Rong Guo tiba di Dermaga Hujan, sebuah tempat sunyi di tepi laut yang diapit oleh perkampungan nelayan sederhana.Udara di sana lembap, dengan aroma asin laut yang terbawa angin malam.Meskipun langit masih gelap, tanda-tanda pagi mulai tampak di ufuk Timur. Sejauh mata memandang, hamparan laut menyatu dengan cakrawala, menciptakan ilusi tak berujung yang menenangkan namun sekaligus misterius.Kerumunan pedagang yang bersiap melakukan perjalanan ke wilayah Barat Benua Longhai mulai sibuk dengan aktivitas mereka. Mereka berbincang, saling menawar harga, dan sesekali menunjuk ke kejauhan.“Lihatlah, setitik cahaya itu!” seru seorang pedagang, suaranya penuh antusias.“Apakah itu Kapal Naga Biru? Dari jauh saja sudah tampak megah, dikelilingi oleh kerlap-kerlip cahaya lampu yang begitu mempesona!” sahut pedagang lainnya, matanya berbinar-binar melihat ke arah cahaya di lautan.“Memang benar, ia terlihat seperti naga besar yang melintasi lautan dengan penuh keagungan!” ucap seorang pria b
Mendengar ucapan pemuda asing itu, kerumunan yang tadinya tenang, asyik menikmati teh dan bercengkerama, seketika bereaksi. Semua orang bangkit dari kursi mereka, bergegas menuju pinggiran kapal bagian utara. Di sana, mereka menyaksikan pemandangan yang mengundang decak kagum—kapal dari Negeri Taiyang yang sebelumnya hanya berupa titik di cakrawala, kini bergerak dengan kecepatan yang luar biasa.Taiyang, sebuah negeri yang terdiri dari kepulauan, bukan bagian dari Benua Longhai, memiliki reputasi sebagai ahli kelautan. Teknologi perkapalan mereka sudah lama diakui sebagai yang terbaik.“Kecepatan kapal itu luar biasa! Barusan saja disebutkan, masih tampak seperti titik kecil, kini sudah sebesar biji semangka!” seru salah satu penumpang dengan nada kagum.“Ya, konon, karena negeri mereka dikelilingi lautan, mereka telah mengembangkan teknologi kelautan yang sangat maju, termasuk dalam hal perkapalan,” tambah penumpang lainnya, mengangguk-angguk setuju.Rong Guo, yang ikut dalam kerum
Setelah pertemuan tidak terduga dengan Kapal Perang Dewa Petir dari Taiyang, perjalanan Rong Guo di atas Kapal Naga Biru menuju pelabuhan terdekat di wilayah Barat belum juga mencapai akhir. Namun, pertemuan itu hanyalah awal dari rentetan peristiwa lainnya.Semakin hari, semakin banyak kapal-kapal besar yang muncul di cakrawala, seperti kawanan ikan paus raksasa yang bermigrasi di permukaan laut. Tubuh mereka yang kokoh mengarungi ombak, bergerak perlahan namun pasti, semuanya menuju ke arah yang sama—pelabuhan di Barat.Kapal-kapal tersebut, sekitar sepuluh jumlahnya, terdiri dari berbagai jenis. Ada kapal komersial yang berlayar dengan lamban, membawa muatan penuh barang dagangan, sementara kapal perang terlihat menderu dengan gagah, berburu angin dan arus untuk lebih cepat mencapai tujuan.Lautan Dong Hai seolah-olah menjadi arena balap yang tak terucap, seakan-akan mereka semua berlomba untuk menjadi yang pertama tiba di Kota Biratama di Barat.Di antara semua pergerakan itu, Ron
