Pagi itu, di sebuah kedai makan kecil yang terletak di pinggiran Pasar Kota Xuefeng Du, suasana begitu hidup.Asap tipis dari makanan yang dipanggang di atas bara menari-nari di udara, bercampur dengan aroma rempah yang menguar dari panci besar di belakang dapur.Pelanggan yang datang dan pergi tampak sibuk menikmati sarapan mereka, namun ada satu topik yang mendominasi pembicaraan di setiap sudut meja: kematian Saudagar Bai Mingyun dan dua pengawalnya."Jadi... Airmata Giok Fenghuang itu benar-benar ada? Itu bukan cuma legenda yang dibuat-buat? Tapi apa hubungannya dengan kematian Saudagar Bai Mingyun?" tanya seorang tamu dengan nada setengah percaya, wajahnya sedikit pucat saat membahas topik yang menakutkan itu.Seorang pria tua di sudut ruangan menoleh, dengan wajah penuh rahasia ia menjawab,"Jelas ada hubungannya. Konon, saudagar itu datang ke utara bukan untuk berdagang, melainkan untuk menjual sebuah informasi—tentang keberadaan ramuan kuno yang selama ini hanya dianggap donge
"Pangeran Mahkota, apakah ada petunjuk yang bisa dibagikan? Tolong ceritakan kepada imam sederhana ini," ujar Rong Guo dengan nada tenang.Ia menuangkan teh bunga krisan kering ke dalam cawan, aroma khas dari bunga itu memenuhi udara di sekitar gazebo Pavilliun Jubah Merah. Mereka duduk dalam keheningan sesaat, menikmati suasana tenang di sekitar paviliun.Tak lama kemudian, seorang pelayan datang membawa nampan berisi kue kacang kastanye dan kue osmanthus yang harum. Hidangan kecil itu diletakkan dengan hati-hati di meja, menambah kehangatan dalam pertemuan mereka.Sambil menyesap teh bunga krisan yang harum, Pangeran Mahkota akhirnya membuka suara, namun ada keraguan dalam suaranya."Guru Tao Guo, apakah Anda pernah mendengar tentang Airmata Giok Fenghuang?" tanyanya, meski tatapannya kosong, seperti terselimuti keputusasaan.Rong Guo mengangkat alis, merasa heran dengan cara sang pangeran menyampaikan berita itu."Pangeran Mahkota, sebaiknya jangan berteka-teki. Berterus teranglah.
Mula-mula, hujan turun perlahan, hanya berupa rintik-rintik yang membasahi jalan. Namun, semakin lama, hujan itu berubah menjadi deras, menumpahkan butir-butir air yang menghantam tanah dengan suara riuh.Kilat sesekali menyambar di langit, diiringi gemuruh guntur yang memekakkan telinga. Jarak pandang semakin terbatas, membuat kusir kereta harus menyipitkan matanya, berusaha melihat ke depan di tengah kegelapan yang pekat dan derasnya hujan.“Guru Tao, apakah kita harus melanjutkan perjalanan?” seru kusir dari balik tirai pembatas antara kursi kusir dengan gerbong kereta. Suaranya sedikit terguncang oleh cuaca buruk.“Cuaca sangat buruk. Lagi pula, kereta tak bisa melaju cepat. Jalanan kini becek dan penuh genangan air. Takutnya, ada sesuatu di depan sana yang bisa menyebabkan kereta tergelincir atau bahkan celaka.”Meski suaranya keras, terdengar jelas kekhawatiran di balik setiap kata. Namun, meskipun berbicara demikian, kusir kereta itu tidak menghentikan laju kuda.Kereta terus b
