“Aku ingin ikut bersama kakak.”“Hm?” Razka yang tengah berdiri sambil mengunyah rotinya, seketika menoleh ke arah Jovanka yang baru berbicara. Adiknya itu tampak menuruni tangga, dan berjalan ke arahnya.Razka menelan habis makanan di mulutnya sebelum menjawab Jovanka. “Untuk apa ikut denganku? Di kantor itu membosankan, Jo.”Razka tidak ingin membuat Jovanka bosan jika harus menunggunya bekerja. Ia sendiri sering merasa jenuh dan ingin segera pulang tiap kali berada di kantor. Pekerjaan yang menumpuk itu mengesalkan. Jika tidak ingat jika itu adalah sumber penghasilannya, Razka mungkin sudah membuang dan bakar semua itu hingga habis tak bersisa.“Tapi aku ingin ikut,” rengek Jovanka. “Di rumah juga membosankan. Setidaknya jika aku bersama kakak, aku bisa belajar bagaimana mengurus perusahaan.”Jovanka tidak terpikirkan lagi untuk menjadi seorang istri. Lebih baik dia membantu Ayah dan kakaknya untuk mengembangkan perusahaan. Apapun yang dia lakukan sekarang hanya untuk kebaikan kelu
Jovanka pun ikut bersama Razka setelah membujuk Ayahnya. Alasan mengapa Jovanka lebih memilih bersama Razka, adalah karena kakaknya itu lebih pengertian dibanding Ayahnya. Jovanka tidak ingin membuat Ayahnya kecewa dengan kemampuan Jovanka yang tidak sesuai harapannya. Berbeda dengan Razka, kakaknya itu akan selalu mengerti dan menerima Jovanka sekali pun ia gagal.Jovanka tidak pernah terjun ke dunia kerja sebelumnya. Mimpinya dulu adalah menjadi seorang model. Tapi kini ia tidak sedikit pun memiliki ketertarikan dalam bidang itu. Jovanka lebih tertarik untuk mengikuti jejak ayahnya. Karena sepertinya, menjadi wanita kantor cukup keren saat dibayangkan.Jovanka hanya perlu sedikit belajar dari Razka tentang apa saja yang harus ia pelajari.Saat mereka tiba di kantor, Razka benar-benar mengajarinya dengan baik. Dia tidak terburu-buru dan menjelaskan semua yang ia tahu dengan sangat jelas. Jovanka dapat memahami semua yang Razka sampaikan. Dia rasa, sepertinya tidak akan terlalu sulit.
Jovanka harus menahan kesal saat Farel yang baru dikenalnya tiba-tiba bersikap sok akrab. Dia terus berusaha mendekati Jovanka dan mengajaknya untuk lebih dekat. Padahal Jovanka tidak ingin berteman lebih dekat dengan pria itu. Terlebih, Jovanka tahu jika Farel memang memiliki perasaan khusus padanya. Jovanka tidak ingin membuat pria itu terlalu berharap.“Bagaimana jika makan siang bersama?” tawar Farel untuk yang kesekian kalinya. Dia sudah memberi banyak penawaran pada Jovanka yang ditolak mentah-mentah oleh perempuan itu. Tapi Farel tidak kehabisan ide, dia terus mencetuskan ajakan lain supaya bisa bergerak lebih dekat dengan Jovanka. “Aku tidak akan keberatan jika kamu mengajak Razka. Meski sebenarnya aku tidak mau.”“Kamu terlalu terus terang,” cibir Razka ketus. Dia ada di sana bersama mereka dan menyaksikan sendiri bagaimana sikap konyol temannya untuk merayu Jovanka. Razka tidak bisa melarang Farel karena melihat pandangan berbinar temannya itu, dia tidak tega untuk menentang
