"Siapa dia?" Raka menatap langit malam yang mulai surut, matanya belum lepas dari siluet pria misterius yang melompat menyelamatkan Sura. "Ahli itu… dari mana dia datang?"
Genta mengerutkan kening. "Bukan orang biasa. Energinya stabil dan sangat halus. Dia tidak sekadar penonton." Arka menatap arah hilangnya cahaya putih tadi. “Gerakannya bersih. Teknik pengendalian energi cahaya selevel dengan pendekar kuno dari dataran tinggi Asia Tengah.” "Jadi... ini belum selesai?" tanya Damar, matanya masih menyapu halaman vila yang porak-poranda. "Belum," jawab Arka singkat. Nafasnya masih berat usai mengalahkan Rocky, pembunuh bayaran dari luar negeri yang bahkan disebut sekuat peringkat dua dunia. Sementara itu, tubuh Rocky tergeletak tak bergerak. Darah masih mengalir dari mulutnya. "Dia tidak akan mati... tapi tidak akan kembali bertarung dalam waktu dekat," gumam Arka. "Dan Darma?" Raka menatap tubuLangit malam Surabaya tampak tenang, tapi di halaman belakang vila tua itu, badai kekuatan tengah mengamuk. Liang berdiri dengan sorot mata penuh kebencian. “Kau... Arka. Pewaris klan naga langit. Tapi bagiku, kau adalah pencuri,” desis Liang. Arka menatapnya dingin. “Pencuri? Kau salah paham.” Liang meraung dan melompat. “Hentikan omong kosongmu!” Tinjunya melesat, penuh energi mematikan. Arka menghindar tipis dan membalas dengan serangan balik yang cepat. Dentuman jurus-jurus tingkat tinggi menghantam udara, menciptakan gelombang yang mengguncang tanah. “Dia cepat... tapi tidak secepat dendamku,” geram Liang, melancarkan jurus rahasia klannya. Cahaya kehijauan memancar dari tubuhnya, menciptakan bayangan naga di sekelilingnya. Genta yang menyaksikan dari kejauhan berkata dengan suara rendah, “Ini pertarungan di level lain…” Raka menelan
Arka berdiri di balkon lantai tertinggi kantor cabang Surabaya, memandangi langit senja yang mulai meredup. Suara langkah kaki Damar mendekat dari belakang. “Aku sudah siapkan seluruh struktur organisasi cabang ini. Sistem keuangan, SDM, dan semua divisi sudah aku rapikan,” ujar Damar mantap. Arka mengangguk pelan. “Mulai hari ini, kau kepala cabang Surabaya. Kawal setiap proyek sosial dan energi terbarukan dengan integritas. Keluarga besar sudah mendukung, jangan buat mereka ragu lagi.” “Siap!” Damar mengepalkan tangan. “Aku tak akan mengecewakanmu.” Beberapa hari berikutnya, geliat perusahaan mulai terasa stabil. Investasi dari pengusaha elit Surabaya terus mengalir. Dukungan dari para tokoh penting kota semakin memperkuat posisi Wijaya Corporation di wilayah surabaya.. Arka, Raka, dan Genta kemudian kembali ke Jakarta. Namun ketenangan itu tak bertahan lama
Pagi hari di Jakarta dimulai dengan kabut tipis yang menyelimuti langit. Di dalam ruang rapat utama Wijaya Corporation, Arka berdiri tegak memandangi layar besar berisi data serangan siber yang baru saja dipetakan Kiara. “Ini bukan serangan biasa. Mereka tahu titik lemah sistem, dan ini hanya awal,” kata Kiara sambil mengetik cepat di laptopnya. Arka mengangguk pelan. “Berapa lama kita bisa bertahan dengan firewall saat ini?” “Empat jam, paling lama. Tapi aku sedang mengaktifkan protokol lapis tiga. Kita butuh tim IT cadangan.” “Panggil semua yang pernah bekerja dalam misi darurat. Termasuk yang dari proyek militer,” perintah Arka tegas. Di sudut ruangan, Raka memperhatikan pola-pola enkripsi asing yang muncul. “Ini gaya Tokyo. Mereka pernah memakai algoritma ini saat kita menangkap agen mereka di perbatasan.” “Berarti mereka ingin me