“Daozhan yang mulia ...” kata Han Seolmin sambil menyunggingkan senyum yang tampak ramah namun terselubung. Suaranya lembut, namun nada penuh muslihat tersirat di balik kata-katanya.“Aku melihat Anda tampaknya menuju ke Barat. Apakah tujuan Anda adalah mencari Airmata Giok Fenghuang?”Ada kilatan licik yang singkat di mata Han Seolmin, seolah menilai setiap gerakan dan ekspresi Rong Guo.Meski begitu, Rong Guo tetap mempertahankan wajah tenang dan penuh kebajikan, layaknya seorang yang saleh dan suci dalam dunia persilatan. Dia sadar betul bahwa di balik senyuman pangeran itu, tersimpan maksud yang lebih dalam.“Yang kulihat, Daozhan bepergian seorang diri untuk perjalanan ini. Kita akan tiba di Kota Pelabuhan Biratama besok. Namun, sejak awal perjalanan ini, sudah tampak begitu banyak pesaing yang mengincar Airmata Giok Fenghuang,” lanjut Han Seolmin, sengaja menggantungkan kata-katanya untuk menciptakan kesan lebih mendalam.Senyum di wajahnya semakin melebar, menambah kesan percay
Meskipun sosok bayangan hitam itu mengenakan kain penutup wajah, Rong Guo bisa merasakan aura kuat yang berdesir dari balik ilusi yang ia ciptakan.Suasana di dalam kabin yang sepi menjadi semakin mencekam, angin laut yang berhembus dari celah jendela memperkuat nuansa misteri. Keringat dingin mulai membasahi punggungnya, namun ia tetap tenang."Seorang Praktisi di tingkat Pendekar Lotus Emas?" pikir Rong Guo dalam hati, matanya menyipit di balik ilusi sihir yang ia buat. Hatinya bergemuruh, tapi ekspresinya tetap tenang, saat sosoknya menyatu dengan bayangan kamar yang sunyi."Sebentar... Tapi ini bukan aura Pendeta Yunho!" batin Rong Guo ragu-ragu. Tadinyadia menduga, sosok ninja ini adalah Pendeta Yunho, jika menilik dari motifnya – dendam karena ia menolak untul beraliansi dengan Pangeran Han Seolmin.Sekrang dugaannya runtuh setelah menyaksikan lebih dekat, sosok ninja itu.Sosok berbaju hitam itu, meski samar-samar diterangi lampu minyak yang bergoyang lembut, tampak lebih kecil
"Tapak Vajra?" desis ninja perempuan itu dengan suara serak, hampir seperti bisikan angin yang menyapu permukaan gelap malam di geladak kapal.Begitu telapak tangan Rong Guo menghantam punggungnya, bukan kehancuran atau keruntuhan yang terjadi.BAM!Justru, tubuh ninja itu melesat ke depan dengan kecepatan yang bahkan lebih mencengangkan, seperti sehelai daun yang terhembus badai. Dalam sekejap, bayangannya lenyap di bawah remang-remang cahaya lentera kapal, dan tiba-tiba saja, suara nyaring pecahnya air terdengar.BYUR!Rong Guo tertegun, kedua matanya membulat saat ia melihat sosok hitam itu menceburkan diri ke dalam lautan tanpa sedikit pun rasa takut."Tunggu!" teriaknya, suaranya serak dan penuh ketidakpercayaan. Namun panggilannya terhapus oleh suara debur ombak yang menelan sosok ninja itu.Ia bergegas ke pinggiran kapal, tangannya bergetar ringan saat ia mencengkeram susuran kayu, matanya liar mencari-cari sosok yang baru saja menghilang ke dalam kedalaman laut yang hitam peka
Rong Guo memutuskan untuk singgah sebentar di Kota Biratama, kota yang riuh oleh hiruk-pikuk orang-orang yang tampak sibuk dengan urusan mereka masing-masing.Jalanan yang ramai itu dipenuhi oleh pedagang, pelancong, dan para kultivator yang saling berlalu-lalang. Suasana pasar yang semrawut dengan aroma makanan jalanan bercampur debu membuat udara terasa berat, menambah perasaan sesak di dada Rong Guo."Begitu banyak orang... dan mereka semua tampak seperti praktisi," pikir Rong Guo, matanya memindai wajah-wajah yang penuh tekad. "Apakah semua orang ini datang hanya untuk berburu Airmata Giok Fenghuang?"Perasaan terkejut perlahan merayap di hatinya.Sebelumnya, dia mengira Airmata Giok Fenghuang hanyalah legenda yang terdengar gaungnya di Kota Xuefeng Du saja, tapi kenyataan di depan matanya berbeda jauh.Kota Biratama, yang awalnya dianggapnya sebagai persinggahan sejenak, kini berubah menjadi tempat di mana semua orang tampak berburu benda legendaris itu. Bisikan dan percakapan di
