Mira melangkah menuruti kemauan ibu mertuanya menuju ruang dapur. Wanita tersenyum ramah akan tetapi Mira faham, itu karena tamu istimewanya."Mira, keluarkan kue brownies yang baru ibu buat di dalam lemari es. Sengaja ibu bikin buat Imas. Ibu tahu kalau Imas paling suka sama brownies," kata Magdalena menjelaskan Mira tanpa diminta.Mira masih dalam mode menurut. Akan tetapi sesekali matanya melirik ke arah Denny yang terdiam di sofa. Denny merasa tak nyaman dan pria itu membalas lirikannya dengan tajam."Nekat juga kamu," gerutu Denny pelan dan meninggalkan Mira sendiri.Tak perduli dengan tatapan tajam suaminya, Mira mengeluarkan bronis dari kulkas, lalu memindahkannya ke piring saji.Senyum getir terukir tipis di wajah Mira. Ia cukup merasa terganggu dengan perhatian Magdalena yang begitu besar pada Imas. Padahal, Imas adalah wanita yang mengacau rumah tangganya bukan menantu atau keluarga."Mas, aku heran, kenapa sih kamu tidak membawaku serta dan be
"Apa yang kamu lakukan, Mira? Kenapa kamu comot seperti itu? Lihatlah, kamu mengunyah seperti orang kelaparan?" Denny menggelengkan kepalanya melihat tingkah Mira yang menjengkelkan. "Apa kamu nggak pernah makan, makanan begini?"Pipi Mira menggembung karena mulutnya penuh dengan makanan. Ia tak peduli kedua orang di dekatnya melihatnya heran.Setelah sedikit berkurang, Mira lalu berkata, "Sejak menikah, aku memang tidak pernah bikin makanan enak seperti ini. Kamu ingat nggak Mas, kalau lebaran selalu aku yang buat brownies di rumah ibu, tapi aku nggak pernah dapat bagian. Sekarang, aku baru bisa merasakan enaknya makan brownies."Imas terkekeh geli, ia tak mengira Mira bisa melucu sampai seperti ini."Mas, biarkan saja Mira menghabiskan brownies itu, bukankah itu bagus?" lirihnya di telinga Denny.Mira bersendawa karena kekenyangan. Ia terus memakan potongan brownies sementara kedua sejoli itu saling berbincang dengan santai dan manja. Hal itu lebih memicun
"Kamu ini ngomong apa sih? Ibu itu cukup mengenal siapa Imas jauh sebelum kalian menikah. Imas dulu sering di rumah Ibu sehingga ibu sangat tahu apa seleranya. Ayam goreng ini adalah kesukaannya, begitu juga rendang dan ini," katanya sambil menunjukkan gule kambing di panci kecil."Tapi, Bu. Dia tidak akan menghabiskan semuanya. Ibu lihat kan badannya lebih kurus dari Mira, berarti makanannya nggak banyak."Magdalena semakin kesal. "Tau apa kamu ini."Masih serius ngobrol, Imas dan juga Denny datang dan mereka mengambil tempat duduknya. Mira gegas ambil tempat duduk juga di samping Denny. Saat Imas mendapatkan piring kosong dari Denny, Mira melotot tajam."Punyaku mana Mas?""Tuh, ambil sendiri!"Mira hanya bisa mengerucutkan bibirnya, 'Siapa dia sampai dilayani begitu?'Saat gilirannya mengambil menu makanan, Mira dengan percaya diri memenuhi piringnya. Dia memang mengambil sedikit nasi, hanya saja piringnya penuh dengan lauk pauk.Ayam goreng,