Kilatan cahaya malam menyinari wajah Arka yang tegap berdiri di tengah lokasi pertarungan yang telah dipersiapkan. Asap tipis mengepul dari reruntuhan bangunan tua yang dijadikan arena, jauh dari permukiman warga. "Aku bisa mencium niat kalian dari kejauhan," kata Arka dengan mata tajam menatap dua sosok berpakaian gelap di hadapannya. Salah satu dari mereka melangkah maju. "Kau tak berubah sejak terakhir kali kita bertemu, Arka." "Dan kau justru berubah terlalu banyak, sampai lupa caramu kalah," jawab Arka dengan tenang. Sementara itu, dari balik bangunan rusak, Genta mengamati pergerakan mereka sambil memberi isyarat kepada tim militer yang bertugas. Mereka memastikan perimeter tetap steril. "Sinyal semua bersih, tidak ada penyusup lain," bisik salah satu anggota tim ke Genta. Genta mengangguk. "Biarkan mereka bertarung. Tapi tetap siaga. Kalau Arka memberi isyarat, kita masuk."
Malam itu, di ruang rapat Wijaya Corporation, Arka duduk dengan ekspresi serius. Raka, Genta, Kiara, dan beberapa anggota tim inti berkumpul, menunggu penjelasan lebih lanjut. Ia membuka pembicaraan mengenai serangkaian transaksi mencurigakan yang baru terdeteksi. Raka membuka laptop dan menampilkan grafik serta data transfer dana yang mencurigakan. Ia menjelaskan bahwa selama dua minggu terakhir, sejumlah besar uang telah dikirim ke rekening asing tanpa persetujuan resmi dari manajemen pusat. Genta tampak terkejut dan bertanya siapa saja yang memiliki akses untuk melakukan transaksi semacam itu. Raka menjawab bahwa akses berasal dari level manajemen atas, namun identitas pelakunya masih belum dapat dipastikan karena pelaku menggunakan metode penyamaran yang canggih. Kiara menyela dan menambahkan bahwa tim IT sedang melacak jejak digital, tetapi pelaku cukup lihai menyembunyikan langkah-langkahnya. Arka lalu menyimpulkan bahwa ada kemungk
Angin malam berdesir tajam saat Arka berdiri di balkon lantai tertinggi kantor pusat Wijaya Corporation. Sorot lampu kota Jakarta berkilauan di kejauhan, seakan menyimpan rahasia dalam setiap sudut gelapnya. “Ada yang janggal dengan sistem jaringan sejak pukul dua pagi,” ucap Taka sambil menyerahkan tablet ke Arka. Taka adalah kepala tim IT Wijaya Corporation yang dipercayakan oleh Arka dan Raka untuk memimpin tim tersebut. “Serangan lagi?” tanya Arka tanpa memalingkan pandangan dari kota. “Bukan serangan biasa. Ini seperti ada tangan dalam yang membuka jalan buat mereka dari luar,” jawab Taka tegas. Kiara melangkah masuk ke ruangan dengan wajah tegang. “Aku sudah memetakan jejak digitalnya. Tapi pola enkripsinya asing. Seperti... bukan buatan manusia.” “AI?” Arka menoleh cepat. “Lebih buruk. Kombinasi antara AI dan teknologi militer mutakhir. Mereka tidak hanya ingin meretas, m
