Setelah kekalahan keluarga besar Bogor dan sanksi dari pemerintah, suasana bisnis di kota itu berubah drastis. Para pengusaha yang sebelumnya merasa tertekan kini bisa menjalankan usaha mereka dengan lebih adil dan transparan.
Arka dan Raka menghabiskan beberapa minggu terakhir di Bogor untuk memastikan transisi bisnis berjalan dengan baik. Mereka menunjuk William sebagai kepala cabang Wijaya Corporation untuk wilayah Bandung dan Bogor. Di sebuah ruang pertemuan di kantor cabang Wijaya Corporation, William duduk bersama Arka dan Raka. "Saya tidak menyangka akan mendapatkan tanggung jawab sebesar ini," ucap William dengan nada serius. Arka tersenyum. "Kau adalah orang yang tepat untuk posisi ini. Aku butuh seseorang yang bisa menjaga stabilitas bisnis di kedua kota ini. Aku percaya padamu, William." Raka menambahkan, "Kami akan kembali ke Jakarta. Tapi jika ada masalah, jangan ragu untuk menghubungi kami."Di dalam ruang konferensi utama Wijaya Corporation, Arka, Raka, dan Genta duduk mengelilingi meja panjang. Di depan mereka terbentang peta Indonesia dengan beberapa titik kota yang telah ditandai sebagai target ekspansi. Arka menunjuk tiga kota utama: Surabaya, Medan, dan Makassar. "Sebelum kita berpikir ke luar negeri, kita harus memastikan dominasi kita di dalam negeri," kata Arka dengan nada serius. Genta mengangguk setuju. "Surabaya adalah pusat industri besar, Medan adalah pusat perdagangan di Sumatra, dan Makassar adalah gerbang timur. Dengan tiga kota ini, kita bisa menguasai jalur bisnis nasional." Raka menambahkan, "Tapi ekspansi besar-besaran seperti ini pasti akan menarik perhatian banyak pihak. Apakah kita sudah siap menghadapi kemungkinan perlawanan?" Arka tersenyum tipis. "Aku sudah memperhitungkan itu. Tapi kita tidak akan bergerak secara terang-terangan. Kita akan menyusup perlahan, membeli sa
Di ruang kontrol militer, layar-layar besar menampilkan rekaman CCTV dari bandara internasional Jakarta. Seorang pria berbadan kekar dengan wajah dingin melangkah dengan percaya diri melalui jalur kedatangan. "Dia tidak menyusup seperti sebelumnya," kata salah satu agen intelijen. "Dia datang secara terang-terangan." Panglima yang berdiri di tengah ruangan menyipitkan matanya. "Ini berarti mereka tidak lagi bersembunyi. Mereka ingin menunjukkan kekuatan mereka secara langsung." Arka yang duduk di kursi depan layar mengamati gerakan pria itu dengan tajam. "Dia tidak sendirian. Lihat di belakangnya, ada beberapa orang yang mengikuti. Ini bukan hanya satu orang, ini operasi penuh." Belum sempat mereka menganalisis lebih jauh, ledakan besar mengguncang pusat kota Jakarta. BOOM!!! Layar yang menampilkan pemandangan kota berubah menjadi kabut tebal dari asap hitam yang membubung ke langit.
Angin berembus kencang di pinggiran kota Jakarta, membawa debu dan pecahan batu yang beterbangan akibat pertarungan sengit antara Arka dan Sang Jagal. Kedua sosok itu berdiri tegak, saling menatap tajam dengan tubuh yang penuh luka, namun semangat bertarung mereka tidak meredup sedikit pun. Sang Jagal menyeringai, "Aku harus mengakui, kau lebih kuat dari yang kuduga, Arka." Arka mengusap sedikit darah di sudut bibirnya. "Dan kau lebih keras kepala dari yang kupikirkan. Tapi aku masih di sini, dan aku belum selesai." Tiba-tiba, aura merah menyala dari tubuh Sang Jagal, tubuhnya bergetar hebat, dan suara dentingan logam terdengar dari dalam tubuhnya. "Tingkatkan output energi ke level maksimum!" teriaknya. Teknologi di dalam tubuhnya merespons, mempercepat sirkulasi energi buatan yang ditanamkan ke dalam otot dan syarafnya. Dalam hitungan detik, kekuatan fisiknya meningkat drastis.
