"Apa yang kalian lakukan!"Attar terperanjat ketika mendengar suara teriakan mamanya. Refleks ia bangun, tetapi alangkah terkejut saat mendapati tubuh atasnya yang telanjang. Attar bingung. Seingatnya tadi ia berada di ruang kerja dan berkutat dengan berkas. "Apa yang kalian berdua lakukan?" Salma mengulang pertanyaan.Setelah kesadarannya terkumpul, Attar baru sadar kalau ia tidak sendirian. Seorang wanita tengah terisak dengan selimut yang menutupi tubuhnya."Naura, apa yang kamu lakukan di sini? Kita--"Attar terkesiap. Ia menyingkap selimut dan mengintip bagian bawah tubuhnya yang juga polos tanpa sehelai benang."Attar, cepat jelaskan pada Mama!""Aku ... aku tidak ingat apa pun, Ma. Kenapa bisa berada di kamar ini dan Naura ... kenapa kamu juga ada sini? Kenapa kita bisa tidur satu ranjang dalam keadaan begini?" "Apa Bapak tidak ingat? Bapak yang memaksa saya untuk melayani Bapak. Saya sudah menolak dengan keras tapi Bapak malah menyeret saya ke kamar ini." Naura tergugu. Att
"Dokter, terima kasih sudah membantu saya. Tapi saya tidak bisa lebih lama berbaring di sini. Saya harus ke ruang rawat papa, takutnya adik saya belum datang dan tidak ada yang menjaga beliau.""Jadi yang dirawat di sini itu Papa Anda?""Iya. Saya harus segera ke sana."Nada berusaha bangun. Meski tubuhnya masih terasa lemas, tapi ia tidak ingin lebih lama berada di ruangan itu. Ada hal penting yang harus segera ia lakukan. Tentunya, setelah memastikan jika Meisya sudah sampai untuk menjaga papa mereka."Sepertinya kondisi Anda sudah mulai stabil. Kalau memang Anda ingin menemui Papa Anda, silakan.""Terima kasih, Dokter."Perlahan, Nada turun dari ranjang dan berusaha berdiri tegak. Gibran terus memperhatikan karena takut wanita di depannya ini kembali lemas dan terjatuh. Kondisi hatinya sedang tidak baik-baik saja. Itu yang Gibran tebak setelah mengamati keadaan Nada. Saat Nada berjalan keluar dari ruangan, netra Gibran masih menatap lekat. Sulit sekali baginya mengalihkan pandanga
Sesuai janjinya, Attar tidak mempersulit proses perceraiannya dengan Nada. Meski hatinya tidak terima jika mereka harus berpisah, tetapi Attar berusaha untuk memenuhi keinginan sang istri yang telah ia sakiti.Kini, mereka sudah resmi berpisah. Nada kembali fokus pada karirnya menjadi seorang model. Ya, atas saran dari Cindy, Nada memilih kembali ke pekerjaan lamanya demi keluarga yang harus ia hidupi. Sesuai janji yang pernah Attar ucapkan, pria itu telah membeli rumah orang tua Nada yang sempat disita. Ia meminta Nada dan keluarga mantan istrinya untuk kembali tinggal di sana. Nada tak mampu menolak. Anggap saja itu merupakan nafkah terakhir dari Attar untuknya. Hendra sempat syok mendengar kabar perceraian putrinya. Namun, Nada berusaha menjelaskan sepelan mungkin agar papanya bisa mengerti. Beruntung Hendra menerima meski hatinya merasa kasihan pada nasib yang dialami putrinya.Kini, Nada harus menjalani hidupnya sebagai seorang janda. Tentu tidak akan mudah dikarenakan pandangan
