“Hufft….” Mira menghela nafas panjang.
Perempuan itu kini asyik merajut sebuah tempat tissue dari benang nilon biru muda. Rencananya, akan ditaruh di mobil Denny.
Sayangnya, pikiran Mira tidak begitu fokus karena memikirkan percakapan sang suami dan Ibu Mertuanya. Jujur saja, dia khawatir sekali dengan keadaan sang suami.
Kring!
Ponsel Mira tiba-tiba berdering. Terlihat sebuah panggilan dari Mbok, nama kontak untuk neneknya di desa.
“Halo, Nduk.”
"Halo, Mbok. Apa kabarnya? Si mbok sehat, kan?" tanya Mira dengan tersenyum lebar setelah mendengar suara neneknya yang terlihat ceria.
"Iya, Nduk. Ada hal mendesak yang ingin si mbok katakan, tapi kamu jangan banyak tanya dulu. Ini Nduk ... tanah kebun orang tuamu–"
"--Mbok, biarkan saja. Itu memang tanah milikku, tapi hasilnya buat mbok saja. Aku sudah cukup dengan hasil suamiku di sini. Tunggu, apa ada yang maksa mau beli lagi?" potong Mira dengan cepat.
Akhir-akhir ini, banyak sekali orang yang menginginkan tanah itu. Padahal, dulu tanah itu sangat sulit dijual.
"Bukan, bukan begitu, Nduk. Ada masalah besar di sini. Jadi, kamu harus segera pulang ke kampung dulu."
"Masalah besar? Masalah apa sebenarnya? Apa ada yang mengaku ngaku itu tanah mereka?"
Mira memijat kepalanya pusing. Beberapa orang memang pernah datang dan mengklaim bahwa tanah itu milik mereka. Bahkan, dengan membawa surat menyurat seolah tanah itu sah milik mereka.
Padahal, secara turun temurun, tanah itu tidak pernah dimiliki siapapun, kecuali keluarga orang tuanya.
"Bukan Nduk, bukan begitu. Ini ada yang mau menyewa tanah dengan harga yang sangat mahal. Mbok nggak bisa memutuskan."
"Sewa tanah?” Mira terdiam sejenak. Ini bukan masalah sederhana. “Oh, gitu. Baiklah, Mbok. Nanti, Mira coba minta izin dulu sama Mas Denny, ya."
Panggilan pun berakhir, menyisakan Mira yang hanya bisa termenung sendiri.
Sebenarnya, Mira teringat dengan iparnya yang sekarang berada di rumah sakit karena penyakit gula darahnya.
Biayanya cukup besar, dan beberapa hari yang lalu mereka mau meminjam uang kepadanya.
Akan tetapi, bagaimana ia bisa meminjamkan uang? Mira tak punya simpanan yang berarti.
“Apakah ini jawaban dari masalah itu? Dengan uang sewa, siapa tahu aku bisa meminjamkan uangnya untuk Mas Danu dan Mbak Nia. Jadi, pengobatan tidak terasa memberatkan. Bahkan, aku bisa membantu Mas Denny," katanya bermonolog.
“Baik, Mbok. Mira akan coba tanyakan pada Mas Denny, ya.” Ucapan Nia mengakhiri percakapan keduanya.
*****
"Ya sudah, pulang saja sana! Nggak balik juga nggak apa apa," ketus Denny meremehkan. Bahkan, pria itu cenderung mengusir Mira dari rumahnya.
Padahal, Mira baru hanya sampai mengatakan bahwa neneknya ingin Mira segera pulang kampung. Namun, reaksi suaminya begitu kejam.
"Lah, Mas? Kok gitu? Apa Mas sungguh-sungguh ngusir aku?" Mira terdiam. Dia ingin tahu sebenarnya apa maksud dari ucapan suaminya, "Aku pun pulang karena ada yang bakal nyewa tanah. Kalau aku punya uang itu, aku bisa meminjamkan uang buat Mas Danu, kakakmu. Sepertinya, dia memang sangat membutuhkan."
Denny berpikir sejenak.
Selain masalah uang, ia juga memikirkan apa kata ibunya kalau sampai Mira nggak kembali.
Keluarganya itu paling membutuhkan Mira kalau ada kerepotan.
Ada tiga menantu ayah-ibunya, tapi cuma Mira yang paling bisa cekatan mengerjakan semua pekerjaan orang tuanya.