Jovanka pergi keluar setelah berpamitan pada Razka. Dia berdiri di tepi untuk mencari taksi yang sudah dia pesan. Jovanka berbohong pada Razka dan Farel, taksi yang ia pesan memang belum datang. Jovanka hanya mencari alasan untuk bisa segera pergi dari kantor Razka.“Apakah masih lama?” gumam Jovanka. Dia sesekali melirik handhphone-nya untuk melihat apakah driver taksi itu menghubunginya.Tidak jauh dari tempatnya, seseorang mengawasi gerak gerik Jovanka.Dia Aron, kekasih gelap Savira yang ditugaskan untuk menghabisi Jovanka. Dia berada di sebuah truck yang terpangkir di pinggir jalan. Aron sesekali menyesap gulungan putih di tangannya. Pandangannya tak lepas sedikit pun dari Jovanka. Paras perempuan itu membuatnya terpana. Tubuhnya yang semampai benar-benar menggoda. Seringai muncul di bibir Aron. Ia tidak sabar untuk menikmati tubuh perempuan itu.“Baiklah, kita akan selesaikan ini segera.”Aron menyalakan mesin trucknya, dan melajukannya ke arah Jovanka.Jovanka tidak sadar saat
Savira benar-benar marah saat mengetahui jika rencananya untuk membuat Jovanka celaka gagal. Ia melampiaskan amarahnya pada Aron yang memang ia tugaskan untuk melakukan pekerjaan itu.“Kenapa bisa gagal?” tanya Savira geram. Padahal ia sudah memberikan bayaran yang lumayan, tapi hasil yang ia dapatkan justru seperti ini. Savira jadi ragu, apa dia bisa mengandalkan Aron?“Perempuan itu diselamatkan oleh seseorang.” Aron membuang puntung rokoknya di asbak dengan lemparan kasar. Pria itu mendengus, “Jangan hanya bisa menyalahkan ku jika kamu sendiri hanya bisa duduk manis dan menunggu hasil kerjaku.”“Itu karena aku sudah membayarmu,” tukas Savira. “Sudah sewajarnya kamu memberikan ku hasil pekerjaan yang memuaskan. Tapi apa ini? Kamu justru gagal disaat aku hanya memberimu tugas kecil.”“Savira.” Aron berdiri dan mendekati Savira. Dia menatap perempuan yang menjadi kekasihnya itu dengan ekspresi dingin. “Jangan membuat ku kehilangan kesabaran. Jika kamu terus membuat aku marah, mungkin
Razka menemui Ayahnya di ruang kerja di rumah mereka. Pria itu menghubunginya siang tadi. Dia berkata ada sesuatu yang ingin ia bicarakan. Razka tidak tahu apa yang hendak Danial bicarakan, Razka tidak akan mendesak, ia akan menunggu sampai Ayahnya itu sendiri yang menjelaskan.“Jadi, ada apa?” Razka yang baru duduk di kursinya segera bertanya pada Danial tentang alasan mengapa ia dipanggil ke sini. Tidak mungkin hanya untuk menceramahi Razka.“Sesuatu telah terjadi pada adikmu.” Danial mengalihkan sejenak perhatiannya dari pekerjaannya. Saat ini ia harus bicara dengan serius bersama putranya. Danial membuka kacamatanya dan meletakkannya di kotak penyimpanan. Dia menatap Razka dengan serius. “Dia hampir dicelakai seseorang.”“Apa maksud Ayah?” Razka menegakkan tubuhnya.“Seseorang sepertinya sedang mengincar nyawa putriku, Kamu harus bisa lebih menjaganya.”“Bajingan mana yang berani mengusik adikku?” Razka memukul meja, meluapkan emosi. Saat ia mendengar ada seseorang yang hendak men
Razka mendorong Farel saat temannya itu hendak masuk ke dalam rumahnya. Razka tidak tahu jika Farel akan datang, dia tidak mengabarinya sama sekali.“Apa tujuanmu datang kemari?” tanya Razka geram.“Tentu saja menemui adikmu,” jawab Farel ringan. Dia berkata seolah itu bukan masalah sama sekali.“Untuk apa?”Semakin ke sini, tingkah Farel semakin berani. Padahal Razka sudah memperingati dia sebelumnya supaya tidak terus mencoba mendekati adiknya. Karena bagaimana pun saat ini Jovanka masih berstatus sebagai istri orang.Tingkah Farel ini hanya akan membuat buruk nama adiknya. Tapi, seperti apapun Razka mengingatkan, Farel seperti tidak peduli. Dia berkata jika dia serius menyukai Jovanka.Razka tidak akan melarang, seandainya saja Jovanka belum menikah dengan siapa pun. Tapi sekarang keadaannya berbeda, Jovanka sudah milik Revan, meski hubungan keduanya tidak nampak baik.“Ayolah. Kenapa kamu selalu menghalangi ku untuk mendekati adikmu?” Farel berusaha membujuk Razka. Ekspresi yang d