Langit Jakarta mulai diselimuti mendung ketika Arka menatap layar besar di ruang kendali keamanan digital Wijaya Corporation. Suara tombol-tombol ditekan cepat, monitor berganti-ganti menampilkan data. "Kiara, bagaimana status jaringan cadangan kita?" tanya Arka, matanya tajam menelusuri statistik lalu lintas data. "Masih stabil, Arka. Tapi ada sinyal ganjil dari wilayah utara, tepatnya dari server bayangan yang pernah kita bongkar tahun lalu," jawab Kiara cepat. Raka mendekat, membawa tablet dengan grafik aneh. "Aku juga menangkap spike elektromagnetik yang tidak biasa. Sepertinya ada teknologi baru yang sedang diuji dari luar negeri." "Tapi kenapa dari arah utara?" gumam Genta, bersandar di meja. "Bukankah server Tokyo mereka terpantau dari tim siber militer?" "Justru itu, mereka sedang mengalihkan serangan," ujar Arka. "Kita dijadikan umpan. Pusatnya bukan lagi Tokyo. Ada kekuatan lain yang sedang menggera
Kabut tebal turun menyelimuti area sekitar bunker, seolah menambah tekanan dari aura Kazuo yang kini berdiri tak jauh dari Arka. Udara menjadi berat, sepi, dan mencekam. Bahkan pepohonan di sekitar tempat itu tampak seperti menunduk dalam ketakutan. Arka menatap sosok pria bermata merah yang berdiri dengan tenang, namun dalam diamnya menyimpan ancaman besar. Kazuo bukan sekadar ahli bela diri. Ia adalah eksperimen hidup dari program gabungan kekuatan bela diri dan teknologi neural Jepang—proyek gelap yang bahkan oleh pemerintah mereka sendiri pernah dibubarkan karena dianggap terlalu berbahaya. Kazuo tersenyum tipis. “Kau terlihat lebih kuat dari terakhir kali kita bertemu, Arka.” “Kau juga masih suka membuat entrance dramatis rupanya,” balas Arka datar. “Dulu kau pengusaha yang minati bantuan oleh negara. Tapi sekarang... lihat dirimu. Patriot yang jadi batu sandungan dunia.” “Dan kau masih pengecut yang ber
Langit Jakarta diguyur cahaya senja yang lembut saat helikopter hitam mendarat di atap gedung utama Wijaya Corporation. Bilah-bilah rotor melambat, meniupkan debu dan kenangan di udara. Dari dalam kabin, Arka turun lebih dulu, mengenakan jaket hitam bertuliskan WJ Core di lengannya. “Masih terasa aneh ya,” gumam Kiara di belakangnya. “Kita barusan keluar dari altar kehendak… dan sekarang berdiri di atap kantor pusat.” Genta menyeringai sambil menenteng tas data. “Aneh itu kalau kita tiba-tiba bangun di kebun belakang dengan piyama.” Raka menepuk bahunya. “Jangan beri semesta ide aneh, Gen.” Mereka berempat berdiri berjejer, menatap siluet kota yang perlahan berubah warna. Di bawah mereka, gedung-gedung menjulang seperti urat nadi dari ambisi yang pernah hampir dibajak oleh kehendak jahat. Arka menarik napas panjang. “Kita berhasil. Dunia masih berdiri.” “Dan kita masih satu,” Kiara menambahkan,
Altar kehendak bergema dengan getaran lembut, seolah menghela napas terakhir setelah ribuan tahun terbungkam. Dinding kubah yang retak menyala dengan pola cahaya yang bergerak pelan, membentuk simbol-simbol purba yang tak dikenali, tapi terasa akrab bagi Arka dan yang lain. “Tempat ini hidup,” bisik Genta, mengamati garis cahaya yang menjalar di sepanjang lantai. “Tapi bukan seperti teknologi. Ini… sesuatu yang lain.” Kiara menyentuh salah satu simbol, dan cahaya melesat cepat, menyusuri lengannya tanpa melukai. “Seolah-olah tempat ini mengenali kita.” Raka melangkah mendekati pusat altar, di mana sebuah pilar kristal muncul perlahan dari bawah tanah. Di dalamnya, pusaran kehendak berwarna emas berdenyut pelan seperti jantung. “Tunggu,” ucap Arka sambil menatap sekeliling. “Kalian dengar itu?” Detak. Lembut, tapi dalam. Seperti jantung raksasa yang berdetak dari dalam dunia itu sendiri. Kiara m