Karena hari makin larut dan mereka tidak bisa berbincang dengan tenang karena kehadiran Mira di tengah-tengah mereka, akhirnya Imas memutuskan untuk pulang. Rencana untuk menghabiskan malam bersama Denny juga gagal berantakan. Kekecewaan dengan sikap Denny yang membiarkan tingkah konyol Mira membuatnya kesal."Mas, aku pulang dulu saja. Kita bisa bertemu besok malam, tapi tolong jangan sampai istri kamu tau ya.""Baiklah, tapi ...""Aku bawa mobil sendiri, dan urus saja istrimu. Kamu jangan lupa, kalau kamu berjanji untuk bercerai dengan Mira setelah aku menceraikan suamiku."Denny tertegun sebentar, tetapi ia tidak bisa mungkir lagi."Tentu saja, aku akan mengatur cara supaya Mira bisa segera kuceraikan.""Apa sih masalah kamu sebenarnya? Kamu hanya perlu mengatakan dan menyerahkan surat cerai. Apa aku juga yang harus mengurus perceraian kalian?" Imas sedikit emosi.Denny terlihat gugup. Tentu saja ada sesuatu yang membuatnya tidak bisa segera mence
"Aku tak perduli, toh investor itu cuma teman kamu. Samasekali bukan uangmu. Jadi, aku bisa melakukan apapun tanpa kamu ikut campur.Lagian, hubungan kita nggak harmonis, jadi lebih baik kita akhiri saja."Mira mengepalkan kedua tangannya. Ia merasa Denny memang sudah bulat ingin bercerai darinya. Ia mulai goyah, haruskah ia menerima saja perkataan Denny?"Mas, apa kali ini kamu main-main lagi?""Maksudmu?""Kamu menjatuhkan talak, Mas?"Denny mengernyit. Apakah ia baru saja menceraikan Mira? batinnya."Aku...aku memang mau menceraikan kamu...tapi sebenarnya aku sedang mengajakmu untuk berpikir.""Apa kamu serius, Mas?"Mereka diam dengan tatapan yang saling mengunci. Denny juga merasa bimbang, tetapi bukankah itu adalah keinginannya yang sebenarnya?Denny tak bergeming, ia menatap istrinya dengan pandangan membeku. Ia tak bisa lagi berpikir kecuali memikirkan janji yang telah ia ucapkan untuk Imas.Baginya, wanita itulah yang telah b
Tak lama kemudian, Mira melihat Denny sudah dengan pakaian kerjanya."Mas, biar aku buatkan sarapan untukmu," kata Mira mengingatkan Denny untuk sarapan."Tidak perlu, dan kamu juga tidak usah menyiapkan makan untukku," katanya dan melangkah pergi tanpa menoleh.Mira menatapnya kepergian Denny dengan sendu. Ia mencoba memahami akan tetapi tidak ada lagi yang bisa ia simpulkan saat ini kecuali bahwa sebenarnya Denny bersungguh-sungguh mengatakan tentang perceraian tadi malam."Apalagi yang harus kuharapkan? Saat seperti ini akhirnya datang juga dalam hidupku," ucapnya lirih.Mira merenung dalam kegundahannya. Ia tak harus kehilangan arah bukan? Ia masih harus menahan air matanya untuk bisa melangkah menyongsong hidupnya.Mira menatap ke cermin, ia mengenakan hijab biru muda dan sedikit menebalkan riasannya. Ia masih harus berangkat bekerja meskipun cukup berat rasanya. Lalu iapun menghubungi Faza."Aku butuh bantuanmu, bisakah ku menemuiku di kantor g
Faza tak perduli dengan kata-kata Denny. Ia bahkan sangat jelas melihat, menyaksikan sendiri bagaimana Imas dan Denny bermesraan di kantor. Memberikan pukulan untuk Denny belum cukup samasekali sebagai pelajaran. "Salah? Seharusnya aku memukul wanita itu menurutmu? Ah, aku baru tahu kalau kamu suka bersembunyi di ketiak perempuan."Mata Denny menatap nyalang Faza yang mencibirnya, "Kamu tahu siapa aku, bukan? Aku pemilik perusahaan ini, aku bisa membuatmu diseret para penjaga itu sekarang juga!""Jangan kuatir, aku juga bisa melakukannya, menyeretmu dalam masalah besar. Menjelaskan pada orang-orang yang belum tahu fakta siapa sebenarnya atasannya. Sepertinya cukup menarik bukan?"Denny semakin kesal, kalau saja bukan di dalam lingkup perusahaan, mungkin saja ia akan membalas kelakuan Faza. Iapun melihat ke arah Mira dan Faza bergantian."Kalian lebih buruk dariku!" ujarnya dan melangkah pergi dari hadapan mereka berdua.Faza menatap kepergian Denny dan