Bisa dibilang, Mira adalah menantu yang paling mirip dengan pembantu. Kalau sampai Mira pergi, para menantu ibunya pasti kelabakan. Akhirnya, pasti Denny juga yang harus menjemput Mira.
"Enggak mungkinlah aku usir kamu, Mir. Balik aja lagi setelah urusan kamu selesai. Tapi, maaf. Aku nggak bisa nganterin, ya."
Mira mengerucutkan bibirnya mencibir alasan Denny.
Kalau kepentingan keluarganya saja, Denny akan merayu Mira sampai ia mau menuruti kemauannya. Tapi, kalau itu adalah kepentingan Mira? Pria itu pasti masa bodo.
"Baiklah, aku mau pulang sendiri!" sentak Mira pada akhirnya. Dia segera pergi dari hadapan Denny bergegas menuju kamar. Sayup-sayup dia masih mendengar ocehan Denny.
"Huft, kenapa sewot? Sudah tiga tahun kita menikah. Bukan pengantin baru lagi, jadi nggak usah aleman alias manja. Kamu tinggal naik bis ke terminal lalu naik ojek ke kampungmu. Beres tanpa harus mengganggu pekerjaanku!"
"Iya iya, aku tahu. Tapi, aku mau lama ya di kampung!" teriak Mira kesal dari kamar.
Ia sangat kesal karena Denny tiba-tiba saja berubah beberapa bulan terakhir ini.
Jangankan mau bermanja-manja seperti pasangan yang lain, yang ada Denny selalu nyinyir.
Jangankan mendapat pujian, Mira saja akhir-akhir ini merasa sulit mendapat perhatian sang suami.
"Apa ini karena aku juga belum hamil, ya?" batin Mira pedih. Selain masalah kantor, pastilah ada alasan lain dari perubahan Denny. Alasan inilah yang paling mengusik pikiran Nia, “Atau, karena perempuan yang menelpon Mas Denny itu?”
“Mir!” tegur Denny, "Berapa lama kau akan pulang kampung?"
Seketika, Mira tersadar dari lamunannya. Dia kembali menatap wajah suaminya itu. "Tidak akan lama, tergantung urusan tanah itu apakah cepat selesai atau tidak. Kau bilang, aku pun tak perlu kembali lagi, kan? Walau bercanda, sebenarnya ucapan kamu itu sudah termasuk talak, Mas. Meskipun itu cuma main-main atau menyindir."
"Mira, mana mungkin? Mana mungkin aku bermaksud menceraikan kamu? Aku sungguh bercanda, Mir."
Mira tersenyum kecut. Bahkan, panggilan telepon wanita itu masih jelas di telinganya. Sekarang, ia sangat yakin bahwa Denny berselingkuh darinya.
"Baiklah, kalau kamu memang tak bermaksud seperti itu. Tapi, aku akan kembali meskipun sedikit lama," ujarnya kemudian.
Mereka kembali tegang, saling melihat dengan pandangan dingin dengan pemikiran masing masing.
“Ck! Terserah, kau,” ucap Denny kesal pada akhirnya.
Pikiran pria itu kini sedang kacau dengan urusan perusahaan. Jadi, ia tak akan menyinggung perceraian yang akan menambah beban pikirannya. Akan tetapi suatu saat nanti, bisa saja semua itu ia lakukan. Ia berjanji pasti akan menceraikan Mira.
Toh, dia memiliki Imas Gayatri–wanita yang dia cintai dan menelponnya beberapa malam yang lalu. Sayangnya, Imas–yang merupakan anak pengusaha kaya raya di Jakarta–dijodohkan oleh ayahnya dengan pengusaha yang sama suksesnya.
Itulah sebabnya Denny harus menerima kenyataan untuk bersama Mira, si gadis kampungan yang bukan tipe dan bukan levelnya. Untung saja, wajah Mira cantik. Jadi, Denny merasa tidak terlalu buruk untuk melepaskan status lajangnya.
******
Mira mengamati ekspresi suaminya dengan pedih. Bahkan, sepeninggalan Denny, Mira nyaris menangis.
Kelakuan suaminya dapat dia terima jika memang Mira yang salah. Jika suaminya salah pun, Mira juga dapat menerimanya asalkan pria itu mau berubah. Namun, tidak dengan perceraian. Dia sungguh pantang untuk itu, seolah mudah menyerah padahal sudah berjanji di hadapan Yang Kuasa.