Kilatan pertama menyambar seperti tombak cahaya yang mengoyak udara. Arka dan yang lain menembus pusaran badai, tubuh mereka melayang bebas di antara fragmen waktu dan kehendak yang saling bertabrakan. Setiap helai udara terasa tajam, seolah menolak keberadaan mereka. Arka menggertakkan gigi, tubuhnya tertarik ke dalam spiral cahaya keperakan. “Tahan formasi! Jangan terpisah!” “Aku kehilangan gravitasi!” teriak Genta, tubuhnya terpental ke arah fragmentasi kota yang hancur di kejauhan. Kiara melompat, menyambar tangan Genta. “Aku dapat dia! Tapi ini… bukan ruang biasa. Waktunya loncat-loncat!” Raka berputar di udara, kakinya menjejak sebongkah memori masa depan yang padat, lalu meluncur ke arah Arka. “Kita harus sampai ke pusat! Di sanalah kehendak disimpul jadi satu!” Di tengah pusaran, sosok bertopeng perak berdiri kokoh, tubuhnya membesar menjadi kolosus setinggi gedung. Di dadanya, mata yang berputar kini
Arka mendarat di permukaan yang tak padat, seolah pijakan itu terbuat dari bayangan air. Setiap langkah meninggalkan riak yang memantulkan kenangan. Langit di atasnya merah kelam, bergemuruh seperti dada yang menahan napas terlalu lama. “Tempat ini… terasa seperti dalam mimpiku,” gumamnya, memandang sekitar. Kiara mendarat tak jauh darinya, tangannya terangkat, menjaga keseimbangan. “Tapi ini bukan mimpi. Ini ruang kehendak terdalam. Lapisan ketiga.” Dari balik kabut, siluet Raka muncul, tubuhnya bersimbah cahaya kehendak yang belum sepenuhnya stabil. “Aku lihat bayangan Ayah tadi… seperti nyata.” “Bukan bayangan,” sahut Genta yang menyusul, napasnya memburu. “Tempat ini menyerap ingatan paling kuat dalam diri kita. Dan memutarnya jadi senjata.” Angin bertiup pelan, namun membawa aroma darah dan logam. Lalu satu demi satu sosok muncul dari balik kabut—wajah-wajah yang seharusnya sudah mati. Ayah Raka. Saudara
Genta melompat ke panel darurat, jarinya menari di atas tombol manual. Sinyal listrik masih lumpuh, tapi ia berhasil mengaktifkan suplai cadangan untuk server utama. Layar menyala kembali dalam kilatan biru redup, menampilkan grafik-grafik kacau dan sinyal spiral dari dasar laut. “Gelombangnya meningkat,” gumamnya. “Ini bukan hanya sinyal… ini panggilan.” Arka berjalan perlahan ke tengah ruangan, di mana wajah digital bertopeng perak masih menatap mereka dari layar. Cahaya dari monitor memantul di matanya yang membara, menciptakan siluet tajam di balik bahunya. “Kau siapa sebenarnya?” tanya Arka, suaranya pelan tapi tegas. “Pertanyaan yang salah, Arka Wijaya,” suara itu mengalun seperti gema di dalam tengkorak. “Pertanyaannya adalah: berapa lama lagi kehendak manusia bisa menolak evolusi yang sudah kutawarkan?” Kiara menatap layar dengan rahang mengeras. “Kau menyebut dirimu ide. Tapi ide tidak lahir sendiri.
