lArka berdiri di tengah jalan, matanya menatap ke kejauhan, ke arah kepulan asap yang membumbung dari kediaman keluarga Pranata. Dalam benaknya, satu pertanyaan besar muncul: apakah Klan Bayangan Hitam mengejarnya hingga ke Surabaya, ataukah mereka memang sudah lama bercokol di kota ini? Dia menghela napas dalam-dalam dan menoleh ke arah Fadli Pranata.
"Klan Bayangan Hitam bukan hanya musuh keluargamu, Fadli," kata Arka dengan nada rendah. "Mereka juga musuh bebuyutanku. Aku sudah beberapa kali menghadapi mereka, dan setiap ahli yang mereka kirimkan telah kukalahkan. Tapi Raksa... dia terlalu licik. Setiap kali aku hampir mengalahkannya, dia selalu berhasil melarikan diri." Fadli menatap Arka dengan penuh keterkejutan. "Kau mengenal Raksa?" Arka mengangguk. "Aku bahkan sudah bertarung dengannya. Dia tidak hanya ingin menghancurkan keluargamu, tetapi juga memiliki misi untuk melenyapkanku." Ledakan lain menggema dari kejauhaBab 156 Raksa berdiri dengan angkuh di hadapan keluarga Pranata, matanya menyapu seluruh hadirin dengan tatapan menghina. "Keluarga Pranata... betapa lemahnya kalian sekarang. Hanya bisa bersembunyi di balik tembok usang ini!" suaranya menggema di pelataran rumah keluarga Pranata. Fadli Pranata mengepalkan tangannya. "Raksa, kami tidak akan tunduk padamu! Kami akan melawan!" Raksa tertawa kecil. "Melawan? Dengan apa? Pengawalmu sudah kuhabisi. Keluargamu tak punya lagi petarung yang cukup kuat." Namun, sebelum Raksa bisa melanjutkan ucapannya, seorang pria muda melangkah ke depan dari kerumunan keluarga Pranata. Arka muncul dengan tenang, sorot matanya tajam menatap Raksa. "Jika kau mencari lawan, aku ada di sini." Mata Raksa membelalak. "Arka?! Kenapa kau ada di sini?" Arka tersenyum tipis. "Aku punya urusan di Surabaya. Tapi melihatmu di sini, aku rasa ini saat yang tepat untuk mengakhiri per
Kericuhan yang terjadi setelah kekalahan Raksa membuat suasana Surabaya sempat mencekam. Para murid klan Bayangan Hitam yang masih setia kepadanya melakukan pembakaran di beberapa titik strategis, menciptakan kekacauan di tengah kota. Asap hitam membumbung tinggi, meneror masyarakat yang tak tahu menahu soal konflik yang baru saja terjadi. Namun, para ahli beladiri keluarga Pranata dengan sigap turun tangan. Mereka bergerak cepat memadamkan api dan mengendalikan situasi. Polisi serta aparat setempat turut membantu, sehingga dalam beberapa jam keadaan mulai kembali kondusif. "Mereka tidak akan berhenti sampai semua dendamnya terbalaskan," gumam Arka sembari memperhatikan sisa-sisa kebakaran yang mulai padam. Fadli Pranata mendekatinya. "Setidaknya kita telah menumpas pemimpin mereka. Tanpa Raksa, mereka hanyalah sekumpulan orang yang kehilangan arah." Arka mengangguk, tetapi ia tetap waspada. "Jangan lengah. Mereka mungkin m
