap yang kurasakan darimu," ujar Arka sembari melangkah maju. "Tapi kau datang terlambat. Raksa sudah dikalahkan. Dan pengkhianatan tak akan pernah menang."

Tiba-tiba penyusup berteriak sambil menghantamkan kedua tangannya ke tanah
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 178 Bayangan di Selatan

    Langit Makassar terlihat cerah ketika pesawat pribadi Wijaya Corporation mendarat di landasan privat Bandara Sultan Hasanuddin. Arka melangkah turun lebih dulu, diikuti Raka dan Genta. Di balik sinar matahari yang menyambut mereka, tersimpan aura ancaman yang masih menggantung sejak telepon misterius diterima Arka malam sebelumnya. "Kau yakin kita harus tetap lanjut?" tanya Genta sambil mengenakan kacamata hitamnya. "Ancaman adalah bagian dari setiap langkah besar," jawab Arka tenang. "Dan langkah kita kali ini akan mengubah peta energi dan sosial di wilayah timur." Raka menambahkan, "Aku sudah menjadwalkan pertemuan dengan tiga tokoh bisnis lokal sore ini. Mereka adalah orang-orang kepercayaan lama Wijaya Corporation yang pernah ikut proyek di era awal kakek." "Aku ingin mendengar sendiri bagaimana kekuatan tersembunyi di Makassar bergerak," kata Arka sambil membuka file digital di tabletnya. Pertemuan perta

    Last Updated : 2025-04-10
  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 179 Darah di Atas Batu

    Langit Makassar masih kelam ketika Arka berdiri di pelataran vila yang dikepung. Asap tipis dari ledakan kecil masih membumbung, sementara suara benturan senjata dan teriakan pendek bergema dari arah barat. "Raka, koordinasikan pergerakan di sisi kanan. Genta, amankan jalur mundur. Aku akan menghadapi pemimpinnya," ujar Arka, matanya menatap tajam ke arah sosok berjubah hitam yang berdiri di atas gerbang batu. "Siap, Arka. Mereka menggunakan pola serangan dari Bayangan Utara," kata Raka sambil melompat ke arah kanan bangunan. "Aku sudah pasang ranjau getar di jalur belakang. Kalau mereka mundur, mereka akan kaget," ucap Genta sambil menarik pedangnya. Sosok berjubah itu turun perlahan. Gerakannya seperti bayangan, tenang namun mematikan. "Aku Murai," katanya datar. "Murid dari adik Raksa, dan pewaris terakhir dari doktrin bayangan sejati." "Raksa sudah tumbang. Kau datang terlambat," jawab Arka

    Last Updated : 2025-04-10
  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 180 Penjaga dari Dalam Bumi

    Kabut tebal mengurung Arka, Raka, dan Genta ketika tanah di bawah mereka retak lebih lebar. Asap hitam menyebar, menggulung seperti naga purba yang terbangun dari tidur panjang. “Arka… kau akhirnya datang… Pewaris darah langit dan tanah…” suara itu menggema, berat dan penuh gema dari dalam bumi. Arka berdiri tegak, meskipun tanah di bawahnya bergetar. “Siapa kau? Mengapa memanggil namaku?” tanya Arka dengan suara lantang. Dari dalam celah, muncul sosok tinggi besar, kulitnya seperti batu lahar, dan matanya menyala merah seperti bara api. Dia mengenakan jubah logam yang berdesir setiap kali dia bergerak. “Aku adalah Kawi, Penjaga Segel Bumi Timur. Aku telah menjaga kekuatan kuno selama tujuh generasi,” jawab makhluk itu. “Kekuatan apa yang kau maksud?” tanya Genta dengan gugup, tangannya menggenggam gagang pedang. “Kekuatan yang dahulu hampir menghancurkan nusantara… kekuatan yang

    Last Updated : 2025-04-10
  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 181 Bayangan di Langit Timur