Rong Guo tiba di Dermaga Hujan, sebuah tempat sunyi di tepi laut yang diapit oleh perkampungan nelayan sederhana.Udara di sana lembap, dengan aroma asin laut yang terbawa angin malam.Meskipun langit masih gelap, tanda-tanda pagi mulai tampak di ufuk Timur. Sejauh mata memandang, hamparan laut menyatu dengan cakrawala, menciptakan ilusi tak berujung yang menenangkan namun sekaligus misterius.Kerumunan pedagang yang bersiap melakukan perjalanan ke wilayah Barat Benua Longhai mulai sibuk dengan aktivitas mereka. Mereka berbincang, saling menawar harga, dan sesekali menunjuk ke kejauhan.“Lihatlah, setitik cahaya itu!” seru seorang pedagang, suaranya penuh antusias.“Apakah itu Kapal Naga Biru? Dari jauh saja sudah tampak megah, dikelilingi oleh kerlap-kerlip cahaya lampu yang begitu mempesona!” sahut pedagang lainnya, matanya berbinar-binar melihat ke arah cahaya di lautan.“Memang benar, ia terlihat seperti naga besar yang melintasi lautan dengan penuh keagungan!” ucap seorang pria b
Mendengar ucapan pemuda asing itu, kerumunan yang tadinya tenang, asyik menikmati teh dan bercengkerama, seketika bereaksi. Semua orang bangkit dari kursi mereka, bergegas menuju pinggiran kapal bagian utara. Di sana, mereka menyaksikan pemandangan yang mengundang decak kagum—kapal dari Negeri Taiyang yang sebelumnya hanya berupa titik di cakrawala, kini bergerak dengan kecepatan yang luar biasa.Taiyang, sebuah negeri yang terdiri dari kepulauan, bukan bagian dari Benua Longhai, memiliki reputasi sebagai ahli kelautan. Teknologi perkapalan mereka sudah lama diakui sebagai yang terbaik.“Kecepatan kapal itu luar biasa! Barusan saja disebutkan, masih tampak seperti titik kecil, kini sudah sebesar biji semangka!” seru salah satu penumpang dengan nada kagum.“Ya, konon, karena negeri mereka dikelilingi lautan, mereka telah mengembangkan teknologi kelautan yang sangat maju, termasuk dalam hal perkapalan,” tambah penumpang lainnya, mengangguk-angguk setuju.Rong Guo, yang ikut dalam kerum
Setelah pertemuan tidak terduga dengan Kapal Perang Dewa Petir dari Taiyang, perjalanan Rong Guo di atas Kapal Naga Biru menuju pelabuhan terdekat di wilayah Barat belum juga mencapai akhir. Namun, pertemuan itu hanyalah awal dari rentetan peristiwa lainnya.Semakin hari, semakin banyak kapal-kapal besar yang muncul di cakrawala, seperti kawanan ikan paus raksasa yang bermigrasi di permukaan laut. Tubuh mereka yang kokoh mengarungi ombak, bergerak perlahan namun pasti, semuanya menuju ke arah yang sama—pelabuhan di Barat.Kapal-kapal tersebut, sekitar sepuluh jumlahnya, terdiri dari berbagai jenis. Ada kapal komersial yang berlayar dengan lamban, membawa muatan penuh barang dagangan, sementara kapal perang terlihat menderu dengan gagah, berburu angin dan arus untuk lebih cepat mencapai tujuan.Lautan Dong Hai seolah-olah menjadi arena balap yang tak terucap, seakan-akan mereka semua berlomba untuk menjadi yang pertama tiba di Kota Biratama di Barat.Di antara semua pergerakan itu, Ron
“Daozhan yang mulia ...” kata Han Seolmin sambil menyunggingkan senyum yang tampak ramah namun terselubung. Suaranya lembut, namun nada penuh muslihat tersirat di balik kata-katanya.“Aku melihat Anda tampaknya menuju ke Barat. Apakah tujuan Anda adalah mencari Airmata Giok Fenghuang?”Ada kilatan licik yang singkat di mata Han Seolmin, seolah menilai setiap gerakan dan ekspresi Rong Guo.Meski begitu, Rong Guo tetap mempertahankan wajah tenang dan penuh kebajikan, layaknya seorang yang saleh dan suci dalam dunia persilatan. Dia sadar betul bahwa di balik senyuman pangeran itu, tersimpan maksud yang lebih dalam.“Yang kulihat, Daozhan bepergian seorang diri untuk perjalanan ini. Kita akan tiba di Kota Pelabuhan Biratama besok. Namun, sejak awal perjalanan ini, sudah tampak begitu banyak pesaing yang mengincar Airmata Giok Fenghuang,” lanjut Han Seolmin, sengaja menggantungkan kata-katanya untuk menciptakan kesan lebih mendalam.Senyum di wajahnya semakin melebar, menambah kesan percay