'Jangan harap kau bisa menceraikanku, Mas. Aku tidak akan pernah pergi dari rumah ini dalam keadaan terhina. Setidaknya, aku harus tahu siapa wanita itu dan memberikannya pelajaran,' batin Mira.
Mira pun beranjak dari tempat duduknya, ia berniat untuk menarik kopernya dari tempat penyimpanan. Ia menyiapkan beberapa lembar pakaian dan oleh-oleh.
Ia bergumam untuk menyemangati diri sendiri, "Lebih cepat lebih baik, aku akan sedikit bernapas saat di kampung nanti, tapi aku pasti akan kembali, Mas."
Keesokan harinya, Mira telah siap dengan barang yang akan dibawa pulang kampung, iapun beranjak dari tempat duduknya hendak menyeret koper. Ia juga mengabaikan Denny yang sedang duduk memperhatikannya."Mira? Mau ke mana?" tanya Magdalena tiba-tiba. Entah kapan ibu mertuanya itu tiba. Mira sendiri begitu terkejut. Namun, dia berhasil mengendalikan ekspresinya."Saya mau pulang kampung, Bu. Nenek mau saya pulang, ada yang mau sewa tanah kebun katanya.""Oooh, tanah warisan ibumu, ya? Kenapa nggak dijual aja? Kan lumayan buat renovasi rumah ini, paling juga lakunya nggak seberapa," kata wanita itu dengan nyinyir, seolah uang yang ia miliki tak akan mungkin bisa membuatnya melakukan sesuatu yang berarti, melainkan hanya sekadar lewat saja. Yah, sekadar beli cat untuk merapikan teras rumah yang sedikit pudar warnanya."Ehm, iya sih, Bu. Tapi sepertinya, Mas Danu mau pinjam untuk biaya beli suntik insulin, Bu. Lebih baik, uang itu walaupun tak seberapa, saya akan meminjamkan uang itu."
Mira gegas kembali dengan perasaan tak menentu. Bahkan, ia tak berani untuk bercerita kepada neneknya tentang apa yang dilihatnya."Mbok, besok Mira mau pergi ke rumah teman dulu ya. Ada sesuatu yang sangat penting untuk Mira bicarakan."Neneknya itu hanya mengangguk setuju.Benar saja! esok harinya, Mira bergegas menuju rumah Faza, temannya waktu kuliah dulu. Selain itu, ia bekerja di sebuah perusahaan tambang emas. Ia harus mencari tahu apakah benar di dalam lahan kebunnya banyak mengandung logam mulia."Mira, kamu masih seperti yang dulu," kata Faza menggombal. "Dan kamu, masih saja betah membujang. Kenapa nggak cepet cari istri? Kalau kelamaan nanti nyesel loh," seloroh Mira."Kamu aja yang nggak peka, Mir. Ditungguin malah nikah sama orang lain."Mereka saling tertawa, mengenang masa sekolah dulu yang penuh kenangan."Jadi, aku akan memintamu seperti yang aku katakan melalui telepon kemarin, Faza."Seketika, temannya berubah menjadi serius."Tentu saja, Mir. Aku bisa mengusah
Wajah Mira makin cemberut melihat suaminya ternyata benar-benar meremehkannya.Ia memang sedikit berbohong, tapi bukan berarti tega membiarkan suaminya kesusahan. Namun, ia meneguhkan hatinya untuk tetap tenang. Ia tak akan menceritakan apa yang terjadi kepada keluarga Denny sebelum sikap mereka yang suka merendahkannya berubah!"Baiklah, aku akan meminjam sekarang juga, tapi perhatikan baik-baik berapa aku berhasil mencari pinjaman." "Hahaha, kau ini semakin lucu Mira. Terserah saja, ayo cepat! Aku sudah mengingatkanmu, jangan mempermalukan diri sendiri, Mira." Mira menghubungi Faza dengan cepat. "Faza, aku mau pinjam uang lima ratus," katanya di hadapan Denny. Lagi-lagi Denny tergelak. Apa menurut Mira uang yang ia butuhkan sekecil itu? Lima ratus ribu? Ah, yang ada ada saja, gerutunya. Dalam dua menit percakapan Mira selesai, lima buah notifikasi transaksi dari beberapa bank yang berbeda masuk ke ponsel Denny. Nominalnya setiap transaksi adalah 100 juta rupiah, sehingga to