"Assalamualaikum."Gibran memasuki rumah dan langsung disambut oleh sang Ibu yang sedang duduk di ruang tamu. Melihat putranya baru pulang dan terlihat lelah, Nurul memberi usapan lembut pada bahu sang putra setelah Gibran mencium punggung tangannya."Abi mana, Umi?" tanya Gibran setelah duduk di samping ibunya."Abi kamu sudah tidur dari tadi. Kok kamu pulangnya malam sekali?""Iya, tadi ada operasi CITO dan Gibran menggantikan Dokter Ridwan yang tidak masuk. Umi kenapa belum tidur?""Nunggu kamu pulang." Nurul tersenyum lembut. "Coba kalau kamu sudah menikah, bukan Umi lagi yang akan menunggu dan menyambutmu pulang, tapi istri kamu.""Umi." Gibran mendesah. Ia rebahkan kepalanya di pangkuan sang ibu yang langsung mengusap rambutnya penuh sayang."Umur kamu sudah 30 tahun, Gi. Kamu sudah sangat pantas untuk menikah. Tapi sampai sekarang belum ada satu orang pun wanita yang kamu kenalkan sama Umi. Bagaimana kalau Umi saja yang carikan calon buat kamu?" ucap Nurul yang langsung mendapa
"Hati-hati, Pa."Nada membantu Hendra duduk di kursi roda. Hari ini jadwal chek up papanya dan beruntung ia mempunyai waktu senggang dan bisa mengantar. Bersama Meisya, ia membawa sang Papa ke rumah sakit sedangakan Miranti tidak bisa ikut dengan alasan ada janji temu dengan temannya. Ya, memang sudah biasa seperti itu dan Nada masih mencoba memaklumi. Miranti memang terkesan ogah-ogahan jika Nada meminta menemani papanya ke rumah sakit. Akan tetapi, wanita itu cukup telaten dalam mengurus dan mempersiapkan segala keperluan Hendra jika di rumah. Hal itu lah yang membuat Nada tidak pernah merasa keberatan memberikan sejumlah uang jika sang ibu tiri meminta."Mbak, jadwalnya masih setengah jam lagi, kita datangnya terlalu awal. Mau nunggu di sini saja?""Iya, Mei. Kasihan Papa kalau kita nunggu terlalu jauh dari ruangan."Meisya mengangguk mengerti. Mereka duduk di ruang tunggu sambil memainkan ponsel masing-masing.Ketika membuka aplikasi instagram, Nada sempat tertegun saat mendapati
"Aku minta maaf atas sikap Papa barusan."Nada merasa tidak enak pada Attar atas sikap papanya. Ia meminta Meisya untuk membawa Hendra ke mobil lebih dulu sebelum sang adik pun mengeluarkan kata-kata kasar. Attar sendiri memaklumi sikap Hendra. Ia paham akan perasaan mantan mertuanya yang pasti ikut merasakan sakit karena putrinya telah dikhianati."Gak papa, Nad. Aku paham dan ngerti banget," ucap Attar dengan senyum yang sangat kentara dipaksakan. Kehadiran Gibran di samping Nada membuat dadanya bergemuruh tak karuan. Perasaan cemburu tak dapat ia tampik saat menyaksikan Gibran pun sepertinya sudah dekat dengan Hendra. Lalu, apa kabar dengan Nada sewaktu melihatnya berciuman dengan Naura? Attar bisa membayangkan betapa hancurnya perasaan sang mantan istri saat itu. Namun, menyesal pun tiada guna. Kini ia harus menuai akibat dari pengkhianatan yang ia lakukan. Berpisah dengan istri yang masih dicintainya dan harus terjebak bersama Naura hanya karena rasa bersalah."Maaf, Nak Attar. B
Naura melempar barang apa saja yang berada di kamarnya. Sudah tiga hari setelah Attar mengantarnya ke rumah sakit, pria itu tidak pernah menunjukkan batang hidungnya. Naura kalap. Ia ingin pria itu berada di sisinya. Ia ingin Attar mendampinginya setiap saat. Naura ingin Attar. Ya, hanya menginginkan pria itu.Wandi merasa sedih sekaligus kalut melihat tingkah polah sang putri. Pria paruh baya itu mencoba menghubungi Attar, tetapi sayang pria itu tidak pernah menjawab panggilan darinya. Wandi kelimpungan, tidak tahu bagaimana caranya menenangkan Naura. Putrinya mengamuk dengan mulut yang tak henti meneriakan nama Attar."Pak Wandi, bagaimana kalau kita bawa saja putrinya ke rumah sakit jiwa? Takutnya nanti malah membahayakan Pak Wandi dan bisa jadi merambat ke warga sekitar," saran salah satu tetangga yang sengaja datang karena mendengar teriakan Naura. "Putri saya tidak gila, Bu. Kenapa harus dibawa ke rumah sakit jiwa?""Lho, si Naura teriak-teriak sama ngamuk gitu kok Pak Wandi ma