Pasar Hantu—tempat di mana barang-barang gelap dijual tanpa aturan yang jelas—terletak di luar batas Kota Biratama.Meski begitu, lokasinya tidak terlalu jauh dari Pintu Timur kota. Pasar ini tersembunyi di balik lorong-lorong sempit dan gelap yang menjulur di sepanjang Bukit Tengkorak, sebuah tempat yang sudah lama dikenal sebagai wilayah terlarang bagi orang-orang biasa.Aroma lembap tanah dan daun yang membusuk memenuhi udara, semakin menambah kesan angker pada tempat itu. Cahaya lampu minyak yang redup dan bergoyang lembut diterpa angin malam, membuat bayangan di dinding-dinding batu terlihat seperti makhluk hidup yang sedang merayap.Rong Guo menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah ke lorong yang gelap itu. Hatinya berdegup sedikit lebih cepat, tapi dia tak membiarkan kegelisahan menguasai dirinya.Tiba-tiba, langkah kakinya terhenti sejenak ketika suara serak yang terdengar tua dan bergetar tiba-tiba pecah di tengah kesunyian.“Derma... atau pergi dari sini,” suara itu datan
Diatas kapal roh yang bergerak menuku Benua Longhai, dua orang prajurit berdiri sigap, namun dengan wajah yang mengeras.Sebenarnya, bukan karena Balaghun tidak penasaran. Ia pun terbungkus rasa ingin tahu yang mendalam, namun ia tahu betul bahayanya.Khagan adalah sosok yang bengis, penuh rahasia yang terkadang lebih mematikan dari pedang. Siapa pun yang mencoba menggali rahasia-rahasia itu akan berisiko kehilangan nyawa.Keheningan kembali melanda, hanya angin musim gugur yang berdesir di sekitar mereka. Di tengah malam yang dingin itu, keduanya berdiri tegak, berusaha mengusir rasa dingin yang mulai merayap ke tubuh mereka melalui celah-celah zirah.Secara refleks, mereka bergerak sedikit, mencoba menghangatkan tubuh dengan gerakan olah raga sederhana.Namun, tiba-tiba, dengan suara lebih lembut, Balaghun memanggil Orhan."Kemari, anak muda." Suaranya kini terdengar lebih hati-hati, berbeda dari nada keras sebelumnya. "Sebenarnya... aku juga penasaran dengan benda itu."Balaghun me
Mahluk legendaris Bangau Berkaki Satu segera membungkus Rong Guo dalam cahaya yang begitu cerah. Sekelilingnya seketika memudar, dan dalam sekejap, ia mendapati dirinya berada dalam sebuah domain yang terpencil, sunyi, dan seolah terlepas dari waktu.Ruang itu tidak seperti dunia luar—begitu hening, begitu murni, seakan tidak ada yang bisa mengganggu kesempurnaannya.Langit di atasnya berwarna putih keperakan, tanpa awan, tanpa matahari, seakan berada di luar batasan dunia. Udara terasa begitu ringan dan segar, namun ada kekosongan yang aneh, seperti udara yang kehilangan bobotnya.Di bawah kakinya, tanah terasa halus dan dingin, namun bukan tanah biasa. Permukaannya seperti kristal, berkilau lembut dengan cahaya yang datang entah dari mana.Tidak ada suara angin, tidak ada binatang, hanya sebuah kesunyian yang menenangkan namun menakutkan.Rong Guo bisa merasakan setiap detil di sekelilingnya, setiap partikel cahaya yang bergerak perlahan di udara, membentuk pola yang tidak bisa dije