"Oh iya, Mira. Apa sudah ada yang menawar?" tanya Denny penasaran. “Kita lihat nanti, berapa mereka berani membeli mobilmu." Melihat betapa santainya Mira, Magdalena menatapnya kesal. Sejak awal, ia memang tidak setuju Denny menikahi Mira gadis kampung itu. Wajahnya juga tidak secantik Imas Gayatri, putri konglomerat itu. Menikahi Mira, Magdalena seperti dibuat malu. Apalagi waktu pernikahan, tamu-tamu yang berasal dari keluarga Mira adalah keluarga kampung dengan penampilan yang sangat mencolok. Magdalena ingat, tamu undangan tertawa mengejek kedatangan mereka saat itu karena mereka datang dengan pakaian yang sangat murahan dan norak. Make-up belepotan dan tidak berkelas sama sekali. Sejak itu, ia menyadari bahwa menantu perempuannya berasal dari kelas rendahan. ***** Sementara itu, keduanya lalu pergi ke sebuah dealer mobil, tempat yang dimaksud Mira. Keduanya masuk. Mata Mira melihat banyak sekali mobil mewah dan mengkilap. Ia tak pernah melihat mobil terbaru yang masih ber
Nia tidak dapat menyembunyikan kekesalannya. Bukan urusan Mira mengetahui mobil jenis apa yang hendak mereka beli. Tapi, mengapa ucapannya seakan sangat merendahkan Danu dan dirinya?"Lah, kamu dan Denny, mau apa ke sini?" Nia kini mengalihkan pandangannya pada Denny yang sedang memijat pelipisnya.Denny sendiri masih bingung dengan semua kelakuan Mira. Pria itu gelisah, bagaimana kalau ternyata Mira sedang membuat lelucon dan mempermalukan dirinya?"Oh, begini, Mbak. Aku sedang menawarkan mobilku untuk dijual. Mbak tahu sendiri kan, kalau perusahaan hampir saja kolaps, sehingga butuh banyak suntikan dana."Wajah Danu sedikit cemas. Ia melirik ke arah Mira yang sedang membelai permukaan sebuah mobil mewah. Mereka baru saja menerima uang pinjaman dan Denny mengatakan membutuhkan uang untuk perusahaan?"Tapi, kenapa istrimu berlagak? Apa dia tahu berapa harga mobil yang dia pegang pegang itu? Makanya Denny, kalau mau ke tempat seperti ini sebaiknya tidak usah bawa-bawa istrimu yang udi
"Gampang, Mas! Itu soal gampang. Sekarang ini, yang aku pikirkan adalah mencari seorang investor yang akan menyelamatkan perusahaanmu. Apa menurutmu perusahaan itu masih layak untuk dipertahankan? Mengingat, bidang usaha di zaman sekarang yang terus berkembang, kau pasti membutuhkan pembaruan."Denny merenung. Perkataan Mira berhasil mengalihkan fokusnya. Perusahaannya saat ini memang mulai kalah bersaing. Di era teknologi sekarang ini, mereka masih saja memakai sistem konvensional dalam pemasaran yang telah digunakan sejak zaman ayahnya. Padahal, pesaing mereka sudah berlari melaju ke depan."Menurutmu, perombakan semacam apa yang harus kita lakukan?" tanya Denny akhirnya."Uhmm ... tenaga profesional, Mas. Kau harus mencari seorang tenaga profesional dan memiliki kemampuan membaca pasar sekarang ini.""Bukankah itu berarti pengeluaran buat perusahaan?"Mira menggelengkan kepalanya. Prinsip ekonomi semacam "dengan modal sekecil-kecilnya maka mendapatkan untung sebesar besarnya", hany