Meskipun sosok bayangan hitam itu mengenakan kain penutup wajah, Rong Guo bisa merasakan aura kuat yang berdesir dari balik ilusi yang ia ciptakan.Suasana di dalam kabin yang sepi menjadi semakin mencekam, angin laut yang berhembus dari celah jendela memperkuat nuansa misteri. Keringat dingin mulai membasahi punggungnya, namun ia tetap tenang."Seorang Praktisi di tingkat Pendekar Lotus Emas?" pikir Rong Guo dalam hati, matanya menyipit di balik ilusi sihir yang ia buat. Hatinya bergemuruh, tapi ekspresinya tetap tenang, saat sosoknya menyatu dengan bayangan kamar yang sunyi."Sebentar... Tapi ini bukan aura Pendeta Yunho!" batin Rong Guo ragu-ragu. Tadinyadia menduga, sosok ninja ini adalah Pendeta Yunho, jika menilik dari motifnya – dendam karena ia menolak untul beraliansi dengan Pangeran Han Seolmin.Sekrang dugaannya runtuh setelah menyaksikan lebih dekat, sosok ninja itu.Sosok berbaju hitam itu, meski samar-samar diterangi lampu minyak yang bergoyang lembut, tampak lebih kecil
Tiga bulan telah berlalu sejak peristiwa besar yang mengguncang dunia persilatan. Di Puncak Wudang, keramaian tak biasa memenuhi setiap sudut.“Pemimpin Sekte Wudang akan menikah!” teriak seseorang di kerumunan dengan semangat.“Mari kita saksikan! Ini peristiwa yang jarang terjadi!” sahut yang lain, ikut terbawa antusias.“Pemimpin Rong akan menikahi Penatua Xiao, sahabat semasa kecilnya!”Kabar ini telah menyebar ke seluruh penjuru negeri, membuat semua orang berbondong-bondong datang, meskipun tanpa undangan.Setelah kemenangan besar melawan Kekaisaran Matahari Emas, reputasi Sekte Wudang berada di puncaknya. Dipimpin oleh Rong Guo, seorang Abadi, Sekte ini kini menjadi pusat dunia persilatan.Pagi itu, Puncak Wudang terasa hidup. Murid-murid sibuk mempersiapkan segala sesuatu dengan teliti, sementara tokoh-tokoh dari dunia persilatan turut hadir untuk menyaksikan momen bersejarah ini. Para pemimpin sekte aliran putih, datuk sekte sesat, dan praktisi independen berkumpul, meningga
Peristiwa pertarungan itu menyisakan kepedihan yang mendalam. Bau darah masih memenuhi udara, bercampur dengan aroma tanah basah yang terhantam ledakan energi.Langit di atas Puncak Gunung Wudang kini mulai cerah, namun suasana di bawahnya tetap mencekam.Sosok Khaganate dari Benua Podura terbaring diam di atas tanah yang hancur.Armornya yang hitam pekat kini penuh retakan, memancarkan kilau redup seperti batu obsidian yang kehilangan cahayanya.Tubuhnya yang sebelumnya memancarkan aura menakutkan kini terlihat rapuh, seperti sisa abu dari api besar yang telah padam.Dalam sekejap mata, Rong Guo melesat, gerakannya begitu cepat hingga hanya meninggalkan bayangan samar di udara.Ketika orang-orang mengedipkan mata, ia sudah berdiri di sisi jasad Khagan, seperti bayangan yang muncul dari kehampaan.Semua ahli di puncak Wudang segera berkerumun, namun tidak ada yang berani terlalu dekat.Mereka berhenti beberapa langkah di belakang Rong Guo, mata mereka penuh dengan rasa ingin tahu berc