    Langit Makassar belum sepenuhnya terang ketika Arka berdiri di puncak menara observasi milik keluarga Karaeng. Angin berhembus membawa aroma garam laut dan debu pegunungan yang kering. Di kejauhan, laut Sulawesi terlihat tenang. Tapi hati Arka tidak demikian. "Menurut laporan terakhir, sinyal energi aneh terdeteksi di atas Selat Makassar," ujar Raka sambil menatap layar tablet. "Itu bukan fenomena alam biasa." "Dan pola gelombangnya cocok dengan spike elektromagnetik yang pernah kita temui," tambah Genta dari sisi lain ruangan. "Tapi skala ini... jauh lebih besar." "Jauh lebih berbahaya," gumam Arka. Pintu ruang observasi terbuka. Seorang utusan dari keluarga Baso masuk, membawa gulungan laporan dari pusat deteksi mereka. "Kita tangkap pola orbit dari sebuah proyek yang disebut Eclipse. Ini bukan hanya alat pengacau, ini semacam senjata pemutus koordinasi regional." "Siapa yang memicunya?" tany

    Last Updated : 2025-04-10
  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 182 Gerbang di Langit

    Langit Makassar dipenuhi kabut elektromagnetik yang bergulung seperti awan badai. Di tengah kegelapan itu, bayangan raksasa menggantung tak bergerak. Bentuknya seperti stasiun, tapi tak ada sudut logis dalam konstruksinya. Setiap lekukannya menyerupai sisik, setiap sudutnya berdenyut pelan seperti jantung hidup. "Itu bukan stasiun biasa," bisik Arka dari atas bukit pengamatan. "Itu makhluk... atau entitas yang hidup." "Aku juga melihat denyutannya," ujar Genta dari pusat kendali. "Itu bergerak. Perlahan. Seperti makhluk yang baru terbangun dari tidur panjang." "Apa mungkin ini teknologi kuno yang dikatakan Arsip Kuno?" tanya Raka dengan suara pelan. "Lebih dari itu," jawab Arka. "Kita mungkin sedang melihat gabungan antara mesin dan makhluk hidup kuno." Suara bising dari udara mulai meningkat. Petir kecil bermunculan di sekitar tubuh raksasa itu. Beberapa menara komunikasi di kota meledak dalam sekejap.

    Last Updated : 2025-04-11
  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 183 Suara dari Dalam

    Tubuh Arka melayang perlahan dalam kehampaan putih yang berdenyut. Setiap detak terasa seperti gema dari masa lalu yang tak dikenal. Cahaya di sekelilingnya bukan sekadar cahaya—ia hidup, bernafas, mengamati. “...arka...” Sebuah bisikan menggema, datang dari segala arah. Bukan hanya suara, tapi perasaan. Seperti makhluk itu sedang menanamkan sesuatu ke dalam pikirannya. “Aku mendengarnya,” gumam Arka lirih. “Siapa kau…?” “Pewaris,” balas suara itu, kali ini lebih jelas. “Kau membawa darah dan ingatan. Kau diundang, bukan ditangkap.” “Diundang untuk apa?” tanya Arka, mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi tak ada otot yang menuruti. “Untuk mendengar. Untuk memilih,” jawab makhluk itu. “Kami pernah hidup di bawah tanahmu. Kami menciptakan, mengajar, menjaga. Tapi manusia melupakan kami.” “Dan sekarang kalian ingin kembali?” bisik Arka, matanya masih kabur. “Bukan kami y

    Last Updated : 2025-04-11
  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 184 Tujuh Bayang di Langit

    Di layar pusat kendali, gambar dari drone keluarga Baso terpatri jelas. Di atas atmosfer bumi, tujuh siluet raksasa melayang dalam formasi setengah lingkaran. Masing-masing berdenyut pelan, dengan warna berbeda di jantung energinya. "Ini... bukan hanya Eclipse," gumam Genta, matanya tak berkedip. "Ada enam lainnya," bisik Raka. "Dan mereka... seolah menunggu." Arka menatap layar itu dalam diam. Di dalam dadanya, gema suara dari makhluk sebelumnya masih bergetar. Seolah jalinan tak kasatmata menghubungkannya ke para entitas di langit. "Makhluk yang barusan kuhadapi," kata Arka pelan, "menyebut dirinya sebagai Gerbang. Tapi kini jelas, itu hanya satu dari tujuh." "Dan kalau mereka semua bangkit seperti Eclipse," ujar Raka, "dunia mungkin tidak siap." "Tidak," sahut Arka. "Tapi ini bukan tentang kesiapan kita. Ini tentang keputusan mereka." "Keputusan?" tanya Genta. "