Arka berdiri di depan jendela ruang kerjanya yang menghadap ke kota Jakarta yang sibuk. Pikirannya menerawang jauh ke depan. Perusahaan Wijaya, yang dulu hanya sekadar impian, kini telah mengalahkan raksasa-raksasa bisnis lainnya. Ketenarannya tak terbendung. Namun, meski begitu, tak sedikit pula yang berusaha menutupi jejak kesuksesannya. Mereka yang merasa terancam mulai menyebar isu, mencoba menjatuhkan nama baiknya. Arka tahu ini baru permulaan. Untuk terus berkembang, dia harus bergerak cepat dan tepat. “Arka, kita harus mengambil langkah selanjutnya,” ujar Genta yang baru saja memasuki ruang kerjanya. Wajahnya serius. “Betul, Genta. Ekspansi ini adalah jalan kami untuk memastikan Wijaya tidak hanya dikenal di Jakarta, tetapi juga di seluruh Indonesia,” jawab Arka sambil menatap Genta. “Bagaimana dengan Surabaya?” tanya Genta. “Aku dengar ada potensi besar di sana. Bisa jadi tempat yang tepat untuk langkah selanjutnya setelah ekspans
Arka, Raka, dan Genta tiba di hotel mewah di jantung kota Surabaya. Mereka memilih tempat ini sebagai markas sementara selama ekspansi Wijaya Corporation di kota ini. Setelah check-in dan memastikan ruangan dalam kondisi aman, mereka segera berkumpul di ruang pertemuan yang telah disediakan khusus untuk diskusi strategi. "Kita harus memutuskan strategi yang tepat," kata Genta, membuka pembicaraan. Arka mengangguk sambil menatap peta besar Surabaya yang terbentang di meja. "Surabaya tidak bisa diperlakukan sama seperti Bandung atau Bogor. Karakter pengusaha dan masyarakatnya berbeda. Di sini, dominasi dunia bisnis sering kali berkaitan dengan kekuatan di luar sistem formal." Raka menyilangkan tangan. "Jadi, kita harus menyesuaikan pendekatan. Darma mungkin bisa jadi sekutu, tapi aku belum yakin dia bisa dipercaya sepenuhnya." "Aku juga merasa begitu," Arka menghela napas. "Darma memang tunduk setelah uji tanding tadi, tapi a
Surabaya bukan hanya kota bisnis, tetapi juga kota yang menyimpan rahasia mendalam. Tiga keluarga besar menguasai dunia usaha, namun di balik tirai, mereka didukung oleh klan bela diri kuno yang diwariskan turun-temurun. Klan ini bukan sekadar kelompok biasa, melainkan para ahli yang menguasai teknik bertarung langka yang telah ada sejak ratusan tahun lalu. Di antara tiga keluarga besar, keluarga Pranata memiliki posisi tertinggi karena menguasai jurus puncak dan pernah menjadi klan terkuat di masa lalu. Arka, Raka, dan Genta telah mengatur pertemuan dengan Fadli Pranata, pewaris utama keluarga tersebut. Pertemuan ini penting bagi kelangsungan ekspansi Wijaya Corporation di Surabaya. Namun, mereka tidak tahu bahwa bahaya mengintai di jalanan kota. Di sebuah jalanan sempit yang sedikit redup, Fadli Pranata sedang dalam perjalanan dengan iring-iringan pengawalnya. Namun, suasana mendadak berubah ketika sekelompok pria berbaju hitam dengan embl