Getaran ledakan meruntuhkan tebing-tebing di kejauhan, sementara retakan-retakan dalam menjalar liar di tanah, melahap apa saja yang dilewatinya.“Langit akan runtuh! Kita semua akan mati!” teriak seorang pria tua, tubuhnya gemetar ketakutan.“Lari! Jangan lihat ke atas!” jerit seorang ibu sambil menarik anaknya yang menangis, wajahnya penuh kecemasan.Penduduk berlarian kacau, beberapa terjatuh akibat guncangan, sementara yang lain terus mencari tempat berlindung.Percikan energi dari ledakan di langit jatuh seperti hujan meteor, membakar apa saja yang disentuhnya.Di langit, tubuh kedua Abadi itu terlempar jauh ke belakang akibat dampak besar serangan mereka. Rong Guo tersungkur ke tanah, tubuhnya memar dan dipenuhi luka.Napas Rong Guo tersengal, darah mengalir di sudut bibirnya, tubuhnya bergetar karena energi yang hampir habis.Napas Rong Guo tersengal, darah mengalir di sudut bibirnya. Tubuhnya tampak melemah, tetapi auranya tetap menguasai langit. Ia melayang dengan stabil di u
Langit tampak seperti tercabik-cabik, retakannya menjalar seperti guratan api yang membakar langit malam.Setiap lapisan atmosfer bergetar hebat, seolah tak mampu lagi menahan kekuatan dahsyat dari dua ahli peringkat Abadi yang bertarung di cakrawala.Matahari memerah, cahayanya memudar seperti nyala lilin yang hampir padam.Dunia seolah berubah menjadi tua.Udara dipenuhi energi gelap dan terang yang saling bertabrakan, menciptakan ledakan menggema yang membuat tanah retak dan sungai meluap.Dua sosok raksasa, perwujudan energi mereka, melesat berpindah-pindah. Ke Utara, Selatan, Barat, dan Timur, setiap langkah mereka mengguncang bumi dan menghancurkan gunung.Bayangan mereka memanjang di atas tanah, menebar teror yang membuat semua makhluk di bawah langit merasa kecil dan tak berdaya.Di seluruh penjuru Benua Longhai, penduduk keluar dari rumah mereka.Wajah-wajah pucat pasi mendongak ke langit, menatap pemandangan apokaliptik yang terjadi di atas mereka.Napas mereka tertahan, dad
Secara alami, pertarungan antara dua Abadi di cakrawala adalah sesuatu yang sangat luar biasa.Pertarungan yang terjadi antara Rong Guo dan Khagan dari Benua Podura mengguncang cakrawala. Kedua sosok abadi itu bertarung dengan kekuatan luar biasa, memecah langit dan menggoncangkan bumi di sekitar mereka.Kedatangan Rong Guo yang terlambat membuatnya terkejut, melihat apa yang terjadi di puncak Gunung Wudang.“Terlambat! Kita terlambat,” tangis Biarawati Fear tak tertahankan.Ia merunduk di tanah puncak gunung, sambil menangisi satu demi satu jenazah murid-murid dari Sekte Gurun Gobi yang tergeletak kaku.Sementara Rong Guo hanya diam.Meski emosinya bergejolak, namun dengan tingkat kultivasi yang telah mencapai puncak dunia, yaitu Yongheng—atau abadi—dia tidak mudah hanyut dalam perasaan sedih yang mendalam.Sambil memindai dengan energi spiritualnya yang tajam, Rong Guo menemukan jejak aura ribuan tentara Kekaisaran Matahari Emas yang menyebar di Puncak Terlarang.Sedetik sorot mata
"Apa yang terjadi?" suara seseorang bergetar memecah keheningan."Siapa yang melakukan ini? Siapa yang menghabisi semua tentara Matahari Emas?"Tidak ada yang mampu menjawab. Keheningan kembali menyelimuti, berat dan penuh tanda tanya.Zhang Long Yin memandang pemandangan itu dengan dahi berkerut tajam. Ia mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi, tapi pikirannya dipenuhi kebingungan. Siapa yang memiliki kekuatan sebesar ini, yang mampu menyingkirkan ribuan tentara dalam sekejap?Xiao Ning menggigit bibir, emosinya bercampur aduk.Keajaiban ini mungkin telah menyelamatkan mereka, tetapi muncul pertanyaan besar: keajaiban macam apa yang terjadi di Puncak Terlarang malam tadi?>>> Di langit...Dua sosok bertarung dalam bentuk yang melampaui nalar manusia.Pemuda berbaju putih longgar berdiri di udara dengan ketenangan yang menusuk, seperti puncak gunung es yang tersembunyi.Senjata di tangannya adalah sebuah payung istimewa yang memancarkan aura magis. Angin berputar di sekelilingny