Namun, betapa terkejutnya Sima Cheng ketika ia tiba di lokasi kejadian. Keadaan yang seharusnya penuh hiruk-pikuk kini sunyi sepi. Tak ada keramaian sama sekali, hanya ada seorang pemuda yang berdiri tegak, memegang pedang yang masih berlumuran darah segar.Wajah pemuda itu tampak muram, penuh kebencian dan kekesalan. Di bawah kakinya, tergeletak sosok Raja Kera, makhluk spiritual peringkat Transcendent yang seharusnya sangat sulit untuk ditaklukkan.Aura berbahaya yang menyelimuti jasad makhluk itu masih menguar, menyelubungi udara di sekitar mereka dengan ketegangan yang menakutkan. Bahkan, Sima Cheng merasakan degup jantungnya semakin cepat, menjadi sebuah ketegangan yang sulit diabaikan.“Hunter Guo?” tanya Sima Cheng dengan nada penuh keheranan, suaranya bergetar. “Apa yang kamu lakukan? Mengapa kamu membunuh makhluk spiritual peringkat Transcendent ini?”Rasa gelisah memenuhi hati Sima Cheng. Dalam pikirannya, ia merasa marah sekaligus bingung. Mahluk kontrak peringkat Transcend
Sima Cheng, pemimpin Organisasi Tangan Besi, duduk dengan wibawa di atas tandu mewah yang dipikul oleh empat anak buahnya. Setiap langkah mereka terdengar ringan namun kokoh, menggema di jalanan sempit dan berliku dalam hutan yang remang-remang.Tandu tersebut, dilukis dengan warna emas dan merah, dihiasi ukiran naga dan phoenix yang melambangkan kekuasaan dan keabadian. Cahaya rembulan yang menembus celah-celah dedaunan menerangi ukiran tersebut sehingga tampak hidup.Di sebelah tandu, Zhang Fen, anggota elit organisasi, menunggang seekor harimau iblis.Hewan besar itu melangkah dengan anggun, membuat Zhang Fen tidak perlu repot mengeluarkan tenaga untuk berjalan atau berlari. Bulu harimau yang berkilauan di bawah sinar rembulan memberikan kesan yang sangat intimidatif dan megah."Saudara Zhang," suara Sima Cheng terdengar, memecah keheningan hutan yang hanya sesekali diisi oleh suara serangga dan hembusan angin malam. Meski terdengar tenang, ada nada khawatir yang tersirat di dalamn
Mao Shen adalah pemimpin Organisasi Rajawali Iblis. Nama Rong Guo telah ia dengar sejak dari lantai pertama, namun tak sekalipun ia menyangka akan bertemu langsung dengan pria itu."Bagaimana Anda bisa tahu aku? Kita baru pertama bertemu, bukan?" Mao Shen akhirnya bertanya, suaranya masih terdengar serak setelah batuk-batuknya mereda. Dalam hati, ia menyesal telah meremehkan seni Tapak Angin Puyuh yang nyaris membuatnya muntah darah tadi.Meskipun merasa malu, Mao Shen mencoba menyembunyikan perasaan itu di balik tatapan datar. "Kamu memiliki kemampuan yang cukup hebat," katanya perlahan. "Bisa mengeksekusi Tapak Angin Puyuh—seni bela diri peringkat rendah—menjadi sesuatu yang luar biasa seperti tadi. Itu jelas bukan hal yang mudah."Rong Guo hanya tertawa. Suaranya menggema di antara desiran angin malam dan gemerisik dedaunan, menciptakan suasana penuh tekanan."Dari mana aku tahu Anda?" Rong Guo membalas dengan nada santai, namun sorot matanya tajam menusuk. "Mengapa tidak bertanya
"Ayo masuk, sama-sama kita mencari makhluk kontrak!""Hei! Biarkan aku masuk dulu!""Apa-apaan ini? Mengapa menyerobot?"Suara-suara protes dari para hunter menggema di depan pintu portal. Kerumunan mereka penuh sesak, dengan masing-masing orang berusaha mendahului yang lain. Riuh rendah suara itu memekakkan telinga, menciptakan suasana penuh ambisi dan ketegangan.Namun, ketika Rong Guo melangkah melewati portal itu, semua kegaduhan seketika lenyap. Dunia yang baru saja ia masuki begitu sunyi, seolah waktu di dalamnya berjalan dengan cara yang berbeda.Di kiri dan kanan, pohon-pohon ek yang besar dan menjulang tinggi menyambut pandangannya. Cabang-cabangnya membentang lebar, menciptakan bayangan gelap yang hampir menutupi langit. Di bawahnya, akar-akar besar mencengkeram tanah dengan kokoh, membentuk lanskap yang terasa kuno dan penuh misteri.Suara gemerisik lembut terdengar saat angin bertiup di antara dedaunan, menciptakan harmoni alami yang menenangkan.Rong Guo memperhatikan sek