Malam di Surabaya terasa lebih dingin dari biasanya. Di sudut gelap sebuah gudang tua, Sura berdiri dengan tangan bersedekap. Di hadapannya, Darma duduk dengan tatapan tajam. "Kau yakin ini langkah yang tepat?" tanya Darma, suaranya berat. "Tidak ada pilihan lain," jawab Sura tegas. "Klan Bayangan Hitam harus tetap berkuasa di Surabaya. Kehadiran Arka mengancam semuanya." Darma menghela napas. "Aku ingin menjatuhkannya, tapi ini bukan hanya soal bisnis. Dia terlalu kuat." "Justru karena itu kita harus bersatu," potong Sura. "Kita tidak bisa membiarkannya menguasai kota ini. Jika dia dibiarkan, maka kita akan kehilangan segalanya." Di tempat lain, Arka sedang duduk di ruang rapat Wijaya Corporation cabang Surabaya. Bersamanya, Raka, Genta, dan Damar tengah mendiskusikan strategi bisnis. Sebelumnya Damar telah menerima tawaran Arka untuk bergabung kembali dengan Wijaya Corporation,
Arka berdiri dengan tenang di tengah ruangan yang dipenuhi tamu undangan. Mata tajamnya mengamati sekitar, memastikan tidak ada ancaman yang akan mengganggu jalannya peresmian kantor cabang Wijaya Corporation di Surabaya. Darma yang sebelumnya berusaha menantangnya sekali lagi, kini tergeletak dengan napas terengah-engah. Meski begitu, Arka menahan diri untuk tidak menghancurkan Darma sepenuhnya, mengingat tempat ini adalah gedung peresmian yang dipenuhi tamu penting. Darma dengan sisa tenaga yang ada, merangkak menjauh, sementara Sura yang sejak awal mengamati dari kejauhan segera menariknya keluar dari gedung. “Kita harus pergi sekarang. Ini bukan saat yang tepat,” bisik Sura dengan nada mendesak. Darma menggertakkan giginya, merasa harga dirinya hancur di hadapan banyak orang. Namun, ia tahu bahwa Sura benar. Dengan cepat mereka menghilang ke dalam bayangan, meninggalkan Arka dan yang lainnya melanjutkan acara peresmian. Tiga keluarga besar Surabaya,
Setelah serangan siber berhasil ditangani oleh Raka dan tim IT-nya, Arka tidak ingin berlama-lama dalam situasi defensif. Ia segera menginstruksikan timnya untuk mempercepat pelaksanaan proyek sosial. Baginya, kehadiran Wijaya Corporation di Surabaya tidak boleh hanya menguntungkan kalangan atas, tetapi juga harus memberikan dampak positif bagi masyarakat bawah. Dengan begitu, ia bisa membangun kepercayaan dan memperkuat posisinya di kota ini. Di sisi lain, Darma dan Sura tidak tinggal diam. Kegagalan mereka dalam serangan siber hanya membuat mereka semakin termotivasi untuk menghancurkan Arka. "Kita perlu ahli bela diri yang benar-benar bisa mengalahkan Arka," kata Sura dengan mata tajam. Darma mengangguk. "Aku sudah menghubungi seseorang dari negara tetangga. Dia adalah petarung bayaran yang tidak pernah gagal dalam misinya." Sura menyeringai. "Bagus. Kita tidak bisa lagi mengandalkan cara biasa. K
"Kau lihat ini, Genta?" tanya Arka sambil memandangi anak-anak kecil yang antusias mengikuti kelas komputer yang baru dibuka di salah satu pelosok Surabaya. "Luar biasa. Aku tak pernah menyangka dampaknya bisa secepat ini," jawab Genta, matanya berkaca-kaca melihat semangat mereka. "Raka dan Damar juga luar biasa. Mereka gerakkan semua lini. Bahkan program daur ulang plastik di wilayah timur kota sudah jalan minggu ini," ujar Arka bangga. "Dan jangan lupakan kolaborasi dengan UMKM lokal. Permintaan produk mereka meningkat karena platform e-commerce yang dibangun Damar. Ini perubahan nyata," tambah Genta. Sore itu, Arka, Genta, Raka, dan Damar berkumpul di kantor cabang Wijaya Corporation. Keberhasilan proyek sosial mereka mendapatkan dukungan penuh dari tiga keluarga besar dan banyak pengusaha lokal. Namun di sisi lain kota, Darma menghentakkan meja dengan marah. "Cukup! Aku tidak tahan lagi me