lArka berdiri di tengah jalan, matanya menatap ke kejauhan, ke arah kepulan asap yang membumbung dari kediaman keluarga Pranata. Dalam benaknya, satu pertanyaan besar muncul: apakah Klan Bayangan Hitam mengejarnya hingga ke Surabaya, ataukah mereka memang sudah lama bercokol di kota ini? Dia menghela napas dalam-dalam dan menoleh ke arah Fadli Pranata. "Klan Bayangan Hitam bukan hanya musuh keluargamu, Fadli," kata Arka dengan nada rendah. "Mereka juga musuh bebuyutanku. Aku sudah beberapa kali menghadapi mereka, dan setiap ahli yang mereka kirimkan telah kukalahkan. Tapi Raksa... dia terlalu licik. Setiap kali aku hampir mengalahkannya, dia selalu berhasil melarikan diri." Fadli menatap Arka dengan penuh keterkejutan. "Kau mengenal Raksa?" Arka mengangguk. "Aku bahkan sudah bertarung dengannya. Dia tidak hanya ingin menghancurkan keluargamu, tetapi juga memiliki misi untuk melenyapkanku." Ledakan lain menggema dari kejauha
Bab 156 Raksa berdiri dengan angkuh di hadapan keluarga Pranata, matanya menyapu seluruh hadirin dengan tatapan menghina. "Keluarga Pranata... betapa lemahnya kalian sekarang. Hanya bisa bersembunyi di balik tembok usang ini!" suaranya menggema di pelataran rumah keluarga Pranata. Fadli Pranata mengepalkan tangannya. "Raksa, kami tidak akan tunduk padamu! Kami akan melawan!" Raksa tertawa kecil. "Melawan? Dengan apa? Pengawalmu sudah kuhabisi. Keluargamu tak punya lagi petarung yang cukup kuat." Namun, sebelum Raksa bisa melanjutkan ucapannya, seorang pria muda melangkah ke depan dari kerumunan keluarga Pranata. Arka muncul dengan tenang, sorot matanya tajam menatap Raksa. "Jika kau mencari lawan, aku ada di sini." Mata Raksa membelalak. "Arka?! Kenapa kau ada di sini?" Arka tersenyum tipis. "Aku punya urusan di Surabaya. Tapi melihatmu di sini, aku rasa ini saat yang tepat untuk mengakhiri per
Langit Jakarta diguyur cahaya senja yang lembut saat helikopter hitam mendarat di atap gedung utama Wijaya Corporation. Bilah-bilah rotor melambat, meniupkan debu dan kenangan di udara. Dari dalam kabin, Arka turun lebih dulu, mengenakan jaket hitam bertuliskan WJ Core di lengannya. “Masih terasa aneh ya,” gumam Kiara di belakangnya. “Kita barusan keluar dari altar kehendak… dan sekarang berdiri di atap kantor pusat.” Genta menyeringai sambil menenteng tas data. “Aneh itu kalau kita tiba-tiba bangun di kebun belakang dengan piyama.” Raka menepuk bahunya. “Jangan beri semesta ide aneh, Gen.” Mereka berempat berdiri berjejer, menatap siluet kota yang perlahan berubah warna. Di bawah mereka, gedung-gedung menjulang seperti urat nadi dari ambisi yang pernah hampir dibajak oleh kehendak jahat. Arka menarik napas panjang. “Kita berhasil. Dunia masih berdiri.” “Dan kita masih satu,” Kiara menambahkan,
Altar kehendak bergema dengan getaran lembut, seolah menghela napas terakhir setelah ribuan tahun terbungkam. Dinding kubah yang retak menyala dengan pola cahaya yang bergerak pelan, membentuk simbol-simbol purba yang tak dikenali, tapi terasa akrab bagi Arka dan yang lain. “Tempat ini hidup,” bisik Genta, mengamati garis cahaya yang menjalar di sepanjang lantai. “Tapi bukan seperti teknologi. Ini… sesuatu yang lain.” Kiara menyentuh salah satu simbol, dan cahaya melesat cepat, menyusuri lengannya tanpa melukai. “Seolah-olah tempat ini mengenali kita.” Raka melangkah mendekati pusat altar, di mana sebuah pilar kristal muncul perlahan dari bawah tanah. Di dalamnya, pusaran kehendak berwarna emas berdenyut pelan seperti jantung. “Tunggu,” ucap Arka sambil menatap sekeliling. “Kalian dengar itu?” Detak. Lembut, tapi dalam. Seperti jantung raksasa yang berdetak dari dalam dunia itu sendiri. Kiara m
