"Revan, tunggu!"Savira sudah bergegas. Tapi tetap saja Revan bergerak lebih cepat darinya. Pria itu terlihat tidak peduli walau berapa kali pun Savira memintanya untuk menunggu."Revan!" teriak Savira memanggil. Dia menghentakkan kakinya dan menarik Revan dengan kasar."Ada apa?" tanya Revan jengah. Dia tidak bisa mengendalikan emosinya sejak masalahnya dengan Jovanka dimulai. Dan Savira bukannya menenangkannya, malah membuat rumit keadaan. "Aku sudah bilang, jika aku tidak bisa berangkat bersama denganmu.""Kenapa tidak bisa? Bukankah tuan Danial saja sudah mengetahui jika kita telah menikah? Lalu kenapa kamu masih berusaha menutupinya?" cecar Savira. Dia merasa tidak suka dengan sikap Revan. Meski sudah menikah, dia masih saja enggan menunjukkan hubungan mereka secara terang-terangan. Padahal ia menanti reaksi orang-orang saat mengetahui ia berhasil menggaet Revan."Kita baru saja membuat masalah. Apa kamu tidak bisa berpikir?" tanya Revan geram. Dia tidak mengerti bagaimana isi pi
Revan tidak bisa berhenti gelisah. Bayangan Jovanka terus berputar di kepalanya. Selama ia belum berhasil membawa istrinya kembali, rasanya Revan akan terus seperti ini.Saat ini, dia sedang bekerja. Tapi dia tidak bisa bekerja dengan tenang. Revan tidak bisa berkonsentrasi. Seluruh pekerjaannya pun terasa kacau.Revan menyandarkan punggungnya di kursi dan menghela napas. “Aku bisa gila jika terus seperti ini,” gumamnya.Dia harus segera memikirkan cara untuk kembali mengambil istrinya. Sebelum Danial merencanakan sesuatu untuk membuat Revan dan Jovanka bercerai. Revan tidak mungkin membiarkan hal itu terjadi.“Revan, bekerjalah! Jangan terus melamun!” Atasan Revan datang dan menegur.Revan tersentak mendengar suaranya.Atasannya itu tampak menatap Revan dengan tatapan tak suka. Walau tahu Revan merupakan menantu tuan Danial, kebanyakan orang di kantor memang tidak menyukai pria itu.“Maafkan aku, Pak,” ucap Revan sesal.“Jangan ulangi lagi! Sikapmu ini sangat tidak pantas. Jika bukan
Revan mengacak rambutnya dengan kasar. Dia kesal karena tidak berhasil membujuk Jovanka supaya pergi bersamanya. Lebih dari itu, Revan pun merasa direndahkan oleh teman-teman Jovanka. Kini, rasanya sangat sulit bagi Revan untuk mendekati perempuan yang masih menjadi istrinya itu. Jovanka dikelilingi orang-orang yang kebanyakan menaruh benci pada Revan. Mereka pasti berbahagia melihat hubungan retak antara Revan dengan Jovanka. Sekarang, harus dengan cara apa Revan membawa Jovanka kembali? Jika tanpa pengawasan orang tuanya saja, Jovanka masih dalam perlindungan orang-orang yang peduli padanya, lantas, kapan waktu yang tepat bagi Revan untuk mengajak Jovanka bicara? Revan sudah meninggalkan kantor hanya untuk mencari keberadaan istrinya. Dia bahkan sudah siap menerima cacian setelah keluar dari kantor tanpa ijin. Karena seseorang yang mengabarkan padanya tentang keberadaan Jovanka, Revan tidak banyak bepikir, dia bergegas pergi ke tempat yang dibicarakan orang itu. "Bagaimana?" Tio m
Revan memutuskan untuk duduk di taman kota. Tidak banyak yang berada di sana, karena malam sudah semakin larut. Orang-orang pasti akan lebih memilih untuk pulang dan bergelung dengan selimut.Revan juga sebenarnya menginginkan seperti itu. Sayangnya kini rumahnya bukan lagi menjadi tempat yang nyaman baginya. Setelah dia kehilangan Jovanka, dan membawa Savira, dia tidak lagi menemukan kenyamanan di rumahnya sendiri.Revan sendiri mulai berpikir, apa memang ini yang dia inginkan. Setelah menikah, banyak hal dari Savira yang baru Revan ketahui. Perempuan itu, meski Revan akui dia sangat manis terhadap Revan, berbeda dengan Jovanka yang terlihat acuh, tapi Savira tidak menjalankan tugasnya sebagai istri dengan baik.Dia tidak peduli saat Revan bersiap bekerja, tidak membantu Revan menyiapan pakaian, bahkan untuk menyiapkan makanan saja Savira seperti tidak mau repot-repot memikirkannya. Revan sampai memesan makan dari luar tiap kali waktunya mereka makan. Dan Savira tidak pernah terlihat