"Untuk apa kamu bertanya seperti itu, Faza? Bukankah Denny itu suamiku, dan mana mungkin aku tidak mencintai suamiku sendiri?" jawab Mira dengan tenang, lalu ia berkata, "Saat ini yang aku butuhkan adalah ketabahan untuk mengahadapi hidupku yang akan datang. Tidak perduli dengan masa sulit ini, aku akan menjalani saja hidupku. Kamu juga tahu kan kalau aku sekarang sangat kaya, yah... anggap saja sekarang aku terhibur dengan uang yang aku miliki."Melihat Mira yang tidak merasa terbebani dengan permasalahannya bersama Denny, ia sedikit tenang meskipun hal itu sangat mengganggunya."Terserah kalau begitu, tapi aku ingatkan ya, kamu jangan menyesal kalau suatu saat Denny terus membuatmu kecewa.""Iya, iya."Untuk beberapa lama mereka terdiam lalu membicarakan masalah pekerjaan. Sesampainya di rumah, Mira melihat Denny juga sudah berada di rumah. Mereka tidak saling bertegur sapa kecuali sebatas salam."Mira, bisakah kamu duduk sebentar?"Mira menoleh,
Sugesti di masa kecil yang absurd seperti potongan kenangan yang unik untuk diingat.Seperti bagaimana biji semangka yang tertelan akan tumbuh dan berakar di dalam perut, mengeluarkan tangkai dan daun dari telinganya dan hidung lalu berbuah di puncak kepala. Begitulah seorang anak digiring dalam sebuah pemikiran tak masuk akal bahkan hanya karena sebuah nama."Apa kau terpengaruh?""Tentu saja. Sepertinya itu berhasil karena aku percaya dengan ibuku. Hahaha," Denny tergelak lagi karena konyolnya pemikiran saat itu.Mereka terlihat serasi dan bahagia."Apa yang akan kita lakukan selanjutnya?" Denny kemudian melihat Mira meminta pendapat soal rencana yang sebenarnya sudah mereka buat."Uhmm pertama, aku mau buat adik untuk Azrah, ini adalah tujuan yang paling bagus untuk dilakukan. Apa aku salah?""Haish... selalu saja cari keuntungan."Denny hanya nyengir, sementara ia tetap fokus berkendara."Rencana kedua adalah membangun usaha toko di pasar tradisional dan selanjutnya akan menjadi
Mira dan juga Denny sangat panik dan segera membawa Marina ketempat yang nyaman di dalam mobil.Mereka membawa pulang wanita itu dan memindahkannya ke kamar.Mira sangat iba melihatnya. Ia bisa merasakan Marina sangat terluka. Ia sangat mengerti bahwa Marina sangat mencintai Dika."Mira, sejak tadi kau melamun, apa yang kamu pikirkan?" tegur Denny karena Mira hanya termenung menatap wajah Marina."Selalu ada yang membuat wanita terluka sampai seperti ini. Apakah lelaki nggak tahu kalau wanita itu cuma makhluk yang lemah. Saat mencintai, dia sangat mudah dikhianati. Saat setia, pria tidak menyadari dan saat terluka ia hanya bisa menangis menyalahkan dirinya sendiri yang tak sempurna. Hanya saja, meskipun sangat lemah...wanita mampu bertahan dalam situasi seperti ini," ujarnya pelan, seolah mengenang apa yang dialaminya dulu.Saat itu Denny mengabaikan segala yang ia miliki. Cinta dan ketabahannya harus berakhir dengan selembar surat cerai.Akan tetapi Marina...dia mendapat selembar sur