    Last Updated : 2025-04-11
  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 185 Ruang Penguji

    Cahaya menyilaukan menelan tubuh Arka, Raka, dan Genta. Tidak ada rasa panas, tidak juga rasa tertarik seperti gravitasi. Rasanya seperti melayang dalam kesadaran murni, di antara detak waktu dan denyut gelombang pikiran. “Aku tidak bisa merasakan kakiku,” kata Genta. “Bukan karena tubuhmu hilang,” balas Arka. “Kita... sedang berada di antara ruang.” “Transisi menuju ruang penguji,” ujar Raka. “Kita sedang diurai dan dibaca.” Tiba-tiba, cahaya itu menyusut, dan mereka bertiga berdiri di dalam ruangan bundar. Dindingnya seperti cermin cair, namun tak memantulkan apa pun selain bentuk kabur. “Sistem ini dibentuk dari pikiran,” ucap Arka. “Apa pun yang kita bawa dalam hati... akan dibaca.” “Jadi ini bukan ujian biasa,” gumam Genta. “Tidak pernah ada yang biasa sejak Eclipse muncul,” tukas Raka. Tiba-tiba, cermin cair di dinding mulai menampilkan gambar. Pertama: kerus

    Last Updated : 2025-04-11

Latest chapter

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 223 Kembali ke Akar

    Langit Jakarta diguyur cahaya senja yang lembut saat helikopter hitam mendarat di atap gedung utama Wijaya Corporation. Bilah-bilah rotor melambat, meniupkan debu dan kenangan di udara. Dari dalam kabin, Arka turun lebih dulu, mengenakan jaket hitam bertuliskan WJ Core di lengannya. “Masih terasa aneh ya,” gumam Kiara di belakangnya. “Kita barusan keluar dari altar kehendak… dan sekarang berdiri di atap kantor pusat.” Genta menyeringai sambil menenteng tas data. “Aneh itu kalau kita tiba-tiba bangun di kebun belakang dengan piyama.” Raka menepuk bahunya. “Jangan beri semesta ide aneh, Gen.” Mereka berempat berdiri berjejer, menatap siluet kota yang perlahan berubah warna. Di bawah mereka, gedung-gedung menjulang seperti urat nadi dari ambisi yang pernah hampir dibajak oleh kehendak jahat. Arka menarik napas panjang. “Kita berhasil. Dunia masih berdiri.” “Dan kita masih satu,” Kiara menambahkan,

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 222 Jejak yang Tertinggal

    Altar kehendak bergema dengan getaran lembut, seolah menghela napas terakhir setelah ribuan tahun terbungkam. Dinding kubah yang retak menyala dengan pola cahaya yang bergerak pelan, membentuk simbol-simbol purba yang tak dikenali, tapi terasa akrab bagi Arka dan yang lain. “Tempat ini hidup,” bisik Genta, mengamati garis cahaya yang menjalar di sepanjang lantai. “Tapi bukan seperti teknologi. Ini… sesuatu yang lain.” Kiara menyentuh salah satu simbol, dan cahaya melesat cepat, menyusuri lengannya tanpa melukai. “Seolah-olah tempat ini mengenali kita.” Raka melangkah mendekati pusat altar, di mana sebuah pilar kristal muncul perlahan dari bawah tanah. Di dalamnya, pusaran kehendak berwarna emas berdenyut pelan seperti jantung. “Tunggu,” ucap Arka sambil menatap sekeliling. “Kalian dengar itu?” Detak. Lembut, tapi dalam. Seperti jantung raksasa yang berdetak dari dalam dunia itu sendiri. Kiara m