“Hati-hati, Arka! Dia mulai serius!” teriak Raka dari kejauhan, matanya penuh kecemasan. “Tenang,” ujar Genta pelan, tangannya menahan bahu Raka. “Arka belum mengeluarkan semuanya.” Sementara itu, di tengah halaman luas vila, dua sosok bertarung hebat di bawah cahaya bulan. Rocky, petarung bayaran dari negeri tetangga, menggertakkan giginya sambil menghantam dengan kecepatan luar biasa. “Kau tangguh, Arka! Tapi aku lebih dari sekadar bayaran!” Arka memiringkan tubuh, menghindari tendangan mematikan dan balas menangkis pukulan Rocky. “Kau cepat… tapi tidak cukup cepat.” Dengan satu hentakan, tanah di sekitar mereka retak. Rocky melompat mundur, lalu menatap Arka dengan mata tajam. “Bagaimana dengan ini? Jurus ‘Mata Iblis Gunung’!” Gerakan Rocky berubah, semakin liar dan penuh tekanan. Sebuah pukulan telak mendarat di dada Arka, membuatnya mundur dua langka
"Siapa dia?" Raka menatap langit malam yang mulai surut, matanya belum lepas dari siluet pria misterius yang melompat menyelamatkan Sura. "Ahli itu… dari mana dia datang?" Genta mengerutkan kening. "Bukan orang biasa. Energinya stabil dan sangat halus. Dia tidak sekadar penonton." Arka menatap arah hilangnya cahaya putih tadi. “Gerakannya bersih. Teknik pengendalian energi cahaya selevel dengan pendekar kuno dari dataran tinggi Asia Tengah.” "Jadi... ini belum selesai?" tanya Damar, matanya masih menyapu halaman vila yang porak-poranda. "Belum," jawab Arka singkat. Nafasnya masih berat usai mengalahkan Rocky, pembunuh bayaran dari luar negeri yang bahkan disebut sekuat peringkat dua dunia. Sementara itu, tubuh Rocky tergeletak tak bergerak. Darah masih mengalir dari mulutnya. "Dia tidak akan mati... tapi tidak akan kembali bertarung dalam waktu dekat," gumam Arka. "Dan Darma?" Raka menatap tubu
Langit Jakarta diguyur cahaya senja yang lembut saat helikopter hitam mendarat di atap gedung utama Wijaya Corporation. Bilah-bilah rotor melambat, meniupkan debu dan kenangan di udara. Dari dalam kabin, Arka turun lebih dulu, mengenakan jaket hitam bertuliskan WJ Core di lengannya. “Masih terasa aneh ya,” gumam Kiara di belakangnya. “Kita barusan keluar dari altar kehendak… dan sekarang berdiri di atap kantor pusat.” Genta menyeringai sambil menenteng tas data. “Aneh itu kalau kita tiba-tiba bangun di kebun belakang dengan piyama.” Raka menepuk bahunya. “Jangan beri semesta ide aneh, Gen.” Mereka berempat berdiri berjejer, menatap siluet kota yang perlahan berubah warna. Di bawah mereka, gedung-gedung menjulang seperti urat nadi dari ambisi yang pernah hampir dibajak oleh kehendak jahat. Arka menarik napas panjang. “Kita berhasil. Dunia masih berdiri.” “Dan kita masih satu,” Kiara menambahkan,
Altar kehendak bergema dengan getaran lembut, seolah menghela napas terakhir setelah ribuan tahun terbungkam. Dinding kubah yang retak menyala dengan pola cahaya yang bergerak pelan, membentuk simbol-simbol purba yang tak dikenali, tapi terasa akrab bagi Arka dan yang lain. “Tempat ini hidup,” bisik Genta, mengamati garis cahaya yang menjalar di sepanjang lantai. “Tapi bukan seperti teknologi. Ini… sesuatu yang lain.” Kiara menyentuh salah satu simbol, dan cahaya melesat cepat, menyusuri lengannya tanpa melukai. “Seolah-olah tempat ini mengenali kita.” Raka melangkah mendekati pusat altar, di mana sebuah pilar kristal muncul perlahan dari bawah tanah. Di dalamnya, pusaran kehendak berwarna emas berdenyut pelan seperti jantung. “Tunggu,” ucap Arka sambil menatap sekeliling. “Kalian dengar itu?” Detak. Lembut, tapi dalam. Seperti jantung raksasa yang berdetak dari dalam dunia itu sendiri. Kiara m