Malam yang panjang berlalu dengan cepat.Di dalam array Puncak Terlarang, semua orang terdiam, menutup mata, berusaha mengabaikan hiruk pikuk di luar. Ada yang tenggelam dalam meditasi, ada pula yang sibuk mencoba menyembuhkan luka dengan sisa obat seadanya.Kesibukan itu membuat tak seorang pun memperhatikan keanehan yang muncul di luar.Di langit yang kelam, sebuah kilat tiba-tiba menyala, hanya sekejap. Namun, efeknya sungguh menggetarkan.Saat kilat itu lenyap, ribuan tentara Kekaisaran Matahari Emas tergeletak, saling bertumpuk di atas tanah Puncak Terlarang.Tubuh-tubuh mereka tidak bergerak tak bernyawa, nyaris menyatu dengan ribuan jasad yang sudah lebih dulu menjadi korban perang.Tak lama kemudian, matahari mulai bersinar lembut.Cahayanya menyelinap melalui celah array, menyentuh permukaan tanah yang dingin dengan kehangatan samar.Zhang Long Yin, pemimpin Sekte Wudang, membuka mata perlahan setelah semalaman bermeditasi untuk memulihkan energi Qi-nya.Di dekatnya, Xiao Nin
Jauh sebelum perang ini pecah, dalam sebuah diskusi, Zhang Long Yin pernah mengungkapkan bahwa mereka masih memiliki tempat persembunyian, jika keadaan mendesak.“Aku akan bersiul sebagai kode, dan semua orang harus segera bergegas menuju Puncak Terlarang Sekte Wudang. Di sana, kita akan aman!” ujarnya dengan tegas, suaranya penuh keyakinan.Namun, siapa yang bisa membayangkan bahwa saat ini, kata-katanya akan menjadi kenyataan yang mengerikan?“Array dan formasi sihir di Puncak Terlarang sangat kuat. Tidak ada yang bisa menembusnya jika kita berlindung di sana!” jelas Zhang Long Yin lebih lanjut, seperti mengingatkan dirinya sendiri bahwa satu-satunya harapan adalah puncak terlarang itu.Para pemimpin sekte, bersama datuk-datuk dunia persilatan, bahkan telah melakukan simulasi tentang cara evakuasi ke Puncak Terlarang jika keadaan semakin genting.Namun, mereka tidak menyangka bahwa hari itu akan datang dengan begitu cepat.“Tapi semoga ini tak terjadi. Kita akan berperang mati-matia
Di belakang Sekte Wudang, terdapat satu puncak yang belum pernah tersentuh oleh siapapun. Puncak itu dikenal sebagai "Puncak Terlarang", dan hanya pemimpin sekte yang diperbolehkan menginjakkan kaki di sana.Desas-desus beredar bahwa di puncak daerah terlarang tersebut terdapat sebuah jurang yang sangat dalam, yang disebut-sebut sebagai neraka dunia.Jurang itu mendapat juluka "Neraka Dunia" karena di sanalah para praktisi Sekte Wudang yang sesat dan melanggar aturan golongan putih dibuang.Tempat itu menyimpan penderitaan yang tak terbayangkan, dan tak seorang pun yang pernah kembali untuk menceritakan kisahnya.Pagi mulai menjelang, cahaya matahari menyemburat lembut di ufuk timur, namun pertempuran yang berkecamuk tak juga mereda.Di atas Puncak Sekte Wudang, bukanlah pemandangan yang biasanya terlihat—sekarang lebih tepat disebut puncak pemakaman daripada puncak sekte dari dunia persilatan aliran putih. Lantaran darah yang berceceran, dan tubuh yang berserakan, udara terasa begit