Kilatan pertama menyambar seperti tombak cahaya yang mengoyak udara. Arka dan yang lain menembus pusaran badai, tubuh mereka melayang bebas di antara fragmen waktu dan kehendak yang saling bertabrakan. Setiap helai udara terasa tajam, seolah menolak keberadaan mereka. Arka menggertakkan gigi, tubuhnya tertarik ke dalam spiral cahaya keperakan. “Tahan formasi! Jangan terpisah!” “Aku kehilangan gravitasi!” teriak Genta, tubuhnya terpental ke arah fragmentasi kota yang hancur di kejauhan. Kiara melompat, menyambar tangan Genta. “Aku dapat dia! Tapi ini… bukan ruang biasa. Waktunya loncat-loncat!” Raka berputar di udara, kakinya menjejak sebongkah memori masa depan yang padat, lalu meluncur ke arah Arka. “Kita harus sampai ke pusat! Di sanalah kehendak disimpul jadi satu!” Di tengah pusaran, sosok bertopeng perak berdiri kokoh, tubuhnya membesar menjadi kolosus setinggi gedung. Di dadanya, mata yang berputar kini
Arka mendarat di permukaan yang tak padat, seolah pijakan itu terbuat dari bayangan air. Setiap langkah meninggalkan riak yang memantulkan kenangan. Langit di atasnya merah kelam, bergemuruh seperti dada yang menahan napas terlalu lama. “Tempat ini… terasa seperti dalam mimpiku,” gumamnya, memandang sekitar. Kiara mendarat tak jauh darinya, tangannya terangkat, menjaga keseimbangan. “Tapi ini bukan mimpi. Ini ruang kehendak terdalam. Lapisan ketiga.” Dari balik kabut, siluet Raka muncul, tubuhnya bersimbah cahaya kehendak yang belum sepenuhnya stabil. “Aku lihat bayangan Ayah tadi… seperti nyata.” “Bukan bayangan,” sahut Genta yang menyusul, napasnya memburu. “Tempat ini menyerap ingatan paling kuat dalam diri kita. Dan memutarnya jadi senjata.” Angin bertiup pelan, namun membawa aroma darah dan logam. Lalu satu demi satu sosok muncul dari balik kabut—wajah-wajah yang seharusnya sudah mati. Ayah Raka. Saudara
Genta melompat ke panel darurat, jarinya menari di atas tombol manual. Sinyal listrik masih lumpuh, tapi ia berhasil mengaktifkan suplai cadangan untuk server utama. Layar menyala kembali dalam kilatan biru redup, menampilkan grafik-grafik kacau dan sinyal spiral dari dasar laut. “Gelombangnya meningkat,” gumamnya. “Ini bukan hanya sinyal… ini panggilan.” Arka berjalan perlahan ke tengah ruangan, di mana wajah digital bertopeng perak masih menatap mereka dari layar. Cahaya dari monitor memantul di matanya yang membara, menciptakan siluet tajam di balik bahunya. “Kau siapa sebenarnya?” tanya Arka, suaranya pelan tapi tegas. “Pertanyaan yang salah, Arka Wijaya,” suara itu mengalun seperti gema di dalam tengkorak. “Pertanyaannya adalah: berapa lama lagi kehendak manusia bisa menolak evolusi yang sudah kutawarkan?” Kiara menatap layar dengan rahang mengeras. “Kau menyebut dirimu ide. Tapi ide tidak lahir sendiri.