"Kamu marah sama Papa?" tanya Hendra ketika sudah berada di kamar sang putri. Ia paham Nada pasti kecewa karena ia telah melarangnya berbicara dengan Attar."Kenapa Papa bertanya seperti itu? Kenapa juga Nada harus marah?""Karena Papa melarangmu berbicara dengan Attar. Papa tahu sebenarnya kamu masih mencintainya kan?" Hendra menatap lekat wajah sang putri ingin melihat seperti apa reaksi Nada ketika ia bertanya seperti itu. Nada pun tidak bisa menyembunyikan perasaan dia yang sebenarnya pada sang Ayah. Tidak mudah bagi Nada untuk melupakan Attar begitu saja. "Nada masih butuh waktu untuk melupakan Mas Attar," katanya lirih.Hendra mengerti. Ia tidak ingin memaksakan kehendaknya kepada sang putri. Nada memang butuh waktu cukup lama untuk melupakan Attar. Hendra paham bahwa tidak mudah melupakan orang yang pernah memberi kita cinta sekaligus luka secara bersamaan. "Maafkan Papa kalau terlalu keras padamu. Papa hanya tidak ingin kamu terlalu lama larut dalam luka. Apa kamu pernah men
"Siang Mas. Bagaimana kabarnya hari ini? Aku lagi ada sedikit masalah di tempat kerja. Mas mau denger cerita aku gak?"Nada membenahi selimut yang menutup tubuh Attar, kemudian duduk di samping ranjang tempat pria itu berbaring. Setelah dinyatakan koma oleh Dokter, sudah empat bulan Attar masih belum sadarkan diri. Nada sempat syok mendengar kabar ini dari Salma. Pasalnya kondisi Attar sempat drop dan Dokter menyatakan harapan hidupnya sangatlah tipis. Namun, Nada terus meyakinkan Salma agar jangan menyerah. Nada meminta Salma supaya tidak meminta Dokter untuk mencabut alat-alat yang menempel di tubuh Attar yang saat ini dijadikan penopang hidup pria itu. Nada yakin Attar masih mempunyai harapan dan selama apa pun itu, Nada akan dengan setia menungguinya. Nada terus bercerita. Mengajak Attar berbicara seperti yang disarankan oleh Dokter. Meski mata pria itu tertutup, tetapi Nada yakin dalam alam bawah sadarnya, Attar masih bisa mendengar suaranya. "Bangunlah, Mas. Apa kamu tidak ing
"Masyaa Allah, Mbak cantik sekali."Nada menatap pantulan dirinya di depan cermin. Ya, Meisya benar. Ia memang cantik dalam balutan pakaian pengantin. Nada menghirup napas sebanyak-banyaknya untuk mengurangi kegugupan. Hari ini hari pernikahannya dengan Gibran. Sebentar lagi statusnya akan kembali menjadi seorang istri, tetapi dari pria yang berbeda. Semalam, Nada sudah memutuskan untuk melanjutkan pernikahan ini. Ia tidak ingin keluarganya dan keluarga besar Gibran menanggung malu. Untuk Attar ... Nada harus berusaha untuk bisa melupakan pria itu. Nada hanya bisa berdoa agar mantan suaminya segera siuman dan keadaannya makin membaik. "Mbak, kok Mbak malah murung? Senyum dong. Hari ini hari bahagia buat Mbak. Sebentar lagi Mbak akan menjadi istri dari Dokter Gibran. Apa ada yang mengganjal dalam pikiran, Mbak? Cerita sama aku biar perasaan Mbak sedikit lega," tutur Meisya seraya menggenggam tangan sang Kakak. Nada segera menghapus titik bening yang hampir keluar dari sudut netranya