"Aku membebaskan kamu, tapi kamu kembalikan kerugian yang sudah kamu tumbukan sejak awal, bagaimana?""Hah, omong kosong! Kau kira aku percaya?""Tidak. Kau tidak perlu percaya. Karen aku juga yakin kamu tidak punya uang untuk melakukannya. Kau kan cuma bisa memeras perempuan, mana mungkin bisa kembalikan uang sebanyak itu. Tapi...aku bisa sih mengurangi dakwaan soal pemerasan kamu yang terakhir, dengan syarat kamu ikuti permainan kami."Dika meremas tangannya kuat, sebab, dakwaan soal pemerasan uang itu berbuntut panjang. Marina minta uang itu dikembalikan tiga kali lipat berikut biaya persalinannya kelak."Aku tidak memeras, tapi dia yang memberikan.""Marina juga mendapatkan tamparan keras darimu, apa itu juga bisa dilaporkan tindak kekerasan? Ah Dika, sangat banyak catatan kriminal yang kau lakukan," ejek Denny. "Mungkin hukuman lima belas tahun penjara tidak cukup untuk kamu.""Jadi apa maumu?!" kali ini Dika terlihat menyerah.Denny tersenyum menang. Ia sudah membaca gelagat Dik
Seperti yang dikatakan Mira, polisi memang sudah berhasil meringkus Dika sehingga mereka mendapatkan pemberitahuan keesokan harinya.Mira segera menemui Marina dan menceritakan apa yang telah ia lakukan untuk Dika."Marina, aku minta maaf karena terpaksa menguntit kepergian kamu ke bank. Dan inilah akhirnya, kami memutuskan penyelesaian dengan polisi saja.*Marina menunduk dalam. Sepertinya ia ragu menyetujui tindakan Mira."Kau masih menyukai Dika, Marina? Apakah pria itu layak untuk wanita sebaik kamu?"Marina masih tak menjawab. Dilema di hatinya saat ini adalah soal harga dirinya yang hancur. Bagaimana mungkin ia melahirkan tanpa seorang suami, apa yang akan ia lakukan?"Kau berpikir bahwa Dika akan menikahi kamu, Marina? Itu tidak mungkin, Marina. Tidak semudah itu untuk memiliki suami yang baik seperti yang kita inginkan.""Tapi Bu....saya butuh status, meskipun hanya seorang janda, bukan sampah seperti ini," isaknya kemudian. "Saya masih tak mengerti, apakah kesalahan ini semua
Mereka sepakat untuk menguntit kemana Marina pergi. Dan benar saja, Marina memang datang mengambil uang di sebuah Bank. Mereka bahkan bisa memperkirakan berapa jumlah uang yang diambil Marina di bank tersebut."Kenapa Marina membutuhkan uang sebanyak itu?" gumam Mira yang sempat didengar Denny."Sudahlah, kita hanya butuh menguntit apa yang sebenarnya ia lakukan."Tak lama kemudian, wanita itu menuju sebuah restoran kecil di pinggir jalan tak jauh dari bank itu.Denny dan Mira tetap menguntit dan memperhatikan gerak gerik Marina yang terlihat gelisah seperti menunggu seseorang.Dan ternyata tak lama kemudian, seorang pria berhodie mendekati dan duduk di hadapan Marina.Marina menoleh kesana kemari untuk memastikan tidak ada yang melihat pertemuan mereka. Marina tahu, ini tidak benar, tapi ia ingin mengungkapkan perasaannya pada pria itu saat ini."Heh, kau datang juga akhirnya," bisik pria itu menatap puas wanita di hadapannya. "Benar, aku datang dan membawa apa yang kau minta, Mas."