"Sekarang, selesaikan pembayaran mobil itu, Mas. Aku sudah tidak sabar untuk menaiki mobil mewah milikmu," kata Mira bersemangat, hingga menyadarkan Denny dari lamunannya.Sementara itu, Denny merasa semakin kesal. Ia tak mengerti mengapa sekarang ia merasa masalah keuangannya semakin menggunung?"Waah... ternyata mobil yang lebih bagus memang lebih enak rasanya, Mas! Jarang-jarang loh aku dibawa Mas Denny naik mobil, apalagi mobil sebagus ini," kata Mira dengan menunjukkan ekspresi kegirangan. Fakta bahwa Denny memang tidak pernah membawanya berkendara memang sangat jelas.Sejak menikah, Mira hanya berkutat di rumah saja. Kalau ia ingin bepergian ke pasar, Denny pasti menyuruhnya naik taksi atau ojek."Aku masih tak mengerti, aku butuh uang untuk perusahaan tapi kau malah meminjam uang untuk membeli mobil mewah. Sekarang, bagaimana cara mendapatkan investor dengan mobil ini? Coba tunjukkan padaku, apa gunanya mobil mewah ini?" tanya Denny pada akhirnya."Oooh, masalah itu? Tapi...aku
Sesampainya di perusahaan, Mira berjalan di sisi Denny masuk ke dalam gedung utama perusahaan."Haish, mundur sedikit, orang akan kaget kalau mereka tahu penampilan istriku seperti kamu. Lihatlah, bajumu seperti beli di kaki lima," cibir Denny sambil memberikan isyarat supaya Mira berjalan sedikit menjauh darinya.Lagi-lagi Mira dibuat seperti orang bodoh dan sangat rendah di mata suaminya sendiri.Memangnya dia merasa malu kalau istrinya memakai pakaian kali lima?"Mas, aku memang beli ini di kaki lima, bukannya itu atas kemauanmu?""Iya, itu karena kamu cuma orang rumahan, nggak perlu ke perusahaan kayak begini. Kenapa juga teman kamu itu mengutus orang sepertimu?" oceh Denny menyesal.Langkah Denny yang cepat membuat perbincangan itu tidak seimbang. Di belakang Denny, Mira hanya melotot kesal dengan apa yang Denny ucapkan, bahkan harus mengimbangi langkah kaki lebar pria itu. Akhirnya sampailah mereka di pintu lift. Mira mengira itu adalah pintu
Sugesti di masa kecil yang absurd seperti potongan kenangan yang unik untuk diingat.Seperti bagaimana biji semangka yang tertelan akan tumbuh dan berakar di dalam perut, mengeluarkan tangkai dan daun dari telinganya dan hidung lalu berbuah di puncak kepala. Begitulah seorang anak digiring dalam sebuah pemikiran tak masuk akal bahkan hanya karena sebuah nama."Apa kau terpengaruh?""Tentu saja. Sepertinya itu berhasil karena aku percaya dengan ibuku. Hahaha," Denny tergelak lagi karena konyolnya pemikiran saat itu.Mereka terlihat serasi dan bahagia."Apa yang akan kita lakukan selanjutnya?" Denny kemudian melihat Mira meminta pendapat soal rencana yang sebenarnya sudah mereka buat."Uhmm pertama, aku mau buat adik untuk Azrah, ini adalah tujuan yang paling bagus untuk dilakukan. Apa aku salah?""Haish... selalu saja cari keuntungan."Denny hanya nyengir, sementara ia tetap fokus berkendara."Rencana kedua adalah membangun usaha toko di pasar tradisional dan selanjutnya akan menjadi
Mira dan juga Denny sangat panik dan segera membawa Marina ketempat yang nyaman di dalam mobil.Mereka membawa pulang wanita itu dan memindahkannya ke kamar.Mira sangat iba melihatnya. Ia bisa merasakan Marina sangat terluka. Ia sangat mengerti bahwa Marina sangat mencintai Dika."Mira, sejak tadi kau melamun, apa yang kamu pikirkan?" tegur Denny karena Mira hanya termenung menatap wajah Marina."Selalu ada yang membuat wanita terluka sampai seperti ini. Apakah lelaki nggak tahu kalau wanita itu cuma makhluk yang lemah. Saat mencintai, dia sangat mudah dikhianati. Saat setia, pria tidak menyadari dan saat terluka ia hanya bisa menangis menyalahkan dirinya sendiri yang tak sempurna. Hanya saja, meskipun sangat lemah...wanita mampu bertahan dalam situasi seperti ini," ujarnya pelan, seolah mengenang apa yang dialaminya dulu.Saat itu Denny mengabaikan segala yang ia miliki. Cinta dan ketabahannya harus berakhir dengan selembar surat cerai.Akan tetapi Marina...dia mendapat selembar sur