“Aku ingin ikut bersama kakak.”“Hm?” Razka yang tengah berdiri sambil mengunyah rotinya, seketika menoleh ke arah Jovanka yang baru berbicara. Adiknya itu tampak menuruni tangga, dan berjalan ke arahnya.Razka menelan habis makanan di mulutnya sebelum menjawab Jovanka. “Untuk apa ikut denganku? Di kantor itu membosankan, Jo.”Razka tidak ingin membuat Jovanka bosan jika harus menunggunya bekerja. Ia sendiri sering merasa jenuh dan ingin segera pulang tiap kali berada di kantor. Pekerjaan yang menumpuk itu mengesalkan. Jika tidak ingat jika itu adalah sumber penghasilannya, Razka mungkin sudah membuang dan bakar semua itu hingga habis tak bersisa.“Tapi aku ingin ikut,” rengek Jovanka. “Di rumah juga membosankan. Setidaknya jika aku bersama kakak, aku bisa belajar bagaimana mengurus perusahaan.”Jovanka tidak terpikirkan lagi untuk menjadi seorang istri. Lebih baik dia membantu Ayah dan kakaknya untuk mengembangkan perusahaan. Apapun yang dia lakukan sekarang hanya untuk kebaikan kelu
Jovanka pun ikut bersama Razka setelah membujuk Ayahnya. Alasan mengapa Jovanka lebih memilih bersama Razka, adalah karena kakaknya itu lebih pengertian dibanding Ayahnya. Jovanka tidak ingin membuat Ayahnya kecewa dengan kemampuan Jovanka yang tidak sesuai harapannya. Berbeda dengan Razka, kakaknya itu akan selalu mengerti dan menerima Jovanka sekali pun ia gagal.Jovanka tidak pernah terjun ke dunia kerja sebelumnya. Mimpinya dulu adalah menjadi seorang model. Tapi kini ia tidak sedikit pun memiliki ketertarikan dalam bidang itu. Jovanka lebih tertarik untuk mengikuti jejak ayahnya. Karena sepertinya, menjadi wanita kantor cukup keren saat dibayangkan.Jovanka hanya perlu sedikit belajar dari Razka tentang apa saja yang harus ia pelajari.Saat mereka tiba di kantor, Razka benar-benar mengajarinya dengan baik. Dia tidak terburu-buru dan menjelaskan semua yang ia tahu dengan sangat jelas. Jovanka dapat memahami semua yang Razka sampaikan. Dia rasa, sepertinya tidak akan terlalu sulit.
Jovanka harus menahan kesal saat Farel yang baru dikenalnya tiba-tiba bersikap sok akrab. Dia terus berusaha mendekati Jovanka dan mengajaknya untuk lebih dekat. Padahal Jovanka tidak ingin berteman lebih dekat dengan pria itu. Terlebih, Jovanka tahu jika Farel memang memiliki perasaan khusus padanya. Jovanka tidak ingin membuat pria itu terlalu berharap.“Bagaimana jika makan siang bersama?” tawar Farel untuk yang kesekian kalinya. Dia sudah memberi banyak penawaran pada Jovanka yang ditolak mentah-mentah oleh perempuan itu. Tapi Farel tidak kehabisan ide, dia terus mencetuskan ajakan lain supaya bisa bergerak lebih dekat dengan Jovanka. “Aku tidak akan keberatan jika kamu mengajak Razka. Meski sebenarnya aku tidak mau.”“Kamu terlalu terus terang,” cibir Razka ketus. Dia ada di sana bersama mereka dan menyaksikan sendiri bagaimana sikap konyol temannya untuk merayu Jovanka. Razka tidak bisa melarang Farel karena melihat pandangan berbinar temannya itu, dia tidak tega untuk menentang
Jovanka pergi keluar setelah berpamitan pada Razka. Dia berdiri di tepi untuk mencari taksi yang sudah dia pesan. Jovanka berbohong pada Razka dan Farel, taksi yang ia pesan memang belum datang. Jovanka hanya mencari alasan untuk bisa segera pergi dari kantor Razka.“Apakah masih lama?” gumam Jovanka. Dia sesekali melirik handhphone-nya untuk melihat apakah driver taksi itu menghubunginya.Tidak jauh dari tempatnya, seseorang mengawasi gerak gerik Jovanka.Dia Aron, kekasih gelap Savira yang ditugaskan untuk menghabisi Jovanka. Dia berada di sebuah truck yang terpangkir di pinggir jalan. Aron sesekali menyesap gulungan putih di tangannya. Pandangannya tak lepas sedikit pun dari Jovanka. Paras perempuan itu membuatnya terpana. Tubuhnya yang semampai benar-benar menggoda. Seringai muncul di bibir Aron. Ia tidak sabar untuk menikmati tubuh perempuan itu.“Baiklah, kita akan selesaikan ini segera.”Aron menyalakan mesin trucknya, dan melajukannya ke arah Jovanka.Jovanka tidak sadar saat