"Nad, ini kamu minum dulu.""Makasih, Cin."Nada menerima sebotol air mineral yang diberikan Cindy. Kini mereka berada di rumah sakit, menunggu Attar yang sedang ditangani oleh Dokter. Tembakan yang dilakukan orang itu tepat mengenai punggung Attar. Nada sempat histeris melihat Attar yang terkulai tak berdaya dengan darah yang keluar dari punggungnya. Beruntung polisi segera datang menyelamatkan mereka dan menangkap dua orang penjahat yang mencoba menghabisi Nada. "Aku takut banget, Cin. Takut terjadi sesuatu yang buruk pada Mas Attar. Dia seperti ini karena menyelamatkan aku," ucap Nada di sela isakan. Semenjak Attar dibawa ke rumah sakit, Nada tidak berhenti menangisi mantan suaminya. Ia merasa bersalah karena menjadi penyebab Attar mengalami hal buruk seperti ini."Kamu tenang. Lebih baik kamu banyak-banyak berdoa supaya dia bisa diselamatkan. Apalagi besok kamu itu mau nikah, Nad. Kamu jangan terlalu capek dan banyak pikiran. Nanti setelah tahu keadaan Attar, lebih baik kamu pula
"Tidak!"Wandi setengah berteriak di depan dua orang yang mendatangi rumahnya. Orang tua pelaku pemerkosa putrinya itu mencoba bernegosiasi dengan menawarkan tanggungjawab dengan pernikahan, asalkan Wandi mencabut tuntutan dan putra mereka bebas dari penjara. Namun, Wandi tidak bodoh. Ia tidak akan pernah sudi menikahkan putrinya dengan orang bejad seperti putra mereka."Pak Wandi, kami datang ke sini untuk mengajak berdamai. Putra kami pun sudah bersedia menikahi putri Anda dan bertanggungjawab pada bayi itu. Apa Bapak tidak kasihan pada calon cucu Bapak jika ia terlahir tanpa seorang Ayah?" "Lebih baik cucu saya lahir tanpa seorang ayah daripada harus mendapatkan ayah seperti putra Anda. Saya masih bisa mengurusi cucu dan putri saya meski tanpa bantuan kalian. Sekarang, silahkan keluar dari rumah saya karena saya tidak akan berubah pikiran. Putra kalian tetap harus mendapatkan hukuman yang setimpal," tukas Wandi dengan geram. Ia sudah tidak ingin berbicara dengan orang yang mengang
Setelah menemui Attar di kantornya tempo hari, Nada benar-benar membuktikan ucapannya untuk membantu Naura. Dibantu oleh Gibran, Nada mulai mencari orang yang menemukan Naura tergeletak di pinggir jalan untuk dimintai keterangan sekaligus dijadikan saksi di hadapan polisi. Atas keterangan dari Pak Wandi yang untungnya mengenal salah satu dari orang tersebut, akhirnya Nada dan Gibran mendapatkan informasi dan tidak ingin membuang waktu untuk melapor ke kantor polisi. "Laporan sudah diproses dan polisi akan memulai penyelidikan. Menurut temanku, mereka akan mengecek cctv yang dipasang di jalan itu untuk melihat plat dan jenis mobil si pelaku," terang Gibran yang membuat Nada sedikit bernapas lega. "Syukurlah kalau begitu. Aku berharap semoga mereka bisa ditangkap secepatnya.""Aku pun berharap begitu." Gibran menimpali. "Aku berharap masalah ini segera selesai sebelum hari H pernikahan kita."Nada terpaku sesaat. Ia hampir melupakan pernikahannya dengan Gibran yang tinggal tiga Minggu
Nada menghela napas panjang sebelum masuk ke gedung kantor milik mantan suaminya. Niatnya untuk membantu Naura sudah bulat. Ia berharap Attar mau bekerjasama dengannya untuk membuat Naura sembuh seperti sedia kala. Jika memang seperti apa yang pria itu katakan bahwa ia sudah tidak mempunyai perasaan apa pun lagi kepada mantan sekretarisnya, setidaknya Attar mau berbaik hati sebagai bentuk rasa simpati kepada wanita itu.Setelah memantapkan hati, Nada memasuki kantor diiringi tatapan dari para karyawan yang tentu saja mengenalnya. Bahkan sebagian dari mereka menyapa Nada dan dibalas dengan senyuman ramah."Pak Attar ada di tempat?" tanya Nada pada seorang wanita yang duduk di meja yang dulu ditempati Naura. Nada yakin wanita ini adalah pengganti Naura sebagai sekretaris Attar."Ada, Bu. Maaf, apa ibu sudah membuat janji?""Belum. Tolong sampaikan saja padanya Nada ingin bertemu.""Baik, Bu. Tunggu sebentar."Wanita itu menghubungi Attar dan memberitahu apa bahwa Nada ingin bertemu. Set