“Apa-apaan ini?!”Revan tersentak saat atasannya menghempaskan berkas ke atas mejanya dengan kasar. Ekspresi pria di depannya itu terlihat sangat marah. Kali ini, Revan pasti sudah membuat kesalahan besar.“Kenapa bukannya membaik, pekerjaanmu justru semakin kacau?” Napas pria itu terlihat berat karena emosi. Rasanya dia ingin menendang karyawan di depannya ini karena tidak pernah becus dalam bekerja. Dia heran, kenapa orang sepertinya bisa diterima bekerja di perusahaan ini? “Apa kamu tidak berniat bekerja?”“Tentu saja aku serius, Pak,” sahut Revan. Dia tidak pernah main-main. Saat ia bisa bekerja di perusahaan ini, ia bekerja dengan sungguh-sungguh karena sadar Revan memang membutuhkan pekerjaan ini. Dari sini lah semua kebutuhan hidupnya terpenuhi. Jika dia gagal, maka dia harus kembali mencari pekerjaan dan itu bukanlah hal mudah untuk dilakukan.“Jika kamu memang serius, maka bekerjalah dengan baik. Jangan hanya mengacau!” tegur atasan Revan dengan suara keras. “Perusahaan bisa
Setelah badai, selalu ada pelangi. Jovanka pikir, kata-kata itu hanya omong kosong belaka. Karena sejak dulu kehidupannya selalu menyedihkan, tanpa ada setitik pun cahaya kebahagiaan di dalamnya. Tapi sekarang, setelah melalui semuanya, Jovanka sadar, memang semua ada saatnya. Ia yang telah lama berkubang dalam luka, berteman dengan rasa sakit, kini memiliki banyak kebahagiaan yang patut untuk disyukuri. Kehidupannya menjadi lebih indah. Di cuaca yang gelap sekali pun, ia selalu merasakan suasana hati yang cerah. Perceraian itu tidak pernah terjadi. Akhirnya setelah berhasil membuktikan kesungguhannya, Revan kembali padanya. Pria itu memperlakukan Jovanka dengan sangat baik. Ia memberikan begitu banyak cinta dan perhatian, hingga Jovanka merasa ia diperlakukan seperti perempuan paling istimewa. Pria itu terlalu sering memeluknya, dan kerap kali mencium keningnya. Revan tidak pernah absen melakukan hal kecil itu setiap hari. Tapi hal itu membuat perasaan Jovanka menghangat. Setiap h
Sudah tiga jam, tapi pembukaannya sama sekali tidak bertambah. Jovanka masih bertahan dengan rasa sakitnya. Sebisa mungkin ia berusaha menahan, tapi rasanya membuat ia semakin ingin melarikan diri dari rasa sakit ini.“Aku tidak tahan,” ucapnya dengan nada tertahan.“Bersabarlah, Nona. Ini sudah biasa dilalui setiap Ibu hamil. Sebentar lagi Anda akan segera menemui bayi kecil anda.” Seorang perawat yang bersamanya berusaha menghibur dan menenangkan.Meski begitu, Jovanka tidak merasa terbantu. Mereka semua yang berada di sana seolah tidak peduli pada rasa sakitnya. Andaikan saja di sini ada suaminya, Jovanka pasti akan sedikit memiliki kekuatan untuk melalui semua ini.“Sakit,” ringisnya.“Jika terlalu lama, kita terpaksa menyuntikkan obat perangsang supaya pembukaan bergerak dengan cepat. Tapi, rasa sakit yang Anda rasakan akan semakin kuat.” Seorang dokter yang menanganinya bertanya dengan keputusannya.Tapi, Jovanka tidak bisa memberikan jawaban. Ia malah ingin menangis. Ia memang