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 221 Inti dari Segalanya

    Kilatan pertama menyambar seperti tombak cahaya yang mengoyak udara. Arka dan yang lain menembus pusaran badai, tubuh mereka melayang bebas di antara fragmen waktu dan kehendak yang saling bertabrakan. Setiap helai udara terasa tajam, seolah menolak keberadaan mereka. Arka menggertakkan gigi, tubuhnya tertarik ke dalam spiral cahaya keperakan. “Tahan formasi! Jangan terpisah!” “Aku kehilangan gravitasi!” teriak Genta, tubuhnya terpental ke arah fragmentasi kota yang hancur di kejauhan. Kiara melompat, menyambar tangan Genta. “Aku dapat dia! Tapi ini… bukan ruang biasa. Waktunya loncat-loncat!” Raka berputar di udara, kakinya menjejak sebongkah memori masa depan yang padat, lalu meluncur ke arah Arka. “Kita harus sampai ke pusat! Di sanalah kehendak disimpul jadi satu!” Di tengah pusaran, sosok bertopeng perak berdiri kokoh, tubuhnya membesar menjadi kolosus setinggi gedung. Di dadanya, mata yang berputar kini

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 220 Lapisan Ketiga

    Arka mendarat di permukaan yang tak padat, seolah pijakan itu terbuat dari bayangan air. Setiap langkah meninggalkan riak yang memantulkan kenangan. Langit di atasnya merah kelam, bergemuruh seperti dada yang menahan napas terlalu lama. “Tempat ini… terasa seperti dalam mimpiku,” gumamnya, memandang sekitar. Kiara mendarat tak jauh darinya, tangannya terangkat, menjaga keseimbangan. “Tapi ini bukan mimpi. Ini ruang kehendak terdalam. Lapisan ketiga.” Dari balik kabut, siluet Raka muncul, tubuhnya bersimbah cahaya kehendak yang belum sepenuhnya stabil. “Aku lihat bayangan Ayah tadi… seperti nyata.” “Bukan bayangan,” sahut Genta yang menyusul, napasnya memburu. “Tempat ini menyerap ingatan paling kuat dalam diri kita. Dan memutarnya jadi senjata.” Angin bertiup pelan, namun membawa aroma darah dan logam. Lalu satu demi satu sosok muncul dari balik kabut—wajah-wajah yang seharusnya sudah mati. Ayah Raka. Saudara

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 219 Pusaran Kehendak

    Genta melompat ke panel darurat, jarinya menari di atas tombol manual. Sinyal listrik masih lumpuh, tapi ia berhasil mengaktifkan suplai cadangan untuk server utama. Layar menyala kembali dalam kilatan biru redup, menampilkan grafik-grafik kacau dan sinyal spiral dari dasar laut. “Gelombangnya meningkat,” gumamnya. “Ini bukan hanya sinyal… ini panggilan.” Arka berjalan perlahan ke tengah ruangan, di mana wajah digital bertopeng perak masih menatap mereka dari layar. Cahaya dari monitor memantul di matanya yang membara, menciptakan siluet tajam di balik bahunya. “Kau siapa sebenarnya?” tanya Arka, suaranya pelan tapi tegas. “Pertanyaan yang salah, Arka Wijaya,” suara itu mengalun seperti gema di dalam tengkorak. “Pertanyaannya adalah: berapa lama lagi kehendak manusia bisa menolak evolusi yang sudah kutawarkan?” Kiara menatap layar dengan rahang mengeras. “Kau menyebut dirimu ide. Tapi ide tidak lahir sendiri.

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 218 Kehendak di Balik Layar

    Asap tipis mengepul dari sudut-sudut ruangan. Cahaya darurat berpendar merah, melemparkan bayangan bergerigi di wajah-wajah tegang. Di tengahnya, wajah bertopeng perak masih terpampang di layar utama, menatap semua yang hadir tanpa berkedip. Suara itu terdengar lagi, serak tapi stabil. “Divisi Kehendak? Nama yang indah. Tapi sia-sia.” Raka maju dua langkah, belatinya bergetar oleh listrik statis dari medan proteksi yang belum sepenuhnya mati. “Kalau kau hanya bisa bicara dari balik layar, kau pengecut.” “Justru karena aku di balik layar, aku hidup lebih lama dari kalian semua,” jawab suara itu. “Aku bukan tubuh. Aku adalah algoritma keserakahan, rumus dominasi, strategi kolonialisme yang kalian warisi diam-diam.” Kiara menoleh ke Genta. “Apakah ini AI yang kita deteksi dari dasar laut?” Genta mengetik cepat, matanya tak lepas dari data baru yang masuk. “Tidak sepenuhnya. Ini semacam antarmuka. Tapi energinya…