"Aku membebaskan kamu, tapi kamu kembalikan kerugian yang sudah kamu tumbukan sejak awal, bagaimana?""Hah, omong kosong! Kau kira aku percaya?""Tidak. Kau tidak perlu percaya. Karen aku juga yakin kamu tidak punya uang untuk melakukannya. Kau kan cuma bisa memeras perempuan, mana mungkin bisa kembalikan uang sebanyak itu. Tapi...aku bisa sih mengurangi dakwaan soal pemerasan kamu yang terakhir, dengan syarat kamu ikuti permainan kami."Dika meremas tangannya kuat, sebab, dakwaan soal pemerasan uang itu berbuntut panjang. Marina minta uang itu dikembalikan tiga kali lipat berikut biaya persalinannya kelak."Aku tidak memeras, tapi dia yang memberikan.""Marina juga mendapatkan tamparan keras darimu, apa itu juga bisa dilaporkan tindak kekerasan? Ah Dika, sangat banyak catatan kriminal yang kau lakukan," ejek Denny. "Mungkin hukuman lima belas tahun penjara tidak cukup untuk kamu.""Jadi apa maumu?!" kali ini Dika terlihat menyerah.Denny tersenyum menang. Ia sudah membaca gelagat Dik
Seperti yang dikatakan Mira, polisi memang sudah berhasil meringkus Dika sehingga mereka mendapatkan pemberitahuan keesokan harinya.Mira segera menemui Marina dan menceritakan apa yang telah ia lakukan untuk Dika."Marina, aku minta maaf karena terpaksa menguntit kepergian kamu ke bank. Dan inilah akhirnya, kami memutuskan penyelesaian dengan polisi saja.*Marina menunduk dalam. Sepertinya ia ragu menyetujui tindakan Mira."Kau masih menyukai Dika, Marina? Apakah pria itu layak untuk wanita sebaik kamu?"Marina masih tak menjawab. Dilema di hatinya saat ini adalah soal harga dirinya yang hancur. Bagaimana mungkin ia melahirkan tanpa seorang suami, apa yang akan ia lakukan?"Kau berpikir bahwa Dika akan menikahi kamu, Marina? Itu tidak mungkin, Marina. Tidak semudah itu untuk memiliki suami yang baik seperti yang kita inginkan.""Tapi Bu....saya butuh status, meskipun hanya seorang janda, bukan sampah seperti ini," isaknya kemudian. "Saya masih tak mengerti, apakah kesalahan ini semua
Mereka sepakat untuk menguntit kemana Marina pergi. Dan benar saja, Marina memang datang mengambil uang di sebuah Bank. Mereka bahkan bisa memperkirakan berapa jumlah uang yang diambil Marina di bank tersebut."Kenapa Marina membutuhkan uang sebanyak itu?" gumam Mira yang sempat didengar Denny."Sudahlah, kita hanya butuh menguntit apa yang sebenarnya ia lakukan."Tak lama kemudian, wanita itu menuju sebuah restoran kecil di pinggir jalan tak jauh dari bank itu.Denny dan Mira tetap menguntit dan memperhatikan gerak gerik Marina yang terlihat gelisah seperti menunggu seseorang.Dan ternyata tak lama kemudian, seorang pria berhodie mendekati dan duduk di hadapan Marina.Marina menoleh kesana kemari untuk memastikan tidak ada yang melihat pertemuan mereka. Marina tahu, ini tidak benar, tapi ia ingin mengungkapkan perasaannya pada pria itu saat ini."Heh, kau datang juga akhirnya," bisik pria itu menatap puas wanita di hadapannya. "Benar, aku datang dan membawa apa yang kau minta, Mas."