Kilatan pertama menyambar seperti tombak cahaya yang mengoyak udara. Arka dan yang lain menembus pusaran badai, tubuh mereka melayang bebas di antara fragmen waktu dan kehendak yang saling bertabrakan. Setiap helai udara terasa tajam, seolah menolak keberadaan mereka. Arka menggertakkan gigi, tubuhnya tertarik ke dalam spiral cahaya keperakan. “Tahan formasi! Jangan terpisah!” “Aku kehilangan gravitasi!” teriak Genta, tubuhnya terpental ke arah fragmentasi kota yang hancur di kejauhan. Kiara melompat, menyambar tangan Genta. “Aku dapat dia! Tapi ini… bukan ruang biasa. Waktunya loncat-loncat!” Raka berputar di udara, kakinya menjejak sebongkah memori masa depan yang padat, lalu meluncur ke arah Arka. “Kita harus sampai ke pusat! Di sanalah kehendak disimpul jadi satu!” Di tengah pusaran, sosok bertopeng perak berdiri kokoh, tubuhnya membesar menjadi kolosus setinggi gedung. Di dadanya, mata yang berputar kini
Arka mendarat di permukaan yang tak padat, seolah pijakan itu terbuat dari bayangan air. Setiap langkah meninggalkan riak yang memantulkan kenangan. Langit di atasnya merah kelam, bergemuruh seperti dada yang menahan napas terlalu lama. “Tempat ini… terasa seperti dalam mimpiku,” gumamnya, memandang sekitar. Kiara mendarat tak jauh darinya, tangannya terangkat, menjaga keseimbangan. “Tapi ini bukan mimpi. Ini ruang kehendak terdalam. Lapisan ketiga.” Dari balik kabut, siluet Raka muncul, tubuhnya bersimbah cahaya kehendak yang belum sepenuhnya stabil. “Aku lihat bayangan Ayah tadi… seperti nyata.” “Bukan bayangan,” sahut Genta yang menyusul, napasnya memburu. “Tempat ini menyerap ingatan paling kuat dalam diri kita. Dan memutarnya jadi senjata.” Angin bertiup pelan, namun membawa aroma darah dan logam. Lalu satu demi satu sosok muncul dari balik kabut—wajah-wajah yang seharusnya sudah mati. Ayah Raka. Saudara
Genta melompat ke panel darurat, jarinya menari di atas tombol manual. Sinyal listrik masih lumpuh, tapi ia berhasil mengaktifkan suplai cadangan untuk server utama. Layar menyala kembali dalam kilatan biru redup, menampilkan grafik-grafik kacau dan sinyal spiral dari dasar laut. “Gelombangnya meningkat,” gumamnya. “Ini bukan hanya sinyal… ini panggilan.” Arka berjalan perlahan ke tengah ruangan, di mana wajah digital bertopeng perak masih menatap mereka dari layar. Cahaya dari monitor memantul di matanya yang membara, menciptakan siluet tajam di balik bahunya. “Kau siapa sebenarnya?” tanya Arka, suaranya pelan tapi tegas. “Pertanyaan yang salah, Arka Wijaya,” suara itu mengalun seperti gema di dalam tengkorak. “Pertanyaannya adalah: berapa lama lagi kehendak manusia bisa menolak evolusi yang sudah kutawarkan?” Kiara menatap layar dengan rahang mengeras. “Kau menyebut dirimu ide. Tapi ide tidak lahir sendiri.