"Bagaimana, Nak? Apakah kamu bersedia?"Abdullah mengulang pertanyaan setelah cukup lama Nada diam saja. Ia paham jika Nada masih kaget karena pertanyaannya yang mendadak. Akan tetapi, Abdullah tidak ingin menunggu lebih lama karena ia pun tahu jika sang putra sudah jatuh hati pada wanita ini. Ia tidak ingin Gibran terperosok ke dalam zina jika dibiarkan terlalu sering menemui Nada dan menghayalkan wanita ini.Nada melirik ke arah Gibran. Bisa ia lihat sorot mata penuh harap dari pria itu. Jika sudah begini, Nada tidak bisa jika harus mengecewakan Gibran dan keluarganya. Pun dengan papanya yang juga menaruh harapan besar padanya.Setelah memantapkan hati, akhirnya Nada mengangguk sambil menjawab, "iya, saya bersedia."Ucapan hamdalah dari semua orang yang berada di ruangan itu mengiringi jawaban dari Nada. Gibran tersenyum lega seraya menatap Nada dengan lekat, seakan ingin memberitahu bahwa ia sangat berterima kasih karena Nada mau menerimanya."Gib, jangan dipandangi terus. Belum ha
"Anda tidak apa-apa, Pak?"Nada begitu khawatir melihat Wandi yang hampir saja limbung. Ia memapah tubuh Wandi untuk didudukkan di kursi tunggu. Nada sempat terpaku ketika melihat wajah Wandi. Ia seperti pernah melihat pria ini, tetapi Nada lupa di mana. Wandi mengucapkan terima kasih dengan lirih. Tubuhnya terasa makin lemah, mungkin karena efek kelelahan dan banyaknya beban pikiran yang ditanggungnya akhir-akhir ini karena kondisi sang putri."Terima kasih sudah membantu saya, Nak. Maaf merepotkan.""Tidak merepotkan sama sekali. Saya malah senang bisa membantu Bapak. Oh ya, kalau boleh tahu Bapak mau ke mana? Keadaan Bapak sepertinya masih lemah. Biar saya antar, takutnya Bapak tidak kuat berjalan," tutur Nada dengan masih memperhatikan wajah Wandi. Mencoba mengingat di mana ia pernah melihat pria paruh baya ini. "Saya ... mau ke ruangan putri saya," jawab Wandi dengan lemah. "Tapi Anda tidak perlu mengantar. Takutnya malah merepotkan. Setelah saya beristirahat sebentar, nanti ju
"Bisa kita bicara?"Nada masih terpaku. Kedatangan Attar ke rumahnya yang tidak ia duga, membuatnya ketakutan. Takut sang Papa akan marah dan berakhir mengusir mantan suaminya ini. Meski rasa kecewa pada Attar sampai saat ini belum hilang, tetapi Nada tidak tega jika harus melihat Attar mendapatkan amarah dari papanya."Nad--""Mau bicara apa?" Nada akhirnya menjawab. "Tentang kita. Please, aku janji gak akan lama."Nada menghela napas. Anggukan ia berikan sebelum akhirnya berbicara. "Baiklah, tapi jangan di sini. Papa pasti marah kalau melihat Mas Attar. Tunggu aku di cafe biasa, nanti aku menyusul.""Kenapa gak sama-sama saja?" Attar kecewa."Gak bisa. Kalau Mas Attar mau, silahkan ke sana duluan. Kalau tidak, ya sudah kita tidak perlu bicara." "Oke, aku ke sana duluan."Attar akhirnya mengalah. Ia memasuki mobil dan pergi ke cafe terlebih dahulu. Sedangkan Nada meminta izin kepada Hendra untuk keluar menemui teman. Sebenarnya Nada merasa berdosa karena telah membohongi sang ayah.