Suasana semakin riuh saat mengetahui bahwa Mira adalah orang yang paling berkuasa di perusahaan tersebut.Apa ini? Mereka semakin tak percaya. Bagaimana mungkin Denny yang begitu keras dalam berusaha ternyata tidak memiliki apapun di perusahaan.Begitu juga Danu. Ia semakin tak mengerti bagaimana mungkin keluarga mereka hanya memiliki tidak lebih dari dua puluh persen saham? Kemana uang yang mereka miliki selama ini? Apakah ada suatu permainan yang dimainkan Denny untuk mengalihkan hartanya kepada istrinya?Itulah sebabnya kenapa Denny begitu berat melepaskan perusahaan itu untuknya!Dan karena kenyataan itu, Danu sangat marah lalu iapun segera keluar ruangan untuk mencari udara segar."Mas, aku minta maaf perihal Mira tadi, tapi bukankah itu yang mas Danu inginkan? Mas Danu ingin menerima tanggung jawab ini dan istriku tidak mempermasalahkannya. Untuk itu, aku juga tidak masalah." "Kenapa kau berubah pikiran? Apa kau sudah merasa cukup puas dengan permainan kamu? Kalian mengalihkan
Marina tahu, ia telah bersalah, tapi untuk kali ini saja, ia akan menuruti kemauan Dika. Ia ingin bernapas sejenak dan setidaknya tidak merepotkan Mira untuk menghadapi Dika. Selain itu, keluarganya akan merasa aman dari gangguan Dika."Sungguh, Bu. Sungguh tidak terjadi apapun denganku. Aku hanya menangis karena merindukan keluarga sehingga terasa bengkak wajahku karena menangis," ujar Marina beralasan.Meskipun tak sepenuhnya percaya, Mira menerima saja alasan Marina."Baiklah, kalau begitu cepatlah beristirahat, dan jangan lupa untuk minum vitamin kehamilan supaya tubuhmu tidak terlalu lemah.""Baik, Bu. Terimakasih."***Hari ini, Denny mengadakan pertemuan dewan direksi masalah perwakilan direktur perusahaan yang akan dipegang Danu. Ia harus memberikan pengumuman dan penyerahan alih tugas sementara. Selagi menyiapkan, Danu datang dengan wajah kesal seperti biasa."Apa maksudmu dengan alih tugas sementara? Apa kau pikir aku selemah itu?" protesnya dengan melempar map berisi undan
Marina menahan perih teramat sangat, sedangkan hatinya lebih dari itu. Ingin rasanya ia mengambil pisau yang terselip di pinggang Dika lalu menghujam pria itu dengannya. Tapi ia merasa lemah dan takut dengan bentuk kekerasan seperti itu."Marina, kau harus mengambil langkah yang bagus untuk mengambil kekayaan Denny. Anggap saja tidak perlu buru-buru, sedikit demi sedikit juga bisa kita mulai. Kau tentu bisa melakukannya."Wanita itu masih dalam memegangi pipinya yang terasa panas, ia hanya mendengar ucapan Dika dengan ketidak pastian."Sekarang aku butuh uang lima juta saja untuk membeli motor bekas, tapi bulan depan aku harus membeli motor yang baru, bagaimana, ini adil untuk kita bukan?"Kali ini Marina menatap tajam tak percaya pada pria yang di hadapannya. Ia tak percaya Dika hanyalah monster bertubuh manusia tampan. Sisi hidupnya sangat gelap maka ia tidak akan mau berada di lingkup hidup pria ini sampai kapanpun."Kenapa? Kenapa kamu menatapku seperti itu? Apa kau kira aku tidak
Denny mendengus, "Andaikan itu mudah bagiku, aku memilih untuk bersikap tidak perduli. Tapi bagaimana lagi jika itu sudah menyangkut istri cantikku?""Hehe, menggombal ya? Sudah baikan?" tanya Mira lembut. Tangannya menjangkau rahang suaminya dengan kasih sayang.Ya, ia memang akan merasa lebih baik dengan pelukan dan senyuman Mira yang indah. Akan tetapi setelah ia kembali dalam polemik hidupnya, ia merasa sangat ingin berlari dalam pelukan wanita ini. "Tentu saja. Aku akan semakin baik kalau kau selalu seperti ini, selalu bersikap lembut dan tersenyum.""Kalau begitu, sebaiknya kita kembali ke desa saja, Mas. Dan...aku sangat setuju kalau kamu menyerahkan perusahaan ini untuk Mas Danu."Atas ucapan Mira itu, Denny membelalakkan matanya. Ia tak mengerti bagaimana bisa Mira tahu apa yang sedang ia pikirkan saat ini."Kenapa kita harus ke Desa? Apakah semudah itu menyerahkan perusahaan pada Mas Danu?""Iya, Mas. Setidaknya berikan kesempatan untuk mas Danu bangkit seperti kamu,. berik