Asap tipis mengepul dari sudut-sudut ruangan. Cahaya darurat berpendar merah, melemparkan bayangan bergerigi di wajah-wajah tegang. Di tengahnya, wajah bertopeng perak masih terpampang di layar utama, menatap semua yang hadir tanpa berkedip. Suara itu terdengar lagi, serak tapi stabil. “Divisi Kehendak? Nama yang indah. Tapi sia-sia.” Raka maju dua langkah, belatinya bergetar oleh listrik statis dari medan proteksi yang belum sepenuhnya mati. “Kalau kau hanya bisa bicara dari balik layar, kau pengecut.” “Justru karena aku di balik layar, aku hidup lebih lama dari kalian semua,” jawab suara itu. “Aku bukan tubuh. Aku adalah algoritma keserakahan, rumus dominasi, strategi kolonialisme yang kalian warisi diam-diam.” Kiara menoleh ke Genta. “Apakah ini AI yang kita deteksi dari dasar laut?” Genta mengetik cepat, matanya tak lepas dari data baru yang masuk. “Tidak sepenuhnya. Ini semacam antarmuka. Tapi energinya…
Bayangan hitam yang mengambang di atas cakrawala makin jelas. Bukan retakan dimensi, bukan pula makhluk seperti Zerah—melainkan armada. Puluhan—tidak, ratusan kapal udara taktis melayang membentuk formasi setengah lingkaran di langit senja. Baling-baling rotor mereka tak menimbulkan suara, hanya getaran halus yang merambat ke tanah, seperti denyut jantung dunia yang baru bangkit. “Ini bukan invasi, kan?” bisik Raka sambil meraih senjata di pinggang. Genta menatap hasil pemindaian di alatnya. “Bukan. Ini… pasukan militer. Tanda pengenal mereka sah. Tapi mereka dalam mode siaga tinggi.” Beberapa pesawat turun perlahan, melepaskan platform logam yang terhampar rapi di tanah. Dari sana, pasukan berseragam hitam-hijau turun, berbaris dalam diam. Seorang pria berambut putih dan berseragam panglima berdiri di tengah mereka, mengenakan lencana khusus bertuliskan SATGAS ARDHA GARDA NASIONAL. Arka maju beberapa langkah
Cahaya biru menyelimuti medan pertempuran. Pilar-pilar energi yang sebelumnya mencabik langit kini membeku di udara, seolah diperintah oleh kehendak yang lebih tua dari waktu. Sosok asing yang muncul dari celah realitas itu melayang perlahan, jubah panjangnya berpendar lembut, dan matanya memancarkan cahaya keemasan yang menembus jiwa siapa pun yang menatapnya. Arka berdiri membeku di tengah pusaran penyegelan. Energi di sekeliling tubuhnya masih berkobar, tapi kini tertahan—seolah sebuah tangan tak kasatmata menggenggamnya. “Siapa… kau sebenarnya?” tanya Arka pelan. Sosok itu turun menyentuh tanah. “Aku adalah bagian dari darahmu. Dan engkau adalah bagian dari kehendakku yang tertinggal di dunia ini.” Raka terhuyung, menahan luka di lengannya, matanya terpaku pada simbol bercahaya di udara—tiga garis spiral yang saling berpotongan membentuk mata ketiga di tengah kehampaan. Kiara berbisik, “Simbol itu… mengik
Tanah terbelah. Awan menghitam. Dari tubuh Sakarat, sosok Zerah melayang perlahan—gerakannya anggun seperti kabut, tapi tekanan kehadirannya menekan dada semua orang. Di sekelilingnya, waktu bergetar. Suara-suara dari masa lalu bergema lirih, menciptakan irama aneh yang menyesakkan telinga. Kiara mundur beberapa langkah. “Itu… bukan makhluk biasa.” “Bukan,” desis Arka. “Dia bukan makhluk. Dia… adalah kehendak yang ditolak oleh alam semesta.” Zerah menatap ke arah mereka, topengnya berganti-ganti bentuk—wajah-wajah yang familiar muncul sekilas: wajah Raksa, wajah Nadira, bahkan wajah Reza. Setiap wajah muncul hanya untuk digantikan oleh kekosongan tanpa ekspresi. “Arka Wijaya,” suaranya terdengar seperti ribuan orang berbicara bersamaan. “Darahmu adalah kunci. Warisanmu adalah pengikat. Maka, akulah yang berhak menuntutnya.” Tubuh Arka bergetar saat aliran energi dari dalam dadanya berdenyut semakin kuat. Simb