Suasana semakin riuh saat mengetahui bahwa Mira adalah orang yang paling berkuasa di perusahaan tersebut.Apa ini? Mereka semakin tak percaya. Bagaimana mungkin Denny yang begitu keras dalam berusaha ternyata tidak memiliki apapun di perusahaan.Begitu juga Danu. Ia semakin tak mengerti bagaimana mungkin keluarga mereka hanya memiliki tidak lebih dari dua puluh persen saham? Kemana uang yang mereka miliki selama ini? Apakah ada suatu permainan yang dimainkan Denny untuk mengalihkan hartanya kepada istrinya?Itulah sebabnya kenapa Denny begitu berat melepaskan perusahaan itu untuknya!Dan karena kenyataan itu, Danu sangat marah lalu iapun segera keluar ruangan untuk mencari udara segar."Mas, aku minta maaf perihal Mira tadi, tapi bukankah itu yang mas Danu inginkan? Mas Danu ingin menerima tanggung jawab ini dan istriku tidak mempermasalahkannya. Untuk itu, aku juga tidak masalah." "Kenapa kau berubah pikiran? Apa kau sudah merasa cukup puas dengan permainan kamu? Kalian mengalihkan
Marina tahu, ia telah bersalah, tapi untuk kali ini saja, ia akan menuruti kemauan Dika. Ia ingin bernapas sejenak dan setidaknya tidak merepotkan Mira untuk menghadapi Dika. Selain itu, keluarganya akan merasa aman dari gangguan Dika."Sungguh, Bu. Sungguh tidak terjadi apapun denganku. Aku hanya menangis karena merindukan keluarga sehingga terasa bengkak wajahku karena menangis," ujar Marina beralasan.Meskipun tak sepenuhnya percaya, Mira menerima saja alasan Marina."Baiklah, kalau begitu cepatlah beristirahat, dan jangan lupa untuk minum vitamin kehamilan supaya tubuhmu tidak terlalu lemah.""Baik, Bu. Terimakasih."***Hari ini, Denny mengadakan pertemuan dewan direksi masalah perwakilan direktur perusahaan yang akan dipegang Danu. Ia harus memberikan pengumuman dan penyerahan alih tugas sementara. Selagi menyiapkan, Danu datang dengan wajah kesal seperti biasa."Apa maksudmu dengan alih tugas sementara? Apa kau pikir aku selemah itu?" protesnya dengan melempar map berisi undan
Marina menahan perih teramat sangat, sedangkan hatinya lebih dari itu. Ingin rasanya ia mengambil pisau yang terselip di pinggang Dika lalu menghujam pria itu dengannya. Tapi ia merasa lemah dan takut dengan bentuk kekerasan seperti itu."Marina, kau harus mengambil langkah yang bagus untuk mengambil kekayaan Denny. Anggap saja tidak perlu buru-buru, sedikit demi sedikit juga bisa kita mulai. Kau tentu bisa melakukannya."Wanita itu masih dalam memegangi pipinya yang terasa panas, ia hanya mendengar ucapan Dika dengan ketidak pastian."Sekarang aku butuh uang lima juta saja untuk membeli motor bekas, tapi bulan depan aku harus membeli motor yang baru, bagaimana, ini adil untuk kita bukan?"Kali ini Marina menatap tajam tak percaya pada pria yang di hadapannya. Ia tak percaya Dika hanyalah monster bertubuh manusia tampan. Sisi hidupnya sangat gelap maka ia tidak akan mau berada di lingkup hidup pria ini sampai kapanpun."Kenapa? Kenapa kamu menatapku seperti itu? Apa kau kira aku tidak
Denny mendengus, "Andaikan itu mudah bagiku, aku memilih untuk bersikap tidak perduli. Tapi bagaimana lagi jika itu sudah menyangkut istri cantikku?""Hehe, menggombal ya? Sudah baikan?" tanya Mira lembut. Tangannya menjangkau rahang suaminya dengan kasih sayang.Ya, ia memang akan merasa lebih baik dengan pelukan dan senyuman Mira yang indah. Akan tetapi setelah ia kembali dalam polemik hidupnya, ia merasa sangat ingin berlari dalam pelukan wanita ini. "Tentu saja. Aku akan semakin baik kalau kau selalu seperti ini, selalu bersikap lembut dan tersenyum.""Kalau begitu, sebaiknya kita kembali ke desa saja, Mas. Dan...aku sangat setuju kalau kamu menyerahkan perusahaan ini untuk Mas Danu."Atas ucapan Mira itu, Denny membelalakkan matanya. Ia tak mengerti bagaimana bisa Mira tahu apa yang sedang ia pikirkan saat ini."Kenapa kita harus ke Desa? Apakah semudah itu menyerahkan perusahaan pada Mas Danu?""Iya, Mas. Setidaknya berikan kesempatan untuk mas Danu bangkit seperti kamu,. berik