“Tuan Razka.”Razka menyorot tajam seseorang yang menerobos masuk ke ruang kerjanya tanpa permisi. Ia bahkan tidak mendengar suara ketukan pintu sebelumnya.“Kamu pikir ini rumahmu? Bisa seenaknya saja masuk sembarang.”“Maafkan aku, tuan.” Anak buahnya itu menunduk merasa bersalah. Ia juga takut akan menerima murka tuannya itu. Tapi saat ini ia terlalu panik hingga tidak bisa memikirkan apa yang ia lakukan. Ia berharap tuannya tidak mempermasalahkan kesalahan kecil yang ia lakukan ini. “Aku … membawa kebar penting.”“Kabar apa?” Razka bertanya dengan wajahnya yang masih menunjukkan kekesalan. “Jika tidak benar-benar penting menurutku, maka bersiaplah kehilangan pekerjaanmu.”Keringan dingin langsung bercucuran di wajah pria itu. Ekspresi wajahnya bahkan sudah sangat pucat.“Aku-““Bicaralah sebelum kesabaranku habis!” bentak Razka. Ia sudah sangat kesal dengan sikap anak buahnya itu, dan sekarang ia masih harus diuji kesabaran dengan mendengar nada bicaranya yang mendadak gagu.“No-n
“Awalnya memang sangat mengecewakan. Aku bahkan sempat berpikir dia tidak akan berhasil. Tapi sedikit demi sedikit dia mulai berubah. Dia mulai mengerti dan mau berusaha. Pekerjaannya menjadi semakin baik.”Danial mendengarkan laporan dari anak buahnya yang ia kirimkan untuk berada di sisi Revan. Dari orang itulah ia bisa mengetahui tentang perkembangan Revan.Bukan hanya membantu dan mengawasi, pria itu juga bertugas mengajari Revan tentang semua hal yang tidak ia ketahui. Dia dituntut untuk membuat Revan berkembang.“Berapa lama waktu yang ia butuhkan?” tanya Danial memastikan. Meski ia terlihat santai, bukan berarti dia tidak memikirkan putrinya. Danial pun mengawasi secara ketat tentang perkembangan Revan di sana. Ia juga ingin pria itu segera menyelesaikan pekerjaannya dan kembali ke sini untuk menemani putrinya.“Sejauh ini, semua sudah ditangani dengan baik, Tuan. Perusahaan sudah berjalan dengan normal seperti semula.”Senyum di wajah Danial terlukis. Ia benar-benar lega mende
Razka membuka pintu ruang kerja Ayahnya dengan kasar. Suara yang ia timbulkan bisa membuat orang yang mendengarnya terkejut. Tapi Danial yang berada di dalam tidak terlihat terusik sedikit pun. Ia masih berkutat dengan pekerjaannya.“Ayah.” Razka memanggil. Dia meletakkan kedua tangannya di meja, tepat di depan pria itu. Pandangannya terlihat menahan marah. Sepertinya Razka datang dalam suasana hati yang tidak begitu baik.“Ada apa?” sahut Danial terdengar dingin.“Kenapa Ayah masih bisa santai seperti ini?” tanya Razka geram. Ia mencoba menahan diri untuk tidak melempar semua benda yang ada di meja kerja Ayahnya itu. Namun, entah sampai kapan ia akan kuat menahan emosinya.“Memang aku harus bagaimana?” Danial menyahut dengan santai. Dia melepas kaca mata di wajahnya, dan mengelapnya sebentar. Dia melirik ke arah Razka yang masih tampak sangat marah.Putra sulungnya itu mendengus kasar.“Ini sudah berbulan-bulan, dan Adikku sebentar lagi akan melahirkan. Apa pria brengsek itu masih be
Jovanka terjaga. Dia melihat tempat ia berada saat ini. Ia berada di rumah sakit. Rasanya tidak mengherankan, karena sejak ia mengandung, tempat ini menjadi lebih sering ia kunjungi.“Bagaimana keadaanmu, nak?”Suara Ayahnya mengejutkannya. Dia melihat pria itu mendekat.“Aku baik-baik saja, Ayah,” jawab Jovanka seadanya.“Ibumu sudah ku beri peringatan.” Danial sedikit menyesal membiarkan Jovanka pergi bersama Mona. Seharusnya ia saja yang menemani putrinya berbelanja. Meski antusias menyambut cucu pertamanya, Danial tidak mungkin sampai melupakan kondisi putrinya sendiri.“Aku tidak apa-apa, Ayah. Jangan marah pada Ibu,” ucap Jovanka menenangkan. Dia tidak ingin hubungan Ayah dan Ibunya memburuk hanya karena dirinya. Jovanka ingin saat anak pertamanya lahir, semua orang bisa menyambutnya dengan gembira. Dia tidak ingin ada masalah yang terjadi sebelum itu semua.Lagi pula ia mengerti, Ibunya hanya terlalu bersemangat menyambut cucu pertamanya.“Dia sudah keterlaluan, Jovanka. Jangan