Asap tipis mengepul dari sudut-sudut ruangan. Cahaya darurat berpendar merah, melemparkan bayangan bergerigi di wajah-wajah tegang. Di tengahnya, wajah bertopeng perak masih terpampang di layar utama, menatap semua yang hadir tanpa berkedip. Suara itu terdengar lagi, serak tapi stabil. “Divisi Kehendak? Nama yang indah. Tapi sia-sia.” Raka maju dua langkah, belatinya bergetar oleh listrik statis dari medan proteksi yang belum sepenuhnya mati. “Kalau kau hanya bisa bicara dari balik layar, kau pengecut.” “Justru karena aku di balik layar, aku hidup lebih lama dari kalian semua,” jawab suara itu. “Aku bukan tubuh. Aku adalah algoritma keserakahan, rumus dominasi, strategi kolonialisme yang kalian warisi diam-diam.” Kiara menoleh ke Genta. “Apakah ini AI yang kita deteksi dari dasar laut?” Genta mengetik cepat, matanya tak lepas dari data baru yang masuk. “Tidak sepenuhnya. Ini semacam antarmuka. Tapi energinya…
Bayangan hitam yang mengambang di atas cakrawala makin jelas. Bukan retakan dimensi, bukan pula makhluk seperti Zerah—melainkan armada. Puluhan—tidak, ratusan kapal udara taktis melayang membentuk formasi setengah lingkaran di langit senja. Baling-baling rotor mereka tak menimbulkan suara, hanya getaran halus yang merambat ke tanah, seperti denyut jantung dunia yang baru bangkit. “Ini bukan invasi, kan?” bisik Raka sambil meraih senjata di pinggang. Genta menatap hasil pemindaian di alatnya. “Bukan. Ini… pasukan militer. Tanda pengenal mereka sah. Tapi mereka dalam mode siaga tinggi.” Beberapa pesawat turun perlahan, melepaskan platform logam yang terhampar rapi di tanah. Dari sana, pasukan berseragam hitam-hijau turun, berbaris dalam diam. Seorang pria berambut putih dan berseragam panglima berdiri di tengah mereka, mengenakan lencana khusus bertuliskan SATGAS ARDHA GARDA NASIONAL. Arka maju beberapa langkah
Cahaya biru menyelimuti medan pertempuran. Pilar-pilar energi yang sebelumnya mencabik langit kini membeku di udara, seolah diperintah oleh kehendak yang lebih tua dari waktu. Sosok asing yang muncul dari celah realitas itu melayang perlahan, jubah panjangnya berpendar lembut, dan matanya memancarkan cahaya keemasan yang menembus jiwa siapa pun yang menatapnya. Arka berdiri membeku di tengah pusaran penyegelan. Energi di sekeliling tubuhnya masih berkobar, tapi kini tertahan—seolah sebuah tangan tak kasatmata menggenggamnya. “Siapa… kau sebenarnya?” tanya Arka pelan. Sosok itu turun menyentuh tanah. “Aku adalah bagian dari darahmu. Dan engkau adalah bagian dari kehendakku yang tertinggal di dunia ini.” Raka terhuyung, menahan luka di lengannya, matanya terpaku pada simbol bercahaya di udara—tiga garis spiral yang saling berpotongan membentuk mata ketiga di tengah kehampaan. Kiara berbisik, “Simbol itu… mengik
Tanah terbelah. Awan menghitam. Dari tubuh Sakarat, sosok Zerah melayang perlahan—gerakannya anggun seperti kabut, tapi tekanan kehadirannya menekan dada semua orang. Di sekelilingnya, waktu bergetar. Suara-suara dari masa lalu bergema lirih, menciptakan irama aneh yang menyesakkan telinga. Kiara mundur beberapa langkah. “Itu… bukan makhluk biasa.” “Bukan,” desis Arka. “Dia bukan makhluk. Dia… adalah kehendak yang ditolak oleh alam semesta.” Zerah menatap ke arah mereka, topengnya berganti-ganti bentuk—wajah-wajah yang familiar muncul sekilas: wajah Raksa, wajah Nadira, bahkan wajah Reza. Setiap wajah muncul hanya untuk digantikan oleh kekosongan tanpa ekspresi. “Arka Wijaya,” suaranya terdengar seperti ribuan orang berbicara bersamaan. “Darahmu adalah kunci. Warisanmu adalah pengikat. Maka, akulah yang berhak menuntutnya.” Tubuh Arka bergetar saat aliran energi dari dalam dadanya berdenyut semakin kuat. Simb