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 217 Bayangan di Langit

    Bayangan hitam yang mengambang di atas cakrawala makin jelas. Bukan retakan dimensi, bukan pula makhluk seperti Zerah—melainkan armada. Puluhan—tidak, ratusan kapal udara taktis melayang membentuk formasi setengah lingkaran di langit senja. Baling-baling rotor mereka tak menimbulkan suara, hanya getaran halus yang merambat ke tanah, seperti denyut jantung dunia yang baru bangkit. “Ini bukan invasi, kan?” bisik Raka sambil meraih senjata di pinggang. Genta menatap hasil pemindaian di alatnya. “Bukan. Ini… pasukan militer. Tanda pengenal mereka sah. Tapi mereka dalam mode siaga tinggi.” Beberapa pesawat turun perlahan, melepaskan platform logam yang terhampar rapi di tanah. Dari sana, pasukan berseragam hitam-hijau turun, berbaris dalam diam. Seorang pria berambut putih dan berseragam panglima berdiri di tengah mereka, mengenakan lencana khusus bertuliskan SATGAS ARDHA GARDA NASIONAL. Arka maju beberapa langkah

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 216 – Kehendak yang Bangkit

    Cahaya biru menyelimuti medan pertempuran. Pilar-pilar energi yang sebelumnya mencabik langit kini membeku di udara, seolah diperintah oleh kehendak yang lebih tua dari waktu. Sosok asing yang muncul dari celah realitas itu melayang perlahan, jubah panjangnya berpendar lembut, dan matanya memancarkan cahaya keemasan yang menembus jiwa siapa pun yang menatapnya. Arka berdiri membeku di tengah pusaran penyegelan. Energi di sekeliling tubuhnya masih berkobar, tapi kini tertahan—seolah sebuah tangan tak kasatmata menggenggamnya. “Siapa… kau sebenarnya?” tanya Arka pelan. Sosok itu turun menyentuh tanah. “Aku adalah bagian dari darahmu. Dan engkau adalah bagian dari kehendakku yang tertinggal di dunia ini.” Raka terhuyung, menahan luka di lengannya, matanya terpaku pada simbol bercahaya di udara—tiga garis spiral yang saling berpotongan membentuk mata ketiga di tengah kehampaan. Kiara berbisik, “Simbol itu… mengik

  • Warisan Kuno: Kembalinya Sang Pewaris   Bab 215 Warisan di Ujung Darah

    Tanah terbelah. Awan menghitam. Dari tubuh Sakarat, sosok Zerah melayang perlahan—gerakannya anggun seperti kabut, tapi tekanan kehadirannya menekan dada semua orang. Di sekelilingnya, waktu bergetar. Suara-suara dari masa lalu bergema lirih, menciptakan irama aneh yang menyesakkan telinga. Kiara mundur beberapa langkah. “Itu… bukan makhluk biasa.” “Bukan,” desis Arka. “Dia bukan makhluk. Dia… adalah kehendak yang ditolak oleh alam semesta.” Zerah menatap ke arah mereka, topengnya berganti-ganti bentuk—wajah-wajah yang familiar muncul sekilas: wajah Raksa, wajah Nadira, bahkan wajah Reza. Setiap wajah muncul hanya untuk digantikan oleh kekosongan tanpa ekspresi. “Arka Wijaya,” suaranya terdengar seperti ribuan orang berbicara bersamaan. “Darahmu adalah kunci. Warisanmu adalah pengikat. Maka, akulah yang berhak menuntutnya.” Tubuh Arka bergetar saat aliran energi dari dalam dadanya berdenyut semakin kuat. Simb

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status