Asap tipis mengepul dari sudut-sudut ruangan. Cahaya darurat berpendar merah, melemparkan bayangan bergerigi di wajah-wajah tegang. Di tengahnya, wajah bertopeng perak masih terpampang di layar utama, menatap semua yang hadir tanpa berkedip. Suara itu terdengar lagi, serak tapi stabil. “Divisi Kehendak? Nama yang indah. Tapi sia-sia.” Raka maju dua langkah, belatinya bergetar oleh listrik statis dari medan proteksi yang belum sepenuhnya mati. “Kalau kau hanya bisa bicara dari balik layar, kau pengecut.” “Justru karena aku di balik layar, aku hidup lebih lama dari kalian semua,” jawab suara itu. “Aku bukan tubuh. Aku adalah algoritma keserakahan, rumus dominasi, strategi kolonialisme yang kalian warisi diam-diam.” Kiara menoleh ke Genta. “Apakah ini AI yang kita deteksi dari dasar laut?” Genta mengetik cepat, matanya tak lepas dari data baru yang masuk. “Tidak sepenuhnya. Ini semacam antarmuka. Tapi energinya…
Bayangan hitam yang mengambang di atas cakrawala makin jelas. Bukan retakan dimensi, bukan pula makhluk seperti Zerah—melainkan armada. Puluhan—tidak, ratusan kapal udara taktis melayang membentuk formasi setengah lingkaran di langit senja. Baling-baling rotor mereka tak menimbulkan suara, hanya getaran halus yang merambat ke tanah, seperti denyut jantung dunia yang baru bangkit. “Ini bukan invasi, kan?” bisik Raka sambil meraih senjata di pinggang. Genta menatap hasil pemindaian di alatnya. “Bukan. Ini… pasukan militer. Tanda pengenal mereka sah. Tapi mereka dalam mode siaga tinggi.” Beberapa pesawat turun perlahan, melepaskan platform logam yang terhampar rapi di tanah. Dari sana, pasukan berseragam hitam-hijau turun, berbaris dalam diam. Seorang pria berambut putih dan berseragam panglima berdiri di tengah mereka, mengenakan lencana khusus bertuliskan SATGAS ARDHA GARDA NASIONAL. Arka maju beberapa langkah
Cahaya biru menyelimuti medan pertempuran. Pilar-pilar energi yang sebelumnya mencabik langit kini membeku di udara, seolah diperintah oleh kehendak yang lebih tua dari waktu. Sosok asing yang muncul dari celah realitas itu melayang perlahan, jubah panjangnya berpendar lembut, dan matanya memancarkan cahaya keemasan yang menembus jiwa siapa pun yang menatapnya. Arka berdiri membeku di tengah pusaran penyegelan. Energi di sekeliling tubuhnya masih berkobar, tapi kini tertahan—seolah sebuah tangan tak kasatmata menggenggamnya. “Siapa… kau sebenarnya?” tanya Arka pelan. Sosok itu turun menyentuh tanah. “Aku adalah bagian dari darahmu. Dan engkau adalah bagian dari kehendakku yang tertinggal di dunia ini.” Raka terhuyung, menahan luka di lengannya, matanya terpaku pada simbol bercahaya di udara—tiga garis spiral yang saling berpotongan membentuk mata ketiga di tengah kehampaan. Kiara berbisik, “Simbol itu… mengik
Tanah terbelah. Awan menghitam. Dari tubuh Sakarat, sosok Zerah melayang perlahan—gerakannya anggun seperti kabut, tapi tekanan kehadirannya menekan dada semua orang. Di sekelilingnya, waktu bergetar. Suara-suara dari masa lalu bergema lirih, menciptakan irama aneh yang menyesakkan telinga. Kiara mundur beberapa langkah. “Itu… bukan makhluk biasa.” “Bukan,” desis Arka. “Dia bukan makhluk. Dia… adalah kehendak yang ditolak oleh alam semesta.” Zerah menatap ke arah mereka, topengnya berganti-ganti bentuk—wajah-wajah yang familiar muncul sekilas: wajah Raksa, wajah Nadira, bahkan wajah Reza. Setiap wajah muncul hanya untuk digantikan oleh kekosongan tanpa ekspresi. “Arka Wijaya,” suaranya terdengar seperti ribuan orang berbicara bersamaan. “Darahmu adalah kunci. Warisanmu adalah pengikat. Maka, akulah yang berhak menuntutnya.” Tubuh Arka bergetar saat aliran energi dari dalam dadanya berdenyut semakin kuat. Simb