Sementara itu, Ayong dan Yizhan masih sibuk menyelesaikan duyung-duyung terakhir yang tersisa. Mereka bekerja sama dengan baik hingga tak satu pun musuh berhasil melarikan diri. Ketika suasana kembali tenang dan bayangan dungeon mulai memudar, Rong Guo mendekati kedua kawannya.“Kita langsung pulang saja,” katanya tegas, suaranya terdengar serius. “Kalau kalian ingin merayakan kemenangan dengan minum arak, silakan. Tapi aku punya urusan penting yang harus kuselesaikan.”Ayong dan Yizhan saling melirik dengan raut wajah penuh tanda tanya. Meski penasaran, mereka memilih untuk tidak bertanya lebih jauh. Mereka tahu Rong Guo jarang menjelaskan rencananya, dan mendesaknya hanya akan membuang waktu.Ketiganya berpisah di pintu keluar dungeon. Rong Guo melangkah cepat menuju tempat peristirahatan di perkampungan hunter. Tangannya menggenggam erat Kalung Bintang Abadi, satu-satunya benda yang telah lama ia cari. Benda itu terasa hangat, seolah memancarkan energi misterius.Apakah dalam semal
Setelah beberapa waktu berlalu... setelah Rong Guo melewati dungeon ganda yang menimbulkan rasa cemburu bagi setiap hunter, akhirnya Festival Perburuan Malam dimulai.Namun, ada suatu kejadian yang mengejutkan terjadi, membuat Rong Guo sangat bahagia.Hari ini, tepat sehari sebelum festival dimulai, Rong Guo bersama dua kawannya – Ayong dan Yizhan – masuk ke dalam dungeon.Dungeon yang mereka masuki kali ini berwujud lautan yang maha luas.Lawan mereka adalah kaum duyung yang sangat merepotkan. Selain sakti dengan rata-rata keahlian setara Pendekar Naga Giok, kemampuan sihir para duyung benar-benar luar biasa.“Jangan tergoda dengan nyanyian mereka!” kata Rong Guo tegas. Tangan kanannya melambaikan Pedang Phoenix dan Naga, sementara tangan kirinya merapalkan Teknik Cakra Tengkorak Putih.“Nyanyian duyung mengandung magis, dan bisa membuat jiwa kalian terikat!” tambahnya. “Jika tak kuat, pakailah penutup telinga!”Rong Guo berkelebat cepat, pedangnya meliuk-liuk seperti naga yang menga
Setelah pertemuan panjang dengan para petinggi istana berakhir, Khagan Aruqai melangkah memasuki kamarnya yang megah di dalam istana Kaisar Kota Kaejin.Ruangan itu luas dan penuh kemewahan, dihiasi dengan ukiran-ukiran rumit yang bernilai seni tinggi. Dindingnya dicat dengan lapisan warna emas dan perak yang berkilauan, seakan memantulkan sinar setiap kali cahaya menerpa.Beberapa tembikar berkualitas tinggi terletak di sudut ruangan, semakin menegaskan kesan agung dan megah yang menyelimuti tempat itu.Dalam diam, Khagan berjalan menuju meja tulis yang terbuat dari kayu ebony, tampak eksotis seolah dibawa langsung dari negeri tropis yang jauh. Dengan gerakan tenang, ia duduk dan mengeluarkan selembar kertas khusus yang hanya diperuntukkan bagi para pejabat istana. Ia menulis beberapa kata dengan tangan yang halus dan terlatih.“Tuan, semua sudah siap. Mesin Penghimpun Qi akan segera dieksekusi. Kami juga akan mulai mengumpulkan energi darah yang diperlukan untuk mencapai kesempurnaa