Saat ini Jovanka sedang berada di Mall. Ia bersama Ibunya tengah berbelanja kebutuhan bayi. Dimulai dari pakaian juga perlengkapan lainnya. Banyak barang yang dibeli olehnya. Tentu bukan Jovanka yang meminta, tapi Ibunya yang membeli semua itu, semua barang yang sebenarnya hanya bisa dipakai selama beberapa bulan. Apakah dia lupa jika seorang bayi akan mudah tumbuh besar? Jovanka sampai sakit kepala melihat Ibunya yang begitu antusias membeli semuanya.“Ibu, sudah cukup. Ini saja sudah banyak.” Jovanka mencoba menghentikan Ibunya. Saat ini barang di tangan pengawal yang ikut bersama mereka sudah terlihat begitu menumpuk. Padahal mereka hanya membeli kebutuhan untuk seorang makhluk kecil, kenapa belanjaan mereka bisa sebanyak ini? Jovanka sendiri tidak habis pikir.“Tapi kita masih belum membeli semuanya. Lihat! Kita bahkan belum membeli ranjang untuk cucuku,” seru Mona. Dengan semangat ia pergi ke bagian furniture dan mencari ranjang bayi di sana.Jovanka menghela napas. Ibunya bahkan
Jovanka sudah melalui beberapa bulan kehamilannnya. Awalnya memang terasa merepotkan. Terlebih, ia mengalami morning sickness di bulan kedua kehamilannya. Dia tidak bisa mencium bau yang menyengat. Bahkan tidak banyak makanan yang bisa ia konsumsi. Rasanya segala macam makanan yang biasa ia makan sebelum hamil tidak bisa lagi diterima perutnya. Jovanka paling-paling hanya mengkonsumsi buah dan biskuit. Untuk memastikan ia tidak kekurangan nutrisi, Jovanka juga rutin mengkonsumsi vitamin yang diresepkan dokter, juga tidak lupa meminum susu ibu hamil.Setiap bulan ia akan melakukan pemeriksaan kandungan, di mana saat itu keluarganya selalu berebut untuk mengantarnya ke rumah sakit. Alhasil, Jovanka berangkat bersama mereka semua.Saat ini usia kandungannya sudah menginjak trimester kedua. Banyak makanan yang ia inginkan, dan kakaknya selalu berjuang untuk mendapatkannya, sekali pun itu sulit. Hingga ia harus mengerahkan banyak anak buahnya untuk berpencar.Baru kali ini fenomena ibu ham
Saat ini Jovanka mendapat kunjungan dari teman-temannya. Dia merasa sedikit terhibur dengan adanya mereka. Terkadang, jika hanya bersama keluarganya, tidak banyak topik yang bisa ia bicarakan. Keluarganya hanya memberi terlalu banyak perhatian. Tapi tidak begitu bisa diajak melakukan obrolan yang menyenangkan.“Aku tidak percaya kamu benar-benar hamil.” Gilda sangat terkejut mendengar kabar ini pertama kali. Ia bahkan sempat mengira Jovanka berbohong padanya. Tapi saat ia melihat sendiri bagaimana kondisi temannya itu, ia mulai percaya dengan apa yang ia katakan. “Kapan kalian melakukannya?”“Itu juga yang ingin aku tanyakan,” timpal Kate.Hal yang paling mengherankan dari semua itu memang alasan mengapa Jovanka bisa sampai mengandung anak Revan, sedangkan Jovanka sendiri sebelumnya sangat enggan berhubungan dengan pria itu.Mereka jadi curiga, apa Revan memperkosa Jovanka?“Jangan berpikir yang tidak-tidak.” Jovanka sepertinya bisa menebak apa yang teman-temannya pikirkan, karena ia